Gerakan
badan Donni begitu lincah. Sepatunya berdecit menggesek lantai semen. Donni
mampu mengecoh lawannya hingga ia mencetak three
point melaluishooting keras ke
ring basket.
“Skill-mu memang enggak bisa dilawan,
Don. Kalau begitu, kita lanjutin besok aja ya. Soalnya aku sudah capek banget.”
ujar William sambil memasukkan kain lap ke dalam tasnya.
“Ya
sudah. Aku pun juga lelah. See you
tomorrow, bro. Be careful.”tutup
Donni seraya memanggul tas punggungnya.
William
dan teman-temannya telah meninggalkan lapangan basket. Tinggal Doni sendirian
di sana. Setelah semuanya benar-benar sepi, Donni melangkahkan kaki menuju
semak-semak yang berada di belakangnya. Ia meraih boneka yang tergeletak tak
jauh dari sana.
Ini dia yang kucari.
Ujar batin Donni.
Teman-teman
Donni berkumpul tepat waktu. Seperti yang telah disepakati, mereka akan
melakukan ritual pemanggilan jelangkung pada Malam Jumat pukul sepuluh di
sebuah rumah kosong terbengkalai selama 10 tahun.
“Don,
kamu yakin gak akan terjadi apa-apa?“ tanya Lina ragu.
“Gak
bakal terjadi apa-apa. Ini cuma sebentar kok. Setannya bisa usir kalau kita
sudah selesai bertanya,“ jawab Donni tenang.
“Iya,
betul kata si Donni. Ini kan cuma permainan. Kalau sudah selesai kita bertanya,
arwahnya bakal pergi sendiri kok. “ timpal Heru.
“Bagaimana
nih? Udah bisa dimulai gak? Dari tadi ribut melulu.“ gerutu Prakoso.
Shanti sudah menyiapkan perlengkapan ritual. Pulpen,
Kertas, Boneka berwujud manusia serta kayu ditambah dengan seutas tali. Kayu
diikatkan dari kepala hingga ujung kaki. Tidak lupa, pulpen diikat di bagian
kakinya. Donni bersiap untuk memegang bagian kepala. Shanti dan Heru memegang
bagian tangan. Lina dan Prakoso di bagian kaki.
“Kalian sudah siap?“ tanya Donni.
“Tunggu dulu, Don,.“ sela Lina.
“Ada apa lagi, Lina?“
“Ka-kalau boleh tahu, kamu dapat darimana boneka ini?“
“Aku temukan boneka ini dipinggir jalan dekat sungai
kecil. Sudah jelas? Bisa kita mulai sekarang?“
Tak terdengar lagi pertanyaan dari siapapun. Mereka sudah
siap memulai ritual. Mereka serempak mengucapkan mantra pemanggilan arwah untuk
merasuki boneka jelangkung.
Jelangkung jelangsetan di sini ada
pesta
pesta kecil kecilan
Jelangkung jelangset
datang tak dijemput pulang tak
diantar...
Mereka terus menerus mengucapkan mantra hingga muncul
reaksi dari boneka. Boneka mulai bergoyang. Awalnya pelan, semakin lama semakin
kencang goyangannya sehingga mereka harus kuat menahannya.
“Don, bonekanya mulai bergerak. Turunkan pelan-pelan.“
perintah Prakoso pelan.Perlahan tapi pasti mereka mengarahkan boneka ke atas
kertas.
“Siapa
yang mau nanya duluan?“
“Aku,
Don!“ jawab Heru.
“Tidak,
Her. Aku dulu. Aku punya pertanyaan penting mengenai pacarku, Sandy.” potong
Shanti.
“Hey,
hey, kenapa kalian ribut begini? Tenang, semua pasti dapat giliran.” lerai
Donni.
Lina tak peduli dengan pertengkaran mereka. Matanya
waspada mengamati sekeliling ruangan tamu. Prakoso terlihat jengah melihat
tingkah teman-temannya. Mata Lina sigap saat ia melihat sekelebat hitam berdiri
tak jauh dari jendela tak berkaca.
“Kalian harus mati...” gumam makhluk halus berpakain
hitam itu.
Bola mata Lina terbeliak. Donni yang melihat perilaku
aneh Lina, mencoba memanggil namanya hingga tiga kali. Ketika Lina menoleh ke
arah Donni, angin mendadak berembus kencang, menggerak-gerakan bingkai jendela
tanpa kaca. Gerakan boneka semakin menjadi. Mereka berlima berusaha menahan
gerakannya, tapi mereka terpental jauh, demikian dengan boneka itu. Angin
perlahan mulai mereda. Mereka berusaha bangkit meskipun badan masih terasa sakit
akibat menahan gerakan boneka.
“Aduh pinggangku sakit!“ keluh Prakoso sambil meringis
memegang pinggangnya.
“Di mana boneka itu?!“ ucap Doni panik.
Mendengar apa yang dikatakan Doni, sontak mereka bangkit
berdiri, mencari-cari boneka itu. Suasana ruang depan begitu mencekam ketika
mereka melakukan pencarian.
“Ini dia Don!“ tunjuk Prakoso. Ternyata, boneka itu
berada di luar rumah dengan posisi menancap di tanah. Donni setengah berlari
mengambil boneka itu.
“Kelihatannya kita harus pulang. Aku merasa tidak enak.“
ujar Donni sambil mengoper boneka pada Prakoso.
“Shan, masukkan alat-alat sama boneka ini ke tasmu.“
perintah Prakoso seraya memberikan boneka pada Shanti.
Shanti memasukan semua peralatan ke dalam tasnya termasuk
boneka jelangkung yang diberikan Prakoso. Lina masih shock karena kejadian tadi, berjalan sambil memegang erat
pergelangan tangan Doni.
“Jangan parno gitu lah, Lin. Biasa aja.“ ketus Doni.
Lina melepas pegangannya pada tangan Doni, berjalan
normal seperti biasanya. Rasa was-was masih menghantui pikiran Lina. Saat dia
berjalan, matanya masih jeli mengamati apa yang ada di sekitarnya. Tiba-tiba
Lina terhenti.
aku akan menjemput
kalian semua ke alam ku...
Suara bisikan pelan terdengar oleh Lina. Ia menengok
kepada teman-temannya.
“Kalian dengar suara itu, ada suara aneh yang bilang
kalau kita akan—“
“Sudahlah Lina, tak bisakah dirimu tenang sebentar saja?!
Jangan kayak orang sakit jiwa gitu deh!“ caci Prakoso.
“Tapi, aku beneran dengar sendiri kok, Kos! Sumpah!“ ucap
Lina mengotot.
“Sudah cukup, Lin. Soal itu, nanti saja bicarakan kalau kamu
sudah sampai di rumah mu.“ tandas Donni.
Mereka sudah berada di pekarangan rumah. Untung saja,
rumah Lina tak jauh dari rumah kosong itu, hanya berjarak 200 meter, sedangkan
empat orang kawannya pulang menaiki sepeda motor. Tapi, tetap saja hal yang
barusan dialaminya membuat dirinya mati. Ia memilih mempercepat laju kakinya.
Pukul 23.05, dia sudah berada di rumahnya. Lina beberapa kali mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
Dari dalam rumah , ibunya sudah datang membukakan pintu.
“Kamu dari mana saja, nak? Sudah larut malam begini kamu
baru pulang?“
“Tadi, banyak banget tugas kelompok yang harus dikerjakan,
bu, jadi pulangnya agak larut.“ sahut Lina.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu kelihatan gelisah, nak?
Lihat muka kamu, pucat.“
“Ah gak apa-apa kok, bu. Cuma masuk angin aja.“
Lina langsung melewati ibunya menuju ke kamar. Ibunya heran
melihat tingkah laku anaknya, namun dia tak mengetahui apa sebabnya. Sambil
menghela nafas, ibunya kembali mengunci pintu rumahnya.
Untuk menghilangkan kegelisahan, Lina mencuci muka sambil
menggosok gigi . Usai itu, Lina mengganti pakaiannya dengan piyama tidur.
Ditariknya selimut, Lina mulai memejamkan matanya.
20 menit telah berlalu. Lina terlelap dalam tidurnya. Dia
berada di sebuah hutan. Nampaknya dia masih bingung kenapa dirinyaada di sana.
Dia berjalan pelan sambil mengamati yang ada di sekelilingnya. Suasana hutan
remang-remang dan suram. Dia merasakan hawa mistis yang terkandung dalam hutan meningkat pesat. Ditambah dengan
suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya merinding.
Lina tak sengaja melihat seorang wanita sedang dipukuli
dan disiksa oleh sekelompok wanita yang berjumlah tiga orang. Kondisi wanita
itu begitu memprihatinkan. Matanya sembab. Seragam SMA yang dikenakan kumal.
Rambutnya awut-awutan. Pemandangan miris itu membuat hatinya tergerak. Dia
segera berlari menuju lokasi untuk menghentikan perbuatan mereka. Setibanya di
sana, Lina mencoba melerai tapi mereka tak menghiraukannya. Bahkan, tak
memperdulikan sekalipun Lina sudah ada di depan mereka. Mereka bertiga terus
saja menyiksa perempuan itu lalu menusukkan pisau ke perut perempuan malang itu.
“Hey, kenapa kalian membunuhnya?! Jawab aku!“ pekik Lina.
Mereka kelihatan panik dan berlari meninggalkan perempuan
itu. Lina yang sedari tadi hanya bisa menyaksikan perempuan itu dibunuh. Ia hendak
mendekati mayat perempuan itu. Saat didekati, bola mata perempuan itu terbelalak, terbuka
lebar. Lina terperanjat. Dan tak kalah mengerikan, dia berdiri tegak menatap
dingin dan penuh amarah kepada Lina dengan kondisi pisau masih menancap di
perut.
“Kamu! Kenapa kamu tak mencegah mereka?!“
“A-a-aku su-sudah me-mencoba me-menolongmu tapi mereka tapi memperdulikan omongku,“ jawab
Lina terbata-bata. Ia tak mampu menahan gemetar kengerian yang berada di
hadapannya.
“Bohong! Aku tidak percaya! Kau juga harus mati!“
“ Jangan... Jangan bunuh aku... Aku tidak melakukan
apapun kepadamu... Tolong jangan bunuh aku... Kumohon ! “ jerit Lina sambil
memohon agar dia tak membunuhnya .
“Tidak! Kau harus menerima hukuman atas perbuatanmu!
Hahahaha!“ perempuan menatap Lina beringas seraya mengeluarkan tawa
menggelegar.
Lina berjalan mundur kemudian berlari ke mana saja agar
dirinya terbebas dari maut. Namun sial. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti.
Badannya membeku bagai patung. Tak ada yang bisa dilakukannya. Dia tetap saja
tak bisa menggerakkan badannya sedikitpun. Hanya ada air mata menetes di sudut
pelupuk mata. Berharap Tuhan menolong dirinya.
Ternyata salah besar. Keadaan Lina yang tak berdaya,
malah membuat perempuan itu senang. Ia tertawa lebar seolah-olah mangsanya
sudah siap untuk dieksekusi. Dicengkramnya leher Lina kuat sehingga membuat
nafasnya sesak.
“To-to-long...“ gumamnya terputus-putus.
Suara teriakan dan lenguhan Lina terdengar oleh orang
tuanya. Mereka segera bergegas menuju kamar anaknya. Mereka melihat dengan mata
kepala mereka sendiri, anak mereka mengigau seperti orang yang dicekik lehernya.
“Lina! Bangun nak!“ teriak ibunya sambil
menggoyang-goyangkan badan anaknya.
“AKH!“ Lina terbangun dari mimpi buruknya. Ketika itu
wajahnya terlihat sangat pucat.
Melihat wajah anaknya yang pucat, sang ayah segera
mengambil air hangat , diberikan pada anaknya.
“Ada apa dengan
kamu, nak? Kamu mimpi buruk?“ ibunya bertanya setengah panik.
“I-i-iya, bu. Ada perempuan yang mau mencekik aku, bu. Wajahnya
menyeramkan sekali,“ jawabnya gagap.
“Makanya kalau mau tidur, jangan lupa berdoa. Kalau lupa,
ya jadinya sepeti tadi,“
“Iya bu, lain kali Lina bakalan doa dulu sebelum tidur.“
“Ya sudah . Ibu dan bapak balik ke kamar.“
Setelah kedua orang tuanya meninggalkan kamar, Lina
menutup pintu kamar dan berdoa selama dua menit. Meski sudah berdoa, masih saja
terlintas di benaknya, wajah perempuan yang hendak membunuhnya dalam mimpinya.
“Aku harus memberitahu teman-teman... ya harus.“
gumamnya.
No comments:
Post a Comment