Matanya dimelekkan ke arah jam
dinding. Ternyata waktu menunjukkan pukul 06.00, sedangkan sekolah masuk pukul
07.15. Lina terburu-buru menuju kamar mandi dengan baju piyama masih menempel
di badan. Usai mandi, dia berlari ke kamar untuk berpakaian. Keluar dari kamar
pun, Lina masih dalam keadaan kurang rapi. Seragam sekolahnya masih belum dimasukkan
ke dalam roknya. Rambut panjangnya belum tersisir rapi.
“Lina, ya ampun. Lihat penampilan
kamu. Seperti bukan anak sekolah saja.“ Omel ibunya yang sedang menyiapkan
sarapan pagi.
Dia coba menoleh ke cermin sebentar.
Dan benar yang dikatakan ibunya. Dia segera mengambil sisir yang berada di
sebelah cermin itu kemudian merapikan seragamnya. Yakin penampilannya sudah
cukup rapi, dia langsung menuju meja makan. Di sana, Rafly—adiknya dan ayahnya duduk
di meja makan, menunggu ibu menyiapkan sarapan pagi.
“Kakak, ada apa sih teriak-teriak di
kamar tadi malam?“
“Jadi kamu juga tahu, dik?“
“Ya jelas tahulah. Sebenarnya, aku
juga mau ke kamar kakak, memastikan apa yang terjadi. Tapi, aku juga mengantuk
sekali, jadi aku biarkan saja. Mungkin kakak sedang bermimpi buruk.“ tutur
Rafly sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
“Semalam kakak bermimpi, seorang
perempuan hendak membunuhku. Saat kakak mau melarikan diri, tiba-tiba kaki
kakak tidak bisa bergerak. Disitu, dia langsung mencekik seperti ini,“ katanya
sambil berpura-pura mencekik leher adiknya.
“Ah, sudahlah kak,“ Rafly menyingkirkan
tangan kakaknya yang hendak mencekiknya. “Lagian itu cuma hanya mimpi saja,
lihat sudah jam berapa ini?“ pungkasnya sambil melirik ke jam dinding.
“Oh ya.“ Lina langsung menghabiskan
nasi yang tertinggal di piringnya. Ia langsung meneguk susu yang disediakan
ibunya.
“Kami pergi ya, bu!“ sorak mereka
bertiga sambil melambaikan tangan usai berpamitan.
Ayah pergi ke kantor dengan menaiki
sepeda motornya. Sementara Lina dan Rafly menunggu mobil datang. Tak lama
mereka menunggu, mobil sudah berhenti tepat di hadapan mereka.
Mobil melaju kencang membawa
penumpang ke tujuan masing-masing. Terlihat dalam mobil didominasi olah anak
sekolah. Mungkin yang lain diisi pegawai negeri dan swasta. Suasana dalam mobil
cukup tenang. Penumpang disuguhi dengan alunan musik Pop Barat yang memanjakan
telinga yang mendengarkannya. Tapi beda dengan Lina. Ia kelihatan sedang
memikirkan sesuatu.
Dia memutar ingatannya tentang
mimpinya semalam. Dalam mimpinya, dia melihat sekelompok wanita sedang menyiksa
seorang wanita juga. Dia terus mencoba mengingat apa gambaran yang terjadi
dalam mimpinya. Namun, ia tak kunjung mendapat titik terang mengenai keempat
wanita yang berada di mimpinya.
“Ada apa, kak? Apa kakak sedang
memikirkan sesuatu?“ tanya Rafly. Alisnya terangkat sedikit ke atas.
“Gak apa-apa, kok. Kakak cuma
sedikit haus saja.“ jawab Lina seraya mengambil botol minuman di dalam tasnya. Adiknya mengangguk pelan.
Lina membuka penutup botolnya,
menenggak air yang mengalir ke dalam kerongkongannya. Sebenarnya dia tidak
merasa haus. Dirinya cuma berpura-pura agar adiknya tidak mengetahui apa yang
sebenarnya dia pikirkan.
Hampir
saja. Ujar batinnya.
Tak terasa, mobil itu sudah tiba di
sekolah. Lina menyetop di samping pagar utama sekolah. Bersama dengan adiknya,
mereka bergegas menuju kelas masing-masing. Rafly berada di kelas X–2, Lina
berada di kelas XII IPA 2. Dia melirik arloji. Ternyata 10 menit lagi, kelas
akan dimulai. Untungnya dia belum terlambat. Ketika dia memasuki kelas, dia
melihat seorang perempuan berdiri di tembok luar kelasnya. Dia mengenakan baju
putih abu-abu. Lina tak mengamati dengan jelas bagaimana rupa wajahnya karena
tertutupi oleh rambut panjangnya. Dia merinding ngeri. Gadis itu terus berdiri
di tembok luar kelasnya. Lina buru-buru masuk ke kelasnya.
“Lin, kenapa lo? Kayak habis dikejar
setan,“ tanya Shanti di sampingnya.
“Bukan dikejar tapi ngeliat setan, Shan...“
sahut Lina. Ia meletakkan tas punggung di sebelah Shanti.
“Yang benar, Lin?“ Shanti sontak
kaget.
“ Iya, beneran. Aku tadi ngeliat
pake mata kepalaku sendiri. Dia ada di tembok luar kelas kita,“ jelas Lina.
“Ah, aku gak percaya. Aku mau mengecek
sendiri.“ Shanti keluar memastikan apa yang dikatakan Lina benar.
Beberapa menit setelah dia
meninggalkan ruang kelas , dilihatnya Shanti berlari masuk ke dalam kelas .
“Shan, lu lihat setannya, enggak?”
“Gak ada. Malah Bu Hesty sudah mau
datang.“
Para siswa yang mengetahui bu Hesty,
guru matematika mereka, akan menuju kelas, segera kembali ke meja
masing-masing. Yang tadinya saling bertukar tempat duduk, kini sudah duduk rapi
sambil menyiapkan alat tulis dan buku bacaan mereka.
Akhirnya, ibu Hesti memasuki ruang
kelas. Ia menyapa para siswanya.
“Selamat pagi, anak-anak,“ sapanya
dengan wajah dingin.
“Selamat pagi, bu.“ jawab mereka
serempak.
Bu Hesty memulai pelajarannya.
Sementara itu, Lina dan Shanti sedang membincangkan sesuatu.
“Masa kamu gak ngeliat hantunya?”
“Beneran gak ada, Lin. Mungkin kamu
cuma salah lihat. Lagipula, mana ada hantu pagi-pagi gini.“ bantah Shanti.
Ibu Hesty langsung menegur siswanya
yang mengobrol saat dia menerangkan pelajaran.
“Shanti, Lina, apakah itu suara
kalian?“
“I-iya, bu.“ jawab mereka berdua .
“Sekali lagi ibu dengar kalian
berdua berbicara, saya takkan segan-segan mengeluarkan kalian dari kelas.“
Mendengar ancaman gurunya, mereka
berdua terdiam. Mereka mencoba memberi perhatian, berkonsentrasi dengan
pelajaran yang sedang dijelaskan. Lina yang sedang memperhatikan gurunya,
konsentrasinya terganggu oleh seseorang yang berdiri di depan pintu kelas. Dia
mencoba menoleh sekilas. Ternyata itu adalah perempuan yang dilihatnya sebelum
ia memasuki kelas.
Ini sungguh membuatnya terkejut. Dia
kembali mengarahkan pandangannya kepada gurunya. Seperti yang dilihatnya
barusan. Dia memakai baju putih dengan rok abu-abu, sedang berjalan di sekitar
kelasnya. Wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang panjang. Tetapi, dilihatnya
lagi dengan jelas—bola matanya kosong. Dia melirik Lina yang sedari tadi
memperhatikannya. Lina terdiam tapi tak bisa memalingkan perhatiannya dari sana. Dia terus berjalan pelan-pelan
melewati kelasnya. Langkah kakinya tidak terdengar oleh siapapun seolah dia
berjalan tanpa memijak lantai.
Dia mendadak berhenti. Mengarahkan
badannya, berjalan menuju jendela kelasnya. Dia hanya sebentar menampakkan
dirinya. Wajahnya menempel di kaca jendela . Dia tersenyum menyeringai ke
arahnya. Perasaan takut mulai menyelimuti dirinya. Keringat dingin menetes dari
dahinya. Berharap, dia bisa bersuara sedikit. Tapi, jangankan bersuara,
bergerak sedikitpun tak bisa.
“Hei, kenapa lo Lin?“ tegur Shanti sambil
menepuk pundak Lina pelan.
Saat Shanti menepuk pundaknya, baru
dia bisa berbicara dan bergerak bebas. Tidak seperti tadi. Semua sendi-sendi di
tubuhnya terkunci begitu pula dengan mulutnya.
“Shanti... Lina...“ tegur gurunya.
“Nanti kita bicarakan di kantin.”
Bel tanda istirahat sudah berbunyi.
Para siswa berhamburan keluar kelas. Sebagian memilih ke kantin dan sebagian
lagi memilih di dalam kelas. Dua perempuan berjalan santai menuju kantin.
Keduanya akrab dan intim seperti saudara kandung. Tak terasa mereka sudah
sampai di kantin. Mereka mengambil makanan ringan seperti roti, wafer atau
jajanan lain ditambah dengan aqua gelas. Mereka mencari tempat duduk terujung.
Kebetulan, suasana kantin tidak terlalu ramai.
“Lin, kenapa kamu dari tadi ngeliat
jendela mulu? Emangnya ada apa sih di jendela?“
“Hantu itu terus saja menatap aku,
Shan. Kamu tahu, wajahnya pucat banget walaupun tertutup sama rambut
panjangnya. Dan yang lebih menyeramkan lagi, bola matanya kosong...“
“Itu cuma perasaan kamu aja, Lin.
Kamu keliatannya kayak kurang tidur. Makanya kalau tidur, jangan terlalu larut.
Ya sudah, bayar dulu makanan sama minumanmu, kita masuk ke kelas.“
Mereka bergegas sambil memberikan
beberapa uang kepada tukang kantin. Keduanya berlari kecil menuju ruang kelas.
Proses belajar masih berlanjut. Para
murid terlihat serius tetapi ada juga murid yang duduk di bangku terbelakang
mencuri kesempatan, membicarakan sesuatu yang tentu topiknya hanya mereka yang
duduk sebangku yang tahu. Selain itu, ada juga murid yang terlihat serius
memperhatikan, tetapi gurunya tahu, perhatiannya bukan tertuju dengan apa yang
dijelaskannya, tetapi pikirannya entah melayang ke mana. Juga, mereka tidak
mengetahui bahwa mereka sedang diawasi oleh sosok yang tak kasat mata.
Tak terasa pelajaran sudah berakhir.
Bel tanda pulang berdering nyaring. Guru pun menyudahi pelajaran mereka hari
ini sambil keluar dari ruangan kelas. Begitu guru mereka keluar, para murid
berdesakan mendahului satu sama lain.
Di sisi lain, dua perempuan terlihat
gelisah. Mereka duduk menunggu seseorang datang.
“Mana nih si Doni dan Prakoso? Sudah
hampir setengah jam ini kita menunggu di sini,“ keluh Lina.
“Kita tunggu saja sebentar lagi.
Pasti mereka datang kok,“ sahut Shanti tenang.
“Maaf, kami telat,“ suara lelaki menyela
di tengah percakapan mereka.
Tiga orang lelaki berada tepat di
hadapan mereka. Lina hanya mengenal Doni dan Prakoso tapi dia tak mengenal satu
laki-laki yang bersama dengan mereka.
“Don, ini siapa?“ tanya Lina sambil
menunjuk ke arah laki-laki itu.
“Oh, ini namanya Indra. Perkenalkan bro, ini teman-teman gue,“ ujar
Donni sambil memperkenalkan Lina dan Shanti.
“Lina,“ sapa Lina sambil menjabat tangan
laki-laki itu.
Disusul satunya lagi, “Shanti.“
Mereka berencana melakukan ritual
pemanggilan jelangkung sekali lagi di rumah kosong itu. Sebenarnya, Indra bukanlah
teman satu geng mereka. Sebelumnya, Heru sudah meminta izin kepada Doni. Dia
tidak bisa ikut dengan mereka karena dia pergi kerja kelompok dengan
teman-temannya. Hal ini tidak membuat Doni kehabisan akal. Ia mengajak teman
sebangkunya, Indra. Indra tak menolak sama sekali ajakan mengikuti ritual
pemanggilan jelangkung bersama teman-temannya nanti. Dia sendiri sangat
menyukai hal-hal berbau mistik dan supranatural seperti jelangkung, pelet,
susuk dan sebagainya. Lagipula, ayahnya Indra juga seorang paranormal.
Doni sudah membuat janji kepada
teman-teman nya untuk melakukan ritual itu hari ini tanpa memberitahu kepada
mereka bahwa ada seseorang yang akan bergabung ,
“Don, kamu kenapa sih ngajak anak
orang? Ini tuh terlalu berbahaya. Gak ingat apa kejadian yang semalam itu,“
bisik Lina sambil menyikut pinggang Doni.
“Biarin aja, lagipula dia juga mau
kok.“ pungkas Doni.
Sedang asyiknya berbincang, seorang
wanita dengan menggunakan pakaian dinas pegawai negeri lewat di hadapan mereka.
“Apa yang kalian lakukan di sini?“
tanya wanita itu.
“Oh, enggak ada apa-apa, bu. Cuma
mau diskusi tentang pelajaran saja,“ ujar Donni sekenanya.
Lina dan Shanti menyadari bahwa
mereka sedang berbicara dengan guru matematika mereka, ibu Hesty.
“Benarkah kalian membicarakan
tentang pelajaran? Tapi sekilas ibu mendengar kalian berbicara tentang
jelangkung?“ ibu Hesty mencecar mereka dengan beberapa pertanyaan.
“Serius, bu. Kami gak bicara hal-hal
lain apalagi jelangkung.“ Indra berbicara sedikit keras agar bisa meyakinkan
jawaban mereka pada ibu Hesty.
“Hmmm, bagus. Lagipula, ini zaman
teknologi. Dan kalian ini, orang-orang berpendidikan jangan mudah percaya oleh
hal-hal yang tak masuk di akal.“ tutur ibu Hesty dingin.
“Ya, bu.“ jawab Prakoso singkat.
Setelah ibu Hesty selesai menasihati
mereka, dia beranjak pergi dari hadapan mereka .
“Jadi, jam berapa kita akan memulai
ritual?“ tanya Prakoso.
“Seperti biasa, jam 10 malam. Dan
untukmu Lina, jangan bawa parnomu kali ini supaya ritual kita berjalan lancar,
kau mengerti?“
“Aku mengerti, Don.” Jawab Lina
cemberut.
Akhirnya mereka pergi setelah
kesepakatan sudah disetujui oleh mereka semua.
Malam telah tiba. Jam dinding
menunjukkan pukul 09.20. Lina hanya memperhatikan jam dinding yang terpaku di dinding
kamarnya. Dirinya masih berbaring di atas ranjangnya. Bingung, apakah dia harus
membatalkan rencananya atau tidak.
Tergambar jelas bagaimana wajah
menyeramkan hantu yang mengamatinya dari luar jendela. Dirinya dilanda ketakutan
ketika hantu itu memperlihatkan wajahnya yang berkopeng dengan bola mata
kosong, tersenyum menyeringai padanya. Dia beruntung tidak langsung menjerit.
Ia masih bisa mengendalikan dirinya. Tapi yang pasti, jika seseorang melihatnya
langsung dengan mata kepala mereka sendiri, tentunya, mereka akan berteriak
kencang dan lari terbirit-birit.
Badannya pun bergidik ngeri membayangkan
kengerian yang di alaminya. Sekali lagi, dirinya bimbang akan keputusannya untuk
ikut bersama dengan teman-temannya. Matanya sesekali mengedarkan pandangannya
di sekitar kamarnya kemudian memejamkan mata untuk berpikir. Di alam pikirannya,
dia berusaha menguatkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia meyakinkan
diri bahwa kejadian yang dialaminya semalam mungkin karena keteledorannya. Sehingga,
membuat penunggu di rumah kosong itu marah. Lina sudah bulat dengan apa yang
direncanakannya. Lina membuka mata, beringsut dari ranjangnya. Disambarnya sweater merah marun dan ranselnya
kemudian bergegas membuka pintu kamarnya.
Diraihnya gagang pintu lalu
dibukanya sedikit. Diintipnya dari luar. Dia tidak melihat siapapun. Melihat
kondisi sudah aman, Lina melebarkan celahpintu, meninggalkan kamarnya. Ketika
berjalan menuju pintu luar, ternyata ibunya sedang asyik menonton televisi. Bola
mata Ibunda Lina melirik anak perempuannya memakai jaket sembari memanggul
ransel.
“Kamu mau ke mana, nak? Kerja
kelompok lagi?“
“Ya, bu. Ini mendadak sekali.
Temanku saja baru meng-SMS-ku supaya cepat datang ke rumahnya.“
“Kenapa bukan besok saja kalian
mengerjakannya? Ini ‘kan sudah malam. Tidak baik anak gadis keluar malam-malam
begini,“ ibunya coba memperingatkan Lina.
“Tidak mungkin besok, bu. Tugas ini
dikumpul besok. Ya, pasti hari ini dan malam ini juga harus disiapkan.“ ungkap
Lina tegas.
“Ya sudahlah. Hati-hati. Nyalakan
terus handphone-mu. Hubungi ibu jika
ada hal yang mengganggumu.“ Ibunya berat hati mengizinkannya pergi.
“Ya bu, pasti. Kalau begitu, aku
pergi dulu.“ Lina berbalik badan menjauhi ibunya.
Ibunya mengangguk pelan seraya
berjalan,mengengsel pintu rumah tapi tak menguncinya.
Usai keluar dari rumah, Lina
bergegas melangkah menuju rumah kosong, tempat mereka bertemu. Saat dia
berjalan, angin malam bertiup sepoi. Dinginnya angin malam menyentuh rambut-rambut
halus di tangannya hingga membuatnya berdiri.
10 menit telah berlalu. Sampai juga
dirinya di rumah tersebut. Cukup besar dan kelihatan mewah untuk sebuah rumah
lama yang ditinggal pemiliknya. Dari berbagai cerita yang didengarnya dari
warga sekitar, rumah itu dulunya di tempati oleh orang kaya. Tapi, beredar
rumor bahwa di rumah itu juga telah terjadi pembunuhan keji yang pelakunya
belum bisa ditemukan pihak kepolisian.
Pintu rumah kosong terbuka. Ada
perasaan aneh menjalar dalam dirinya. Lina merasa ada yang mengawasi gerak-geriknya
sewaktu dia ingin masuk ke dalam rumah itu.Ia melangkah pasti setelah menepis
rasa takut dan ragunya. Teman-temannya tampak resah menunggu kedatangan
dirinya.
“Hey, lama sekali,“ tegur Shanti.
“Iya, kami hampir saja mau pulang. Ritual
ini takkan berjalan lancar kalau kita kurang satu orang.“ tambah Prakoso.
“Sudahlah, lebih baik kita segera
mulai saja ritual ini.“ tutup Indra.
Semua mengangguk pertanda setuju dengan
apa yang dikatakan Indra. Lina yang baru saja datang mengambil posisi di dekat Donni.
Ada yang ganjil dalam dirinya. Diam-diam, dirinya menaruh rasa pada Donni . Namun,
angannya buyar ketika teman-temannya sudah mempersiapkan diri, berkonsentrasi
memanggil roh halus dari dunia lain.
Mereka mengerahkan perhatian pada
boneka jelangkung. Indra menjadi juru kunci yang memimpin ritual. Mulutnya
berkomat-kamit merapal mantra.
Jelangkung
jelangsetdi sini ada pesta
pesta kecil-kecilan
Jelangkung Jelangset datang tak di
jemput
pulang tak diantar
Mantra
itu terus berdesis dari mulut mereka. Semakin intens mantra itu diucapkan,
mantra itu semakin tak terdengar jelas. Namun nampaknya, boneka itu tak
menunjukkan tanda telah dirasuki bahkan tak goyang sedikit pun.
Indra heran kenapa boneka itu tidak
menunjukkan tanda-tanda sudah kemasukan, segera menghentikan ritual.
“Tolong, hentikan sebentar!“
perintah Indra.
“Ada apa, Ndra?“ tanya Doni.
Indra diam sebentar. Dia sendiri
bingung dengan apa yang terjadi. Dia menduga pasti ada yang salah saat dia melafalkan
mantra pemanggil roh. Atau mungkin, salah satu temannya tidak fokus memanggil
roh halusagar merasuki boneka.
“Roh halus yang kita panggil tidak
kunjung datang,“ kata Indra.
“Kalau begitu kita coba lagi.“ tegas
Prakoso.
“ Ya, kita ‘kan coba lagi.“ ulang
Indra lagi.
Mereka semua setuju mengulangi
ritual. Sekali lagi, Indra melafalkan mantra pemanggil roh. Donni dna kawan-kawan
mencoba menaruh konsentrasi memanggil roh halus dari dunia lain agar merasuki
boneka. Hampir 15 menit berlalu, boneka tetap bergeming. Indra juga merasa
tidak ada yang salah dengan mantra yang diucapkannya.
“Ada apa dengan boneka ini? Apa boneka
ini sudah tidak berguna lagi?!“ maki Prakoso seraya mengambil boneka itu.
Dengan geramnya, Prakoso melempar boneka itu ke pekarangan rumah.
“Hey, Prakoso apa yang kau lakukan?“
Donni tersentak dengan perlakuan Prakoso.
“Biarkan saja boneka itu. Pun, boneka
itu sudah tak punya kekuatan untuk mengundang arwah lagi. Aku tidak akan main
jelangkung dan jangan ada yang mengambil boneka itu lagi.“ tandas Prakoso
seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Suasana semakin panas. Ia mencoba
menenangkan Prakoso dan Donni dengan mengajak mereka semua pulang ke rumah
masing-masing. Indra juga ingin pulang ke rumahnya, mengadukan masalah mantra
pemanggil roh kepada ayahnya.
Akhirnya semua sudah pulang dari
rumah kosong. Malam semakin larut. Tak satu pun bintang-bintang menampakkan
cahayanya di langit gelap. Bulan purnama berpendar, menghantarkan aura mistis
ke dasar bumi. Hening dan sepi. Tak terdengar suara jangkrik ataupun
kodok-kodok bernyanyi riuh. Kesunyian mencekam dan bisa saja membunuh nyali.
Tapi tak masalah bagi Prakoso.
Walaupun rumahnya jauh, dia sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu. Orang
tuanya pun takkan mencari dirinya karena sampai sekarang kedua orang tuanya
masih bertugas di Riau . Kini yang tinggal di rumahnya, hanya mbak Sinda,
pembantu rumah tangga dan adiknya, Melly, yang masih duduk di bangku SMP.
Prakoso berfokus dengan sepeda motor
dan jalan yang berada di depannya. Dia masih memacu sepeda motornya sangat
hati-hati walaupun jalan terlihat begitu lengang.
Angin malam bertiup lembut, menerpa
wajah halusnya yang tanpa jerawat. Kulit wajahnya dingin. Untungnya dia memakai
jaket dan shalf yang membungkus lehernya. Namun, angin malam masih bisa
menembus celah-celah kecil dalam jaketnya. Bola matanyatertuju pada arlojinya.
Jarum panjang dan pendeknya menunjukkan pukul 23.00.
Dia menambah kecepatan motornya hingga
spedometer menunjuk ke 70 km/jam. Saat dia mencoba menarik gas sepeda motornya,
jok belakang terasa berat seperti ada yang mendudukinya. Prakoso merasa demikian.
Namun, ia sama sekali tak menghiraukan dan menarik gas sepeda motor hingga
habis. Bukannya semakin cepat, laju sepeda motornya ogah-ogahan seperti ibu bunting
tujuh bulan.
Merasakan ada sesuatu yang aneh
dengan sepeda motornya, pandangan
Prakoso tak sengaja tertuju pada kaca spionnya. Dia melihat sejuntai rambut
panjang menutupi sebuah wajah. Perasaan tak enak menyelimuti hati Prakoso. Dia
tak berani menoleh ke belakang, tapi tubuhnya seolah-olah menyuruhnya untuk
melihat ke belakang.
Jantungnya hampir lepas dari dadanya
begitu melihat wujud makhluk astral di jok belakang. Sebuah wajah perempuan
yang kulitnya berkopeng, mengeluarkan aroma busuk yang menusuk penciuman.
Ratusan belatung memakan setengah dari daerah wajahnya. Siapapun yang
melihatnya pasti takkan sanggup menahan
rasa mual. Ia menyeringai seraya memperlihatkan bola matanya yang kosong.
“Selamat datang kawanku,“ sosok
wanita menyeramkan itu mendesis di telinga Prakoso.
Teriakan dari mulut Prakoso memecah
keneningan. Dirinya tak mampu mengendalikan ketakutan dan kepanikan yang luar
biasa. Ia lepas kendali. Sepeda motornya oleng diikuti oleh kemudinya.
Tanpa disadarinya, sebuah truk besar
melaju kencang menuju arah sepeda motornya. Jarak Prakoso dengan truk besar
hanya sekitar 20 meter lagi.
Lampu sorot panjang menerpa wajah
Prakoso, menyilaukan pandangan matanya. Ia tak sempat mengelak. Semuanya
terjadi begitu cepat.
“Aaaaaaaaaaaaaaa!!!“
Bagai ledakan dua meteor yang
bertabrakan di antariksa. Tubuh Prakoso dengan sepeda motornya terempas jauh,
hampir hancur lebur. Truk besar itu hanya berlalu saja tanpa memperdulikan apa
yang barusan ditabraknya. Sosok wanita seram itu tertawa cekikikan memandangi
tubuh malang Prakoso seraya menghilang bak uap air panas.

No comments:
Post a Comment