Sunday, 27 March 2016

Natalia 3




Lama tak jumpa dirimu, kasih
Apa kabarmu di belahan hidup sana
Aku tenang di sini pasti kau tenang di sana
Aku dirahmati Tuhan pasti kau pun begitu
            Dunia maya mempertemukan kita di malam itu
            Lewat layar ponsel sederhanaku
            Kukirimkan pesan rinduku
            Aku tak tahu apa kau punya rasa sama
            Punya rindu sama
Namun tahukah kamu
Aku hanya memastikan kau bahagia
Kau bahagia pasti tanpa diriku
Kau bahagia dengan apa yang kau miliki
Termasuk lelaki idamanmu
            Aku senang kau balas pesan yag kutujukan padamu
            Sejenak bisa mengisi lubang di hati
            Pernah kukhayalkan kita berdua
            Dalam satu jalinan cinta
Sekali lagi
Jika sang Tuhan tak menakdirkan kita bersama
Aku harus rela dengan pilihan Tuhan yang dipersembahkanNya untukku
Namun jika sang Tuhan mempertemukan kita lagi dalam ikatan mahasuci
Kuyakin aku siap bersamamu sampai sang maut meleburkan tubuh kita

Kita ( Dua Sisi yang Berbeda )



Hari ini adalah hari yang pantas kusyukuri
Aku hidup di dunia sebagaimana kau juga hidup
Kau ada di setiap roda kehidupan yang berjalan sendiri
Sesuai dengan takdir Sang Pencipta
            Aku menjalani hidup
            Meskipun dinamika jiwa dalam dada memunculkan dua sisi berbeda
            Kau mencintai diriku
            Dan kau membenci diriku
Aku tak tahu apakah hanya angin lalu atau tarikan napas yang kuhela lega?
Apakah kau akan menerima diriku, seluruhku?
Atau kau hanya menjadikanku pelarian
Pelarian rasa kesepian yang tak kauanggap sebagai teman
            Jangan kau tolak setiap sakit yang menghunjam jantungmu
            Jangan kau renggut kepedihan yang mengalir di nadimu
Jadikan itu kekuatan
Jadikan itu obat manjur
Yang bisa menutup luka
Yang bisa memoleskan senyum tanpa dusta
            Kau tahu kita hanya pemeran
            Pemeran dalam alur cerita berbalut tragedi
            Jangan kau tolak peranan yang kauterima
            Bisa jadi dia ‘kan membawamu pada jalan
            Jalan yang akan mempersatukan kita
            Kita...

Thursday, 24 March 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 7



Cahyana masih sibuk memilah-milah pakaian yang pantas dipakai oleh para aktor dan aktris yang memerankan film besutan Robert. Sebelumnya, ia sudah menyuruh Robert membawa para bintang filmnya untuk berkenalan sekaligus menentukan, model pakaian apa yang cocok untuk mereka. Di antara puluhan rak beroda, ia mengambil semua pakaian yang disangkutkan lalu disusun menurut seleranya.
            Untungnya, Robert sudah memberitahu sedikit bocoran mengenai jalan cerita filmnya. Film keduanya bercerita tentang sekelompok anak muda yang mengisi libur kuliah mereka sekaligus mencari kebenaran mengenai penunggu yang sudah menjadi urban legend di masyarakat Toba. Kabarnya, penunggu danau sering menampakkan dirinya pada wisatawan yang mengunjungi kawasan danau. Dengan konsep itulah, Cahyana bisa menentukan jenis pakaian apa yang cocok digunakan dalam shooting. 
            Cahyana mengelap setetes keringat yang mengucur pelan di keningnya. Ia tampak puas dengan hasil pilihannya. Ada delapan stel kemeja dan kaos oblong, lima stel celana panjang dan celana pendek yang berada di genggaman tangannya. Kebanyakan pakaian yang dipilihnya berbahan tebal. Ia sangat tahu bahwa suhu di danau Toba sangatlah dingin. Itu sebabnya, ia memilih pakaian dengan bahan baku wol dan  
            “Kamu sudah siap memilih pakaiannya, Cahyana?”
            “Eng, sudah. Saya sudah pisahkan beberapa pakaian pilihan saya di rak tersendiri. Jika kamu dan sutradara merasa kurang cocok dengan pilihan saya, besok, saya akan bawa pakaian terbaik dari toko saya,”
            “Tidak usah. Saya juga merasa cocok dengan pilihan kamu. Ternyata, kamu tahu memilih pakaian sesuai selera anak muda zaman sekarang. Lebih baik, kita ke kantor dan meminum milk shake dingin yang barusan dibuat pegawai saya.” Ajak Robert seraya mengajak Cahyana turut pergi bersamanya. Cahyana menurut saja ajakan dari bosnya.
            Robert mempersilahkan rekannya masuk lebih dahulu setelah ia membuka pintu. Ia melihat dua gelas milk shake tersedia di atas meja kerja bosnya. Cahyana menggeser kursinya lalu mendaratkan pantatnya di sana. Pria ber-pomade itu meraih kursi yang juga berada di samping dengan posisi berhadapan. Tentu saja, hal ini membuat dirinya agak grogi. Pria itu meraih gelas yang ada di sampingnya lalu mengisapnya pelan.
            Robert diam-diam mengamati rekan bisnisnya. Mulai dari ujung jari kaki hingga ubun kepalanya. Kedua kaki jenjangnya mengenakan stiletto coklat yang berpadu dengan warna kulit kakinya. Tubuhnya dibalut oleh daster batik bermodel kembang yang menutup bagian tungkai atas. Rambutnya yang hitam mengkilap dibiarkan terurai tanpa diikat. Beruntung sekali lelaki yang memiliki wanita secantik ini, pikir Robert. Wajah ovalnya tambah manis dengan tahi lalat kecil di pinggir bibirnya. You’re the sexiest woman ever i have seen, ujar Robert dalam hatinya.
            “Robert... Robert..., kamu sedang memikirkan apa?” tanya Cahyana sambil menjentikkan jarinya.
            “Tidak ada. Aku hanya memikirkan betapa beruntungnya Adi memiliki wanita seperti kamu. Sudah cantik, smart lagi,” ujarnya sambil menggoda Cahyana.
            Kedua belah pipinya mengembang, tersipu malu dengan pujian Robert. “Suami saya sering mengatakan hal itu. Ia begitu mencintai saya melebihi wanita-wanita yang pernah singgah di hatinya.”
             “Oh ya, Cahyana. Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?
            “Kenapa tidak?” Cahyana meletakkan gelasnya di atas meja lalu mencondongkan dadanya ke depan, menyimak apa yang dikatakan oleh bosnya.
            “Bagaimana kau bisa mengenal dan menikah dengan Adi?”
            Cahyana mendongakkan kepalanya, memutar-mutar ingatan yang takkan bisa hilang dari pikirannya. Pertemuannya dengan Adi bisa dibilang menarik. Waktu itu, ia sempat mendatangi toko butik yang berjarak tiga blok dari tempat kejadian perkara perampokan toko emas.
            “Saya masih ingat, ketika itu, Adi sempat mengira kalau toko butik saya yang mengalami perampokan. Sepertinya, kliennya salah memberikan alamat hingga ia kesasar di toko saya. Tapi, setelah ia selesai melakukan penyelidikan, ia langsung menghampiri toko saya sembari meminta maaf atas kelalaiannya.”
            “Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”
            “Ia juga meminta nomor handphone saya. Kami mulai menjalani hubungan spesial yang mengantarkan kami pada jenjang pernikahan,” lugasnya sambil mengambil lagi milk shake yang tersisa di gelasnya. Ia menyedotnya habis sampai setetes pun tak berada di dalamnya.
            “Sungguh cerita yang menarik, ya?”
            “Tentu, bagaimana dengan kamu, Robert?”
            Ia baru saja selesai menikmati sedotan kedua lalu menaruh kembali gelasnya di atas meja.
            “Saya tidak sempat mencari perempuan yang bisa mengisi kehidupan saya karena saya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sebelumnya, saya sempat menjalin hubungan dengan seorang wanita pengusaha sepatu namanya Natalia Endasara. Kami hampir berpacaran selama tiga tahun dan saya berniat mengunjungi orang tuanya untuk meminta restu dua hari ke depan. Begitu saya akan mendatangi rumah orang tuanya, seseroang memberikan sebuah kertas undangan. Dan kamu tahu, dia dan pasangannya akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dua hari... Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaanku saat itu. Tapi aku tak mau berlama-lama dalam kekecewaan. Aku terus bekerja keras sampai aku bisa membuat namaku terkenal di kancah perfilman nasional,” ujarnya panjang lebar dengan tatapan mata berkaca-kaca.
            Cahyana melihat ada kejujuran di bola mata Robert. Ia tidak terlihat seperti mengarang cerita. Kata-kata itu mengalir begitu saja, apa adanya tanpa tersendat.
            “Maaf, Robert, kalau aku jadi mengingatkanmu pada masa lalu,”
            “Tidak masalah. Bagiku, masa lalu yang pahit bisa menjadi pijakan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Aku tidak menyesali apa yang terjadi. Pengkhianatan bisa berbuah kesuksesan,” timpalnya dengan seulas senyuman kecil.
            “Pernahkah Natalya sesekali menghubungimu?”
            “Pernah, bahkan ia ingin mengajakku bertemu sambil meminta maaf. Tapi, aku sudah lama memaafkan dirinya. Aku tidak menyimpan dendam padanya. Aku ikhlas dengan keputusannya saat itu jikalau lelaki yang ia pilih sebagai pendamping hidupnya, lebih baik daripadaku. Itu saja.” Tutupnya sambil menghela napas kecil.
            Cahyana menganggukkan kepalanya mendengar kisah cinta Robert yang penuh lika-liku. Perjalanan cinta Robert tidak semulus dugaannya. Ia hanya melihat pekerjaan Robert sebagai produser, memungkinkan dirinya untuk mendapatkan wanita yang diinginkannya bahkan melebihi mantannya. Namun, ia memilih mencurahkan pikirannya pada dunia perfilman. Tapi, ia juga tidak tahu apakah Robert masih menyimpan rasa pada Natalya? Itu bukan menjadi urusannya. Ia cukup menjadi pendengar setia.
             “Bos Robert, bos, si Eggy, sutradara kita, memanggil bos sama mbak Cahyana ke bawah,” panggil asistennya dari luar pintu.
            “Iya, tunggu sebentar lagi. Kami akan ke sana.” Sahut Robert. Ia buru-buru mengajak Cahyana keluar dari kamarnya. Ia paham jika sang sutradara sudah memanggil dirinya, berarti ada hal yang penting yang akan dikatakan kepada dirinya.
***
            Adi melihat keadaan di belakang maupun di depan jalan. Meskipun ia sudah memasang lampu sen, ia tak lupa memperhatikan sekitarnya. Bisa saja ada pengendara sepeda motor, mobil atau truk yang melaju kencang, tidak memperhatikan kalau ia akan berbelok. Tentu saja, ini akan berbahaya karena menimbulkan kecelakaan.
            Setelah keadaan kondusif, Adi memutar kemudinya memasuki gerbang luar kantor kepolisian. Ia memilih memarkirkan mobilnya di samping mobil dinas polisi. Ia membuka pintu depan, mempercepat langkahnya memasuki kantor. Sesampainya di muka kantor, Dharmawan sudah menunggunya. Ia sedang memperhatikan layar Samsung Galaxy yang dipegangnya.
            “Ada apa?” tanya Adi begitu ia sudah di hadapan rekannya.
            Dharmawan cepat-cepat memasukkan handphone-nya ke dalam saku. Ia berusaha tampil siap di hadapan Adi.
            “Maaf kalau saya terburu-buru menghubungi anda, tapi bagaimana kita melakukan penyelidikan lagi pada saksi mata yang menemukan mayat anak laki-laki itu?”
            “Boleh saja. Apa kamu punya petunjuk lain yang berguna untuk membekuk si pelaku?”
            “Saya tidak terlalu yakin tapi firasat saya mengatakan kalau kita akan mendapatkan informasi yang penting di sana,” jawab Dharmawan pasti.
            “Baiklah kalau begitu kita akan pergi menaiki mobil saya.” Tukas Adi seraya bergegas menuju mobilnya, diikuti Dharmawan dari belakang.
            Mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Adi memutar kuncinya dan mesin mobilnya menyala. Ia memajukan mobilnya lalu memutar kemudi ke kiri. Sesudah mendapatkan posisi yang tepat, lelaki berkemeja biru muda itu mempercepat lajunya keluar dari wilayah kapolda.
            Kedua lelaki itu mengisi waktu mereka dengan bertukar cerita. Adi lebih banyak bercerita tentang istrinya. Ia tak hentinya memuji kecantikan istrinya bak putri kayangan yang turun dari langit. Dharmawan cuma tersenyum kecil mendengar cerita rekannya
            Dharmawan adalah seorang pemuda bertubuh tegap berusia dua puluh tujuh tahun. Ia berselisih dua tahun dengan umur rekannya. Saat ini, Adi genap berusia dua puluh lima tahun. Selain perbedaan umur, mereka berdua juga mengalami perbedaan status. Adi sudah menikah sedangkan Dharmawan belum. Dharmawan sendiri sudah mempunyai calon yang sudah diperkenalkannya pada ayah dan ibunya. Namun, entah mengapa, ia masih menunda-nunda kapan dia dan kekasihnya melangsungkan pernikahan.
            “Halah, kamu ini. Dari kemarin, cerita tentang istri kamu aja melulu. Telingaku enggak tahan mendengar ocehanmu, tahu?” keluh Dharmawan sambil menutup daun telinganya dengan kedua tangannya.
            “Halah, bilang saja kamu iri, aku bisa dapatkan wanita secantik Cahyana ‘kan? Ayo mengaku,” goda Adi sambil berfokus pada kemudinya.
            “Siapa yang iri? Calonku enggak kalah cantik kok dengan kamu. Biar kamu tahu, calonku ini mantan Miss kota Medan tahun 2013,” sanggah Dharmawan sambil memamerkan kelebihan calonnya.
            “Cahyana juga anak dari mantan gadis sampul dan model iklan produk dalam negeri. Kamu tahu juga ‘kan, kalau dia seorang pengusaha butik yang cukup sukses di kota Siantar.” Adi kalah mau kalah. Ia juga memamerkan kelebihan istrinya pada rekannya.
            “Ok, ok kau menang. Kuakui kalau istrimu adalah perempuan tercantik di jagad raya ini, puas?”
            “Jangan marah-marah gitu dong, Dhar. Aku minta maaf deh.” Sesal Adi sambil melirik ke arah temannya.
            “Ya aku maafkan. Tapi kalau kamu cerita sekali lagi kamu bercerita tentang istrimu, kau harus menraktirku makan pangsit di jalan Gereja. Dua porsi untukku.”
            “Waduh, gila kau. Tidak kusangka kalau nafsu makanmu lumayan kuat.Tapi..., boleh sedikit curhat padamu, Dhar?”
            “Mau curhat tentang apa? Nggak usah ragu. Kamu sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri,”
            Awalnya Adi bingung harus bercerita mulai dari mana. Namun, ia ingat dari mana mulanya permasalahan yang dialami keluarga kecilnya.
            “Kau tahu sendiri kan kalau kami sudah enam bulan menikah?”
            Dharmawan mengangguk kecil menjawab pertanyaan temannya. “Ada apa dengan pernikahanmu?”
            “Sampai awal bulan September, aku tidak menjumpai tanda-tanda Cahyana hamil. Kalau menurutmu gimana. Dhar?”
            “Apa kamu sudah mengecek kesuburan kamu dengan istrimu?” tanya Dharmawan penuh rasa ingin tahu.
            “Sebelum menikah pun, kami berdua sudah mengeceknya. Kami berdua sama-sama subur kok. Tidak ada yang mandul.”
            Dharmawan lagi-lagi mengangguk mendengar cerita temannya. Ia juga tak mempunyai solusi yang tepat untuk permasalahan temannya.
            “Aku juga bingung, Di. Aku pun juga belum menentukan waktu yang pas mengajak Ezra, calonku untuk menikah. Aku selalu saja disibukkan dengan urusan kantor,” jawab Adi seadanya sambil menggedikkan bahunya yang kekar.
            “Buat kamu, Dharma, lebih baik, cepat nikahi si Ezra sebelum dia diambil orang. Sayang banget ‘kan, sudah empat tahun pacaran nikahnya sama orang lain,” tegurnya sambil tersenyum kecut.
            “Iya, secepatnya deh. Jika perlu, setelah kasus ini beres, aku akan langsung menggelar pestanya. Oh mengenai istri kamu, mungkin kamu kurang persiapan di malam pertama?”
            “Enggak mungkin. Aku dan dia sama-sama siap kok. Stamina kami full.” Bantah Adi.
            Kali ini Dharmawan hanya diam saja. Ia memilih mengarahkan pandangannya ke jendela yang berada di depannya. Dirinya akan berkomentar jika Adi meminta pendapatnya.
            “Entahlah. Hanya kamu, istrimu dan Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Memang tidak semua keluarga langsung diberkati seorang anak. Kita harus bersabar menantikan kehadirannya.” Pungkas Adi seraya menghela napas lelah.
            “Biarlah Tuhan yang bekerja atas keluarga kami. Yang terpenting, aku dan istriku sudah berusaha.”
            Dharmawan berdeham. Kelihatannya, Adi tak meneruskan ceritanya. Mungkin, rekannya itu sudah terlalu pusing memikirkan apa yang terjadi di keluarganya. Pria berdinas polisi itu menarik sebatang rokok filter dari kemasannya. Ia menjepit kapas filter dengan mulutnya lalu tangan kanannya menyalakan macis. Kepulan asap putih tebal mengawang dalam mobil Adi. Ia memutar tuas yang terpasang di pintu agar asapnya tidak mengganggu sirkulasi udara di dalamnya.
            Ia sangat menikmati hisapan demi hisapan yang ditariknya dari rokok itu. Dharmawan adalah seorang perokok aktif. Ia mampu menghabiskan uangnya untuk membeli tiga bungkus rokok filter selama sehari. Ia pernah mencoba menghilangkan kebiasaannya merokoknya. Tapi karena pergaulannya sesama polisi yang juga kebanyakan perokok, alhasil ia tidak bisa meninggalkan kebiasaannya. Pun, rokok sudah menjadi kebutuhan primer yang sama pentingnya dengan pangan.
            Rekannya, Adi, juga seorang perokok tetapi tidak separah dirinya. Ia hanya merokok jika sedang suntuk atau tidak ada melakukan kegitan.
            Ketika sedang asyik menghisap rokoknya yang kedua, pandangan Dharmawan tak sengaja tertuju pada sebuah benda abu-abu keperakan yang tergeletak di bawah rem mobilnya.
            “Adi, apa benda yang berada di bawah rem mobilmu?” tanyanya sambil membuang puntung rokoknya keluar.
            “Benda apa yang kau maksudkan?” Adi balik bertanya. Ia tak mengerti benda seperti apa yang dimaksud oleh temannya.
            “Coba lihat sendiri di bawahmu,” suruhnya.
            Adi merasa penasaran dengan apa yang dikatakan temannya, menundukkan sedikit kepalanya ke arah rem. Memang betul apa yang dikatakannya. Ada sebuah benda abu-abu keperakan berujung lancip dengan satu sisi tajam. Benda itu adalah sebuah pisau.
            “Di, sejak kapan pisau itu berada di mobilmu?”
            “Aku sendiri juga tidak tahu, Dhar. Banyak sekali hal-hal yang aneh terjadi padaku termasuk asal muasal pisau itu,”
            Dharmawan merasakan kejanggalan dengan apa yang dikatakan rekannya—“hal-hal aneh”. Memangnya hal aneh apa saja yang dialami rekannya selama ini? Yang pasti, ini mengundang rasa penasaran dan keingintahuannya.
            “Apa ada hubungannya dengan mayat lelaki yang ditemukan di sungai?”
            “Aku juga tidak tahu.  Sejak aku menyelidiki kasus penculikan anak seorang pengusaha, aku jadi sering sakit kepala. Akibat sakit kepala ini, aku sering mengonsumsi Bodrex. Takut jadi ketergantungan obat,” jelas Adi.
            “Apakah istrimu sudah mengetahui ini?”
            “Belum. Aku tidak mau menceritakannya. Ini akan menambah beban pikirannya,”
            Tanpa mereka sadari atau tidak, keduanya akan melewati sebuah jembatan penghubung. Di bawah jembatan tersebut, terbentang sebuah sungai yang aliran airnya cukup tenang. Pepohonan rumbia lebih banyak menghiasi daerah pinggir sungai. Di jembatan inilah, mereka menemukan mayat anak laki-laki sekitar tiga hari lalu. Kini mereka memilih memarkirkan mobil mereka di salah satu warga yang bermukim di pinggir jalan. Setelah itu, mereka turun dari mobil menuju tempat penggalian pasir. Berharap dua saksi mata itu berada di sana.
              Mereka menuruni sebuah turunan yang bercabang dua. Memilih jalan sebelah kanan yang mengarahkan mereka ke daerah sungai. Cukup beruntung nasib mereka hari ini. Dua pekerja itu berada di sana. Keduanya sedang memindahkan pasir ke dalam colt diesel.
            “Selamat siang, pak Imam dan pak Jono,” sapa Adi pada dua pekerja itu.
            Merasa nama mereka dipanggil, kedua pekerja itu sejenak menghentikan aktivitas mereka.
            “Oh selamat pagi juga, pak Adi,” Sapa pak Imam lebih dahulu.
            “Siapa mereka ini, mam,” sela Jono di sampingnya.
            “Ini mereka yang kuceritakan padamu. Kedua bapak ini yang bertugas menyelidiki penemuan mayat anak laki-laki di sungai ini,” urai pak Imam.
            Begitu Imam menjelaskan, Jono langsung menyodorkan tangannya, memperkenalkan dirinya pada Adi dan Briptu Dharmawan.
            “Apa yang bisa kami bantu untuk kasus ini?”
            “Kami hanya ingin bertanya, apakah Anda tidak melihat gerak-gerik mencurigakan di sekitar jembatan dan daerah sungai ini? Misalkan, ada orang yang mondar-mandir atau sedang berdiri atau menunggu sesuatu?” tanya Briptu Dharmawan pertama kali.
            “Kalau gerak-gerik mencurigakan kurang tahu ya, pak. Soalnya, banyak banget orang-orang yang sering lewat sekitar jembatan ini,” jawab Jono seingatnya.
            “Kira-kira dua atau tiga hari sebelum mayat ditemukan, apa bapak tidak mengenali rupa orang-orang yang sering melewati jembatan atau yang sering berada di daerah sungai?” Adi bertanya seraya mengeluarkan catatan dari dalam kantong kemejanya.
            “Wah, kalau orang-orang yang sering lewat jembatan sih, mana mungkin kami kenal satu per satu. Jembatan ini juga sering diintasi para pengendara mobil, motor bahkan truk container. Maklum pak, bisa dibilang jembatan ini merupakan lalu lintas perekonomian perusahaan Sei Mangke dan perusahaan sekitarnya.” Urai pak Imam rinci.
            Adi juga tahu kalau jembatan ini bukan hanya berfungsi secara ekonomi, tapi jembatan ini bisa menjadi jalan alternatif masyarakat kota Siantar yang ingin bepergian ke Limapuluh dan kota di sekitarnya. Adi pernah melewati jembatan ini ketika ia mengunjungi orang tuanya di Kisaran bersama dengan istrinya.
            “Tapi, orang-orang yang sering berada di kawasan sungai, hanya kami saja para penggali pasir dan anak-anak yang bermukim di sekitar kawasan sungai.” Timpal pak Jono.
            Benar yang dikatakan pak Jono. Keduanya melihat sekumpulan anak sedang bermain pasir di sekitar sungai. Ada di antara mereka yang asyik membangun kreasi dari pasir dan ada juga yang bermain lempar-lemparan pasir.
            “Pertanyaan terakhir. Apakah aliran sungai hanya terdiri dari satu induk atau memiliki banyak percabangan?”      
            “Mohon maaf, kami juga enggak tahu pasti soal itu. Tapi kata orang-orang di sekitar sini, sungai ini punya tiga anak sungai yang induknya berada tepat di aliran sungai ini. Kalau mau tahu nama tiga anak sungai itu, bapak bisa bertanya pada penduduk yang tinggal di sini. Kami berdua hanya pendatang dari daerah lain,” tukas pak Imam terakhir kali.
            “Baiklah, kami merasa sudah cukup dengan keterangannya. Terimakasih atas kerjasamanya. Kami undur diri dari hadapan bapak. Selamat siang.” Keduanya berpamitan seraya berbalik badan meninggalkan lokasi penggalian pasir sungai.
            Setelah keduanya menjauhi lokasi penggalian, kini mereka sudah tiba di salah satu rumah warga, tempat mereka memarkirkan mobil.
            “Jadi, apa yang kita lakukan?”
            Briptu Dharmawan mengeluarkan secarik kertas dan membukanya perlahan-lahan.
            “Kita akan menuju ke alamat orang tua si korban, setidaknya kita harus tahu nama tiga anak sungai itu supaya proses pencarian lebih mudah. Setuju?”
            Adi menyetujui usulan dari rekannya. Keduanya memilih bertanya pada salah satu warga yang tinggal di sana. Sebelum mengambil mobilnya, mereka menyempatkan diri bersinggah sambil mengorek informasi mengenai nama anak sungai itu.
              Tuan rumah menyambut mereka dengan ramah. Keduanya sudah disuguhkan dengan dua cangkir teh manis panas ditambah dengan sepiring biskuit kering. Memang, melakukan proses penyelidikan membutuhkan asupan energi yang banyak. Ditambah sengatan sinar matahari yang memanggang kulit mereka dan menimbulkan dahaga di kerongkong. Bisa saja mereka meminta teh manis dingin, namun karena segan, teh manis panas yang dihidangkan tuan rumah harus mereka nikmati.
            Setelah berbincang cukup lama, mereka sudah mendapatkan informasi mengenai nama tiga anak suangai itu. Nama ketiga anak sungai itu yakni; sungai Bahapal, sungai Bahbolon dan sungai Titikuning. Semua nama anak sungai itu sudah tertulis di catatan Adi. Merasa informasi yang didapatkan mencukupi, mereka berpamitan pada tuan rumah. Adi melajukan mobilnya lebih cepat setelah ia keluar dari pekarangan rumah. Secepat mungkin mereka harus tiba di tujuan—Tiga Balata.