Empat
roda mobil Adi bergulir kencang di atasjalan raya yang mulus. Meskipun jalan
terlihat lengang, kedua bulatan mata Adi tetap berfokus pada jalan yang
terbentang di muka. Dia agak khawatir, di balik kemulusan jalan raya, ada satu
lubang kecil yang tak terjangkau oleh penglihatan. Atau, ketika dirinya begitu
terpacu dengan kecepatan tinggi, sebuah kendaraan juga melaju kencang di depan.
Atas kedua kemungkinan itulah, Adi menurunkan kecepatan menjadi konstan. Tidak
terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
Pria berusia dua puluh lima tahun
itu, mencuri pandangan ke arah arloji. Ia memperkirakan waktu tempuh menuju
Pematangsiantar sekitar 45 menit lagi. Sesudah melirik ke arloji, ia memusatkan
perhatian ke arah jalan raya. Adi merasa cukup lega. Hari ini kendaraan yang
setiap detik hilir mudik tidak terlalu padat. Jadi, ia tidak terlalu buru-buru
untuk tiba ke sana.
Tak terasa Adi sudah berada di
kawasan perkebunan Bangun. Di kawasan ini, memang banyak sekali tertanam ribuan
kelapa sawit yang menjadi hak milik swasta. Tidak bisa diperkirakan berapa
keuntungan panen yang dihasilkan jika kelapa sawit berbuah. Mungkin bisa
mencapai ratusan ton. Dan, buah kelapa sawit yang telah dipanen akan diangkut
oleh puluhan truk bermuatan besar ke pabrik setelah para pekerja yang mayoritas
penduduk di sana mengambil buahnya.
Syukurlah, jarak yang ditempuh Adi
untuk mencapai Mapolres, tinggal dua kilometer lagi. Ia masih penasaran entah
apa yang akan dikatakan Aiptu Eben Hutabarat serta kasus baru yang akan
diselidiki kali ini. Ia berharap rasa penasaran yang masih terpendam di benak,
akan terkuak di sana.
Ujung mobil Adi sudah berada di
depan halaman depan mapolres. Ia harus memperhatikan keadaan di depan dan di
belakang agar bisa menyebrang dengan baik. Setelah merasa keadaan cukup aman,
lelaki itu memutar setir ke kiri, memasukkan mobil ke tempat parkir yang sudah
disediakan.
Begitu Adi keluar dari mobil, ia
melangkahkan kaki menuju bagian dalam kantor. Langkah kaki lelaki itu cukup
tegas dan menyakinkan. Ia terlebih dahulu merapikan kerah kemeja dan jaket yang
dikenakan agar ia terlihat rapi dan berwibawa.
Di dalam kantor, seorang laki-laki
berdinas polisi bertubuh tambun dengan kulit hitam sedang berbicara dengan lelaki
yang di sebelah kanan. Lelaki yang menjadi teman bicaranya, berpostur sedang
dengan kulit coklat sawo. Raut wajah dihias dengan lubang bekas jerawat. Adi
yang sudah berada di hadapan mereka, mencoba mengalihkan perhatian mereka
padanya.
“Permisi, apakah Bapak yang telah
menghubungi saya?” tegur Adi.
Kedua lelaki berdinas polisi itu
menoleh ke arah Adi. Menyadari bahwa orang yang mereka hubungi telah datang,
mereka menghentikan pembicaraan yang terlihat begitu seru.
“ Ya, benar sekali. Anda detektif Adi
‘kan?” tanya lelaki bertubuh tambun itu, Aiptu Eben Hutabarat.
Adi mengangguk pertanda setuju.
“Kalau begitu, silakan duduk, Detektif Adi. Saya sudah lama menunggu kehadiran
Anda.”
Adi mendaratkan pantat di atas kain
beledu berlapis busa dari kursi lipat yang sedang diduduki. Adi masih
menantikan apa yang dikatakan oleh lelaki yang berada di hadapannya. Detak
jantungnya seakan berharap demikian.
“Sekali lagi, saya minta maaf kalau
saya lancang meminta nomor Anda tanpa seizin dari pemiliknya, Detektif Adi.”
“Tidak masalah, Pak. Selama Anda
mempunyai maksud dan tujuan yang penting menghubungi saya,” sahut Adi dengan mengulas
senyum tipis.
“Ada baiknya saya memperkenalkan
diri saya sekali lagi. Nama saya Aiptu Eben Ezer Hutabarat. Saya seorang wakil
kasat reserse kriminal kepolisian Pematangsiantar. Dan ini, adalah teman setim
saya, namanya Aipda Firman Tumbur Butar-Butar. Kalau begitu langsung saja saya
ke inti pembicaraan,” usai memperkenalkan diri dan teman setim, Aiptu Eben
mengambil jeda sebentar sembari mempersiapkan apa yang akan dibicarakan.
“Kami menerima laporan dari salah
satu warga Perluasan yang kehilangan salah satu anggota keluarganya selama dua
hari belakangan ini,” jelas Aiptu Eben.
“Boleh saya mengetahui namanya?
Apakah korban merupakan laki-laki atau perempuan?”
“Octaviany Ananda. Perempuan berusia
sekitar 16 tahun. Dia berstatus siswi kelas satu di sekolah SMA Bintang
Selatan.”
“Bisa Anda jelaskan ciri-cirinya,
Pak?
“Untuk lebih jelasnya kamu bisa
melihatnya di foto ini.” Aiptu Eben menyerahkan selembar foto yang berada di
atas meja. Adi langsung meraih foto yang disodorkan padanya.
Di foto itu, Adi bisa melihat dengan
jelas ciri-ciri si perempuan yang akan menjadi target pencarian. Tinggi badan
diperkirakan 160 sentimeter. Tinggi itu cukup normal untuk perempuan pada
umumnya. Berwajah oval sedikit lancip di bagian dagu. Rambut panjang sebahu,
agak pirang di bagian ujung. Tahi lalat kecil bertengger di bawah belahan bibir
merah muda.
“Apakah foto yang berikan sudah
cukup untuk bahan penyelidikan?” tanya Aiptu Eben sekali lagi.
“Ini sudah lebih dari cukup, Bapak
Aiptu Eben. Tapi, berdasarkan keterangan yang kita dapatkan dari orang tua, apa
yang dilakukan korban selama dua hari terakhir itu, Pak?”
“Kalau tidak salah, si korban pamit
pada orang tuanya kalau dia akan mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya
di Rambung Merah, sekitar pukul sembilan malam. Dan, si korban juga mengatakan
kalau dia akan menginap di rumah temannya. Itulah yang bisa kami jelaskan melalui
keterangan orang tua Octaviany Ananda. Kami dari pihak kepolisian sudah
menyiapkan tim DPO untuk mencari si perempuan. Sekiranya, Detektif Adi bisa
membantu pencarian kami,” tutur Aiptu Eben.
“Dengan senang hati akan saya
lakukan,—” balas Adi dengan mengembangkan sesimpul senyuman.
“Tapi, omong-omong, apakah Anda tahu
di mana Bripka Dharmawan berada sekarang?” tukas Aiptu Eben cepat.
“Lho, kebetulan, saya juga mau
menanyakan hal itu pada Bapak. Jadi, Briptu Dharmawan tidak datang ke kantor
pagi ini?” tanya Adi agak tersentak.
“Tidak. Kami sudah menghubungi dia
untuk mengetahui perkembangan kasus pembunuhan bocah lelaki yang berusia
sepuluh tahun itu tapi nomornya tidak
dapat dihubungi.”
“Apakah Bapak sudah menghubungi
langsung orang tua dan pacar Briptu Dharmawan?”
“Kami sudah menanyakan hal itu
langsung pada mereka tetapi jawaban mereka sama. Mereka sama-sama tidak
mengetahui di mana Bripka Dharmawan berada. Orang tua Briptu Dharmawan
khawatir, anak mereka tidak pulang selama satu malam sekaligus tidak memberikan
kabar tentang apa, di mana dan bagaimana keadaan diri anak mereka.”
“Saya juga tidak mengetahui
keberadaan Briptu Dharmawan, Pak Aiptu Eben. Kemarin, saya pergi mengunjungi
rumah orang tua saya di Kisaran. Terakhir kali saya bertemu dengannya, saat
kami berdua pergi ke rumah orang tua korban pembunuhan di Tiga Balata. Dan Anda
perlu tahu Pak Aiptu, kalau sang korban sedang cekcok dengan ayah tirinya.
Jadi, sang korban memutuskan untuk lari dari rumah orang tuanya. Satu hal yang
bisa saya simpulkan, pelaku membuang mayat korban di sungai Bahapal,” urai Adi
gamblang.
“Terimakasih atas keterangannya, Pak
Adi. Saya akan membentuk tim lagi untuk melacak keberadaan pelaku pembunuhan
agar secepat mungkin kami bisa meringkusnya.”
“Kalau begitu, saya pamit dahulu
pada Bapak. Saya akan melakukan pencarian pada perempuan yang hilang itu
berdasarkan foto dan keterangan yang Bapak berikan. Permisi.” Adi membalikkan
badan, melangkahkan kaki keluar dari kantor.
Begitu Adi keluar dari kawasan markas
kepolisian Pematangsiantar, barulah Aipda Firman angkat bicara.
“Pak Eben, kapan kita bisa
mengetahui siapa pemilik sidik jari pada barang bukti yang diberikan Briptu
Dharmawan?”
“Mungkin besok kita sudah bisa
mengetahui hasilnya. Tapi sungguh disayangkan, Briptu Dharmawan tidak membawa
hasil rekaman yang telah dijanjikan.”
“Apa isi rekaman tersebut?”
“Saya akan beritahu nanti tapi
firasat saya mengatakan kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Bripka Dharmawan,”
ungkap Aiptu Eben, terselip rasa khawatir di pikiran.
“Jangan khawatir, Pak. Tim saya akan
berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan Bripka Dharmawan beserta barang
bukti.”
“Saya percaya kamu pasti bisa
diandalkan dalam menuntaskan kasus ini, Aipda Firman. Sekarang, kamu bisa
mengerahkan timmu untuk melakukan pencarian terhadap Briptu Dharmawan dan
saudari Octaviany Ananda. Dan satu lagi, awasi gerak-gerik yang mencurigakan.”
“Laksanakan!” hormat Aipda Firman
dengan penegasan mantap.

Ini bersambung ga sih? *penasaran
ReplyDeleteMasih ada kok, Kak :)
Delete