Seperti
yang dikatakan Cahyana via handphone,
Adi harus membuka gembok gerbang dengan kunci yang disimpan dalam saku celana.
Ia turun dari mobil lalu mendekati gerbang. Begitu gerbang terbuka, pria itu
memasukkan mobil ke dalam pekarangan. Sesampainya di pekarangan, Adi harus
membuka pintu garasi agar bisa menyimpan mobil.
Adi melangkah ke dalam rumah bersama
dengan kepenatan pikiran. Belum lagi dia bisa menemukan pelaku pembunuhan
Rizal, ia harus dihadapkan dua kasus hilangnya seorang perempuan berusia 16
tahun, Octaviany Ananda dan rekan kerjanya, Bripka Dharmawan. Untuk perempuan
itu, ia akan berencana mengunjungi kediaman sang orang tua di alamat yang sudah
tertulis di belakang foto. Dan untuk Briptu Dharmawan, Adi akan melakukan hal
yang sama. Jika diperlukan, ia akan membuat pamflet yang sering ditempelkan di
tempat-tempat umum.
Tapi kali ini, lelaki muda itu
terlihat agak letih. Ia menyeret langkah seraya membanting tubuh di atas
keempukanspring bed. Ada banyak
persoalan yang belum bisa diselesaikan sampai saat ini termasuk komitmen untuk
mempunyai anak. Setelah dipikir-pikir, apa yang telah dikatakan ibunya saat
dirinya berada di Kisaran, memang tepat. Seharusnya, ia harus lebih tegas dalam
mengatur kehidupan rumah tangganya yang baru dijalaninya termasuk karier
Cahyana. Bukan bermaksud membatasi kreativitas sang istri. Adi menginginkan
agar istrinya bisa membagi waktu untuk urusan kerja dan lebih mengutamakan
urusan keluarga. Memikirkan hal ini saja, sudah membuat kelopak mata Adi begitu
erat sampai mengangkatnya saja tidak sanggup.
Adi tidak tahu berada lama ia dalam
kondisi tertidur. Untuk memastikan hal itu, ia mengerling ke arloji yang
melingkari lengan. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Padahal, ia sudah
berada di rumah sekitar satu jam yang lalu. Ia menyadari rupanya ia sudah
tertidur cukup lama. Map biru muda yang dipegang masih berada di sebelah kanan
kepalanya.Adi harus menyimpan map itu ke tempat yang semestinya, ke dalam laci lemari
pakaian.
Saat pintu lemari terbuka, entah
mengapa rasanya, ia ingin melihat kertas hasil cek kesuburan mereka di lab rumah
sakit Vita Insana. Kalau dirinya tidak salah ingat, istrinya menyimpan kertas
hasil lab di bagian terbawah tumpukan pakaian Cahyana. Ketika akta lahirnya
sudah tersimpan, ia mengubah fokus perhatian, mencari kertas itu.
Di tumpukan pertama, ia tidak
menemukan keberadaan kertas itu. Namun, ia tidak menyerah bergitu saja. Adi
terus melakukan pencarian di bagian tumpukan pakaian yang terakhir, di tumpukan
keempat. Usaha Adi membuahkan hasil. Ia melihat kertas itu terselip di antara
pakaian istrinya. Membuka tali yang melilit amplop coklat.Pelan-pelan melihat
apa isinya. Isi amplop itu memang sesuai apa yang diharapkan. Secarik kertas berisikan
informasi mengenai cek kondisi kesehatan reproduksi mereka. Sejauh ini, lelaki
itu tidak melihat ada hal aneh. Berdasarkan hasil pemeriksaan lab, mereka
dinyatakan subur dan bisa memiliki keturunan. Namun, batin Adi tetap menyatakan
kalau ada sesuatu yang tidak beres dalam kertas yang dipegang saat ini.
Adi meraih amplop yang berada di
sampingnya. Ia mengamati alamat praktek bidan yang tertera di kiri atas amplop
itu.
Spesialis Kandungan
dr. Rama Yanna Lamria, SpOG
Jalan Pusat Kota 13 blok A
No. HP 081374291223
Lelaki muda itu menganggukkan kepala
begitu mendapatkan informasi mengenai dokter spesialis yang pernah mereka
kunjungiketika berkonsultasi tentang perkawinan. Adi langsung mengetik nomor handphone sang dokter, melakukan
panggilan.
“Hallo,” sapa Adi halus begitu nomor
handphone yang dituju tersambung.
“Hallo, dengan siapa saya bicara
saat ini?” jawab suara perempuan yang berada di sana.
“Apakah ini benar Dokter Rama?”
“Ya, benar. Kalau boleh saya tahu,
ini siapa?”
“Ini Saya Ibu Dokter, Pak Adi yang
pernah mengunjungi tempat praktik Ibu bersama dengan istri saya. Saya juga
pernah melakukan cek kesehatan reproduksi di tempat ibu praktik.”
“Oh ya, saya sudah mengingatnya
sekarang. Ada perlu apa Bapak menelepon saya?” Rama menepuk kening sendiri
menyadari bahwa ia pernah melayani kunjungan Adi dan istrinya di tempat
prakteknya.
“Bisakah dokter berkata jujur
mengenai kertas hasil cek kesehatan reproduksi saya dan istri saya?”
“Apa maksud perkataan Bapak?” tanya
dokter Rama seolah tidak mengerti.
“Saya mengamati ada kejanggalan
dalam kertas yang saya pegang saat ini. Saya hanya butuh kejujuran dari dokter.
Apakah istri saya pernah menyuruh Anda untuk mengubah hasil tes lab dari rumah
sakit? Saya hanya butuh pengakuan dari dokter agar rumah tangga saya tidak
hidup dalam kebohongan semata. Saya juga tidak mau rumah tangga kami berantakan
hanya karena pihak luar ikut campur di dalamnya.”
Adi mencoba melakukan penekanan psikologis
agar sang dokter mau berkata jujur. Sampai detik ini, Dokter Rama belum mengutarakan
jawaban tapi Adi masih setia menungggu jawaban sang dokter. Ada harapan bagi
Adi ketika sang dokter mulai berdeham.
“Jujur saja saya berat mengatakan
hal ini, Pak Adi. Tapi, apapun yang saya katakan, Bapak benar-benar harus siap.”
“Katakan saja, Ibu Dokter. Saya akan
mencoba menerimanya,” sahut Adi. Ia berusaha menguatkan hati jikalau kenyataan
yang diungkapkan sang dokter sesuai dengan apa yang diperkirakan.
“Saya sudah memanipulasi hasil cek
laboratorium Anda dan istri Anda, ibu Cahyana. Sebelum kalian berdua datang ke
tempat saya, ibu Cahyana sudah terlebih dahulu mengunjungi tempat praktik saya.
Dia berpesan jika hasil tes menunjukkan salah satu dari kalian berdua tidak
bisa menghasilkan keturunan, maka saya akan mengubah hasil tes laboratorium.
Dan hasil tes yang sebenarnya menunjukkan... kalau Anda tidak bisa mempunyai
keturunan...,”
Suasana mendadak diselimuti
keheningan. Tidak ada yang berani bersuara. Baik Adi maupun dokter Rama. Mereka
sama-sama membisu. Bibit penyesalan menyeruak dalam hati dokter Rama. Ia yakin
sekali, apa yang ia katakan akan menyakiti hati lelaki manapun. Bagaimana
tidak. Sudah menjadi kewajiban seorang suami menafkahi kebutuhan biologis sang
istri sekaligus memberikan keturunan untuk mempertahankan generasi. Selama ini Adiselalu
berprasangka kalau Cahyana tidak bisa menghasilkan keturunan karena disibukkan dengan
pekerjaan padahal ia sendiri yang tidak bisa menunaikan kewajiban sebagai
seorang suami.
Dokter Rama mencoba menanyakan
apakah Adi baik-baik saja di sana. Tapi yang terdengar hanya suara benturan
benda keras. Setelah itu, dirinya tak mendengar suara apapun lagi termasuk dari
Adi.
Begitu mendengar penuturan dari
dokter Rama, Adi melemparkan handphone
ke dinding. Benturan keras membuat komponen penyusun handphone berhamburan entah ke mana. LCD retak terkena material
dinding beton yang begitu keras. Tubuh lelaki itu mendadak lunglai agak
terhuyung merapat ke dinding. Hingga perlahan-lahan merosot hingga pantat Adi
menyentuh lantai keramik yang dingin.
Dia berteriak sekuat tenaga sambil
meratapi kenyataan yang terjadi. Cahyana begitu tega membohongi dirinya. Ini
benar-benar di luar dugaan. Jika Cahyana mau jujur padanya, ia takkan menaruh
harapan begitu besar sekaligus berprasangka buruk pada istrinya. Mereka pasti bisa
menemukan jalan lain memperoleh keturunan. Adi ingin tahu apa yang dikatakan
perempuan itu begitu ia mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Sayangnya,
ponselnya rusak parah. Ia tidak bisa menghubungi dan meminta penjelasan sang
istri. Adi memutuskan untuk menunggu kedatangan Cahyana yang dikabarkan akan
tiba kira-kira esok pagi. Ya, dirinya akan tetap menanti.