Getar SMS masuk ke BlackBerry Icha. Icha bergolek
santai di ranjangnya, langsung menyergap BlackBerry. Ia membuka kunci tombol, membaca
isi SMS tersebut.
Icha, kamu lagi
di rumah?
Ya.
Memangnya ada apa?
Coba
lihat dari jendela.Aku sedang berada di depan rumahmu.
Icha tersentak membaca balasan SMS
dari Aldian. Seakan tak percaya, Icha beringsut dari ranjangnya menuju ke
jendela. Selepas ia menyingkapkan jendelanya, benar saja Aldian sedang berdiri
di luar pagar rumahnya. Dengan kemeja bergaris-garis coklat mengenakan celana
panjang longgar, Aldian memegang sesuatu di tangan kanan sambil disembunyikan .
Tak terpikirkan sama sekali, Aldian
akan melakukan kunjungan mendadak seperti ini. Tak mau membuat Aldian menunggu
lama, Icha buru-buru keluar dari kamar hendak membukakan pagar agar Aldian
segera masuk.
Sekitar lima menit Icha sampai di
pagar. Sebelumnya, ia harus mengganti piyamanya dengan baju yang lebih sopan.
Icha mengambil kunci dari kantong
sambil dimasukkan ke dalam gembok lalu menarik gagang pintu pagarnya. Aldian
yang sudah lama berdiri, masuk dengan perasaan kaku dan agak canggung. Icha
dapat melihatnya melalui gerak tubuh.
Kini Aldian sudah masuk. Aldian berjalan
bersama dengan Icha ke ruang tamu. Aldian jadi salah tingkah dekat dengan Icha.
Ia menjadi tak berani menatap Icha.
Icha menyuruh Aldian duduk sambil
menunggu dirinya datang membawa air minum. Sementara Icha pergi, Aldian harus
berembuk dengan pikirannya sendiri—apa kata-kata yang pas untuk mewakili
perasaannya pada Icha. Aldian akan menyatakan cinta pada Icha dengan momen yang
ada, saat ini juga.
Icha sudah tiba dari dapur dengan
membawa sebuah nampan yang di atasnya sudah tersedia segelas sirup dan cemilan
kecil. Anggunnya Icha membawa nampan makanan, membuat Aldian tergugah hatinya.
Semakin dalam perasaannya tertanam pada Icha.
Icha sudah menyimpuhkan kedua
kakinya, meletakkan segelas sirup dan cemilan itu di atas meja ruang tamu.
Kemudian, duduk di hadapan Aldian.
“Tumben, kamu datang mendadak. Ada
apa? Ngomong-ngomong, apa yang berada di belakang tanganmu?“ Berbagai lontaran
pertayaan terucap begitu saja dari mulut Icha. Sekarang , Aldian diam membisu.
Ia berusaha menarik tangan kanannya yang gemetar ke depan, seperti ingin
memberikan sesuatu. Icha terus bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya
akan diberikan Aldian.
“Icha, kamu mau nggak jadi pacarku?“
Aldian sudah melepaskan kata-kata mujarab yang selama ini dipendamnya. Mulut
Icha menganga. Ia terkesima. Di depannya, ada seorang lelaki pendiam dan kutu
buku sudah menyatakan cinta padanya.
Binaran mata Aldian yang cerah,
mengisyaratkan kalau dia menginginkan Icha menjadi miliknya—seutuhnya. Tapi tak
begitu dengan Icha. Alis matanya mengkerut, wajahnya tertekuk. Ada sesuatu
begitu mengganjal perasaannya.
“Maaf, aku tidak bisa, Aldian...“
Rasanya bumi bergoncang hebat,
meruntuhkan segala keindahan menjadi serpihan kehancuran. Begitu pula dengan
perasaan Aldian. Mata sipitnya menjadi sedikit terbuka. Ia menggelengkan
kepalanya, tak percaya dengan apa yang dikatakan Icha. Melihat reaksi Aldian
spontan tertegun, Icha menjelaskan jawaban atas penolakannya pada Aldian.
“Aku sudah memiliki pacar, Aldian.
Namanya Daniel. Dia bersekolah di SMA Negeri 2. Kami sudah berpacaran hampir
setahun. Sekali lagi, aku minta maaf, Aldian. Aku tidak bisa.“ Icha memejamkan
mata sejenak kemudian menghela nafas pendek. Ia berharap Aldian bisa menerima
alasan yang diutarakannya. Setidaknya, ia telah jujur pada Aldian.
Aldian sendiri masih diam menekur
diri. Tatap matanya mengawang jauh, menembus alam pikirannya. Ia galau. Entah
apa yang akan katakannya untuk menanggapi alasan dari Icha.
“Tidak apa-apa, Icha. Seperti yang
pernah kukatakan, menjadi temanmu saja, aku sangat senang. Tidak mungkin aku
memaksamu, bukan? Tapi maukah kamu terima bunga ini?“ Aldian menegakkan
kepalanya sambil memberikan setangkai bunga mawar kepada Icha.
Icha mengangguk pelan seraya meraih
bunga yang diberikan Aldian untuknya.
“Sepertinya aku harus pulang.“ Aldian
melirik arloji di tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00.
“Selamat tinggal Icha. Sampai jumpa esok.“ Aldian berdiri dari tempat ia duduk. Ia hanya menyunggingkan senyum kecil sambil melambaikan tangan. Ia akan beranjak pergi dari rumah Icha.
“Selamat tinggal Icha. Sampai jumpa esok.“ Aldian berdiri dari tempat ia duduk. Ia hanya menyunggingkan senyum kecil sambil melambaikan tangan. Ia akan beranjak pergi dari rumah Icha.
Icha berjalan menuju ruang tamu,
membuka pintu luar agar Aldian bisa keluar lebih cepat. Sejauh ini, tak ada
tatap kesedihan atau penyesalan terbias dari mata Aldian. Ia terlihat
biasa-biasa saja. Tak tersirat perasaan negatif di sana, bahkan ia sempat bertanya
mengapa Icha terus memandangnya penuh heran.
“Aldian, terimakasih atas bunganya.
Aku suka. Sampai jumpa esok. Selamat malam.“ Icha mengucapkan salam berpisah
pada Aldian. Tangannya masih memegang erat tangkai bunga tersebut.
Aldian mengambil sepeda yang
tergeletak di pekarangan. Dirinya membuka engsel gerbang, lalu ia mengayuh
sepedanya menembus kesunyian malam.
Icha terus menatap Aldian yang perlahan
menjauh dari kediamannya. Dalam hatinya, ia tak sanggup mengatakan kebenaran
itu pada Aldian. Rasa bersalah mulai mengusik hatinya. Ia takut hal tersebut
akan menyakiti hati dan perasaannya. Jika ia begitu mudahnya menerima cinta
Aldian, itu sama dengan mempermainkan perasaan Daniel. Inilah dilema.
Icha menatap lekat setangkai bunga
yang berada dalam genggamannya. “Kamu datang terlambat, Aldian. Hatiku sudah
dimiliki orang lain. Mengapa kau datang di saat aku sudah dimiliki?“ berbagai
ungkapan penyesalan memenuhi relung batinnya. Tak mau dikacaukan oleh perasaannya
sendiri, Icha memilih masuk ke dalam rumah.
Icha membawa dirinya dalam baringan
ranjang empuknya. Ia meletakkan bunga pemberian Aldian di samping bantal.
Pikirannya masih saja tertuju pada Aldian. Ia berharap Aldian baik-baik saja.
Semakin jauh ia berpikir akan Aldian, entah mengapa dirinya merasakan Aldian ada sangkut pautnya dengan pembunuhan Anji dan Andy. Jika dipikir baik-baik, bagaimana Aldian bisa melakukan perbuatan sekeji itu. Bahkan, dirinya saja sering menjadi korban bullyFidel dan teman-temannya.
Semakin jauh ia berpikir akan Aldian, entah mengapa dirinya merasakan Aldian ada sangkut pautnya dengan pembunuhan Anji dan Andy. Jika dipikir baik-baik, bagaimana Aldian bisa melakukan perbuatan sekeji itu. Bahkan, dirinya saja sering menjadi korban bullyFidel dan teman-temannya.
Icha menganalisis dengan berbagai
dugaan dan keterangan yang ia dapatkan selama meneliti ini. Pertama, waktu Anji
ditemukan tewas di kawasan perumahan Air Lihas. Menurut keterangan polisi,
mayat Anji ditemukan pada pukul tujuh tepat
saat SMS masuk ke Black Berry-nya. Di
sana Aldian bilang ia tak jadi datang ke rumahnya karena ban sepedanya bocor.
Satu hal yang masih menjadi pertanyaan, di manakah posisi Aldian saat kejadian
tersebut? Itulah yang tidak dijelaskan Aldian dalam SMS-nya.
Kedua, Aldian pernah mengatakan
padanya kalau ia pergi mengunjungi proses pemakaman Anji. Pertanyaan lain adalah
pukul berapa dia tiba di sana? Apakah dirinya bertemu dengan Andy? Menurut
keterangan yang didengarnya dari kepolisian, Andy dibunuh setelah pemakaman
selesai. Dan apa mungkin Aldian datang di saat pemakaman usai?
Belum siap pikirannya menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebuah panggilan masuk berdering keras ke BlackBerry-nya. Ia melihat nama yang
tertera di layar—Aldian. Tanpa ragu ia mengangkatnya.
“Icha cepat datang ke sini! Pembunuh
itu sudah membunuh paman dan bibiku! Cepat! Dia mengincarku! Aku bersembunyi...
Tut tut...“
Icha merasa Aldian dalam bahaya
besar. Pembunuh itu akan segera mengincar nyawa temannya. Ia tak bisa tinggal
diam. Ia harus segera pergi ke rumah Aldian. Sebelumnya, Icha sudah meng-SMS pacarnya, Daniel,menjemputnya di
depan rumahnya. Icha menjemput jaket yang tergantung di pintu kamarnya dan langsung
dikenakannya.
Dari tadi, Icha gelisah tak menentu
dalam batinnya. Kekhawatiran terus menghantuinya,. Takut terjadi apa-apa dengan
Aldian. Sekian lama menunggu, akhirnya Daniel sudah tiba di hadapannya.
“Lama sekali!“ nada bicara Icha
keras. Dirinya naik ke atas jok belakang lalu menyuruh Daniel mengendarai
sepeda motornya lebih cepat.
“Apa yang sebenarnya terjadi?“ tanya
Daniel sambil memacu gas. Ia menanyakan alasan pacarnya menyuruhnya cepat-cepat.
“Aldian sedang dalam bahaya. Aku tak
punya banyak waktu menjelaskan.“ Matanya terus tertuju pada layar BlackBerry
berharap SMS atau miscall dibalas
oleh Aldian. Namun, sudah lewat setengah perjalanan pun tak mendapatkan balasan.
Daniel mengerti kondisi pacarnya,
menarik gas lebih kencang agar lebih cepat tiba di rumah Aldian.
10 menit terlewati. Mereka sudah
sampai di rumah Aldian. Rumah dengan lampu depan menyala terang tapi lampu bagian
dalam padam.
“Lebih baik kamu tunggu di sini.
Tunggu aku tiba bersama pihak kepolisian. Biar kita masuk bersama-sama. Akan
sangat membahayakan jika kau masuk sendirian.“ Danni dengan sigap menahan
tangan Icha. Hampir saja Icha melangkah menuju rumah.
Icha terpaksa menuruti apa yang
dikatakan Danni. Ia menunggu sembari melihat pacarnya membawa sepeda motornya
menjauh dari hadapannya. Melihat pacarnya sudah semakin jauh, Icha pelan-pelan
berjalan menuju ke rumah Aldian. Ia yakin sang pembunuh masih berada di dalam
rumah dan Aldian masih bersembunyi. Sebelum masuk, Icha memungut sebuah bambu
yang bisa dijadikan sebagai senjata.
Kini Icha sudah berada di muka
pintu. Ada rasa gentar ketika tangannya menyentuh gagang pintu. Icha menelan
ludah kering yang terasa begitu mencekik kerongkongannya. Dengan keberanian
yang ada, tangan kanannya sudah menggenggam gagang pintu itu.
Dengan sedikit dorongan tangannya,
pintu itu terbuka. Jantungnya berdetak keras. Matanya agak kesulitan melihat
karena situasi rumah begitu gelap. Icha harus ekstra hati-hati, bisa saja
pembunuh tersebut sudah berada di belakangnya, mengincarnya ketika ia sedang
lengah.
Derap langkah kaki amat lembut itu
sejalan dengan suara detak jantungnya. Penuh kewas-wasan, penuh perhitungan di
setiap hentakan.
Bola matanya berputar liar mengamati
gerak-gerik mencurigakan walau kegelapan menghalangi pandangannya. Sandalnya
seperti menginjak sesuatu—cairan. Kental dan agak lengket. Icha mengangkat
sedikit kakinya, mencolek cairan yang menempel di tapak sendalnya.
Icha membaui cairan itu. Amis dan
warnanya merah dan ternyata—darah. Ia terkesiap. Darah itu tidak berhenti di
tempatnya berdiri. Ada banyak jejak-jejak darah mengarah pada suatu tempat.
Awalnya, Icha takut mencari tahu ke
mana jejak-jejak darah itu akan berhenti. Namun karena niatnya ingin menemukan
Aldian, ia memutuskan terus berjalan meskipun rasa degdegan di dada makin
mendesak.
Pelan-pelan, Icha mengikuti ceceran
darah tersebut. Begitu panjang tapi ceceran tersebut berhenti pada suatu kamar.
Lampunya menyala. Pintunya terbuka lebar. Icha tak mau berpikir macam-macam. Icha
mencoba menguatkan hati sambil melangkah ke sana.
Deru nafas tersendat. Bola matanya
membulat . Mulutnya ternganga.
Icha menemukan mayat laki-laki dan
perempuan terkapar bermandikan darahpenuh luka di sekujur tubuhnya. Tapi bagian
yang paling mengerikan adalah sepasang tangan dan kaki sudah terpotong-potong, dibiarkan
terbuang begitu saja .
Mereka adalah paman dan bibi Aldian.
Mati mengenaskan di tangan pembunuh itu.
“Aldian! Aldian!“ Icha menyingkir
dari sana sambil berseru memanggil nama Aldian.
“Kamu sudah datangya, Icha.“ Suara
itu muncul disertai dengan lampu ruang tamu menyala tiba-tiba.
“Aldian,“ Icha lantas berbalik badan
begitu mendengar suara Aldian. Suara itu memang suara Aldian . Tapi ada yang berbeda.
Tatapan dan roman sungguh berbeda. Tak seperti Aldian yang ia kenal . Dingin,
picik dan bengis. Bola matanya memperlihatkan kekosongan yang begitu dalam.
Sangat dalam.
Aldian menghampiri Icha dengan
tangan memegang sebilah golok berlumuran darah. Baju dan tangannya juga
ternodai cipratan darah.
Icha serasa tak punya kekuatan untuk
membela dirinya. Bambu yang ringan pun menjadi berat diangkat. Aldian sudah
berada di hadapan Icha. Lutut Icha lemas. Diam mematung memandangi Aldian.
“Ja-jadi kau?! Ti-tidak mungkin!“
Aldian diam. Secara mengejutkan, ia
menjenggut rambut Icha. Icha mengaduh kesakitan. Bambu yang digenggamannya
terlepas. Icha meronta-ronta sambil memukul tangan Aldian, tapi Aldian tak
merespon malah semakin menguatkan genggamannya, menarik Icha mengikuti ke mana
dirinya pergi.
Icha pasrah. Berapa kali pun ia memelas
dan memohon, takberpengaruh pada Aldian. Air matanya tak henti menetes ,
berusaha menahan rasa sakit di ujung rambutnya. Dalam hati, ia juga tak henti-henti
berdoa, meminta kejaiban datang menolong dirinya.
Mereka sudah tiba di sebuah ruangan berdebu,
pengap danminim pencahayaan. Aldian mencampakkan tubuh Icha dengan kasar. Usai
menutup pintu, dengan sigap Aldian mengambil segulung tali tambang, diikatkan
pada lengan dan tungkainya.
“Kenapa kamu melakukan hal ini,
Aldian? Aku sungguh tidak percaya. Ini bukan kamu ‘kan, Aldian?“ suara Icha
menjadi lebih serak.
“Tapi inilah kenyataannya. Akulah
Aldian. Aldian temanmu. Aldian yang selalu menjadi bulan-bulanan di sekolah.
Aldian si penyendiri. Aldian si pemalu. Aldian yang begitu menginginkanmu...
Icha.“ ujar Aldian sambil meletakkan
goloknya di atas sebuah meja kecil. Dirinya duduk seperti orang bersila di
depan Icha .
“Kamu tak perlu menjadi seperti ini,
Aldian!“ pekik Icha. Ia tak mampu menahan ledakan emosinya melihat kelakuan
Aldian.
“Tapi kamulah yang membuat aku
seperti ini, Icha! Ketika aku menjalani hari-hariku yang penuh kesepian, kamu
datang di saat yang tepat. Ya, kamu datang seperti seorang malaikat penyelamat.
Tapi semakin aku dekat denganmu, semakin Fidel dan teman-temannyaterus berusaha
menyingkirkanku,“ Aldian tak kalah emosi mendengar pernyataan Icha.
“Orang tuaku sudah lama meninggal dunia akibat
kecelakaan. Kamu tahu bagian terburuk dari semua itu, Icha? Aku masih hidup dan
menyaksikan orang tuaku tewas di depan mataku! Di saat itu aku sadar, aku
menjadi yatim piatu, sama sekali tak punya saudara. Tapi, semenjak kecelakaan seperti
punya kemampuan istimewa. Seperti indra keenam. Aku bisa melihat wujud orang
tuaku tapi tidak begitu dengan orang-orang di sekitarku. Mereka menganggap aku
gila.
Aku ditampung di rumah pamanku. Meskipun pamanku
baik kepadaku , tapi tidak demikian bibiku. Dia tak pernah menganggap
keberadaanku di rumah ini. Aku seperti hantu baginya.“ Aldian mengambil jeda sejenak
lalu melanjutkan cerita.
“Pasti kau juga mengira-ira siapa yang telah
membunuh Anji dan Andy ‘kan? Selama ini aku selalu bersabar menghadapi mereka
bertiga . Akan tetapi , kesabaran juga ada batasnya. Aku sudah merencanakan
semuanya,begitu terperinci. Aku tahu Anji selalu pulang tepat setengah tujuh
dari lapangan bola. Ini kebetulan sekali karena rumahmu pun melewati rumahnya,
bukan? Aku pura-pura pingsan begitu Anji akan melewati kawasan perumahan Air
Lihas. Begitu ia mendekat, langsung kutancapkan golokku ke keningnya!“ Aldian
memperagakan sendiri bagaimana ia menancapkan goloknya.
“Dan Andy, aku hampir menunggunya sejam lebih begitu
para pelayat bubar meninggalkan pemakaman. Satu per satu para pelayat mulai pergi
hingga tersisa dirinya seorang. Aku sudah bersiap-siap dengan bersembunyi di
balik rimbunan pohon beringin. Ketika ia lengah, kusergap dia dan kubantai
habis-habisan di sana.“ Aldian menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Icha
bungkam. Tak terlintas di pikirannya, bahwa orang seperti Aldian bisa melakukan
pembunuhan dengan sangat terencana namun sangat keji.
“Untuk Fidel, kau tahu, aku betul-betul tidak
menyukai lelaki satu ini. Aku ingat bagaimana dia mengancam dan menghajarku
sampai babak belur karena kamu mengantarku pulang, Icha. Kuharap kau masih ingat.
Tapi, aku tidak akan menceritakan bagaimana aku menghabisi Fidel karena sudah
kupastikan nasib dia tak jauh beda dengan teman-temannya. Aku mau bicara
tentang kamu, Icha,“
Aldian mengubah sorot matanya yang tajam menjadi
sedikit lembut. Icha menyadari perubahan tingkah laku Aldian, dia mengambil
sikap waspada, bisa saja Aldian melakukan perbuatan nekat padanya.
“Icha, sejak kau masuk ke sekolah ini, aku selalu
mengagumimu. Tapi kau tahu kan, kamu itu primadona sekolah sedangkan aku hanya
pecundang yang tak dianggap. Banyak lelaki ingin dekat denganmu, tapi entah
mengapa kamu memilih dekat denganku. Walau dianggap sebagai teman, rasanya aku senang
sekali. Setelah aku menyingkirkan tiga tikus sialan itu, aku berniat ingin
mengutarakan perasaanku sama kamu. Tak peduli apa statusku di sekolah.“ Aldian
mendekatkan wajahnya ke wajah Icha. Ia memalingkan wajahnya. Icha tak ingin
melihat raut wajah Aldian yang memuakkan.
“Awalnya, aku takut bahkan tak punya keberanian mengungkapkan
semua ini padamu. Tapi, aku terus mendorong diriku sendiri kalau semua akan
berjalan sesuai keinginan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Aku hancur
begitu mendengar kau sudah dimiliki orang. Hati kecilku terus memberontak,
memaki lelaki pujaan hatimu itu. Aku pulang ke rumah, menyesali kenyataaan yang
terjadi malam itu, Icha,“ Dari sudut pelupuk matanya , Aldian menyadari kalau
air matanya menetes membasahi pipi. Aldian memalingkan sedikit wajahnya, mengusapnya
dengan lengannya.
Air mata kesedihan lenyap tergantikan seringai lebar
mengerikan. Aldian beranjak dari hadapan Icha . Ia mengambil golok yang sedari
tadi tergeletak, digenggam erat dalam tangannya.
“ Aku berpikir, kau sama saja dengan bibi dan pamanku.
Kau jahat. Sama jahat dengan Fidel dan teman-temannya. Sangking kesalnya, kubunuh
saja paman dan bibi sebagai pelampiasanku. Kau lihat, banyak sekali ‘kan darah
yang menempel?“ Aldian memperlihatkan golok itu di depan mata Icha. Icha
bergedik ngeri. Darahnya berdesir kencang mengalir ke otaknya. Serasa ingin
pecah, mungkin meledak.
“Kejam! Biadab! Kau tak punya perasaan!“ maki Icha.
“Diam kau! Sebentar lagi, kau pun akan mati! Tak
usah banyak omong!“ sahut Aldian penuh kekesalan dan amarah meluap-luap. Ia
menempelkan ujung lancip golok itu di leher Icha. Ia berusaha menggertak Icha.
Melihat ancaman yang dilakukan Aldian, membuat air
matanya meluruh pelan-pelan. Ia sadar hidupnya akan berakhir di tangan Aldian.
Icha menatap mata Aldian dengan penuh rasa iba dan nelangsa. Ia mengakui memang
dirinya juga berperan menyebabkan Aldian seperti ini.
Ia dekat dengan Aldian tanpa mengetahui bahwaAldian
menyukai dirinya. Itu pun ia tahu setelah Aldian mengungkapkan perasaannya.
Tanpa sadar, ia juga memberi harapan pada Aldian tanpa membalas perasaannya.
Di tengah rasa sesal, suara gebrakan pintu
mengagetkan mereka.
Braakkk!
Aldian tanggap menutup mulut Icha. Ia berontak
dengan menyikut perut Aldian tapi Aldian menempelkan lagi golok itu di lehernya
membuat nyali Icha ciut seketika.
“Sekali lagi kamu melawan, golok ini takkan segan memutus
lehermu!“ bisik Aldian dekat daun telinga Icha. Ia yakin pasti sebelum Icha
datang ke sini, mereka sudah menghubungi polisi terlebih dahulu.
Derap langkah kaki terdengar jelas sampai ke gudang.
Mereka diam sesaat dalam keheningan yang dingin danmencekam. Sepertinya mereka
sedang mencari tempat dirinya menyekap Icha. Mau tak mau, ia harus berurusan
dengan para polisi yang membawa pistol.
Aldian melepaskan tangan kanan yang membekap mulut
Icha tapi tangan kirinya tetap memegang golok. Ia mengutak-atik kantong
celananya mencari sesuatu yang amat dibutuhkannya.
Matanya terbeliak begitu mengeluarkan benda dalam
kantongnya. Sebuah sapu tangan. Sapu tangan itu ditempelkan ke wajah manis Icha.
Ketika sapu tangan itu ditempelkan, ada aroma menyengat menusuk indra
pembaunya. Kepalanya pusing berat. Mataberkunang-kunang. Ditambah lagi,
tubuhnya serasa lemah.
Aldian menyimpulsenyum kemenangan melihat kondisi
Icha sekarang. Icha tak bisa melakukan apapun bahkan berteriak sulit sekali.
Aldian memotong tali tambang yang membelenggu tubuh Icha,
membiarkan tubuh semampainya terkulai tak berdaya.
Ia beralih sebentar menuju pintu. Dilihatnya Aldian
sedang memutar-mutar kunci dengan sangat hati-hati. Dalam pikirannya, sekecil
apapun suara pasti akan terdengar. Aldian menekan gagang pintu. Celah pintu
sedikit tersingkap.
Sementara Icha masih tergeletak, Aldian datang
kembali, mengangkat tubuh Icha yang tak terlalu berat. Aldian memanggul tubuh
Icha seperti karung beras di pundak kiri.
Aldian berjinjit. Ia mengintip dari celah pintu melihat
apakah kondisi sudah aman. Kelihatannya polisi belum menyisir sampai ke gudang.
Ia sudah mematikan seluruh lampu agar polisi sulit menemukan dirinya. Celah
pintu yang dibuatnya tak leluasa mengeluarkan tubuh Icha . Didorongnya pelan menggunakan
ujung kaki kanannya. Setelah celah pintu sudah cukup pas, Aldian menjulurkan
kepalanya disusul badannya serta tubuh Icha.
Aldian tetap menjaga derap kakinya agar tak membuat
suara-suara mencurigakan. Ia juga memastikan Icha tak melakukan hal-hal yang
membuat perhatian para polisi tertuju ke tempatnya. Keadaan Icha masih sama.
Lemas dan tak bertenaga.
“Setelah kita menjauh dari sini, kita punya waktu
berdua, Icha sayang.“ Aldian berbisik manja di dekat telinga Icha. Icha
meneteskan air mata, mendengar apa yang akan dilakukan Aldian padanya. Ia tak
bisa melakukan apapun dengan keadaan tubuh yang lemah.
Dirinya tak mau menyerah begitu saja. Ia terus
mencari akal, menyelematkan dirinya dari genggaman Aldian. Icha terus
memutar-mutar otaknya, berharap sebuah ide terlintas di benaknya.
Sorot matanya tertuju pada sebuah sapu lidi yang
diletakkan bersandar di samping pohon mangga. Meskipun badannya agak sulit
digerakkan, Icha tetap gigih mengerakkan kakinya agar bisa menyenggol ujung
sapu lidi. Dengan segenap kekuatananya, kakinya bisa menyentuh ujung tongkat
sapu lidi.
Taakkk!
Sapu lidi terjatuh dan menimbulkan suara. Salah
seorang polisi yang mendengar suara benda terjatuh, langsung menghardik.
“Siapa di sana?!“ Suara itu betul-betul mengejutkan
Aldian. Ia cepat-cepat menyelinap di sebuah pohon.
Di balik pohon itu, jantung Aldian berdegup keras,
melawan rasa takut dan khawatir begitu memuncak. Untung saja, para polisi juga
tak melihatnya menurunkan tubuh Icha.
Sepertinya, pengaruh obat bius itu sudah mulai
berkurang. Rasa pusing dan berkunang sudah hilang, tapi badannya masih saja
lema. Irama jantung Aldian semakin tak teratur seiring derap sepatu pancus
semakin mendekat, kian dekat.
Akhirnya, Aldian keluar dari persembunyiannya. Para
polisi sudah bersiaga dengan pistol tergenggam di tangan. Tangan kiri Aldian mengapit
leher Icha dan tangan kanan memegang golok.
“ Turunkan pistol loe atau gua gorok lehernya!“
gertak Aldian sambil meletakkan golok itu di leher Icha. Mau tak mau, mereka
harus menuruti apa yang diperintahkan Aldian agar pelaku tidak berbuat nekad.
Para polisi menurunkan pistol mereka, membiarkan Aldian bergerak melewati
mereka.
“Icha!“ pekik Daniel yang berada di antara kumpulan
polisi bersenjata itu.
“To-to-long...“ jeritan itu terdengar lemah. Mungkin
pengaruh obat bius itu belum habis sepenuhnya.
Aldian mempercepat langkah kakinya begitu dirasanya
ia sudah jauh dari para polisi. Tangannya masih mengapit leher Icha.
Doorrrr!
Selongsong timah panas dimuntahkan dari ujung pistol.
Aldian melolong kesakitan merasakan sakit di bagian betis. Rupanya, peluru
tersebut mengenainya.
Aldian terus saja berjalan tanpa memperdulikan darah
yang terus mengucur di bagian betisnya.
Melihat sang pelaku yang tidak menghentikan aksinya,
seorang polisi menembakkan peluru ke bagian pangkal pahanya.
Doorrr!
Peluru kedua sudah menembus pangkal paha Aldian.
Kedua kakinya lumpuh. Rasa sakitnya kini bertambah dua kali lipat. Aldian tak
sanggup menahan akhirnya ambruk. Begitu pula dengan Icha. Wajah mereka terjerembap
ke permukaan tanah.
Melihat kondisi Aldian sudah tak berdaya, Icha memanfaatkan
kesempatan untuk bangkit dan berlari dari Aldian. Tapi sialnya, badannya masih
saja lemah.
“Hehehe, jangan sepelekan khasiat obat itu. Meskipun
rasa pusingmu sudah hilang, efek penghilang tenaga itu bisa bertahan sampai
setengah jam dan sekarang tibalah waktumu, Icha!“ ujar Aldian dari belakang. Ia
terkekeh melihat ekspresi kebingungan Icha.
Bersusah payah, Aldian bangkit walaupun dengan posisi
merangkak . Langsung saja, ia meraih golok yang berada tak jauh di depannya.
Sadar bahaya sedang mengincar di depan mata, dengan
sekuat tenaga ia menyeret badannya menjauhi Aldian.Aldian menghunjamkan golok
itu ke arah kaki Icha. Untungnya, Icha lebih cepat mengelak, jika tidak, bisa
saja golok itu akan memutuskan kakinya.
Tak hanya sekali, Aldian berkali-kali menghunjamkan
goloknya membabi buta ke kedua kaki Icha. Satu hunjaman meleset, cuma mengenai
tanah. Namun, Aldian tak mau menyerah begitu saja. Dan kali ini, goloknya
berhasil menyayat daging pahanya.
Arrggghh!
Walau darah mengalir deras, Icha terus saja menyeret
badannya menjauhi Aldian lebih cepat.
Deru nafas Icha tersengal satu-satu. Peluh bercampur
debu mengotori wajah ayunya. Ia merasalelah di bagian tangan karena dirinya
harus menggunakan kedua tangannya untuk menyeret badannya.
Melihat di depannya ada sebuah pohon, Icha memilih
untuk berhenti. Ia betul-betul tak sanggup lagi. Ia sudah pasrah jika harus
mati di tangan Aldian.
“Kelihatannya, kau sudah lelah bermain-main, Icha.
Tapi biarlah. Aku akan akhiri semua di sini,“ Aldian berada tepat di hadapan
Icha. Aldian menegakkan badan dengan bertumpu pada kekuatan lututnya. Ia
meringis kesakitan, mengabaikan rasa nyeri dan pedih di kedua tungkai kakinya.
“Matilah!“ golok teracung di depan matanya, siap
mendarat di kepala Icha.
Aldian mendelikkan kedua bola
matanya. Tak diduga, lelehan darah mengalir dari mulutnya. Golok yang berada
digenggamannya terlepas. Ia jatuh bersujud memuntahkan darah. Aldian meraba
dadanya, melihat darah membasahi bajunya.
Uhuaaaakk!
Muntahan darah terus keluar dari
mulut Aldian. Rasa kasihan muncul dalam diri Icha melihat kondisi Aldian mulai
sekarat.
“Aldian! “ pekik Icha sambil mendekati
Aldian.
“Ja-ja-ngan me-me-no-nolongku!
Pergilah!“ bentak Aldian. Mulutnya dipenuhi bercak darah. Tangannya berusaha
menghardik Icha agar tak mendekat.
Icha mengeluarkan sapu tangannya, mengelap
darah yang tersisa di mulut Aldian.
“Icha..,. kau...“ Aldian tak sadar
air matanya berhamburan. Aldian tak menyangka di saat dirinya berusaha membunuhnya,
Icha masih sempat berbuat baik padanya. Ketika ajal akan menjemput nyawanya, ia
menatap lekat-lekat ke dalam bola mata Icha. Berusaha menerjemahkan arti
pertolongan Icha untuknya .
“Terimakasih Icha, aku pergi...“
suara Aldian tak terdengar lagi. Tubuh malang Aldian ambruk. Ia telah
mengembuskan napas terakhir.
Icha terpaku menatap mayat Aldian.
Ia meneteskan air mata membayangkan perjalanan kehidupan Aldian yang selalu
menderita. Ia hanya membutuhkan kasih sayang dari seseorang yang benar-benar
menyayanginya. Tak lebih dari itu.
“Icha, kau tak apa-apa?“ tanya Danni
ditemani tiga orang polisi menemui Icha yang masih bersandar di bawah pohon.
“Ya tapi tidak untuk yang satu ini,“
Daniel melihat kondisi mayat Aldian
dipenuhi darah di bagian kaki terutama di dada. Rasa penyesalan mendalam turut
meliputi dirinya.
“Semua sudah berakhir. Aldian sudah
mendapatkan ganjarannya. Biarlah polisi yang menangani selanjutnya,“
“Kau benar. Dan sepertinya,pengaruh
obat itu sudah habis. Badanku tidak lemas lagi.“ Icha mencoba berdiri dengan
berpegangan pada batang pohon di belakangnya. Icha menghampiri Daniel
terpincang-pincang.
“Ayo kita pergi.“ Danni mengajak Icha
beranjak dari sana . Ia menatap mayat Aldian sekali lagi sebelum mayat Aldian
dikebumikan besok.
Suasana prosesi pemakaman hanya
dihadiri oleh tujuh orang termasuk Icha, Ovy, Diana, Daniel dan tiga kerabat
jauh Aldian. Tidak ada karangan bunga di sana. Batu nisan yang menancap di
tanah merah menjadi saksi bahwa kehidupan manusia akan menuju pada suatu fase
yaitu kematian. Kematian bisa menjemput siapa saja tidak peduli apakah kau
seorang pemuda yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuanmu.
“Mungkin Aldian akan lebih bahagia
di surga sana. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Ia akan ditemani
malaikat-malaikat surga menyenandungkan sajak-sajak indah,” ujar Icha nelangsa.
“Kalian tahu, kepolisian akan
menutup kasus pembunuhan Anji, Andy, dan Fidel. Kepolisian dan pihak sekolah
akan berunding dengan orang tua pihak korban mengenai biaya santunan anak
mereka—”
“Jadi, Fidel...” potong Dian.
Daniel mengangguk pelan. Dian tak
meneruskan perkataannya.
Sosok laki-laki yang mengawasi
mereka, menghilang bagai uap air panas. Ia mengulas senyum samar dari bibirnya seraya bergumam,
“Aku pergi...”
End

No comments:
Post a Comment