Adi
mengaitkan kancing yang berada di ujung lengan panjangnya. Setelah penampilannya
rapi, ia bergerak menuju ruang dapur. Cahyana sedang menyeduh kopi luwak yang
menjadi minuman favoritnya. Lagi, ia meletakkan semangkuk bubur ayam dengan
taburan ayam cuilan di atas bubur. Adi langsung menarik kursi, sambil menunggu
Cahyana duduk bersamanya.
“Adi,” sapa Cahyana.
“Ada apa, Yana?”
“Maaf atas kejadian tadi malam,
bukannya aku—“
“Tidak apa-apa, Yana. Aku sudah tahu
alasanmu mengatakan hal itu. Oh ya, kamu jadi bukan, pergi ke Robert Studio?”
sela Adi sambil meniup buburnya yang mengeluarkan gumpalan uap tipis yang
keluar dari sendokan buburnya.
“Jadi, kamu menyetujui rencana
kontrak kerjasama dengan Robert?” tanya Cahyana setengah tak percaya.
Adi mengangguk pelan. Lidahnya masih
sibuk mengecap kandungan rasa daging ayam dan kerupuk udang yang terdapat dalam
bubur olahan istrinya.
“Kalau begitu, aku mandi dahulu, ya
Adi. Maaf kalau harus membuatmu menunggu.” Cahyana menggeser kursinya ke
belakang seraya bangkit berdiri. Melihat respon Adi yang tak keberatan, Cahyana
meninggalkan suaminya sendirian di sana. Suaminya tengah menikmati bubur ayam
hasil olahan masakannya.
Bubur ayam itu habis dalam waktu
sepuluh menit. Adi memegang kuping cangkir sambil menyeruput kopi yang ada
dalam genggaman tangannya. Tidak terlalu manis dan tidak kurang gula.
Racikannya pas. Rasanya puas sekali menikmati hidangan istrinya yang menyajikan
menu sarapan pagi yang menyenangkan lidahnya. Adi juga berpikir ini adalah cara
yang dipakai Cahyana guna menurunkan emosinya. Dan usahanya cukup berhasil membuat
seulas senyum mengembang di bibir coklatnya.
Di sedotan terakhir, Cahyana sudah
berada di hadapannya. Kali ini, istrinya mengenakan daster lengan pendek bermotif
batik Cirebon. Ujung daster terurai melewati tempurung lututnya. Dalam hatinya,
Adi tak henti-henti memuji kepiawaian istirinya dalam memilih model pakaian.
“Ayo kita pergi.” Ajak Cahyana
sambil melangkah ke depan teras. Usai menutup pagar, mereka melenggang jauh
meninggalkan rumah.
Keduanya terlihat santai. Adi
sesekali melemparkan candaan riang yang membuat istrinya tergelak. Hal seperti
inilah yang harus dijaga dalam sebuah hubungan suami istri. Tetap menjalin
komunikasi. Komunikasi merupakan kunci utama suatu hubungan tetap berjalan
lancar dan harmonis. Bukan hanya hubungan asmara, persahabatan, orang tua dan
anaknya harus melakukan komunikasi yang baik, intens dan punya arti. Itulah
arti komunikasi.
“Omong-omong, kamu tahu kan jalan
Sriwijaya yang ada di kartu nama Robert?”
“Jelas tahu lah. Di sana, ada kedai
kopi yang enak tempat biasa aku dan Dharmawan hang out,”
“Dharmawan partnermu yang Briptu itu
‘kan?”
Adi mengangguk pelan. “Menurutmu, Robert
kelihatan menarik tidak?” kata itu terlepas begitu saja dari mulut Cahyana.
“Maksudmu?” Adi menoleh sesaat pada
istrinya.
“Err, maksudku apakah dia mempunyai
ketertarikan yang tinggi dalam dunia perfilman?” kilah Cahyana, istrinya.
“Entahlah. Tapi, Yana, kau ‘kan
penggila film nih, kamu pernah dengar enggak namanya dalam dunia perfilman?”
“Dari berbagai genre film yang
pernah kutonton, aku belum pernah mendengar nama Robert Antono,” jelasnya.
Adi hanya berdeham. Ia memofuskan
pandangannya ke jalan raya. Jalan Sriwijaya berada di persimpangan empat. Jalan
itu berada di sebelah kiri persimpangan. Berbagai toko yang berdiri di sana
kebanyakan toko elektronik dan kedai kopi. Tapi, ada satu bangunan yang
menarik, terlihat oleh kedua bola matanya. Bangunan megah bertegel keramik
dengan empat pilar beton yang menopang pondasi, meyakinkan keduanya bahwa sang
pemilik adalah orang kaya. Ditambah lagi, lokasinya yang strategis berada di
pinggir jalan raya. Tempat hilir mudiknya segala kendaraan bermesin.
“Ini dia yang kita cari.” Unjuk
Cahyana dengan telunjuknya.
Ucapan istrinya benar. Ia melihat
sebuah plang “Robert Studio” terpasang di atas bangunan megah itu. Adi menekan
klakson agar security mau membuka
gerbang. Seorang pria bertubuh tambun lengkap dengan pakaian dinas mengetuk
kaca mobilnya. Ia menekan tombol pembuka agar bisa lebih jelas apa yang
dikatakan pria itu.
“Permisi, Anda mau cari siapa ya?” tanya sang security.
Adi mengeluarkan selembar kartu nama
lalu menyerahkannya pada pria itu.
“Oh, silakan masuk, pak, bu.” Sang
security membuka gerbang selebar mungkin agar mobil itu bisa masuk.
Adi memilih memarkirkan mobilnya di
samping Ertiga. Keduanya keluar bersama-sama dari pintu depan. Begitu mereka
keluar, mereka disambut dengan kedatangan seorang pria berpakaian serba ketat
dengan selendang merah cerah melingkari lehernya.
“Pasti kalian berdua mau cari bos
saya ‘kan? Kebetulan, eike disuruh
mengantar kamyu berdua ke ruangannya.
Ayo ikut.” Ajaknya sambil berjalan dengan lenggokan pinggang yang kemayu.
Keduanya memilih berjalan di belakang pria jadi-jadian itu.
Bukan hanya besar di pekarangan
tetapi bagian dalam juga demikian. Ada gerombolan laki-laki dan perempuan
sedang melakoni mimik dan gaya yang sudah diarahkan oleh sang sutradara. Banyak
di antara mereka yang masih canggung dan malu mendalami karakter yang telah
ditetapkan. Sang sutradara terpaksa menahan ledakan emosi yang sudah menggunung
di ubun-ubunnya.
Mereka harus menaiki satu lantai
lagi karena bangunan ini memiliki tiga tingkatan. Lantai pertama dipakai oleh
para aktor dan aktris untuk belajar acting
dan briefing para aktris, aktor dan
sutradara. Lantai kedua adalah tempat pergantian busana dan merias para aktor
dan aktris sesuai peran yang ada di skenario. Dan lantai tiga, adalah markas
besar segala divisi dalam pembuatan film. Pria kemayu itu sudah mengantarkan
keduanya di depan ruang pribadi Robert Antonio.
“Tunggu sebentar ya..., Bos, bos,
ada yang mau ketemu nih,” panggilnya dari pintu luar.
“Silakan masuk. Pintu tidak
terkunci.” Sahut sang bos dari dalam.
Pria itu memilih mengundurkan diri
dari sana. Tangan Adi sudah menggenggam gagang lalu didorongnya sedikit agar
mereka bisa masuk.
“Silakan duduk.”
Keduanya duduk di kursi yang sudah
tersedia di sana. Pria itu membalikkan posisi badannya dan kursi berputar ke
hadapan para tamunya.
“Selamat datang di kerajaan saya.
Kalian adalah orang luar yang beruntung bisa datang ke sini,” sambut Robert
penuh semangat.
“Kami juga senang bisa disambut
seramah ini oleh pemilik studio. Istri Anda telah banyak bercerita sejak Anda
datang ke tokonya,”
“Oh, Anda suaminya?”
“Betul. Nama saya Adi Jaya Pratama.”
Ucapnya sambil menyodorkan tangan.
“Senang bertemu dengan Anda, pak
Adi. Saya Robert Antono, pemilik Robert Studio. Kalau boleh tahu, apa pekerjaan
Anda sekarang?” Balasnya seraya menyambut jabat tangan Adi.
“Saya seorang detektif swasta.”
“Oh, seorang detektif. Saya
terkadang takjub dengan kerja detektif yang menggunakan analisa tingkat tinggi
dalam menyelesaikan sebuah kasus,” jelas Robert sekenanya.
“Ya begitulah. Memang memeras otak
tapi yang terpenting, kita harus menyinergiskan kekuatan hati, jiwa dan pikiran
dalam menuntaskan kasus,” jelasnya mantap.
“Oh ya, bagaimana saudari Cahyana,
apakah Anda menerima tawaran yang sudah saya beritahu saat kita berada di
toko?” Robert mendekatkan kursinya sehingga ia bisa melihat wajah kedua tamunya
dengan jelas.
“Saya setuju dengan penawaran yang
Anda berikan. Lagipula, suami saya juga setuju,” Cahyana melirik ke arah
suaminya.
“Saya juga mendukung apa yang
menjadi kemajuan untuk istri saya. Selagi, ia bisa mengimbangi jam kesibukannya
dengan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.”
“Eee, kalau boleh saya tahu, kalian
berdua belum punya momongan?” selidik Robert.
Mereka serempak menggelengkan
kepala. Robert jadi merasa bersalah menanyakan hal itu kepada mereka.
“Oh, saya minta maaf,” ucapnya
pelan.
“Tidak apa-apa. Kalau boleh tahu,
sudah berapa lama, Anda menjadi produser film?” tanyanya sembari mengisap teh
manis yang sudah disediakan untuk mereka.
“Saya sudah tiga tahun menjadi
produser film. Tapi, saya juga mengambil bagian dalam sutradara dan penulis
naskah. Saya sudah mempunyai satu film yang telah ditayangkan di bioskop
seluruh Indonesia. Film pertama saya mengusung genre romansa komedi dengan
berlatarkan tempat-tempat wisata. Untuk film pertama, saya mengambil latar pantai
Pelabuhan Ratu di Jawa Barat. Tapi sayang, untuk film pertama kurang mendapat
apresiasi dari penonton. Saya berjanji untuk memperbaikinya di film kedua saya.
Di film kedua, saya mengusung tema horor dengan mengambil latar di Danau Toba.”
Urai Robert panjang lebar.
Adi menanggapi cerita Robert dengan
tiga kali anggukan. Namun, dalam hatinya Robert merupakan sosok ynag tidak
gampang menyerah. Ia tetap saja berkarya meskipun kurang apresiasi dari
penikmat film. Begitulah prinsip yang harus dimiliki seniman sejati.
Tiba-tiba Adi menegakkan kepalanya.
Otaknya seperti baru bangun dalam tidur seribu tahun. Ia bergegas melangkah
jauh, meninggalkan Cahyana dan Robert di sana.
“Maaf, aku harus pergi. Sepertinya,
aku benar-benar melupakan sesuatu. Permisi.” Pamitnya sambil menutup kembali
pintu ruangan Robert.
Adi meraih kunci mobil yang berada
di kantungnya. Dengan menekan alarm, mobil berbunyi dan sudah tak terkunci
lagi. Sebelum keluar dari kediaman Robert, ia menyuruh security yang berjaga,
membukakan pintu untuknya.
“Tolong buka gerbangnya.” Seru Adi.
Sang security sigap membuka gerbang seluas ukuran mobil Adi. Ia
menaikkan persneling, memelesat menjauhi studio itu. Di sana, hanya tinggal
Cahyana dan Robert. Semula keduanya membisu. Belum ada yang berani membuka
pembicaraan. Akhirnya, Robert memberanikan diri berbicara terlebih dahulu.
“Ehem, oh ya Cahyana, ayo, aku mau
mengajak kamu ke lantai dua,”
“Oh baiklah. Saya sudah tidak sabar
untuk memulai bekerja di hari pertama,” timpalnya seraya bangkit berdiri dari
kursinya.
Adi masih berkutat di jalan raya.
Meskipun ia memacu mobilnya dengan kecepatan maksimum, ia tetap siaga dengan
keadaan jalan yang lumayan ramai. Ia sekejap melirik arlojinya. Ternyata, jarum
jam menunjukkan pukul 09.15. Itu masih termasuk jam karyawan pergi ke kantor
atau jam mahasiswa pergi ke kampus mereka masing-masing. Adi harus bersabar
jika mau selamat ke rumahnya.
Sudah terbebas dari lalu lintas
jalan yang ramai, ia harus berhenti tepat di lampu merah. Waktunya benar-benar
tersita di jalan raya. Hanya saja, tinggal melewati jalan lurus kemudian belok
kanan, ia akan sampai di rumahnya.
Beberapa halangan sudah terlewati.
Ia memakirkan mobilnya di depan gerbang rumahnya. Membuka gembok dengan anak
kunci yang berada di tangannya. Sesudah gembok terbuka, Adi mempercepat langkah
kakinya. Ia menuju sebuah ruangan yang berada di ruang tamu. Sudah menjadi
kebiasaan mereka untuk tidak mengunci kamar tidur. Jadi, mudah saja untuknya
masuk ke dalam.
Ia membuka lemari yang berada di samping ranjang tidur. Ia membuka
laci-laci yang terdapat di dalamnya. Ia mengambil setumpuk berkas-berkas
penting, memisahkannya satu per satu. Ia mengambil setiap keterangan yang
tertera di sana. Semua ada dalam satu map. Mulai dari akta pernikahan, sertifikat
rumah, ijazah SD, SMP, SMA, transkrip nilai kuliah, akta pengangkatan detektif
dan akta kelahiran dirinya dan istrinya. Ia mengambil akta lahir dan
mengamatinya jeli.
“Sedang mencari jati dirimu, tuan
detektif?” tanya suara misterius itu.
Sontak saja, Adi membalikkan
badannya. Ia terkejut sosok misterius yang dijumpainya di pasar, tiba-tiba
berada di rumahnya. Tepat berada di belakangnya.
Dengan membawa akta lahir miliknya,
Adi mencengkeram kerah baju sosok itu dan mendesaknya ke sudut ruangan.
“Bagaimana kamu bisa tahu rumahku?!
Ayo katakan!” tanya Adi geram
“Hehehe, itu pertanyaan mudah tapi
aku memilih tidak menjawabnya. Aku yakin suatu hari kamu pasti tahu sendiri,”
jawabnya dengan menyimpul senyum getir.
“Jangan main-main dengan saya! Kamu
lihat ini! Semua tentang diri saya ada di sini, kamu lihat!” Adi menyodorkan
akta miliknya tepat di wajah sosok itu.
“Itu bukan dirimu yang sebenarnya,
tuan. Mereka sudah menghapusnya tanpa sepengetahuanmu,” bantahnya.
“Apa maksudmu—“
Ketika ia ingin mengorek informasi
lebih jelas dari sosok misterius itu, saraf-saraf di otaknya berdenyut kencang.
Lagi-lagi, ia mendapat sebuah gambar buram di mana seorang anak tengah dipukuli
ibunya. Anak laki-laki itu meraung sambil meminta ampunan pada ibunya. Sang ibu
tidak menggubrisnya. Ia terus saja mendaratkan seikat sapu lidi di tubuh anak
malang itu hingga tertinggal bekas merah memanjang di kulitnya.
Adi coba melawan rasa sakit yang
menyarang di kepalanya. Ia bangkit seraya mencari ke mana perginya sosok
misterius itu. Sambil memegangi kepalanya, langkahnya tertatih-tatih menyusuri
seisi ruang tamu. Bisa saja sosok itu sedang bersembunyi dan tiba-tiba
menghajarnya dari belakang. Ia harus ekstra hati-hati dan waspada dengan segala
macam kemungkinan.
Sepanjang pencariannya di sana, ia
tidak menemukan tempat persembunyian sosok misterius yang menyusup ke rumah. Sial, maki Adi dalam pikirannya. Sungguh
sakit kepala kronis ini datang di saat ia berhadapan dengan sosok itu. Adi
kembali ke kamarnya. Ia mengambil satu strip Bodrex dari laci lemarinya,
diambilnya satu untuk dimakan. Rasa sakit mulai mereda. Ia sudah bisa
mengendalikan dirinya. Ia sungguh tidak mengerti apa yang dikatakan sosok itu
padanya terakhir kali.
Mereka
sudah menghapusnya tanpa sepengetahuanmu...
Adi melirik kembali kertas akta
lahir miliknya yang sudah berkerut karena genggaman tangannya yang terlalu
kencang. Diperhatikannya tulisan yang tercetak di dalam akta itu.
Nama
Lengkap : Adi Jaya Pratama
TTL : Kisaran, 21 Juni
1991
Nama
orang tua : Ayah : Hotma Frans Tua
Ibu :
Filda Sulastri
Mungkinkah yang dimaksud dengan
“mereka” adalah ayah dan ibunya? Apakah selama ini kedua orang tuanya
menyembunyikan suatu rahasia besar yang tak pernah diketahuinya? Entahlah. Ia
tak ingin memikirkan jauh semua teka-teki dan keanehan yang terjadi padanya selama
ini.
Handphone di sakunya bergetar. Adi
buru-buru mengambilnya dari dalam saku.
“Halo,” sapanya dari tempatnya.
“Halo pak Adi, Anda di mana
sekarang?”
“Saya sedang ada di rumah, ada
keperluan apa, briptu Dharmawan?”
“Saya harap Anda bisa tiba
secepatnya di kantor polisi. Kita akan melakukan wawancara dengan para saksi
yang menemukan mayat anak lelaki itu,”
“Baiklah. Saya akan segera di sana.”
Tutupnya sambil menyimpan kembali handphone-nya
di dalam saku celana.
Adi memutuskan untuk menyusul
rekannya di kantor polisi. Ia merapikan kemejanya setelah itu menutup pintu. Di
alam pikirannya, ia akan berusaha mencarin waktu yang tepat untuk bertanya pada
orang tuanya. Ya, ia berharap jawaban orang tuanya bisa memecahkan teka-teki
yang menyelimuti kehidupannya.

No comments:
Post a Comment