Cahyana
masih sibuk memilah-milah pakaian yang pantas dipakai oleh para aktor dan
aktris yang memerankan film besutan Robert. Sebelumnya, ia sudah menyuruh
Robert membawa para bintang filmnya untuk berkenalan sekaligus menentukan,
model pakaian apa yang cocok untuk mereka. Di antara puluhan rak beroda, ia
mengambil semua pakaian yang disangkutkan lalu disusun menurut seleranya.
Untungnya, Robert sudah memberitahu
sedikit bocoran mengenai jalan cerita filmnya. Film keduanya bercerita tentang
sekelompok anak muda yang mengisi libur kuliah mereka sekaligus mencari
kebenaran mengenai penunggu yang sudah menjadi urban legend di masyarakat Toba. Kabarnya, penunggu danau sering
menampakkan dirinya pada wisatawan yang mengunjungi kawasan danau. Dengan
konsep itulah, Cahyana bisa menentukan jenis pakaian apa yang cocok digunakan
dalam shooting.
Cahyana mengelap setetes keringat
yang mengucur pelan di keningnya. Ia tampak puas dengan hasil pilihannya. Ada
delapan stel kemeja dan kaos oblong, lima stel celana panjang dan celana pendek
yang berada di genggaman tangannya. Kebanyakan pakaian yang dipilihnya berbahan
tebal. Ia sangat tahu bahwa suhu di danau Toba sangatlah dingin. Itu sebabnya,
ia memilih pakaian dengan bahan baku wol dan
“Kamu sudah siap memilih pakaiannya,
Cahyana?”
“Eng, sudah. Saya sudah pisahkan
beberapa pakaian pilihan saya di rak tersendiri. Jika kamu dan sutradara merasa
kurang cocok dengan pilihan saya, besok, saya akan bawa pakaian terbaik dari
toko saya,”
“Tidak usah. Saya juga merasa cocok
dengan pilihan kamu. Ternyata, kamu tahu memilih pakaian sesuai selera anak
muda zaman sekarang. Lebih baik, kita ke kantor dan meminum milk shake dingin yang barusan dibuat
pegawai saya.” Ajak Robert seraya mengajak Cahyana turut pergi bersamanya.
Cahyana menurut saja ajakan dari bosnya.
Robert mempersilahkan rekannya masuk
lebih dahulu setelah ia membuka pintu. Ia melihat dua gelas milk shake tersedia di atas meja kerja
bosnya. Cahyana menggeser kursinya lalu mendaratkan pantatnya di sana. Pria
ber-pomade itu meraih kursi yang juga
berada di samping dengan posisi berhadapan. Tentu saja, hal ini membuat dirinya
agak grogi. Pria itu meraih gelas yang ada di sampingnya lalu mengisapnya
pelan.
Robert diam-diam mengamati rekan
bisnisnya. Mulai dari ujung jari kaki hingga ubun kepalanya. Kedua kaki
jenjangnya mengenakan stiletto coklat
yang berpadu dengan warna kulit kakinya. Tubuhnya dibalut oleh daster batik
bermodel kembang yang menutup bagian tungkai atas. Rambutnya yang hitam
mengkilap dibiarkan terurai tanpa diikat. Beruntung
sekali lelaki yang memiliki wanita secantik ini, pikir Robert. Wajah
ovalnya tambah manis dengan tahi lalat kecil di pinggir bibirnya. You’re the sexiest woman ever i have seen,
ujar Robert dalam hatinya.
“Robert... Robert..., kamu sedang
memikirkan apa?” tanya Cahyana sambil menjentikkan jarinya.
“Tidak ada. Aku hanya memikirkan
betapa beruntungnya Adi memiliki wanita seperti kamu. Sudah cantik, smart lagi,” ujarnya sambil menggoda
Cahyana.
Kedua belah pipinya mengembang,
tersipu malu dengan pujian Robert. “Suami saya sering mengatakan hal itu. Ia
begitu mencintai saya melebihi wanita-wanita yang pernah singgah di hatinya.”
“Oh ya, Cahyana. Bolehkah aku menanyakan
sesuatu padamu?
“Kenapa tidak?” Cahyana meletakkan
gelasnya di atas meja lalu mencondongkan dadanya ke depan, menyimak apa yang
dikatakan oleh bosnya.
“Bagaimana kau bisa mengenal dan
menikah dengan Adi?”
Cahyana mendongakkan kepalanya,
memutar-mutar ingatan yang takkan bisa hilang dari pikirannya. Pertemuannya
dengan Adi bisa dibilang menarik. Waktu itu, ia sempat mendatangi toko butik
yang berjarak tiga blok dari tempat kejadian perkara perampokan toko emas.
“Saya masih ingat, ketika itu, Adi
sempat mengira kalau toko butik saya yang mengalami perampokan. Sepertinya,
kliennya salah memberikan alamat hingga ia kesasar di toko saya. Tapi, setelah
ia selesai melakukan penyelidikan, ia langsung menghampiri toko saya sembari
meminta maaf atas kelalaiannya.”
“Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”
“Ia juga meminta nomor handphone
saya. Kami mulai menjalani hubungan spesial yang mengantarkan kami pada jenjang
pernikahan,” lugasnya sambil mengambil lagi milk
shake yang tersisa di gelasnya. Ia menyedotnya habis sampai setetes pun tak
berada di dalamnya.
“Sungguh cerita yang menarik, ya?”
“Tentu, bagaimana dengan kamu,
Robert?”
Ia baru saja selesai menikmati
sedotan kedua lalu menaruh kembali gelasnya di atas meja.
“Saya tidak sempat mencari perempuan
yang bisa mengisi kehidupan saya karena saya terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Sebelumnya, saya sempat menjalin hubungan dengan seorang wanita pengusaha
sepatu namanya Natalia Endasara. Kami hampir berpacaran selama tiga tahun dan
saya berniat mengunjungi orang tuanya untuk meminta restu dua hari ke depan.
Begitu saya akan mendatangi rumah orang tuanya, seseroang memberikan sebuah
kertas undangan. Dan kamu tahu, dia dan pasangannya akan melangsungkan
pernikahan dalam waktu dua hari... Aku tak bisa membayangkan bagaimana
hancurnya perasaanku saat itu. Tapi aku tak mau berlama-lama dalam kekecewaan.
Aku terus bekerja keras sampai aku bisa membuat namaku terkenal di kancah
perfilman nasional,” ujarnya panjang lebar dengan tatapan mata berkaca-kaca.
Cahyana melihat ada kejujuran di
bola mata Robert. Ia tidak terlihat seperti mengarang cerita. Kata-kata itu
mengalir begitu saja, apa adanya tanpa tersendat.
“Maaf, Robert, kalau aku jadi
mengingatkanmu pada masa lalu,”
“Tidak masalah. Bagiku, masa lalu
yang pahit bisa menjadi pijakan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Aku
tidak menyesali apa yang terjadi. Pengkhianatan bisa berbuah kesuksesan,” timpalnya
dengan seulas senyuman kecil.
“Pernahkah Natalya sesekali
menghubungimu?”
“Pernah, bahkan ia ingin mengajakku
bertemu sambil meminta maaf. Tapi, aku sudah lama memaafkan dirinya. Aku tidak
menyimpan dendam padanya. Aku ikhlas dengan keputusannya saat itu jikalau
lelaki yang ia pilih sebagai pendamping hidupnya, lebih baik daripadaku. Itu
saja.” Tutupnya sambil menghela napas kecil.
Cahyana menganggukkan kepalanya
mendengar kisah cinta Robert yang penuh lika-liku. Perjalanan cinta Robert
tidak semulus dugaannya. Ia hanya melihat pekerjaan Robert sebagai produser,
memungkinkan dirinya untuk mendapatkan wanita yang diinginkannya bahkan
melebihi mantannya. Namun, ia memilih mencurahkan pikirannya pada dunia
perfilman. Tapi, ia juga tidak tahu apakah Robert masih menyimpan rasa pada
Natalya? Itu bukan menjadi urusannya. Ia cukup menjadi pendengar setia.
“Bos Robert, bos, si Eggy, sutradara kita,
memanggil bos sama mbak Cahyana ke bawah,” panggil asistennya dari luar pintu.
“Iya, tunggu sebentar lagi. Kami
akan ke sana.” Sahut Robert. Ia buru-buru mengajak Cahyana keluar dari
kamarnya. Ia paham jika sang sutradara sudah memanggil dirinya, berarti ada hal
yang penting yang akan dikatakan kepada dirinya.
***
Adi melihat keadaan di belakang
maupun di depan jalan. Meskipun ia sudah memasang lampu sen, ia tak lupa
memperhatikan sekitarnya. Bisa saja ada pengendara sepeda motor, mobil atau
truk yang melaju kencang, tidak memperhatikan kalau ia akan berbelok. Tentu
saja, ini akan berbahaya karena menimbulkan kecelakaan.
Setelah keadaan kondusif, Adi
memutar kemudinya memasuki gerbang luar kantor kepolisian. Ia memilih
memarkirkan mobilnya di samping mobil dinas polisi. Ia membuka pintu depan,
mempercepat langkahnya memasuki kantor. Sesampainya di muka kantor, Dharmawan
sudah menunggunya. Ia sedang memperhatikan layar Samsung Galaxy yang
dipegangnya.
“Ada apa?” tanya Adi begitu ia sudah
di hadapan rekannya.
Dharmawan cepat-cepat memasukkan
handphone-nya ke dalam saku. Ia berusaha tampil siap di hadapan Adi.
“Maaf kalau saya terburu-buru
menghubungi anda, tapi bagaimana kita melakukan penyelidikan lagi pada saksi
mata yang menemukan mayat anak laki-laki itu?”
“Boleh saja. Apa kamu punya petunjuk
lain yang berguna untuk membekuk si pelaku?”
“Saya tidak terlalu yakin tapi
firasat saya mengatakan kalau kita akan mendapatkan informasi yang penting di
sana,” jawab Dharmawan pasti.
“Baiklah kalau begitu kita akan
pergi menaiki mobil saya.” Tukas Adi seraya bergegas menuju mobilnya, diikuti
Dharmawan dari belakang.
Mereka berdua sudah berada di dalam
mobil. Adi memutar kuncinya dan mesin mobilnya menyala. Ia memajukan mobilnya
lalu memutar kemudi ke kiri. Sesudah mendapatkan posisi yang tepat, lelaki
berkemeja biru muda itu mempercepat lajunya keluar dari wilayah kapolda.
Kedua lelaki itu mengisi waktu
mereka dengan bertukar cerita. Adi lebih banyak bercerita tentang istrinya. Ia
tak hentinya memuji kecantikan istrinya bak putri kayangan yang turun dari
langit. Dharmawan cuma tersenyum kecil mendengar cerita rekannya
Dharmawan adalah seorang pemuda
bertubuh tegap berusia dua puluh tujuh tahun. Ia berselisih dua tahun dengan
umur rekannya. Saat ini, Adi genap berusia dua puluh lima tahun. Selain
perbedaan umur, mereka berdua juga mengalami perbedaan status. Adi sudah
menikah sedangkan Dharmawan belum. Dharmawan sendiri sudah mempunyai calon yang
sudah diperkenalkannya pada ayah dan ibunya. Namun, entah mengapa, ia masih
menunda-nunda kapan dia dan kekasihnya melangsungkan pernikahan.
“Halah, kamu ini. Dari kemarin,
cerita tentang istri kamu aja melulu. Telingaku enggak tahan mendengar
ocehanmu, tahu?” keluh Dharmawan sambil menutup daun telinganya dengan kedua tangannya.
“Halah, bilang saja kamu iri, aku
bisa dapatkan wanita secantik Cahyana ‘kan? Ayo mengaku,” goda Adi sambil
berfokus pada kemudinya.
“Siapa yang iri? Calonku enggak
kalah cantik kok dengan kamu. Biar kamu tahu, calonku ini mantan Miss kota Medan
tahun 2013,” sanggah Dharmawan sambil memamerkan kelebihan calonnya.
“Cahyana juga anak dari mantan gadis
sampul dan model iklan produk dalam negeri. Kamu tahu juga ‘kan, kalau dia
seorang pengusaha butik yang cukup sukses di kota Siantar.” Adi kalah mau
kalah. Ia juga memamerkan kelebihan istrinya pada rekannya.
“Ok, ok kau menang. Kuakui kalau
istrimu adalah perempuan tercantik di jagad raya ini, puas?”
“Jangan marah-marah gitu dong, Dhar.
Aku minta maaf deh.” Sesal Adi sambil melirik ke arah temannya.
“Ya aku maafkan. Tapi kalau kamu
cerita sekali lagi kamu bercerita tentang istrimu, kau harus menraktirku makan
pangsit di jalan Gereja. Dua porsi untukku.”
“Waduh, gila kau. Tidak kusangka
kalau nafsu makanmu lumayan kuat.Tapi..., boleh sedikit curhat padamu, Dhar?”
“Mau curhat tentang apa? Nggak usah
ragu. Kamu sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri,”
Awalnya Adi bingung harus bercerita
mulai dari mana. Namun, ia ingat dari mana mulanya permasalahan yang dialami
keluarga kecilnya.
“Kau tahu sendiri kan kalau kami
sudah enam bulan menikah?”
Dharmawan mengangguk kecil menjawab
pertanyaan temannya. “Ada apa dengan pernikahanmu?”
“Sampai awal bulan September, aku
tidak menjumpai tanda-tanda Cahyana hamil. Kalau menurutmu gimana. Dhar?”
“Apa kamu sudah mengecek kesuburan
kamu dengan istrimu?” tanya Dharmawan penuh rasa ingin tahu.
“Sebelum menikah pun, kami berdua
sudah mengeceknya. Kami berdua sama-sama subur kok. Tidak ada yang mandul.”
Dharmawan lagi-lagi mengangguk
mendengar cerita temannya. Ia juga tak mempunyai solusi yang tepat untuk
permasalahan temannya.
“Aku juga bingung, Di. Aku pun juga
belum menentukan waktu yang pas mengajak Ezra, calonku untuk menikah. Aku
selalu saja disibukkan dengan urusan kantor,” jawab Adi seadanya sambil menggedikkan
bahunya yang kekar.
“Buat kamu, Dharma, lebih baik,
cepat nikahi si Ezra sebelum dia diambil orang. Sayang banget ‘kan, sudah empat
tahun pacaran nikahnya sama orang lain,” tegurnya sambil tersenyum kecut.
“Iya, secepatnya deh. Jika perlu, setelah
kasus ini beres, aku akan langsung menggelar pestanya. Oh mengenai istri kamu,
mungkin kamu kurang persiapan di malam pertama?”
“Enggak mungkin. Aku dan dia
sama-sama siap kok. Stamina kami full.”
Bantah Adi.
Kali ini Dharmawan hanya diam saja.
Ia memilih mengarahkan pandangannya ke jendela yang berada di depannya. Dirinya
akan berkomentar jika Adi meminta pendapatnya.
“Entahlah. Hanya kamu, istrimu dan
Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Memang tidak semua keluarga
langsung diberkati seorang anak. Kita harus bersabar menantikan kehadirannya.”
Pungkas Adi seraya menghela napas lelah.
“Biarlah Tuhan yang bekerja atas
keluarga kami. Yang terpenting, aku dan istriku sudah berusaha.”
Dharmawan berdeham. Kelihatannya,
Adi tak meneruskan ceritanya. Mungkin, rekannya itu sudah terlalu pusing
memikirkan apa yang terjadi di keluarganya. Pria berdinas polisi itu menarik
sebatang rokok filter dari kemasannya. Ia menjepit kapas filter dengan mulutnya
lalu tangan kanannya menyalakan macis. Kepulan asap putih tebal mengawang dalam
mobil Adi. Ia memutar tuas yang terpasang di pintu agar asapnya tidak
mengganggu sirkulasi udara di dalamnya.
Ia sangat menikmati hisapan demi
hisapan yang ditariknya dari rokok itu. Dharmawan adalah seorang perokok aktif.
Ia mampu menghabiskan uangnya untuk membeli tiga bungkus rokok filter selama
sehari. Ia pernah mencoba menghilangkan kebiasaannya merokoknya. Tapi karena
pergaulannya sesama polisi yang juga kebanyakan perokok, alhasil ia tidak bisa
meninggalkan kebiasaannya. Pun, rokok sudah menjadi kebutuhan primer yang sama
pentingnya dengan pangan.
Rekannya, Adi, juga seorang perokok
tetapi tidak separah dirinya. Ia hanya merokok jika sedang suntuk atau tidak
ada melakukan kegitan.
Ketika sedang asyik menghisap rokoknya
yang kedua, pandangan Dharmawan tak sengaja tertuju pada sebuah benda abu-abu
keperakan yang tergeletak di bawah rem mobilnya.
“Adi, apa benda yang berada di bawah
rem mobilmu?” tanyanya sambil membuang puntung rokoknya keluar.
“Benda apa yang kau maksudkan?” Adi
balik bertanya. Ia tak mengerti benda seperti apa yang dimaksud oleh temannya.
“Coba lihat sendiri di bawahmu,”
suruhnya.
Adi merasa penasaran dengan apa yang
dikatakan temannya, menundukkan sedikit kepalanya ke arah rem. Memang betul apa
yang dikatakannya. Ada sebuah benda abu-abu keperakan berujung lancip dengan
satu sisi tajam. Benda itu adalah sebuah pisau.
“Di, sejak kapan pisau itu berada di
mobilmu?”
“Aku sendiri juga tidak tahu, Dhar.
Banyak sekali hal-hal yang aneh terjadi padaku termasuk asal muasal pisau itu,”
Dharmawan merasakan kejanggalan
dengan apa yang dikatakan rekannya—“hal-hal aneh”. Memangnya hal aneh apa saja
yang dialami rekannya selama ini? Yang pasti, ini mengundang rasa penasaran dan
keingintahuannya.
“Apa ada hubungannya dengan mayat
lelaki yang ditemukan di sungai?”
“Aku juga tidak tahu. Sejak aku menyelidiki kasus penculikan anak
seorang pengusaha, aku jadi sering sakit kepala. Akibat sakit kepala ini, aku
sering mengonsumsi Bodrex. Takut jadi ketergantungan obat,” jelas Adi.
“Apakah istrimu sudah mengetahui
ini?”
“Belum. Aku tidak mau
menceritakannya. Ini akan menambah beban pikirannya,”
Tanpa mereka sadari atau tidak,
keduanya akan melewati sebuah jembatan penghubung. Di bawah jembatan tersebut,
terbentang sebuah sungai yang aliran airnya cukup tenang. Pepohonan rumbia
lebih banyak menghiasi daerah pinggir sungai. Di jembatan inilah, mereka
menemukan mayat anak laki-laki sekitar tiga hari lalu. Kini mereka memilih
memarkirkan mobil mereka di salah satu warga yang bermukim di pinggir jalan.
Setelah itu, mereka turun dari mobil menuju tempat penggalian pasir. Berharap
dua saksi mata itu berada di sana.
Mereka menuruni sebuah turunan yang bercabang dua. Memilih jalan sebelah
kanan yang mengarahkan mereka ke daerah sungai. Cukup beruntung nasib mereka
hari ini. Dua pekerja itu berada di sana. Keduanya sedang memindahkan pasir ke
dalam colt diesel.
“Selamat siang, pak Imam dan pak
Jono,” sapa Adi pada dua pekerja itu.
Merasa nama mereka dipanggil, kedua
pekerja itu sejenak menghentikan aktivitas mereka.
“Oh selamat pagi juga, pak Adi,”
Sapa pak Imam lebih dahulu.
“Siapa mereka ini, mam,” sela Jono
di sampingnya.
“Ini mereka yang kuceritakan padamu.
Kedua bapak ini yang bertugas menyelidiki penemuan mayat anak laki-laki di
sungai ini,” urai pak Imam.
Begitu Imam menjelaskan, Jono
langsung menyodorkan tangannya, memperkenalkan dirinya pada Adi dan Briptu
Dharmawan.
“Apa yang bisa kami bantu untuk
kasus ini?”
“Kami hanya ingin bertanya, apakah
Anda tidak melihat gerak-gerik mencurigakan di sekitar jembatan dan daerah
sungai ini? Misalkan, ada orang yang mondar-mandir atau sedang berdiri atau
menunggu sesuatu?” tanya Briptu Dharmawan pertama kali.
“Kalau gerak-gerik mencurigakan
kurang tahu ya, pak. Soalnya, banyak banget orang-orang yang sering lewat
sekitar jembatan ini,” jawab Jono seingatnya.
“Kira-kira dua atau tiga hari
sebelum mayat ditemukan, apa bapak tidak mengenali rupa orang-orang yang sering
melewati jembatan atau yang sering berada di daerah sungai?” Adi bertanya
seraya mengeluarkan catatan dari dalam kantong kemejanya.
“Wah, kalau orang-orang yang sering
lewat jembatan sih, mana mungkin kami kenal satu per satu. Jembatan ini juga
sering diintasi para pengendara mobil, motor bahkan truk container. Maklum pak, bisa dibilang jembatan ini merupakan lalu
lintas perekonomian perusahaan Sei Mangke dan perusahaan sekitarnya.” Urai pak
Imam rinci.
Adi juga tahu kalau jembatan ini
bukan hanya berfungsi secara ekonomi, tapi jembatan ini bisa menjadi jalan
alternatif masyarakat kota Siantar yang ingin bepergian ke Limapuluh dan kota
di sekitarnya. Adi pernah melewati jembatan ini ketika ia mengunjungi orang
tuanya di Kisaran bersama dengan istrinya.
“Tapi, orang-orang yang sering
berada di kawasan sungai, hanya kami saja para penggali pasir dan anak-anak
yang bermukim di sekitar kawasan sungai.” Timpal pak Jono.
Benar yang dikatakan pak Jono.
Keduanya melihat sekumpulan anak sedang bermain pasir di sekitar sungai. Ada di
antara mereka yang asyik membangun kreasi dari pasir dan ada juga yang bermain
lempar-lemparan pasir.
“Pertanyaan terakhir. Apakah aliran
sungai hanya terdiri dari satu induk atau memiliki banyak percabangan?”
“Mohon maaf, kami juga enggak tahu
pasti soal itu. Tapi kata orang-orang di sekitar sini, sungai ini punya tiga
anak sungai yang induknya berada tepat di aliran sungai ini. Kalau mau tahu
nama tiga anak sungai itu, bapak bisa bertanya pada penduduk yang tinggal di
sini. Kami berdua hanya pendatang dari daerah lain,” tukas pak Imam terakhir
kali.
“Baiklah, kami merasa sudah cukup
dengan keterangannya. Terimakasih atas kerjasamanya. Kami undur diri dari
hadapan bapak. Selamat siang.” Keduanya berpamitan seraya berbalik badan
meninggalkan lokasi penggalian pasir sungai.
Setelah keduanya menjauhi lokasi
penggalian, kini mereka sudah tiba di salah satu rumah warga, tempat mereka
memarkirkan mobil.
“Jadi, apa yang kita lakukan?”
Briptu Dharmawan mengeluarkan
secarik kertas dan membukanya perlahan-lahan.
“Kita akan menuju ke alamat orang
tua si korban, setidaknya kita harus tahu nama tiga anak sungai itu supaya
proses pencarian lebih mudah. Setuju?”
Adi menyetujui usulan dari rekannya.
Keduanya memilih bertanya pada salah satu warga yang tinggal di sana. Sebelum
mengambil mobilnya, mereka menyempatkan diri bersinggah sambil mengorek
informasi mengenai nama anak sungai itu.
Tuan rumah menyambut mereka dengan ramah. Keduanya sudah disuguhkan
dengan dua cangkir teh manis panas ditambah dengan sepiring biskuit kering.
Memang, melakukan proses penyelidikan membutuhkan asupan energi yang banyak.
Ditambah sengatan sinar matahari yang memanggang kulit mereka dan menimbulkan
dahaga di kerongkong. Bisa saja mereka meminta teh manis dingin, namun karena
segan, teh manis panas yang dihidangkan tuan rumah harus mereka nikmati.
Setelah berbincang cukup lama,
mereka sudah mendapatkan informasi mengenai nama tiga anak suangai itu. Nama
ketiga anak sungai itu yakni; sungai Bahapal, sungai Bahbolon dan sungai
Titikuning. Semua nama anak sungai itu sudah tertulis di catatan Adi. Merasa informasi
yang didapatkan mencukupi, mereka berpamitan pada tuan rumah. Adi melajukan
mobilnya lebih cepat setelah ia keluar dari pekarangan rumah. Secepat mungkin
mereka harus tiba di tujuan—Tiga Balata.