Wednesday, 18 November 2015

Tumbal Arwah Jelangkung - Dua

            Hoaamm...“ Lina menguap lebar. Dirinya barusan bangun tidur.
            Matanya dimelekkan ke arah jam dinding. Ternyata waktu menunjukkan pukul 06.00, sedangkan sekolah masuk pukul 07.15. Lina terburu-buru menuju kamar mandi dengan baju piyama masih menempel di badan. Usai mandi, dia berlari ke kamar untuk berpakaian. Keluar dari kamar pun, Lina masih dalam keadaan kurang rapi. Seragam sekolahnya masih belum dimasukkan ke dalam roknya. Rambut panjangnya belum tersisir rapi.
            “Lina, ya ampun. Lihat penampilan kamu. Seperti bukan anak sekolah saja.“ Omel ibunya yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
            Dia coba menoleh ke cermin sebentar. Dan benar yang dikatakan ibunya. Dia segera mengambil sisir yang berada di sebelah cermin itu kemudian merapikan seragamnya. Yakin penampilannya sudah cukup rapi, dia langsung menuju meja makan. Di sana, Rafly—adiknya dan ayahnya duduk di meja makan, menunggu ibu menyiapkan sarapan pagi.
            “Kakak, ada apa sih teriak-teriak di kamar tadi malam?“
            “Jadi kamu juga tahu, dik?“
            “Ya jelas tahulah. Sebenarnya, aku juga mau ke kamar kakak, memastikan apa yang terjadi. Tapi, aku juga mengantuk sekali, jadi aku biarkan saja. Mungkin kakak sedang bermimpi buruk.“ tutur Rafly sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
            “Semalam kakak bermimpi, seorang perempuan hendak membunuhku. Saat kakak mau melarikan diri, tiba-tiba kaki kakak tidak bisa bergerak. Disitu, dia langsung mencekik seperti ini,“ katanya sambil berpura-pura mencekik leher adiknya.
            “Ah, sudahlah kak,“ Rafly menyingkirkan tangan kakaknya yang hendak mencekiknya. “Lagian itu cuma hanya mimpi saja, lihat sudah jam berapa ini?“ pungkasnya sambil melirik ke jam dinding.
            “Oh ya.“ Lina langsung menghabiskan nasi yang tertinggal di piringnya. Ia langsung meneguk susu yang disediakan ibunya.
            “Kami pergi ya, bu!“ sorak mereka bertiga sambil melambaikan tangan usai berpamitan.
            Ayah pergi ke kantor dengan menaiki sepeda motornya. Sementara Lina dan Rafly menunggu mobil datang. Tak lama mereka menunggu, mobil sudah berhenti tepat di hadapan mereka.
            Mobil melaju kencang membawa penumpang ke tujuan masing-masing. Terlihat dalam mobil didominasi olah anak sekolah. Mungkin yang lain diisi pegawai negeri dan swasta. Suasana dalam mobil cukup tenang. Penumpang disuguhi dengan alunan musik Pop Barat yang memanjakan telinga yang mendengarkannya. Tapi beda dengan Lina. Ia kelihatan sedang memikirkan sesuatu.
            Dia memutar ingatannya tentang mimpinya semalam. Dalam mimpinya, dia melihat sekelompok wanita sedang menyiksa seorang wanita juga. Dia terus mencoba mengingat apa gambaran yang terjadi dalam mimpinya. Namun, ia tak kunjung mendapat titik terang mengenai keempat wanita yang berada di mimpinya.
            “Ada apa, kak? Apa kakak sedang memikirkan sesuatu?“ tanya Rafly. Alisnya terangkat sedikit ke atas.
            “Gak apa-apa, kok. Kakak cuma sedikit haus saja.“ jawab Lina seraya mengambil botol minuman  di dalam tasnya. Adiknya mengangguk pelan.
            Lina membuka penutup botolnya, menenggak air yang mengalir ke dalam kerongkongannya. Sebenarnya dia tidak merasa haus. Dirinya cuma berpura-pura agar adiknya tidak mengetahui apa yang sebenarnya dia pikirkan.
            Hampir saja. Ujar batinnya.
            Tak terasa, mobil itu sudah tiba di sekolah. Lina menyetop di samping pagar utama sekolah. Bersama dengan adiknya, mereka bergegas menuju kelas masing-masing. Rafly berada di kelas X–2, Lina berada di kelas XII IPA 2. Dia melirik arloji. Ternyata 10 menit lagi, kelas akan dimulai. Untungnya dia belum terlambat. Ketika dia memasuki kelas, dia melihat seorang perempuan berdiri di tembok luar kelasnya. Dia mengenakan baju putih abu-abu. Lina tak mengamati dengan jelas bagaimana rupa wajahnya karena tertutupi oleh rambut panjangnya. Dia merinding ngeri. Gadis itu terus berdiri di tembok luar kelasnya. Lina buru-buru masuk ke kelasnya.
            “Lin, kenapa lo? Kayak habis dikejar setan,“ tanya Shanti di sampingnya.
            “Bukan dikejar tapi ngeliat setan, Shan...“ sahut Lina. Ia meletakkan tas punggung di sebelah Shanti.
            “Yang benar, Lin?“ Shanti sontak kaget.
            “ Iya, beneran. Aku tadi ngeliat pake mata kepalaku sendiri. Dia ada di tembok luar kelas kita,“ jelas Lina.
            “Ah, aku gak percaya. Aku mau mengecek sendiri.“ Shanti keluar memastikan apa yang dikatakan Lina benar.
            Beberapa menit setelah dia meninggalkan ruang kelas , dilihatnya Shanti berlari masuk ke dalam kelas .
            “Shan, lu lihat setannya, enggak?”
            “Gak ada. Malah Bu Hesty sudah mau datang.“
            Para siswa yang mengetahui bu Hesty, guru matematika mereka, akan menuju kelas, segera kembali ke meja masing-masing. Yang tadinya saling bertukar tempat duduk, kini sudah duduk rapi sambil menyiapkan alat tulis dan buku bacaan mereka.
            Akhirnya, ibu Hesti memasuki ruang kelas. Ia menyapa para siswanya.
            “Selamat pagi, anak-anak,“ sapanya dengan wajah dingin.
            “Selamat pagi, bu.“ jawab mereka serempak.
            Bu Hesty memulai pelajarannya. Sementara itu, Lina dan Shanti sedang membincangkan sesuatu.
            “Masa kamu gak ngeliat hantunya?”
            “Beneran gak ada, Lin. Mungkin kamu cuma salah lihat. Lagipula, mana ada hantu pagi-pagi gini.“ bantah Shanti.
            Ibu Hesty langsung menegur siswanya yang mengobrol saat dia menerangkan pelajaran.
            “Shanti, Lina, apakah itu suara kalian?“
            “I-iya, bu.“ jawab mereka berdua .
            “Sekali lagi ibu dengar kalian berdua berbicara, saya takkan segan-segan mengeluarkan kalian dari kelas.“
            Mendengar ancaman gurunya, mereka berdua terdiam. Mereka mencoba memberi perhatian, berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang dijelaskan. Lina yang sedang memperhatikan gurunya, konsentrasinya terganggu oleh seseorang yang berdiri di depan pintu kelas. Dia mencoba menoleh sekilas. Ternyata itu adalah perempuan yang dilihatnya sebelum ia memasuki kelas.
            Ini sungguh membuatnya terkejut. Dia kembali mengarahkan pandangannya kepada gurunya. Seperti yang dilihatnya barusan. Dia memakai baju putih dengan rok abu-abu, sedang berjalan di sekitar kelasnya. Wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang panjang. Tetapi, dilihatnya lagi dengan jelas—bola matanya kosong. Dia melirik Lina yang sedari tadi memperhatikannya. Lina terdiam tapi tak bisa memalingkan perhatiannya  dari sana. Dia terus berjalan pelan-pelan melewati kelasnya. Langkah kakinya tidak terdengar oleh siapapun seolah dia berjalan tanpa memijak lantai.
            Dia mendadak berhenti. Mengarahkan badannya, berjalan menuju jendela kelasnya. Dia hanya sebentar menampakkan dirinya. Wajahnya menempel di kaca jendela . Dia tersenyum menyeringai ke arahnya. Perasaan takut mulai menyelimuti dirinya. Keringat dingin menetes dari dahinya. Berharap, dia bisa bersuara sedikit. Tapi, jangankan bersuara, bergerak sedikitpun tak bisa.
            “Hei, kenapa lo Lin?“ tegur Shanti sambil menepuk pundak Lina pelan.
            Saat Shanti menepuk pundaknya, baru dia bisa berbicara dan bergerak bebas. Tidak seperti tadi. Semua sendi-sendi di tubuhnya terkunci begitu pula dengan mulutnya.
            “Shanti... Lina...“ tegur gurunya.
            “Nanti kita bicarakan di kantin.”
            Bel tanda istirahat sudah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas. Sebagian memilih ke kantin dan sebagian lagi memilih di dalam kelas. Dua perempuan berjalan santai menuju kantin. Keduanya akrab dan intim seperti saudara kandung. Tak terasa mereka sudah sampai di kantin. Mereka mengambil makanan ringan seperti roti, wafer atau jajanan lain ditambah dengan aqua gelas. Mereka mencari tempat duduk terujung. Kebetulan, suasana kantin tidak terlalu ramai.
            “Lin, kenapa kamu dari tadi ngeliat jendela mulu? Emangnya ada apa sih di jendela?“
            “Hantu itu terus saja menatap aku, Shan. Kamu tahu, wajahnya pucat banget walaupun tertutup sama rambut panjangnya. Dan yang lebih menyeramkan lagi, bola matanya kosong...“
            “Itu cuma perasaan kamu aja, Lin. Kamu keliatannya kayak kurang tidur. Makanya kalau tidur, jangan terlalu larut. Ya sudah, bayar dulu makanan sama minumanmu, kita masuk ke kelas.“
            Mereka bergegas sambil memberikan beberapa uang kepada tukang kantin. Keduanya berlari kecil menuju ruang kelas.
            Proses belajar masih berlanjut. Para murid terlihat serius tetapi ada juga murid yang duduk di bangku terbelakang mencuri kesempatan, membicarakan sesuatu yang tentu topiknya hanya mereka yang duduk sebangku yang tahu. Selain itu, ada juga murid yang terlihat serius memperhatikan, tetapi gurunya tahu, perhatiannya bukan tertuju dengan apa yang dijelaskannya, tetapi pikirannya entah melayang ke mana. Juga, mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang diawasi oleh sosok yang tak kasat mata.
            Tak terasa pelajaran sudah berakhir. Bel tanda pulang berdering nyaring. Guru pun menyudahi pelajaran mereka hari ini sambil keluar dari ruangan kelas. Begitu guru mereka keluar, para murid berdesakan mendahului satu sama lain.
            Di sisi lain, dua perempuan terlihat gelisah. Mereka duduk menunggu seseorang datang.
            “Mana nih si Doni dan Prakoso? Sudah hampir setengah jam ini kita menunggu di sini,“ keluh Lina.
            “Kita tunggu saja sebentar lagi. Pasti mereka datang kok,“ sahut Shanti tenang.
            “Maaf, kami telat,“ suara lelaki menyela di tengah percakapan mereka.
            Tiga orang lelaki berada tepat di hadapan mereka. Lina hanya mengenal Doni dan Prakoso tapi dia tak mengenal satu laki-laki yang bersama dengan mereka.
            “Don, ini siapa?“ tanya Lina sambil menunjuk ke arah laki-laki itu.
            “Oh, ini namanya Indra.  Perkenalkan bro, ini teman-teman gue,“ ujar Donni sambil memperkenalkan Lina dan Shanti.
             “Lina,“ sapa Lina sambil menjabat tangan laki-laki itu.
            Disusul satunya lagi, “Shanti.“
            Mereka berencana melakukan ritual pemanggilan jelangkung sekali lagi di rumah kosong itu. Sebenarnya, Indra bukanlah teman satu geng mereka. Sebelumnya, Heru sudah meminta izin kepada Doni. Dia tidak bisa ikut dengan mereka karena dia pergi kerja kelompok dengan teman-temannya. Hal ini tidak membuat Doni kehabisan akal. Ia mengajak teman sebangkunya, Indra. Indra tak menolak sama sekali ajakan mengikuti ritual pemanggilan jelangkung bersama teman-temannya nanti. Dia sendiri sangat menyukai hal-hal berbau mistik dan supranatural seperti jelangkung, pelet, susuk dan sebagainya. Lagipula, ayahnya Indra juga seorang paranormal.
            Doni sudah membuat janji kepada teman-teman nya untuk melakukan ritual itu hari ini tanpa memberitahu kepada mereka bahwa ada seseorang yang akan bergabung ,
            “Don, kamu kenapa sih ngajak anak orang? Ini tuh terlalu berbahaya. Gak ingat apa kejadian yang semalam itu,“ bisik Lina sambil menyikut pinggang Doni.
            “Biarin aja, lagipula dia juga mau kok.“ pungkas Doni.
            Sedang asyiknya berbincang, seorang wanita dengan menggunakan pakaian dinas pegawai negeri lewat di hadapan mereka.
            “Apa yang kalian lakukan di sini?“ tanya wanita itu.
            “Oh, enggak ada apa-apa, bu. Cuma mau diskusi tentang pelajaran saja,“ ujar Donni sekenanya.
            Lina dan Shanti menyadari bahwa mereka sedang berbicara dengan guru matematika mereka, ibu Hesty.
            “Benarkah kalian membicarakan tentang pelajaran? Tapi sekilas ibu mendengar kalian berbicara tentang jelangkung?“ ibu Hesty mencecar mereka dengan beberapa pertanyaan.
            “Serius, bu. Kami gak bicara hal-hal lain apalagi jelangkung.“ Indra berbicara sedikit keras agar bisa meyakinkan jawaban mereka pada ibu Hesty.
            “Hmmm, bagus. Lagipula, ini zaman teknologi. Dan kalian ini, orang-orang berpendidikan jangan mudah percaya oleh hal-hal yang tak masuk di akal.“ tutur ibu Hesty dingin.
            “Ya, bu.“ jawab Prakoso singkat.
            Setelah ibu Hesty selesai menasihati mereka, dia beranjak pergi dari hadapan mereka .
            “Jadi, jam berapa kita akan memulai ritual?“ tanya Prakoso.
            “Seperti biasa, jam 10 malam. Dan untukmu Lina, jangan bawa parnomu kali ini supaya ritual kita berjalan lancar, kau mengerti?“
            “Aku mengerti, Don.” Jawab Lina cemberut.
            Akhirnya mereka pergi setelah kesepakatan sudah disetujui oleh mereka semua.
            Malam telah tiba. Jam dinding menunjukkan pukul 09.20. Lina hanya memperhatikan jam dinding yang terpaku di dinding kamarnya. Dirinya masih berbaring di atas ranjangnya. Bingung, apakah dia harus membatalkan rencananya atau tidak.
            Tergambar jelas bagaimana wajah menyeramkan hantu yang mengamatinya dari luar jendela. Dirinya dilanda ketakutan ketika hantu itu memperlihatkan wajahnya yang berkopeng dengan bola mata kosong, tersenyum menyeringai padanya. Dia beruntung tidak langsung menjerit. Ia masih bisa mengendalikan dirinya. Tapi yang pasti, jika seseorang melihatnya langsung dengan mata kepala mereka sendiri, tentunya, mereka akan berteriak kencang dan lari terbirit-birit.
            Badannya pun bergidik ngeri membayangkan kengerian yang di alaminya. Sekali lagi, dirinya bimbang akan keputusannya untuk ikut bersama dengan teman-temannya. Matanya sesekali mengedarkan pandangannya di sekitar kamarnya kemudian memejamkan mata untuk berpikir. Di alam pikirannya, dia berusaha menguatkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia meyakinkan diri bahwa kejadian yang dialaminya semalam mungkin karena keteledorannya. Sehingga, membuat penunggu di rumah kosong itu marah. Lina sudah bulat dengan apa yang direncanakannya. Lina membuka mata, beringsut dari ranjangnya. Disambarnya sweater merah marun dan ranselnya kemudian bergegas membuka pintu kamarnya.
            Diraihnya gagang pintu lalu dibukanya sedikit. Diintipnya dari luar. Dia tidak melihat siapapun. Melihat kondisi sudah aman, Lina melebarkan celahpintu, meninggalkan kamarnya. Ketika berjalan menuju pintu luar, ternyata ibunya sedang asyik menonton televisi. Bola mata Ibunda Lina melirik anak perempuannya memakai jaket sembari memanggul ransel.
            “Kamu mau ke mana, nak? Kerja kelompok lagi?“
            “Ya, bu. Ini mendadak sekali. Temanku saja baru meng-SMS-ku supaya cepat datang ke rumahnya.“
            “Kenapa bukan besok saja kalian mengerjakannya? Ini ‘kan sudah malam. Tidak baik anak gadis keluar malam-malam begini,“ ibunya coba memperingatkan Lina.
            “Tidak mungkin besok, bu. Tugas ini dikumpul besok. Ya, pasti hari ini dan malam ini juga harus disiapkan.“ ungkap Lina tegas.
            “Ya sudahlah. Hati-hati. Nyalakan terus handphone-mu. Hubungi ibu jika ada hal yang mengganggumu.“ Ibunya berat hati mengizinkannya pergi.
            “Ya bu, pasti. Kalau begitu, aku pergi dulu.“ Lina berbalik badan menjauhi ibunya.
            Ibunya mengangguk pelan seraya berjalan,mengengsel pintu rumah tapi tak menguncinya.
            Usai keluar dari rumah, Lina bergegas melangkah menuju rumah kosong, tempat mereka bertemu. Saat dia berjalan, angin malam bertiup sepoi. Dinginnya angin malam menyentuh rambut-rambut halus di tangannya hingga membuatnya berdiri.
            10 menit telah berlalu. Sampai juga dirinya di rumah tersebut. Cukup besar dan kelihatan mewah untuk sebuah rumah lama yang ditinggal pemiliknya. Dari berbagai cerita yang didengarnya dari warga sekitar, rumah itu dulunya di tempati oleh orang kaya. Tapi, beredar rumor bahwa di rumah itu juga telah terjadi pembunuhan keji yang pelakunya belum bisa ditemukan pihak kepolisian.
            Pintu rumah kosong terbuka. Ada perasaan aneh menjalar dalam dirinya. Lina merasa ada yang mengawasi gerak-geriknya sewaktu dia ingin masuk ke dalam rumah itu.Ia melangkah pasti setelah menepis rasa takut dan ragunya. Teman-temannya tampak resah menunggu kedatangan dirinya.
            “Hey, lama sekali,“ tegur Shanti.
            “Iya, kami hampir saja mau pulang. Ritual ini takkan berjalan lancar kalau kita kurang satu orang.“ tambah Prakoso.
            “Sudahlah, lebih baik kita segera mulai saja ritual ini.“ tutup Indra.
            Semua mengangguk pertanda setuju dengan apa yang dikatakan Indra. Lina yang baru saja datang mengambil posisi di dekat Donni. Ada yang ganjil dalam dirinya. Diam-diam, dirinya menaruh rasa pada Donni . Namun, angannya buyar ketika teman-temannya sudah mempersiapkan diri, berkonsentrasi memanggil roh halus dari dunia lain.
            Mereka mengerahkan perhatian pada boneka jelangkung. Indra menjadi juru kunci yang memimpin ritual. Mulutnya berkomat-kamit merapal mantra.
            Jelangkung jelangsetdi sini ada pesta
            pesta kecil-kecilan 
            Jelangkung Jelangset datang tak di jemput
            pulang tak diantar
            Mantra itu terus berdesis dari mulut mereka. Semakin intens mantra itu diucapkan, mantra itu semakin tak terdengar jelas. Namun nampaknya, boneka itu tak menunjukkan tanda telah dirasuki bahkan tak goyang sedikit pun.
            Indra heran kenapa boneka itu tidak menunjukkan tanda-tanda sudah kemasukan, segera menghentikan ritual.
            “Tolong, hentikan sebentar!“ perintah Indra.
            “Ada apa, Ndra?“ tanya Doni.
            Indra diam sebentar. Dia sendiri bingung dengan apa yang terjadi. Dia menduga pasti ada yang salah saat dia melafalkan mantra pemanggil roh. Atau mungkin, salah satu temannya tidak fokus memanggil roh halusagar merasuki boneka.
            “Roh halus yang kita panggil tidak kunjung datang,“ kata Indra.
            “Kalau begitu kita coba lagi.“ tegas Prakoso.
            “ Ya, kita ‘kan coba lagi.“ ulang Indra lagi.
            Mereka semua setuju mengulangi ritual. Sekali lagi, Indra melafalkan mantra pemanggil roh. Donni dna kawan-kawan mencoba menaruh konsentrasi memanggil roh halus dari dunia lain agar merasuki boneka. Hampir 15 menit berlalu, boneka tetap bergeming. Indra juga merasa tidak ada yang salah dengan mantra yang diucapkannya.
            “Ada apa dengan boneka ini? Apa boneka ini sudah tidak berguna lagi?!“ maki Prakoso seraya mengambil boneka itu. Dengan geramnya, Prakoso melempar boneka itu ke pekarangan rumah.
            “Hey, Prakoso apa yang kau lakukan?“ Donni tersentak dengan perlakuan Prakoso.
            “Biarkan saja boneka itu. Pun, boneka itu sudah tak punya kekuatan untuk mengundang arwah lagi. Aku tidak akan main jelangkung dan jangan ada yang mengambil boneka itu lagi.“ tandas Prakoso seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya.
            Suasana semakin panas. Ia mencoba menenangkan Prakoso dan Donni dengan mengajak mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Indra juga ingin pulang ke rumahnya, mengadukan masalah mantra pemanggil roh kepada ayahnya.
            Akhirnya semua sudah pulang dari rumah kosong. Malam semakin larut. Tak satu pun bintang-bintang menampakkan cahayanya di langit gelap. Bulan purnama berpendar, menghantarkan aura mistis ke dasar bumi. Hening dan sepi. Tak terdengar suara jangkrik ataupun kodok-kodok bernyanyi riuh. Kesunyian mencekam dan bisa saja membunuh nyali.
            Tapi tak masalah bagi Prakoso. Walaupun rumahnya jauh, dia sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu. Orang tuanya pun takkan mencari dirinya karena sampai sekarang kedua orang tuanya masih bertugas di Riau . Kini yang tinggal di rumahnya, hanya mbak Sinda, pembantu rumah tangga dan adiknya, Melly, yang masih duduk di bangku SMP.
            Prakoso berfokus dengan sepeda motor dan jalan yang berada di depannya. Dia masih memacu sepeda motornya sangat hati-hati walaupun jalan terlihat begitu lengang.
            Angin malam bertiup lembut, menerpa wajah halusnya yang tanpa jerawat. Kulit wajahnya dingin. Untungnya dia memakai jaket dan shalf yang membungkus lehernya. Namun, angin malam masih bisa menembus celah-celah kecil dalam jaketnya. Bola matanyatertuju pada arlojinya. Jarum panjang dan pendeknya menunjukkan pukul 23.00.
            Dia menambah kecepatan motornya hingga spedometer menunjuk ke 70 km/jam. Saat dia mencoba menarik gas sepeda motornya, jok belakang terasa berat seperti ada yang mendudukinya. Prakoso merasa demikian. Namun, ia sama sekali tak menghiraukan dan menarik gas sepeda motor hingga habis. Bukannya semakin cepat, laju sepeda motornya ogah-ogahan seperti ibu bunting tujuh bulan.
            Merasakan ada sesuatu yang aneh dengan sepeda motornya,  pandangan Prakoso tak sengaja tertuju pada kaca spionnya. Dia melihat sejuntai rambut panjang menutupi sebuah wajah. Perasaan tak enak menyelimuti hati Prakoso. Dia tak berani menoleh ke belakang, tapi tubuhnya seolah-olah menyuruhnya untuk melihat ke belakang.
            Jantungnya hampir lepas dari dadanya begitu melihat wujud makhluk astral di jok belakang. Sebuah wajah perempuan yang kulitnya berkopeng, mengeluarkan aroma busuk yang menusuk penciuman. Ratusan belatung memakan setengah dari daerah wajahnya. Siapapun yang melihatnya  pasti takkan sanggup menahan rasa mual. Ia menyeringai seraya memperlihatkan bola matanya yang kosong.
            “Selamat datang kawanku,“ sosok wanita menyeramkan itu mendesis di telinga Prakoso.
            Teriakan dari mulut Prakoso memecah keneningan. Dirinya tak mampu mengendalikan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa. Ia lepas kendali. Sepeda motornya oleng diikuti oleh kemudinya.
            Tanpa disadarinya, sebuah truk besar melaju kencang menuju arah sepeda motornya. Jarak Prakoso dengan truk besar hanya sekitar 20 meter lagi.
            Lampu sorot panjang menerpa wajah Prakoso, menyilaukan pandangan matanya. Ia tak sempat mengelak. Semuanya terjadi begitu cepat.
            “Aaaaaaaaaaaaaaa!!!“
            Bagai ledakan dua meteor yang bertabrakan di antariksa. Tubuh Prakoso dengan sepeda motornya terempas jauh, hampir hancur lebur. Truk besar itu hanya berlalu saja tanpa memperdulikan apa yang barusan ditabraknya. Sosok wanita seram itu tertawa cekikikan memandangi tubuh malang Prakoso seraya menghilang bak uap air panas.

No comments:

Post a Comment