Sunday, 22 November 2015

Love in Dead - End




Getar SMS masuk ke BlackBerry Icha. Icha bergolek santai di ranjangnya, langsung menyergap BlackBerry. Ia membuka kunci tombol, membaca isi SMS tersebut.
Icha, kamu lagi di rumah?
            Ya. Memangnya ada apa?
            Coba lihat dari jendela.Aku sedang berada di depan rumahmu.
            Icha tersentak membaca balasan SMS dari Aldian. Seakan tak percaya, Icha beringsut dari ranjangnya menuju ke jendela. Selepas ia menyingkapkan jendelanya, benar saja Aldian sedang berdiri di luar pagar rumahnya. Dengan kemeja bergaris-garis coklat mengenakan celana panjang longgar, Aldian memegang sesuatu di tangan kanan sambil disembunyikan .
            Tak terpikirkan sama sekali, Aldian akan melakukan kunjungan mendadak seperti ini. Tak mau membuat Aldian menunggu lama, Icha buru-buru keluar dari kamar hendak membukakan pagar agar Aldian segera masuk.
            Sekitar lima menit Icha sampai di pagar. Sebelumnya, ia harus mengganti piyamanya dengan baju yang lebih sopan.
            Icha mengambil kunci dari kantong sambil dimasukkan ke dalam gembok lalu menarik gagang pintu pagarnya. Aldian yang sudah lama berdiri, masuk dengan perasaan kaku dan agak canggung. Icha dapat melihatnya melalui gerak tubuh.
            Kini Aldian sudah masuk. Aldian berjalan bersama dengan Icha ke ruang tamu. Aldian jadi salah tingkah dekat dengan Icha. Ia menjadi tak berani menatap Icha.
            Icha menyuruh Aldian duduk sambil menunggu dirinya datang membawa air minum. Sementara Icha pergi, Aldian harus berembuk dengan pikirannya sendiri—apa kata-kata yang pas untuk mewakili perasaannya pada Icha. Aldian akan menyatakan cinta pada Icha dengan momen yang ada, saat ini juga.
            Icha sudah tiba dari dapur dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya sudah tersedia segelas sirup dan cemilan kecil. Anggunnya Icha membawa nampan makanan, membuat Aldian tergugah hatinya. Semakin dalam perasaannya tertanam pada Icha.
            Icha sudah menyimpuhkan kedua kakinya, meletakkan segelas sirup dan cemilan itu di atas meja ruang tamu. Kemudian, duduk di hadapan Aldian.
            “Tumben, kamu datang mendadak. Ada apa? Ngomong-ngomong, apa yang berada di belakang tanganmu?“ Berbagai lontaran pertayaan terucap begitu saja dari mulut Icha. Sekarang , Aldian diam membisu. Ia berusaha menarik tangan kanannya yang gemetar ke depan, seperti ingin memberikan sesuatu. Icha terus bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya akan diberikan Aldian.
            “Icha, kamu mau nggak jadi pacarku?“ Aldian sudah melepaskan kata-kata mujarab yang selama ini dipendamnya. Mulut Icha menganga. Ia terkesima. Di depannya, ada seorang lelaki pendiam dan kutu buku sudah menyatakan cinta padanya.
            Binaran mata Aldian yang cerah, mengisyaratkan kalau dia menginginkan Icha menjadi miliknya—seutuhnya. Tapi tak begitu dengan Icha. Alis matanya mengkerut, wajahnya tertekuk. Ada sesuatu begitu mengganjal perasaannya.
            “Maaf, aku tidak bisa, Aldian...“
            Rasanya bumi bergoncang hebat, meruntuhkan segala keindahan menjadi serpihan kehancuran. Begitu pula dengan perasaan Aldian. Mata sipitnya menjadi sedikit terbuka. Ia menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dikatakan Icha. Melihat reaksi Aldian spontan tertegun, Icha menjelaskan jawaban atas penolakannya pada Aldian.
            “Aku sudah memiliki pacar, Aldian. Namanya Daniel. Dia bersekolah di SMA Negeri 2. Kami sudah berpacaran hampir setahun. Sekali lagi, aku minta maaf, Aldian. Aku tidak bisa.“ Icha memejamkan mata sejenak kemudian menghela nafas pendek. Ia berharap Aldian bisa menerima alasan yang diutarakannya. Setidaknya, ia telah jujur pada Aldian.
            Aldian sendiri masih diam menekur diri. Tatap matanya mengawang jauh, menembus alam pikirannya. Ia galau. Entah apa yang akan katakannya untuk menanggapi alasan dari Icha.
            “Tidak apa-apa, Icha. Seperti yang pernah kukatakan, menjadi temanmu saja, aku sangat senang. Tidak mungkin aku memaksamu, bukan? Tapi maukah kamu terima bunga ini?“ Aldian menegakkan kepalanya sambil memberikan setangkai bunga mawar kepada Icha.
            Icha mengangguk pelan seraya meraih bunga yang diberikan Aldian untuknya.
            “Sepertinya aku harus pulang.“ Aldian melirik arloji di tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00.
            “Selamat tinggal Icha. Sampai jumpa esok.“ Aldian berdiri dari tempat ia duduk. Ia hanya menyunggingkan senyum kecil sambil melambaikan tangan. Ia akan beranjak pergi dari rumah Icha.
            Icha berjalan menuju ruang tamu, membuka pintu luar agar Aldian bisa keluar lebih cepat. Sejauh ini, tak ada tatap kesedihan atau penyesalan terbias dari mata Aldian. Ia terlihat biasa-biasa saja. Tak tersirat perasaan negatif di sana, bahkan ia sempat bertanya mengapa Icha terus memandangnya penuh heran.
            “Aldian, terimakasih atas bunganya. Aku suka. Sampai jumpa esok. Selamat malam.“ Icha mengucapkan salam berpisah pada Aldian. Tangannya masih memegang erat tangkai bunga tersebut.
            Aldian mengambil sepeda yang tergeletak di pekarangan. Dirinya membuka engsel gerbang, lalu ia mengayuh sepedanya menembus kesunyian malam.
            Icha terus menatap Aldian yang perlahan menjauh dari kediamannya. Dalam hatinya, ia tak sanggup mengatakan kebenaran itu pada Aldian. Rasa bersalah mulai mengusik hatinya. Ia takut hal tersebut akan menyakiti hati dan perasaannya. Jika ia begitu mudahnya menerima cinta Aldian, itu sama dengan mempermainkan perasaan Daniel. Inilah dilema.
            Icha menatap lekat setangkai bunga yang berada dalam genggamannya. “Kamu datang terlambat, Aldian. Hatiku sudah dimiliki orang lain. Mengapa kau datang di saat aku sudah dimiliki?“ berbagai ungkapan penyesalan memenuhi relung batinnya. Tak mau dikacaukan oleh perasaannya sendiri, Icha memilih masuk ke dalam rumah.
            Icha membawa dirinya dalam baringan ranjang empuknya. Ia meletakkan bunga pemberian Aldian di samping bantal. Pikirannya masih saja tertuju pada Aldian. Ia berharap Aldian baik-baik saja.
            Semakin jauh ia berpikir akan Aldian, entah mengapa dirinya merasakan Aldian ada sangkut pautnya dengan pembunuhan Anji dan Andy. Jika dipikir baik-baik, bagaimana Aldian bisa melakukan perbuatan sekeji itu. Bahkan, dirinya saja sering menjadi korban bullyFidel dan teman-temannya.
            Icha menganalisis dengan berbagai dugaan dan keterangan yang ia dapatkan selama meneliti ini. Pertama, waktu Anji ditemukan tewas di kawasan perumahan Air Lihas. Menurut keterangan polisi, mayat Anji ditemukan pada pukul  tujuh tepat saat SMS masuk ke Black Berry-nya. Di sana Aldian bilang ia tak jadi datang ke rumahnya karena ban sepedanya bocor. Satu hal yang masih menjadi pertanyaan, di manakah posisi Aldian saat kejadian tersebut? Itulah yang tidak dijelaskan Aldian dalam SMS-nya.
            Kedua, Aldian pernah mengatakan padanya kalau ia pergi mengunjungi proses pemakaman Anji. Pertanyaan lain adalah pukul berapa dia tiba di sana? Apakah dirinya bertemu dengan Andy? Menurut keterangan yang didengarnya dari kepolisian, Andy dibunuh setelah pemakaman selesai. Dan apa mungkin Aldian datang di saat pemakaman usai?
            Belum siap pikirannya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebuah panggilan masuk berdering keras ke BlackBerry-nya. Ia melihat nama yang tertera di layar—Aldian. Tanpa ragu ia mengangkatnya.
            “Icha cepat datang ke sini! Pembunuh itu sudah membunuh paman dan bibiku! Cepat! Dia mengincarku! Aku bersembunyi... Tut tut...“
            Icha merasa Aldian dalam bahaya besar. Pembunuh itu akan segera mengincar nyawa temannya. Ia tak bisa tinggal diam. Ia harus segera pergi ke rumah Aldian. Sebelumnya, Icha sudah meng-SMS pacarnya, Daniel,menjemputnya di depan rumahnya. Icha menjemput jaket yang tergantung di pintu kamarnya dan langsung dikenakannya.
            Dari tadi, Icha gelisah tak menentu dalam batinnya. Kekhawatiran terus menghantuinya,. Takut terjadi apa-apa dengan Aldian. Sekian lama menunggu, akhirnya Daniel sudah tiba di hadapannya.
            “Lama sekali!“ nada bicara Icha keras. Dirinya naik ke atas jok belakang lalu menyuruh Daniel mengendarai sepeda motornya lebih cepat.
            “Apa yang sebenarnya terjadi?“ tanya Daniel sambil memacu gas. Ia menanyakan alasan pacarnya menyuruhnya cepat-cepat.
            “Aldian sedang dalam bahaya. Aku tak punya banyak waktu menjelaskan.“ Matanya terus tertuju pada layar BlackBerry berharap SMS atau miscall dibalas oleh Aldian. Namun, sudah lewat setengah perjalanan pun tak mendapatkan balasan.
            Daniel mengerti kondisi pacarnya, menarik gas lebih kencang agar lebih cepat tiba di rumah Aldian.
            10 menit terlewati. Mereka sudah sampai di rumah Aldian. Rumah dengan  lampu depan menyala terang tapi lampu bagian dalam padam.
            “Lebih baik kamu tunggu di sini. Tunggu aku tiba bersama pihak kepolisian. Biar kita masuk bersama-sama. Akan sangat membahayakan jika kau masuk sendirian.“ Danni dengan sigap menahan tangan Icha. Hampir saja Icha melangkah menuju rumah.
            Icha terpaksa menuruti apa yang dikatakan Danni. Ia menunggu sembari melihat pacarnya membawa sepeda motornya menjauh dari hadapannya. Melihat pacarnya sudah semakin jauh, Icha pelan-pelan berjalan menuju ke rumah Aldian. Ia yakin sang pembunuh masih berada di dalam rumah dan Aldian masih bersembunyi. Sebelum masuk, Icha memungut sebuah bambu yang bisa dijadikan sebagai senjata.
            Kini Icha sudah berada di muka pintu. Ada rasa gentar ketika tangannya menyentuh gagang pintu. Icha menelan ludah kering yang terasa begitu mencekik kerongkongannya. Dengan keberanian yang ada, tangan kanannya sudah menggenggam gagang pintu itu.
            Dengan sedikit dorongan tangannya, pintu itu terbuka. Jantungnya berdetak keras. Matanya agak kesulitan melihat karena situasi rumah begitu gelap. Icha harus ekstra hati-hati, bisa saja pembunuh tersebut sudah berada di belakangnya, mengincarnya ketika ia sedang lengah.
            Derap langkah kaki amat lembut itu sejalan dengan suara detak jantungnya. Penuh kewas-wasan, penuh perhitungan di setiap hentakan.
            Bola matanya berputar liar mengamati gerak-gerik mencurigakan walau kegelapan menghalangi pandangannya. Sandalnya seperti menginjak sesuatu—cairan. Kental dan agak lengket. Icha mengangkat sedikit kakinya, mencolek cairan yang menempel di tapak sendalnya.
            Icha membaui cairan itu. Amis dan warnanya merah dan ternyata—darah. Ia terkesiap. Darah itu tidak berhenti di tempatnya berdiri. Ada banyak jejak-jejak darah mengarah pada suatu tempat.
            Awalnya, Icha takut mencari tahu ke mana jejak-jejak darah itu akan berhenti. Namun karena niatnya ingin menemukan Aldian, ia memutuskan terus berjalan meskipun rasa degdegan di dada makin mendesak.
            Pelan-pelan, Icha mengikuti ceceran darah tersebut. Begitu panjang tapi ceceran tersebut berhenti pada suatu kamar. Lampunya menyala. Pintunya terbuka lebar. Icha tak mau berpikir macam-macam. Icha mencoba menguatkan hati sambil melangkah ke sana.
            Deru nafas tersendat. Bola matanya membulat . Mulutnya ternganga.
            Icha menemukan mayat laki-laki dan perempuan terkapar bermandikan darahpenuh luka di sekujur tubuhnya. Tapi bagian yang paling mengerikan adalah sepasang tangan dan kaki sudah terpotong-potong, dibiarkan terbuang begitu saja .
            Mereka adalah paman dan bibi Aldian. Mati mengenaskan di tangan pembunuh itu.
            “Aldian! Aldian!“ Icha menyingkir dari sana sambil berseru memanggil nama Aldian.
            “Kamu sudah datangya, Icha.“ Suara itu muncul disertai dengan lampu ruang tamu menyala tiba-tiba.
            “Aldian,“ Icha lantas berbalik badan begitu mendengar suara Aldian. Suara itu memang suara Aldian . Tapi ada yang berbeda. Tatapan dan roman sungguh berbeda. Tak seperti Aldian yang ia kenal . Dingin, picik dan bengis. Bola matanya memperlihatkan kekosongan yang begitu dalam. Sangat dalam.
            Aldian menghampiri Icha dengan tangan memegang sebilah golok berlumuran darah. Baju dan tangannya juga ternodai cipratan darah.
            Icha serasa tak punya kekuatan untuk membela dirinya. Bambu yang ringan pun menjadi berat diangkat. Aldian sudah berada di hadapan Icha. Lutut Icha lemas. Diam mematung memandangi Aldian.
            “Ja-jadi kau?! Ti-tidak mungkin!“
            Aldian diam. Secara mengejutkan, ia menjenggut rambut Icha. Icha mengaduh kesakitan. Bambu yang digenggamannya terlepas. Icha meronta-ronta sambil memukul tangan Aldian, tapi Aldian tak merespon malah semakin menguatkan genggamannya, menarik Icha mengikuti ke mana dirinya pergi.
            Icha pasrah. Berapa kali pun ia memelas dan memohon, takberpengaruh pada Aldian. Air matanya tak henti menetes , berusaha menahan rasa sakit di ujung rambutnya. Dalam hati, ia juga tak henti-henti berdoa, meminta kejaiban datang menolong dirinya.
            Mereka sudah tiba di sebuah ruangan berdebu, pengap danminim pencahayaan. Aldian mencampakkan tubuh Icha dengan kasar. Usai menutup pintu, dengan sigap Aldian mengambil segulung tali tambang, diikatkan pada lengan dan tungkainya.
            “Kenapa kamu melakukan hal ini, Aldian? Aku sungguh tidak percaya. Ini bukan kamu ‘kan, Aldian?“ suara Icha menjadi lebih serak.
            “Tapi inilah kenyataannya. Akulah Aldian. Aldian temanmu. Aldian yang selalu menjadi bulan-bulanan di sekolah. Aldian si penyendiri. Aldian si pemalu. Aldian yang begitu menginginkanmu... Icha.“  ujar Aldian sambil meletakkan goloknya di atas sebuah meja kecil. Dirinya duduk seperti orang bersila di depan Icha .
            “Kamu tak perlu menjadi seperti ini, Aldian!“ pekik Icha. Ia tak mampu menahan ledakan emosinya melihat kelakuan Aldian.
            “Tapi kamulah yang membuat aku seperti ini, Icha! Ketika aku menjalani hari-hariku yang penuh kesepian, kamu datang di saat yang tepat. Ya, kamu datang seperti seorang malaikat penyelamat. Tapi semakin aku dekat denganmu, semakin Fidel dan teman-temannyaterus berusaha menyingkirkanku,“ Aldian tak kalah emosi mendengar pernyataan Icha.
“Orang tuaku sudah lama meninggal dunia akibat kecelakaan. Kamu tahu bagian terburuk dari semua itu, Icha? Aku masih hidup dan menyaksikan orang tuaku tewas di depan mataku! Di saat itu aku sadar, aku menjadi yatim piatu, sama sekali tak punya saudara. Tapi, semenjak kecelakaan seperti punya kemampuan istimewa. Seperti indra keenam. Aku bisa melihat wujud orang tuaku tapi tidak begitu dengan orang-orang di sekitarku. Mereka menganggap aku gila.
Aku ditampung di rumah pamanku. Meskipun pamanku baik kepadaku , tapi tidak demikian bibiku. Dia tak pernah menganggap keberadaanku di rumah ini. Aku seperti hantu baginya.“ Aldian mengambil jeda sejenak lalu melanjutkan cerita.
“Pasti kau juga mengira-ira siapa yang telah membunuh Anji dan Andy ‘kan? Selama ini aku selalu bersabar menghadapi mereka bertiga . Akan tetapi , kesabaran juga ada batasnya. Aku sudah merencanakan semuanya,begitu terperinci. Aku tahu Anji selalu pulang tepat setengah tujuh dari lapangan bola. Ini kebetulan sekali karena rumahmu pun melewati rumahnya, bukan? Aku pura-pura pingsan begitu Anji akan melewati kawasan perumahan Air Lihas. Begitu ia mendekat, langsung kutancapkan golokku ke keningnya!“ Aldian memperagakan sendiri bagaimana ia menancapkan goloknya.
“Dan Andy, aku hampir menunggunya sejam lebih begitu para pelayat bubar meninggalkan pemakaman. Satu per satu para pelayat mulai pergi hingga tersisa dirinya seorang. Aku sudah bersiap-siap dengan bersembunyi di balik rimbunan pohon beringin. Ketika ia lengah, kusergap dia dan kubantai habis-habisan di sana.“ Aldian menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Icha bungkam. Tak terlintas di pikirannya, bahwa orang seperti Aldian bisa melakukan pembunuhan dengan sangat terencana namun sangat keji.
“Untuk Fidel, kau tahu, aku betul-betul tidak menyukai lelaki satu ini. Aku ingat bagaimana dia mengancam dan menghajarku sampai babak belur karena kamu mengantarku pulang, Icha. Kuharap kau masih ingat. Tapi, aku tidak akan menceritakan bagaimana aku menghabisi Fidel karena sudah kupastikan nasib dia tak jauh beda dengan teman-temannya. Aku mau bicara tentang kamu, Icha,“
Aldian mengubah sorot matanya yang tajam menjadi sedikit lembut. Icha menyadari perubahan tingkah laku Aldian, dia mengambil sikap waspada, bisa saja Aldian melakukan perbuatan nekat padanya.
“Icha, sejak kau masuk ke sekolah ini, aku selalu mengagumimu. Tapi kau tahu kan, kamu itu primadona sekolah sedangkan aku hanya pecundang yang tak dianggap. Banyak lelaki ingin dekat denganmu, tapi entah mengapa kamu memilih dekat denganku. Walau dianggap sebagai teman, rasanya aku senang sekali. Setelah aku menyingkirkan tiga tikus sialan itu, aku berniat ingin mengutarakan perasaanku sama kamu. Tak peduli apa statusku di sekolah.“ Aldian mendekatkan wajahnya ke wajah Icha. Ia memalingkan wajahnya. Icha tak ingin melihat raut wajah Aldian yang memuakkan.
“Awalnya, aku takut bahkan tak punya keberanian mengungkapkan semua ini padamu. Tapi, aku terus mendorong diriku sendiri kalau semua akan berjalan sesuai keinginan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Aku hancur begitu mendengar kau sudah dimiliki orang. Hati kecilku terus memberontak, memaki lelaki pujaan hatimu itu. Aku pulang ke rumah, menyesali kenyataaan yang terjadi malam itu, Icha,“ Dari sudut pelupuk matanya , Aldian menyadari kalau air matanya menetes membasahi pipi. Aldian memalingkan sedikit wajahnya, mengusapnya dengan lengannya.
Air mata kesedihan lenyap tergantikan seringai lebar mengerikan. Aldian beranjak dari hadapan Icha . Ia mengambil golok yang sedari tadi tergeletak, digenggam erat dalam tangannya.
“ Aku berpikir, kau sama saja dengan bibi dan pamanku. Kau jahat. Sama jahat dengan Fidel dan teman-temannya. Sangking kesalnya, kubunuh saja paman dan bibi sebagai pelampiasanku. Kau lihat, banyak sekali ‘kan darah yang menempel?“ Aldian memperlihatkan golok itu di depan mata Icha. Icha bergedik ngeri. Darahnya berdesir kencang mengalir ke otaknya. Serasa ingin pecah, mungkin meledak.
“Kejam! Biadab! Kau tak punya perasaan!“ maki Icha.
“Diam kau! Sebentar lagi, kau pun akan mati! Tak usah banyak omong!“ sahut Aldian penuh kekesalan dan amarah meluap-luap. Ia menempelkan ujung lancip golok itu di leher Icha. Ia berusaha menggertak Icha.
Melihat ancaman yang dilakukan Aldian, membuat air matanya meluruh pelan-pelan. Ia sadar hidupnya akan berakhir di tangan Aldian. Icha menatap mata Aldian dengan penuh rasa iba dan nelangsa. Ia mengakui memang dirinya juga berperan menyebabkan Aldian seperti ini.
Ia dekat dengan Aldian tanpa mengetahui bahwaAldian menyukai dirinya. Itu pun ia tahu setelah Aldian mengungkapkan perasaannya. Tanpa sadar, ia juga memberi harapan pada Aldian tanpa membalas perasaannya.
Di tengah rasa sesal, suara gebrakan pintu mengagetkan mereka.
Braakkk!
Aldian tanggap menutup mulut Icha. Ia berontak dengan menyikut perut Aldian tapi Aldian menempelkan lagi golok itu di lehernya membuat nyali Icha ciut seketika.
“Sekali lagi kamu melawan, golok ini takkan segan memutus lehermu!“ bisik Aldian dekat daun telinga Icha. Ia yakin pasti sebelum Icha datang ke sini, mereka sudah menghubungi polisi terlebih dahulu.
Derap langkah kaki terdengar jelas sampai ke gudang. Mereka diam sesaat dalam keheningan yang dingin danmencekam. Sepertinya mereka sedang mencari tempat dirinya menyekap Icha. Mau tak mau, ia harus berurusan dengan para polisi yang membawa pistol.
Aldian melepaskan tangan kanan yang membekap mulut Icha tapi tangan kirinya tetap memegang golok. Ia mengutak-atik kantong celananya mencari sesuatu yang amat dibutuhkannya.
Matanya terbeliak begitu mengeluarkan benda dalam kantongnya. Sebuah sapu tangan. Sapu tangan itu ditempelkan ke wajah manis Icha. Ketika sapu tangan itu ditempelkan, ada aroma menyengat menusuk indra pembaunya. Kepalanya pusing berat. Mataberkunang-kunang. Ditambah lagi, tubuhnya serasa lemah.
Aldian menyimpulsenyum kemenangan melihat kondisi Icha sekarang. Icha tak bisa melakukan apapun bahkan berteriak sulit sekali. Aldian memotong tali tambang yang membelenggu tubuh Icha, membiarkan tubuh semampainya terkulai tak berdaya.
Ia beralih sebentar menuju pintu. Dilihatnya Aldian sedang memutar-mutar kunci dengan sangat hati-hati. Dalam pikirannya, sekecil apapun suara pasti akan terdengar. Aldian menekan gagang pintu. Celah pintu sedikit tersingkap.
Sementara Icha masih tergeletak, Aldian datang kembali, mengangkat tubuh Icha yang tak terlalu berat. Aldian memanggul tubuh Icha seperti karung beras di pundak kiri.
Aldian berjinjit. Ia mengintip dari celah pintu melihat apakah kondisi sudah aman. Kelihatannya polisi belum menyisir sampai ke gudang. Ia sudah mematikan seluruh lampu agar polisi sulit menemukan dirinya. Celah pintu yang dibuatnya tak leluasa mengeluarkan tubuh Icha . Didorongnya pelan menggunakan ujung kaki kanannya. Setelah celah pintu sudah cukup pas, Aldian menjulurkan kepalanya disusul badannya serta tubuh Icha.
Aldian tetap menjaga derap kakinya agar tak membuat suara-suara mencurigakan. Ia juga memastikan Icha tak melakukan hal-hal yang membuat perhatian para polisi tertuju ke tempatnya. Keadaan Icha masih sama. Lemas dan tak bertenaga.
“Setelah kita menjauh dari sini, kita punya waktu berdua, Icha sayang.“ Aldian berbisik manja di dekat telinga Icha. Icha meneteskan air mata, mendengar apa yang akan dilakukan Aldian padanya. Ia tak bisa melakukan apapun dengan keadaan tubuh yang lemah.
Dirinya tak mau menyerah begitu saja. Ia terus mencari akal, menyelematkan dirinya dari genggaman Aldian. Icha terus memutar-mutar otaknya, berharap sebuah ide terlintas di benaknya.
Sorot matanya tertuju pada sebuah sapu lidi yang diletakkan bersandar di samping pohon mangga. Meskipun badannya agak sulit digerakkan, Icha tetap gigih mengerakkan kakinya agar bisa menyenggol ujung sapu lidi. Dengan segenap kekuatananya, kakinya bisa menyentuh ujung tongkat sapu lidi.
Taakkk!
Sapu lidi terjatuh dan menimbulkan suara. Salah seorang polisi yang mendengar suara benda terjatuh, langsung menghardik.
“Siapa di sana?!“ Suara itu betul-betul mengejutkan Aldian. Ia cepat-cepat menyelinap di sebuah pohon.
Di balik pohon itu, jantung Aldian berdegup keras, melawan rasa takut dan khawatir begitu memuncak. Untung saja, para polisi juga tak melihatnya menurunkan tubuh Icha.
Sepertinya, pengaruh obat bius itu sudah mulai berkurang. Rasa pusing dan berkunang sudah hilang, tapi badannya masih saja lema. Irama jantung Aldian semakin tak teratur seiring derap sepatu pancus semakin mendekat, kian dekat.
Akhirnya, Aldian keluar dari persembunyiannya. Para polisi sudah bersiaga dengan pistol tergenggam di tangan. Tangan kiri Aldian mengapit leher Icha dan tangan kanan memegang golok.
“ Turunkan pistol loe atau gua gorok lehernya!“ gertak Aldian sambil meletakkan golok itu di leher Icha. Mau tak mau, mereka harus menuruti apa yang diperintahkan Aldian agar pelaku tidak berbuat nekad. Para polisi menurunkan pistol mereka, membiarkan Aldian bergerak melewati mereka.
“Icha!“ pekik Daniel yang berada di antara kumpulan polisi bersenjata itu.
“To-to-long...“ jeritan itu terdengar lemah. Mungkin pengaruh obat bius itu belum habis sepenuhnya.
Aldian mempercepat langkah kakinya begitu dirasanya ia sudah jauh dari para polisi. Tangannya masih mengapit leher Icha.
Doorrrr!
Selongsong timah panas dimuntahkan dari ujung pistol. Aldian melolong kesakitan merasakan sakit di bagian betis. Rupanya, peluru tersebut mengenainya.
Aldian terus saja berjalan tanpa memperdulikan darah yang terus mengucur di bagian betisnya.
Melihat sang pelaku yang tidak menghentikan aksinya, seorang polisi menembakkan peluru ke bagian pangkal pahanya.
Doorrr!
Peluru kedua sudah menembus pangkal paha Aldian. Kedua kakinya lumpuh. Rasa sakitnya kini bertambah dua kali lipat. Aldian tak sanggup menahan akhirnya ambruk. Begitu pula dengan Icha. Wajah mereka terjerembap ke permukaan tanah.
Melihat kondisi Aldian sudah tak berdaya, Icha memanfaatkan kesempatan untuk bangkit dan berlari dari Aldian. Tapi sialnya, badannya masih saja lemah.
“Hehehe, jangan sepelekan khasiat obat itu. Meskipun rasa pusingmu sudah hilang, efek penghilang tenaga itu bisa bertahan sampai setengah jam dan sekarang tibalah waktumu, Icha!“ ujar Aldian dari belakang. Ia terkekeh melihat ekspresi kebingungan Icha.
Bersusah payah, Aldian bangkit walaupun dengan posisi merangkak . Langsung saja, ia meraih golok yang berada tak jauh di depannya.
Sadar bahaya sedang mengincar di depan mata, dengan sekuat tenaga ia menyeret badannya menjauhi Aldian.Aldian menghunjamkan golok itu ke arah kaki Icha. Untungnya, Icha lebih cepat mengelak, jika tidak, bisa saja golok itu akan memutuskan kakinya.
Tak hanya sekali, Aldian berkali-kali menghunjamkan goloknya membabi buta ke kedua kaki Icha. Satu hunjaman meleset, cuma mengenai tanah. Namun, Aldian tak mau menyerah begitu saja. Dan kali ini, goloknya berhasil menyayat daging pahanya.
Arrggghh!
Walau darah mengalir deras, Icha terus saja menyeret badannya menjauhi Aldian lebih cepat.
Deru nafas Icha tersengal satu-satu. Peluh bercampur debu mengotori wajah ayunya. Ia merasalelah di bagian tangan karena dirinya harus menggunakan kedua tangannya untuk menyeret badannya.
Melihat di depannya ada sebuah pohon, Icha memilih untuk berhenti. Ia betul-betul tak sanggup lagi. Ia sudah pasrah jika harus mati di tangan Aldian.
“Kelihatannya, kau sudah lelah bermain-main, Icha. Tapi biarlah. Aku akan akhiri semua di sini,“ Aldian berada tepat di hadapan Icha. Aldian menegakkan badan dengan bertumpu pada kekuatan lututnya. Ia meringis kesakitan, mengabaikan rasa nyeri dan pedih di kedua  tungkai kakinya.
“Matilah!“ golok teracung di depan matanya, siap mendarat di kepala Icha.
            Aldian mendelikkan kedua bola matanya. Tak diduga, lelehan darah mengalir dari mulutnya. Golok yang berada digenggamannya terlepas. Ia jatuh bersujud memuntahkan darah. Aldian meraba dadanya, melihat darah membasahi bajunya.
            Uhuaaaakk!
            Muntahan darah terus keluar dari mulut Aldian. Rasa kasihan muncul dalam diri Icha melihat kondisi Aldian mulai sekarat.
            “Aldian! “ pekik Icha sambil mendekati Aldian.
            “Ja-ja-ngan me-me-no-nolongku! Pergilah!“ bentak Aldian. Mulutnya dipenuhi bercak darah. Tangannya berusaha menghardik Icha agar tak mendekat.
            Icha mengeluarkan sapu tangannya, mengelap darah yang tersisa di mulut Aldian.
            “Icha..,. kau...“ Aldian tak sadar air matanya berhamburan. Aldian tak menyangka di saat dirinya berusaha membunuhnya, Icha masih sempat berbuat baik padanya. Ketika ajal akan menjemput nyawanya, ia menatap lekat-lekat ke dalam bola mata Icha. Berusaha menerjemahkan arti pertolongan Icha untuknya .
            “Terimakasih Icha, aku pergi...“ suara Aldian tak terdengar lagi. Tubuh malang Aldian ambruk. Ia telah mengembuskan napas terakhir.
            Icha terpaku menatap mayat Aldian. Ia meneteskan air mata membayangkan perjalanan kehidupan Aldian yang selalu menderita. Ia hanya membutuhkan kasih sayang dari seseorang yang benar-benar menyayanginya. Tak lebih dari itu.
            “Icha, kau tak apa-apa?“ tanya Danni ditemani tiga orang polisi menemui Icha yang masih bersandar di bawah pohon.
            “Ya tapi tidak untuk yang satu ini,“
            Daniel melihat kondisi mayat Aldian dipenuhi darah di bagian kaki terutama di dada. Rasa penyesalan mendalam turut meliputi dirinya.
            “Semua sudah berakhir. Aldian sudah mendapatkan ganjarannya. Biarlah polisi yang menangani selanjutnya,“
            “Kau benar. Dan sepertinya,pengaruh obat itu sudah habis. Badanku tidak lemas lagi.“ Icha mencoba berdiri dengan berpegangan pada batang pohon di belakangnya. Icha menghampiri Daniel terpincang-pincang.
            “Ayo kita pergi.“ Danni mengajak Icha beranjak dari sana . Ia menatap mayat Aldian sekali lagi sebelum mayat Aldian dikebumikan besok.
            Suasana prosesi pemakaman hanya dihadiri oleh tujuh orang termasuk Icha, Ovy, Diana, Daniel dan tiga kerabat jauh Aldian. Tidak ada karangan bunga di sana. Batu nisan yang menancap di tanah merah menjadi saksi bahwa kehidupan manusia akan menuju pada suatu fase yaitu kematian. Kematian bisa menjemput siapa saja tidak peduli apakah kau seorang pemuda yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuanmu.
            “Mungkin Aldian akan lebih bahagia di surga sana. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Ia akan ditemani malaikat-malaikat surga menyenandungkan sajak-sajak indah,” ujar Icha nelangsa.
            “Kalian tahu, kepolisian akan menutup kasus pembunuhan Anji, Andy, dan Fidel. Kepolisian dan pihak sekolah akan berunding dengan orang tua pihak korban mengenai biaya santunan anak mereka—”
             “Jadi, Fidel...” potong Dian.
            Daniel mengangguk pelan. Dian tak meneruskan perkataannya.
            Sosok laki-laki yang mengawasi mereka, menghilang bagai uap air panas. Ia mengulas senyum samar dari bibirnya seraya bergumam,
            “Aku pergi...”
End

No comments:

Post a Comment