Sunday, 8 May 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 12



Empat roda mobil Adi bergulir kencang di atasjalan raya yang mulus. Meskipun jalan terlihat lengang, kedua bulatan mata Adi tetap berfokus pada jalan yang terbentang di muka. Dia agak khawatir, di balik kemulusan jalan raya, ada satu lubang kecil yang tak terjangkau oleh penglihatan. Atau, ketika dirinya begitu terpacu dengan kecepatan tinggi, sebuah kendaraan juga melaju kencang di depan. Atas kedua kemungkinan itulah, Adi menurunkan kecepatan menjadi konstan. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
            Pria berusia dua puluh lima tahun itu, mencuri pandangan ke arah arloji. Ia memperkirakan waktu tempuh menuju Pematangsiantar sekitar 45 menit lagi. Sesudah melirik ke arloji, ia memusatkan perhatian ke arah jalan raya. Adi merasa cukup lega. Hari ini kendaraan yang setiap detik hilir mudik tidak terlalu padat. Jadi, ia tidak terlalu buru-buru untuk tiba ke sana.
            Tak terasa Adi sudah berada di kawasan perkebunan Bangun. Di kawasan ini, memang banyak sekali tertanam ribuan kelapa sawit yang menjadi hak milik swasta. Tidak bisa diperkirakan berapa keuntungan panen yang dihasilkan jika kelapa sawit berbuah. Mungkin bisa mencapai ratusan ton. Dan, buah kelapa sawit yang telah dipanen akan diangkut oleh puluhan truk bermuatan besar ke pabrik setelah para pekerja yang mayoritas penduduk di sana mengambil buahnya.
            Syukurlah, jarak yang ditempuh Adi untuk mencapai Mapolres, tinggal dua kilometer lagi. Ia masih penasaran entah apa yang akan dikatakan Aiptu Eben Hutabarat serta kasus baru yang akan diselidiki kali ini. Ia berharap rasa penasaran yang masih terpendam di benak, akan terkuak di sana.
            Ujung mobil Adi sudah berada di depan halaman depan mapolres. Ia harus memperhatikan keadaan di depan dan di belakang agar bisa menyebrang dengan baik. Setelah merasa keadaan cukup aman, lelaki itu memutar setir ke kiri, memasukkan mobil ke tempat parkir yang sudah disediakan.
            Begitu Adi keluar dari mobil, ia melangkahkan kaki menuju bagian dalam kantor. Langkah kaki lelaki itu cukup tegas dan menyakinkan. Ia terlebih dahulu merapikan kerah kemeja dan jaket yang dikenakan agar ia terlihat rapi dan berwibawa.
            Di dalam kantor, seorang laki-laki berdinas polisi bertubuh tambun dengan kulit hitam sedang berbicara dengan lelaki yang di sebelah kanan. Lelaki yang menjadi teman bicaranya, berpostur sedang dengan kulit coklat sawo. Raut wajah dihias dengan lubang bekas jerawat. Adi yang sudah berada di hadapan mereka, mencoba mengalihkan perhatian mereka padanya.
            “Permisi, apakah Bapak yang telah menghubungi saya?” tegur Adi.
            Kedua lelaki berdinas polisi itu menoleh ke arah Adi. Menyadari bahwa orang yang mereka hubungi telah datang, mereka menghentikan pembicaraan yang terlihat begitu seru.
            “ Ya, benar sekali. Anda detektif Adi ‘kan?” tanya lelaki bertubuh tambun itu, Aiptu Eben Hutabarat.
            Adi mengangguk pertanda setuju. “Kalau begitu, silakan duduk, Detektif Adi. Saya sudah lama menunggu kehadiran Anda.”
            Adi mendaratkan pantat di atas kain beledu berlapis busa dari kursi lipat yang sedang diduduki. Adi masih menantikan apa yang dikatakan oleh lelaki yang berada di hadapannya. Detak jantungnya seakan berharap demikian.
            “Sekali lagi, saya minta maaf kalau saya lancang meminta nomor Anda tanpa seizin dari pemiliknya, Detektif Adi.”
            “Tidak masalah, Pak. Selama Anda mempunyai maksud dan tujuan yang penting menghubungi saya,” sahut Adi dengan mengulas senyum tipis.
            “Ada baiknya saya memperkenalkan diri saya sekali lagi. Nama saya Aiptu Eben Ezer Hutabarat. Saya seorang wakil kasat reserse kriminal kepolisian Pematangsiantar. Dan ini, adalah teman setim saya, namanya Aipda Firman Tumbur Butar-Butar. Kalau begitu langsung saja saya ke inti pembicaraan,” usai memperkenalkan diri dan teman setim, Aiptu Eben mengambil jeda sebentar sembari mempersiapkan apa yang akan dibicarakan.
            “Kami menerima laporan dari salah satu warga Perluasan yang kehilangan salah satu anggota keluarganya selama dua hari belakangan ini,” jelas Aiptu Eben.
            “Boleh saya mengetahui namanya? Apakah korban merupakan laki-laki atau perempuan?”
            “Octaviany Ananda. Perempuan berusia sekitar 16 tahun. Dia berstatus siswi kelas satu di sekolah SMA Bintang Selatan.”
            “Bisa Anda jelaskan ciri-cirinya, Pak?
            “Untuk lebih jelasnya kamu bisa melihatnya di foto ini.” Aiptu Eben menyerahkan selembar foto yang berada di atas meja. Adi langsung meraih foto yang disodorkan padanya.
            Di foto itu, Adi bisa melihat dengan jelas ciri-ciri si perempuan yang akan menjadi target pencarian. Tinggi badan diperkirakan 160 sentimeter. Tinggi itu cukup normal untuk perempuan pada umumnya. Berwajah oval sedikit lancip di bagian dagu. Rambut panjang sebahu, agak pirang di bagian ujung. Tahi lalat kecil bertengger di bawah belahan bibir merah muda.
            “Apakah foto yang berikan sudah cukup untuk bahan penyelidikan?” tanya Aiptu Eben sekali lagi.
            “Ini sudah lebih dari cukup, Bapak Aiptu Eben. Tapi, berdasarkan keterangan yang kita dapatkan dari orang tua, apa yang dilakukan korban selama dua hari terakhir itu, Pak?”
            “Kalau tidak salah, si korban pamit pada orang tuanya kalau dia akan mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya di Rambung Merah, sekitar pukul sembilan malam. Dan, si korban juga mengatakan kalau dia akan menginap di rumah temannya. Itulah yang bisa kami jelaskan melalui keterangan orang tua Octaviany Ananda. Kami dari pihak kepolisian sudah menyiapkan tim DPO untuk mencari si perempuan. Sekiranya, Detektif Adi bisa membantu pencarian kami,” tutur Aiptu Eben.
            “Dengan senang hati akan saya lakukan,—” balas Adi dengan mengembangkan sesimpul senyuman.
            “Tapi, omong-omong, apakah Anda tahu di mana Bripka Dharmawan berada sekarang?” tukas Aiptu Eben cepat.
            “Lho, kebetulan, saya juga mau menanyakan hal itu pada Bapak. Jadi, Briptu Dharmawan tidak datang ke kantor pagi ini?” tanya Adi agak tersentak.
            “Tidak. Kami sudah menghubungi dia untuk mengetahui perkembangan kasus pembunuhan bocah lelaki yang berusia sepuluh tahun  itu tapi nomornya tidak dapat dihubungi.”
            “Apakah Bapak sudah menghubungi langsung orang tua dan pacar Briptu Dharmawan?”
            “Kami sudah menanyakan hal itu langsung pada mereka tetapi jawaban mereka sama. Mereka sama-sama tidak mengetahui di mana Bripka Dharmawan berada. Orang tua Briptu Dharmawan khawatir, anak mereka tidak pulang selama satu malam sekaligus tidak memberikan kabar tentang apa, di mana dan bagaimana keadaan diri anak mereka.”
            “Saya juga tidak mengetahui keberadaan Briptu Dharmawan, Pak Aiptu Eben. Kemarin, saya pergi mengunjungi rumah orang tua saya di Kisaran. Terakhir kali saya bertemu dengannya, saat kami berdua pergi ke rumah orang tua korban pembunuhan di Tiga Balata. Dan Anda perlu tahu Pak Aiptu, kalau sang korban sedang cekcok dengan ayah tirinya. Jadi, sang korban memutuskan untuk lari dari rumah orang tuanya. Satu hal yang bisa saya simpulkan, pelaku membuang mayat korban di sungai Bahapal,” urai Adi gamblang.
            “Terimakasih atas keterangannya, Pak Adi. Saya akan membentuk tim lagi untuk melacak keberadaan pelaku pembunuhan agar secepat mungkin kami bisa meringkusnya.”
            “Kalau begitu, saya pamit dahulu pada Bapak. Saya akan melakukan pencarian pada perempuan yang hilang itu berdasarkan foto dan keterangan yang Bapak berikan. Permisi.” Adi membalikkan badan, melangkahkan kaki keluar dari kantor.
            Begitu Adi keluar dari kawasan markas kepolisian Pematangsiantar, barulah Aipda Firman angkat bicara.
            “Pak Eben, kapan kita bisa mengetahui siapa pemilik sidik jari pada barang bukti yang diberikan Briptu Dharmawan?”
            “Mungkin besok kita sudah bisa mengetahui hasilnya. Tapi sungguh disayangkan, Briptu Dharmawan tidak membawa hasil rekaman yang telah dijanjikan.”
            “Apa isi rekaman tersebut?”
            “Saya akan beritahu nanti tapi firasat saya mengatakan kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Bripka Dharmawan,” ungkap Aiptu Eben, terselip rasa khawatir di pikiran.
            “Jangan khawatir, Pak. Tim saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan Bripka Dharmawan beserta barang bukti.”
            “Saya percaya kamu pasti bisa diandalkan dalam menuntaskan kasus ini, Aipda Firman. Sekarang, kamu bisa mengerahkan timmu untuk melakukan pencarian terhadap Briptu Dharmawan dan saudari Octaviany Ananda. Dan satu lagi, awasi gerak-gerik yang mencurigakan.”
            “Laksanakan!” hormat Aipda Firman dengan penegasan mantap.

2 comments: