Saturday, 12 March 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 6



Adi mengaitkan kancing yang berada di ujung lengan panjangnya. Setelah penampilannya rapi, ia bergerak menuju ruang dapur. Cahyana sedang menyeduh kopi luwak yang menjadi minuman favoritnya. Lagi, ia meletakkan semangkuk bubur ayam dengan taburan ayam cuilan di atas bubur. Adi langsung menarik kursi, sambil menunggu Cahyana duduk bersamanya.
            “Adi,” sapa Cahyana.
            “Ada apa, Yana?”
            “Maaf atas kejadian tadi malam, bukannya aku—“
            “Tidak apa-apa, Yana. Aku sudah tahu alasanmu mengatakan hal itu. Oh ya, kamu jadi bukan, pergi ke Robert Studio?” sela Adi sambil meniup buburnya yang mengeluarkan gumpalan uap tipis yang keluar dari sendokan buburnya.
            “Jadi, kamu menyetujui rencana kontrak kerjasama dengan Robert?” tanya Cahyana setengah tak percaya.
            Adi mengangguk pelan. Lidahnya masih sibuk mengecap kandungan rasa daging ayam dan kerupuk udang yang terdapat dalam bubur olahan istrinya.
            “Kalau begitu, aku mandi dahulu, ya Adi. Maaf kalau harus membuatmu menunggu.” Cahyana menggeser kursinya ke belakang seraya bangkit berdiri. Melihat respon Adi yang tak keberatan, Cahyana meninggalkan suaminya sendirian di sana. Suaminya tengah menikmati bubur ayam hasil olahan masakannya.
            Bubur ayam itu habis dalam waktu sepuluh menit. Adi memegang kuping cangkir sambil menyeruput kopi yang ada dalam genggaman tangannya. Tidak terlalu manis dan tidak kurang gula. Racikannya pas. Rasanya puas sekali menikmati hidangan istrinya yang menyajikan menu sarapan pagi yang menyenangkan lidahnya. Adi juga berpikir ini adalah cara yang dipakai Cahyana guna menurunkan emosinya. Dan usahanya cukup berhasil membuat seulas senyum mengembang di bibir coklatnya.
            Di sedotan terakhir, Cahyana sudah berada di hadapannya. Kali ini, istrinya mengenakan daster lengan pendek bermotif batik Cirebon. Ujung daster terurai melewati tempurung lututnya. Dalam hatinya, Adi tak henti-henti memuji kepiawaian istirinya dalam memilih model pakaian.
            “Ayo kita pergi.” Ajak Cahyana sambil melangkah ke depan teras. Usai menutup pagar, mereka melenggang jauh meninggalkan rumah.
            Keduanya terlihat santai. Adi sesekali melemparkan candaan riang yang membuat istrinya tergelak. Hal seperti inilah yang harus dijaga dalam sebuah hubungan suami istri. Tetap menjalin komunikasi. Komunikasi merupakan kunci utama suatu hubungan tetap berjalan lancar dan harmonis. Bukan hanya hubungan asmara, persahabatan, orang tua dan anaknya harus melakukan komunikasi yang baik, intens dan punya arti. Itulah arti komunikasi.
            “Omong-omong, kamu tahu kan jalan Sriwijaya yang ada di kartu nama Robert?”
            “Jelas tahu lah. Di sana, ada kedai kopi yang enak tempat biasa aku dan Dharmawan hang out,”
            “Dharmawan partnermu yang Briptu itu ‘kan?”
             Adi mengangguk pelan. “Menurutmu, Robert kelihatan menarik tidak?” kata itu terlepas begitu saja dari mulut Cahyana.
            “Maksudmu?” Adi menoleh sesaat pada istrinya.
            “Err, maksudku apakah dia mempunyai ketertarikan yang tinggi dalam dunia perfilman?” kilah Cahyana, istrinya.
            “Entahlah. Tapi, Yana, kau ‘kan penggila film nih, kamu pernah dengar enggak namanya dalam dunia perfilman?”
            “Dari berbagai genre film yang pernah kutonton, aku belum pernah mendengar nama Robert Antono,” jelasnya.
            Adi hanya berdeham. Ia memofuskan pandangannya ke jalan raya. Jalan Sriwijaya berada di persimpangan empat. Jalan itu berada di sebelah kiri persimpangan. Berbagai toko yang berdiri di sana kebanyakan toko elektronik dan kedai kopi. Tapi, ada satu bangunan yang menarik, terlihat oleh kedua bola matanya. Bangunan megah bertegel keramik dengan empat pilar beton yang menopang pondasi, meyakinkan keduanya bahwa sang pemilik adalah orang kaya. Ditambah lagi, lokasinya yang strategis berada di pinggir jalan raya. Tempat hilir mudiknya segala kendaraan bermesin.
            “Ini dia yang kita cari.” Unjuk Cahyana dengan telunjuknya.
            Ucapan istrinya benar. Ia melihat sebuah plang “Robert Studio” terpasang di atas bangunan megah itu. Adi menekan klakson agar security mau membuka gerbang. Seorang pria bertubuh tambun lengkap dengan pakaian dinas mengetuk kaca mobilnya. Ia menekan tombol pembuka agar bisa lebih jelas apa yang dikatakan pria itu.  
             “Permisi, Anda mau cari siapa ya?” tanya sang security.
            Adi mengeluarkan selembar kartu nama lalu menyerahkannya pada pria itu.
            “Oh, silakan masuk, pak, bu.” Sang security membuka gerbang selebar mungkin agar mobil itu bisa masuk.
            Adi memilih memarkirkan mobilnya di samping Ertiga. Keduanya keluar bersama-sama dari pintu depan. Begitu mereka keluar, mereka disambut dengan kedatangan seorang pria berpakaian serba ketat dengan selendang merah cerah melingkari lehernya.
            “Pasti kalian berdua mau cari bos saya ‘kan? Kebetulan, eike disuruh mengantar kamyu berdua ke ruangannya. Ayo ikut.” Ajaknya sambil berjalan dengan lenggokan pinggang yang kemayu. Keduanya memilih berjalan di belakang pria jadi-jadian itu.
            Bukan hanya besar di pekarangan tetapi bagian dalam juga demikian. Ada gerombolan laki-laki dan perempuan sedang melakoni mimik dan gaya yang sudah diarahkan oleh sang sutradara. Banyak di antara mereka yang masih canggung dan malu mendalami karakter yang telah ditetapkan. Sang sutradara terpaksa menahan ledakan emosi yang sudah menggunung di ubun-ubunnya.
            Mereka harus menaiki satu lantai lagi karena bangunan ini memiliki tiga tingkatan. Lantai pertama dipakai oleh para aktor dan aktris untuk belajar acting dan briefing para aktris, aktor dan sutradara. Lantai kedua adalah tempat pergantian busana dan merias para aktor dan aktris sesuai peran yang ada di skenario. Dan lantai tiga, adalah markas besar segala divisi dalam pembuatan film. Pria kemayu itu sudah mengantarkan keduanya di depan ruang pribadi Robert Antonio.
            “Tunggu sebentar ya..., Bos, bos, ada yang mau ketemu nih,” panggilnya dari pintu luar.
            “Silakan masuk. Pintu tidak terkunci.” Sahut sang bos dari dalam.
            Pria itu memilih mengundurkan diri dari sana. Tangan Adi sudah menggenggam gagang lalu didorongnya sedikit agar mereka bisa masuk.
            “Silakan duduk.”
            Keduanya duduk di kursi yang sudah tersedia di sana. Pria itu membalikkan posisi badannya dan kursi berputar ke hadapan para tamunya.
            “Selamat datang di kerajaan saya. Kalian adalah orang luar yang beruntung bisa datang ke sini,” sambut Robert penuh semangat.
            “Kami juga senang bisa disambut seramah ini oleh pemilik studio. Istri Anda telah banyak bercerita sejak Anda datang ke tokonya,”
            “Oh, Anda suaminya?”
            “Betul. Nama saya Adi Jaya Pratama.” Ucapnya sambil menyodorkan tangan.
            “Senang bertemu dengan Anda, pak Adi. Saya Robert Antono, pemilik Robert Studio. Kalau boleh tahu, apa pekerjaan Anda sekarang?” Balasnya seraya menyambut jabat tangan Adi.
            “Saya seorang detektif swasta.”
            “Oh, seorang detektif. Saya terkadang takjub dengan kerja detektif yang menggunakan analisa tingkat tinggi dalam menyelesaikan sebuah kasus,” jelas Robert sekenanya.
            “Ya begitulah. Memang memeras otak tapi yang terpenting, kita harus menyinergiskan kekuatan hati, jiwa dan pikiran dalam menuntaskan kasus,” jelasnya mantap.
            “Oh ya, bagaimana saudari Cahyana, apakah Anda menerima tawaran yang sudah saya beritahu saat kita berada di toko?” Robert mendekatkan kursinya sehingga ia bisa melihat wajah kedua tamunya dengan jelas.
            “Saya setuju dengan penawaran yang Anda berikan. Lagipula, suami saya juga setuju,” Cahyana melirik ke arah suaminya.
            “Saya juga mendukung apa yang menjadi kemajuan untuk istri saya. Selagi, ia bisa mengimbangi jam kesibukannya dengan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.”
            “Eee, kalau boleh saya tahu, kalian berdua belum punya momongan?” selidik Robert.
            Mereka serempak menggelengkan kepala. Robert jadi merasa bersalah menanyakan hal itu kepada mereka.
            “Oh, saya minta maaf,” ucapnya pelan.
            “Tidak apa-apa. Kalau boleh tahu, sudah berapa lama, Anda menjadi produser film?” tanyanya sembari mengisap teh manis yang sudah disediakan untuk mereka.
            “Saya sudah tiga tahun menjadi produser film. Tapi, saya juga mengambil bagian dalam sutradara dan penulis naskah. Saya sudah mempunyai satu film yang telah ditayangkan di bioskop seluruh Indonesia. Film pertama saya mengusung genre romansa komedi dengan berlatarkan tempat-tempat wisata. Untuk film pertama, saya mengambil latar pantai Pelabuhan Ratu di Jawa Barat. Tapi sayang, untuk film pertama kurang mendapat apresiasi dari penonton. Saya berjanji untuk memperbaikinya di film kedua saya. Di film kedua, saya mengusung tema horor dengan mengambil latar di Danau Toba.” Urai Robert panjang lebar.
            Adi menanggapi cerita Robert dengan tiga kali anggukan. Namun, dalam hatinya Robert merupakan sosok ynag tidak gampang menyerah. Ia tetap saja berkarya meskipun kurang apresiasi dari penikmat film. Begitulah prinsip yang harus dimiliki seniman sejati.
            Tiba-tiba Adi menegakkan kepalanya. Otaknya seperti baru bangun dalam tidur seribu tahun. Ia bergegas melangkah jauh, meninggalkan Cahyana dan Robert di sana.
            “Maaf, aku harus pergi. Sepertinya, aku benar-benar melupakan sesuatu. Permisi.” Pamitnya sambil menutup kembali pintu ruangan Robert.
            Adi meraih kunci mobil yang berada di kantungnya. Dengan menekan alarm, mobil berbunyi dan sudah tak terkunci lagi. Sebelum keluar dari kediaman Robert, ia menyuruh security yang berjaga, membukakan pintu untuknya.
            “Tolong buka gerbangnya.” Seru Adi.
            Sang security sigap membuka gerbang seluas ukuran mobil Adi. Ia menaikkan persneling, memelesat menjauhi studio itu. Di sana, hanya tinggal Cahyana dan Robert. Semula keduanya membisu. Belum ada yang berani membuka pembicaraan. Akhirnya, Robert memberanikan diri berbicara terlebih dahulu.
            “Ehem, oh ya Cahyana, ayo, aku mau mengajak kamu ke lantai dua,”
            “Oh baiklah. Saya sudah tidak sabar untuk memulai bekerja di hari pertama,” timpalnya seraya bangkit berdiri dari kursinya.
            Adi masih berkutat di jalan raya. Meskipun ia memacu mobilnya dengan kecepatan maksimum, ia tetap siaga dengan keadaan jalan yang lumayan ramai. Ia sekejap melirik arlojinya. Ternyata, jarum jam menunjukkan pukul 09.15. Itu masih termasuk jam karyawan pergi ke kantor atau jam mahasiswa pergi ke kampus mereka masing-masing. Adi harus bersabar jika mau selamat ke rumahnya.
            Sudah terbebas dari lalu lintas jalan yang ramai, ia harus berhenti tepat di lampu merah. Waktunya benar-benar tersita di jalan raya. Hanya saja, tinggal melewati jalan lurus kemudian belok kanan, ia akan sampai di rumahnya. 
            Beberapa halangan sudah terlewati. Ia memakirkan mobilnya di depan gerbang rumahnya. Membuka gembok dengan anak kunci yang berada di tangannya. Sesudah gembok terbuka, Adi mempercepat langkah kakinya. Ia menuju sebuah ruangan yang berada di ruang tamu. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk tidak mengunci kamar tidur. Jadi, mudah saja untuknya masuk ke dalam.
               Ia membuka lemari yang berada di samping ranjang tidur. Ia membuka laci-laci yang terdapat di dalamnya. Ia mengambil setumpuk berkas-berkas penting, memisahkannya satu per satu. Ia mengambil setiap keterangan yang tertera di sana. Semua ada dalam satu map. Mulai dari akta pernikahan, sertifikat rumah, ijazah SD, SMP, SMA, transkrip nilai kuliah, akta pengangkatan detektif dan akta kelahiran dirinya dan istrinya. Ia mengambil akta lahir dan mengamatinya jeli.
            “Sedang mencari jati dirimu, tuan detektif?” tanya suara misterius itu.
            Sontak saja, Adi membalikkan badannya. Ia terkejut sosok misterius yang dijumpainya di pasar, tiba-tiba berada di rumahnya. Tepat berada di belakangnya.
            Dengan membawa akta lahir miliknya, Adi mencengkeram kerah baju sosok itu dan mendesaknya ke sudut ruangan.
            “Bagaimana kamu bisa tahu rumahku?! Ayo katakan!” tanya Adi geram
            “Hehehe, itu pertanyaan mudah tapi aku memilih tidak menjawabnya. Aku yakin suatu hari kamu pasti tahu sendiri,” jawabnya dengan menyimpul senyum getir.
            “Jangan main-main dengan saya! Kamu lihat ini! Semua tentang diri saya ada di sini, kamu lihat!” Adi menyodorkan akta miliknya tepat di wajah sosok itu.
            “Itu bukan dirimu yang sebenarnya, tuan. Mereka sudah menghapusnya tanpa sepengetahuanmu,” bantahnya.
            “Apa maksudmu—“
            Ketika ia ingin mengorek informasi lebih jelas dari sosok misterius itu, saraf-saraf di otaknya berdenyut kencang. Lagi-lagi, ia mendapat sebuah gambar buram di mana seorang anak tengah dipukuli ibunya. Anak laki-laki itu meraung sambil meminta ampunan pada ibunya. Sang ibu tidak menggubrisnya. Ia terus saja mendaratkan seikat sapu lidi di tubuh anak malang itu hingga tertinggal bekas merah memanjang di kulitnya.
            Adi coba melawan rasa sakit yang menyarang di kepalanya. Ia bangkit seraya mencari ke mana perginya sosok misterius itu. Sambil memegangi kepalanya, langkahnya tertatih-tatih menyusuri seisi ruang tamu. Bisa saja sosok itu sedang bersembunyi dan tiba-tiba menghajarnya dari belakang. Ia harus ekstra hati-hati dan waspada dengan segala macam kemungkinan.
            Sepanjang pencariannya di sana, ia tidak menemukan tempat persembunyian sosok misterius yang menyusup ke rumah. Sial, maki Adi dalam pikirannya. Sungguh sakit kepala kronis ini datang di saat ia berhadapan dengan sosok itu. Adi kembali ke kamarnya. Ia mengambil satu strip Bodrex dari laci lemarinya, diambilnya satu untuk dimakan. Rasa sakit mulai mereda. Ia sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia sungguh tidak mengerti apa yang dikatakan sosok itu padanya terakhir kali.
            Mereka sudah menghapusnya tanpa sepengetahuanmu...
            Adi melirik kembali kertas akta lahir miliknya yang sudah berkerut karena genggaman tangannya yang terlalu kencang. Diperhatikannya tulisan yang tercetak di dalam akta itu.
            Nama Lengkap          : Adi Jaya Pratama
            TTL                            : Kisaran, 21 Juni 1991 
            Nama orang tua        : Ayah : Hotma Frans Tua
                                                  Ibu    : Filda Sulastri
            Mungkinkah yang dimaksud dengan “mereka” adalah ayah dan ibunya? Apakah selama ini kedua orang tuanya menyembunyikan suatu rahasia besar yang tak pernah diketahuinya? Entahlah. Ia tak ingin memikirkan jauh semua teka-teki dan keanehan yang terjadi padanya selama ini.
            Handphone di sakunya bergetar. Adi buru-buru mengambilnya dari dalam saku.
            “Halo,” sapanya dari tempatnya.
            “Halo pak Adi, Anda di mana sekarang?”
            “Saya sedang ada di rumah, ada keperluan apa, briptu Dharmawan?”
            “Saya harap Anda bisa tiba secepatnya di kantor polisi. Kita akan melakukan wawancara dengan para saksi yang menemukan mayat anak lelaki itu,”
            “Baiklah. Saya akan segera di sana.” Tutupnya sambil menyimpan kembali handphone-nya di dalam saku celana.
            Adi memutuskan untuk menyusul rekannya di kantor polisi. Ia merapikan kemejanya setelah itu menutup pintu. Di alam pikirannya, ia akan berusaha mencarin waktu yang tepat untuk bertanya pada orang tuanya. Ya, ia berharap jawaban orang tuanya bisa memecahkan teka-teki yang menyelimuti kehidupannya.

No comments:

Post a Comment