Monday, 4 July 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - Epilog



“Selamat datang, Aiptu Eben,” sapa Ipda Firman, hormat. Bias wajah lelaki itu muram. Ada setitik penyesalan yang merebak di hati.
            “Terimakasih, Ipda Firman, tapi mengapa wajah Anda muram? Ada sesuatu yang mengganjal?”
            “Saya mohon maaf sebesar-besarnya karena tidak dapat menyelamatkan korban yang dibunuhnya...” Aipda Firman mengambil jeda sejenak. Aiptu Eben menunduk sebentar. Bukan salah anggotanya yang terlambat. Ipda Firman baru mendapatkan informasi setelah ada laporan keributan kecil di salah satu toko butik di pusat kota. Dan ternyata, target yang mereka cari berada di sana.
            “Ini bukan sepenuhnya salah Anda, Ipda Firman. Tapi, kita beruntung mendapatkan dia dalam keadaan masih hidup. Tak kusangka, dengan luka parah yang diderita, dia masih bisa bertahan.” Aiptu Eben berjalan di samping Ipda Firman.
            “Saya tak habis pikir mengapa dia tega menghabisi istrinya begitu sadis. Seberapa beratkah masalah yang dihadapinya dengan istrinya? Oh, saya baru ingat. Bagaimana dengan pemeriksaan hasil sidik jari pada pisau yang diberikan Bripka Gerry Dharmawan? Apa itu benar-benar sidik jari miliknya?” Firman menggelengkan kepala sekali sambil mengeluarkan decakan kecil dari mulut. Kemudian, mencecar Aiptu Eben dengan sejumlah pertanyaan yang telah dipersiapkan.
            “Sidik jari yang menempel di pisau itu positif miliknya. Tapi, tak mudah mengorek informasi darinya. Dia pasti akan mengelak dan mengatakan kalau orang lain yang telah membunuhnya.”
            “Lho, mengapa bisa begitu? Jelas-jelas, barang bukti dan semua tuduhan mengacu padanya. Bisa-bisanya dia mengelak dan mengatakan ini ulah orang lain.”
            “Dia punya semacam penyakit jiwa yang aneh. Aku sendiri pun tidak bisa menjelaskan secara spesifik. Kita harus menunggu orang tuanya datang ke sini sekaligus meminta penjelasan mereka. Tapi, sambil menunggu mereka datang, lebih baik kita lihat dia di sel isolasi. Kita hampir sampai sebentar lagi.”
            Ipda Firman mengangguk sekali sambil tetap berjalan di samping Aiptu Eben menuju ruangan isolasi.
***
            Aku beberapa kali mengedipkan kelopak mata hingga diriku benar-benar sadar sepenuhnya. Bangkit dari tidur nyenyakku. Namun, rasa sakit mengganggu di bagian dada dan perutku.Aduh! Aku mengamati ada dua lilitan perban putih membungkus tubuhku. Setelah begitu jauh kuberpikir, aku sudah menemukan penyebabnya. Tapi, bisakah aku menanyakan sesuatu padamu.
            Pernahkah kau berpikir apa arti dirimu di dunia fana ini?
            Apakah kau tahu, siapa sebenarnya dirimu kala penderitaan diam-diam merenggut segala keceriaan dan kebahagiaan yang seharusnya kaumiliki?
            Bisakah kau mempertahankan jati dirimu agar tak goyah, tak tersesat di jalan kehidupan penuh lika-liku kepalsuan?
***
            Bahagia. Itulah salah satu ungkapan yang bisa kuutarakan ketika diriku dilahirkan ke dunia ini. Lengkap dengan kedua orang tua menyambutku penuh haru dan syukur. Meskipun diriku hanya menangis dan menangis, aku yakin kedua orang tuaku mampu membesarkan, mengayomiku penuh kasih sayang. Aku akan menjadi seorang anak yang bahagia, bertumbuh dan berkembang.Membuahkan kebaikan dan manfaat bagi diriku, orang tuaku, dan orang lain kelak dewasa nanti.
            Tubuhku berkembang pesat. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Begitu pula dengan pikiranku. Tanggap mencerna segala sesuatu yang terjadi di lingkunganku tepatnya di keluargaku.
            Ketika aku baru saja pulang bermain dengan teman sepermainanku, aku mendengar kegaduhan tercipta dari kata-kata kasar keluar begitu saja dari mulut kedua orang tuaku. Aku bisa mendengar suara benda-benda jatuh dan berbenturan dengan dinding. Aku tidak mengerti apa yang mereka ributkan tetapi aku bisa mendengar inti pertengkaran mereka.
            Aku menyesal telah menikahi lelaki miskin sepertimu... dan aku tidak menyangka kau...
            Itulah inti pembicaraan yang bisa kusimpulkan dari pertengkaran hebat kedua orang tuaku. Sebagai anak kecil, aku hanya bisa menangis dan menangis. Tak bisa melakukan apapun untuk mengubah keadaan. Aku hanya bisa berdoa dan berharap semua akan baik-baik saja.
            Tapi yang terjadi sungguh melewati batas ekspetasi dan doaku. Seperti ada jarak dan sekat membatasi kedekatan mereka berdua. Ada apa ini?
            Kalau pun mereka punya waktu, hanya sekadar bicara atau makan bersama tanpa memulai perbincangan hangat. Ketika kami menikmati makan malam bersama, tak sepatah kata pun terucap dari mulut kedua orang tuaku. Mereka bersuara jika ada sesuatu yang perlu diambil seperti nasi, ikan atau kobokan. Apa penyebab semua ini?
            Semakin lama sikap kedua orang tuaku semakin aneh. Mulai dari ibuku. Hampir jarang terdengar ibuku mengucap kata santun yang begitu merdu di telinga. Makian, cercaan, terkadang sumpah serapah, tak ragu-ragu terlontar dari bibirnya. Jelas saja hatiku mengucurkan air mata kesedihan.Terluka akibat pedas tutur kata ibuku. Meski terlihat tegar, terkadang aku memilih menumpahkan air mataku di dalam kamarku sendiri. Di sana, aku bisa puas mencurahkan perasaan tanpa diketahui ibuku.
            Ayahku menambah daftar penderitaanku setelah ibuku. Jika aku melakukan sedikit kesalahan, kelima jari tangan ayah melayang ringan menuju kepalaku sambil merendahkan diriku dengan makian nama-nama hewan. Apakah penyebab semua ini?
            Pernah suatu hari ketika diriku pulang sekolah, aku memergoki ayah sedang bercumbu dengan seorang... lelaki. Mataku mencoba mengintip melalui celah pintu kamar yang terbuka sedikit. Aku tak percaya dengan pemandangan yang diperhadapkan padaku. Apa yang dilakukan ayahku, benar-benar di luar batas norma dan kewajaran. Sangking herannya, aku sampai tidak mengetahui kalau ayah akan menghampiriku.
            Aku tidak mampu membalas pandang ayahku. Bola matanya mengkilap dengan tatapan tajam berselimut kabut amarah. Ya, aku bisa memastikan kalau iblis-iblis yang bertengger di dalam otak ayahku, sedang mengompori agar mau memberikan pelajaran berharga untukku.
            Benar saja. Ayah langsung melepaskan ikat pinggang yang melingkar di perut lalu dilecutkan beberapa kali di tubuhku. Puas melecutkan ikat pinggang itu, ayah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pada lelaki yang dibawanya ke rumah ini. Sakit. Sakit sekali. Aku tak bisa menahannya. Argh!
            Sejak kejadian itu, aku merasakan hal yang berbeda dari sebelumnya. Marah, benci sekaligus jijik, semuanya pantas kusematkan pada diriku sendiri. Aku menyesal mengapa aku tidak bisa lebih tegas, lebih berani melawan ketidaksenonohan ayahku. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku lemah. Tak berdaya. Bagai kerbau dicocok hidung. Menjadi penurut tanpa bisa melakukan perlawanan berarti.
            Teman-temanku menjadi aneh. Apabila bertemu denganku, mereka mengatakan aku berbeda. Aku tak mempedulikan hal itu. Aku lebih suka menenggelamkan diri dalam kesibukanku sendiri. Ya, aku mulai menyukai hal itu.
            Tapi, dengan keadaan diriku yang serba tertutup, aku memilikiseorang teman baru. Namanya Santoso. Bisa dibilang dia hampir mirip denganku dari segi fisik. Berbeda dengan sifat. Ia hiperaktif, periang dan lincah. Tidak sepertiku yang cenderung lambat, malas, dan pemurung. Meski sifat kami bertolak belakang, kami berdua bisa menjalin persahabatan yang akrab. Ketika diriku pergi sekolah, aku meninggalkannya di rumah. Kubilang padanya jangan melakukan tindakan yang bisa memicu amarah kedua orang tuaku selama dirinya berada di rumah. Dan, ia mengangguk pelan, menyahut anjuranku.
            Ketika berada di sekolah, aku selalu berdoa dalam hati agar jam belajar bisa dipercepat. Aku ingin pulang ke rumah, menemui sahabatku, mengajaknya keluar memainkan permainan menarik dan unik. Ya, Santoso selalu punya ide untuk mengisi waktu luang.
            Suatu ketika, kami memergoki ibu sedang memasukkan seorang laki-laki ke kamar tidurnya. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi yang pasti suara lenguhan dan desahan cetar membahana kamar ibu. Santoso merasa ada hal yang tidak beres di sana. Ia ingin menggedor pintu, memancing mereka keluar dari sarang persetubuhan. Tapi, aku berusaha menahan dia. Aku takut ibuku akan menghukum kami berdua. Masih membekas di benakku ketika ibu mengambil seikat sapu lidi dan dihajarkan padaku bertubi-tubi lantaran aku menjatuhkan piring keramik bekas cucianku.
            Aku tak menyangka hari selasa adalah hari tersial bagiku. Aku bermain-main dengan Santoso sampai aku melupakan waktu. Melupakan segala kewajiban rumah. Kami berdua berlari tergesa-gesa dari lapangan bola sampai pekarangan rumahku. Rongga dadaku kembang-kempis bak pompa angin. Tulang rusukku seakan mencuat. Ingin copot satu per satu. Di depan pintu luar, ibu sudah berkacak pinggang menunggu kedatangan kami. Tatap mata kejam dan menusuk. Aku bisa melihat ribuan iblis sedang menari-nari di dalam bola mata ibu. Mereka kelihatan tak sabar menantikan eksekusi atas kami berdua.
            Kami melangkah pelan-pelan. Selangkah demi selangkah. Tinggal setengah meter lagi, kami sudah berada di hadapan ibu. Aku tak tahan membalas tatapannya. Tanpa banyak tanya, ibu menarik tanganku kasar, membawaku ke kamar mandi. Santoso mengekor sambil memandangku nelangsa.
            Tubuhku tertutupi air. Hawa dingin sampai menggetarkan tulang. Aku tak sanggup menahan ini semua. Aku ingin semua ini berakhir. Tapi, aku terlalu lemah. Aku tidak berdaya. Namun, Santoso memberiku jalan keluar. Ia mengambil sebuah pisau dapur dari dalam laciku. Seingatku, aku menyimpan sudah lama menyimpan pisau itu. Aku ingin menghabisi nyawa kedua orang tuaku tapi aku tak bisa. Rasa sayang masih tertinggal di hati.Berharap kedua orang tuaku akan berubah. Dan sampai sekarang, mereka tidak berubah.
            Begitu pisau tersimpan di pinggang, Santoso berlari menuju orang tuaku. Terdengar suara ayah memanggil namaku. Aku ikut berlari menyusul Santoso di belakang. Ia sudah berdiri tepat di hadapan ayahku. Saat ayah ingin menamparnya, Santoso sigap mengambil pisau lalu membantai ayahku. Ibuku tak luput dari sasarannya. Kini, nyawa kedua orang tuaku berakhir di tangan Santoso. Senang, lega beraduk trauma bergejolak di dadaku. Mereka berdua sudah mati. Sumber penderitaanku telah pergi. Tapi, aku begitu tersentak. Astaga! Kedua tanganku ternodai pisau bercampur lelehan darah yang masih hangat. Aku tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Belum sempat meminta penjelasan Santoso, kelopak mataku tertutup begitu saja. Semuanya gelap.
***
            Entah di mana diriku berada saat ini. Remang, dingin, dan hening. Itu yang bisa kudapatkan di sini. Aku tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Otakku masih sibuk mengutak-atik peristiwa lalu. Tapi aku tidak bisa mengingatnya. Sial. Telingaku menangkap sayup-sayup suara mendekat ke tempatku.
            Pemilik suara itu telah berada di depan ruanganku. Ia menatapku dengan senyum tulus di celah persegi di pintu depan.
            Aku akan menyembuhkan dan merawatmu, Nak. Sepatah kata telah terujar dari bibirnya.
            Menyembuhkanku? Memangnya, apa penyakit yang kuderita? Aku benar-benar tak mengerti. Setelah kunci pintu terbuka, pria berjas putih menyodorkan tangan. Aku menatap bola matanya dengan ribuan tanda tanya sambil menerima sodoran tangannya. Ia mengangkatku berdiri, beranjak dari ruangan aneh ini. Aku tak memikirkan ke mana pria ini akan membawaku. Itu bukan masalah bagiku. Sebelum diriku menjauh dari sana, aku mengamati sosok lelaki berdiri sambil mengamati kepergianku. Dari segi penampilan, aku seperti mengenalinya. Namun, aku memilih mengabaikan dan membiarkan pria yang menggenggam tanganku, membawaku pergi.
            Sesampainya di kediaman pria itu, aku melihat sosok wanita tengah menghampiri kami. Rona wajah berbinar-binar.Membiaskan ketulusan murni. Tutur kata halus.Mengalun indah di telingaku. Tatap mata jernih. Tak seperti ibuku yang tersulut amarah membara. Ribuan iblis selalu menyarati tatapannya. Kurasa, aku akan menemukan kebahagian jika bersama dengan mereka. Hari-hariku takkan penuh siksa, derita dan air mata. Hatiku akan dibanjiri berkubik-kubik kasih sayang. Dan, tentu aku akan mempunyai teman-teman baru yang tak memandangku aneh. Mereka akan memberi nostalgia persahabatan yang indah.
            Tak terasa aku sudah sembilan tahun bersama dengan mereka. Aku ingin melanjutkan pendidikanku sekaligus mewujudkan cita-citaku menjadi seorang detektif. Sudah lama aku berada di Jakarta. Mungkin hampir enam tahun di sana. Aku memutuskan kembali ke tempat asalku, Sumatra Utara, dan memulai karier pertama sebagai seorang detektif di Pematangsiantar.
            Karierku sebagai seorang detektif cukup cemerlang. Aku mendapatkan banyak tawaran menyelidiki kasus terkecil sampai terbesar. Karierku sebagai seorang detektif juga mempertemukanku pada Cahyana. Seorang pengusaha butik yang berdomisili di Pematangsiantar. Cantik, anggun, dan sederhana. Tiga kata itu yang menjadi alasanku untuk meminang dirinya menjadi istriku.
            Jadwal kerjaku semakin bertambah di awal pernikahanku. Cahyana pun demikian. Ia lebih memilih menggeluti bisnis butiknya. Ia hampir melupakan kewajiban sebagai seorang istri. Melayani kebutuhan biologis dan memberiku keturunan. Tapi, aku tidak bisa menyalahkan Cahyana saja. Aku juga larut dalam pekerjaanku dan hampir saja melupakan kewajibanku sebagai seorang suami.
            Akhir-akhir ini, aku sering mengeluh sakit kepala akut. Ditambah lagi, dengan kemunculan sekilas memori bak film negatif, memperlihatkan seorang anak lelaki yang disiksa orang tuanya. Aku lebih dikejutkan lagi dengan kehadiran seorang laki-laki bernama Santoso. Ia mengaku bahwa dirinya adalah teman akrabku di masa lalu. Namun, aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Jika bertemu dengan dia, aku selalu cepat-cepat menyuruhnya pergi. Karena begitu dia datang, sakit kepalaku mulai meradang sampai-sampai aku tidak bisa menahannya.
            Meskipun begitu, ia tetap berusaha membuka ingatan masa lalu sekaligus membongkar jati diriku sebenarnya. Santoso selalu mengajakku berkeliling di pusat kota, menghilangkan kepenatan dan kejenuhan di kepalaku sehabis bekerja seharian. Yang kulihat, dia mengajak anak kecil laki-laki yang sedang meringkuk di depan emperan toko, masuk ke dalam mobil. Santoso membawa kami ke sebuah hutan. Di sana, dia sudah mempersiapkan jebakan untuk menghabisi nyawa anak itu sekaligus melampiaskan nafsu bejad. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagai penonton bioskop yang hanya bisa meneriaki actingkacangan para aktor dan aktris. Santoso bagaikan iblis neraka liar nan brutal tega menghabisi nyawa Octaviany Ananda dan Briptu Dharmawan.Dan lagi-lagi, aku tak bisa berbuat apa-apa selain berteriak dan memaki dirinya.
            Kehidupan rumah tanggaku juga mulai terganggu dengan hadirnya sosok Robert Antonio. Aku mulai menduga Robert dan istriku diam-diam bermain api di belakangku. Ternyata dugaanku benar. Setelah Cahyana begitu tega membohongiku, aku dan Santoso berusaha keras mencari di mana keberadaan Cahyana. Sesudah melewati perjalanan yang begitu panjang, kami berhenti di salah satu hotel yang terdapat di kawasan Danau Toba. Dan para kru film Robert Antonio berada di sana. Berarti, mereka berdua juga berada di dalam sana.
            Kami berdua harus melakukan penyamaran, menyelinap ke dalam kamar pesanan mereka. Santoso berhasil membekuk salah satu pelayan hotel untuk bertukar pakaian dengannya. Sementara itu, Santoso menyuruhku untuk tetap di belakang.
            Kami sudah berada di dalam kamar Robert dan Cahyana. Detak jantungku seakan berhenti selama semenit. Kulihat Robert dan istriku seranjang dengan berselimutkan kain biru laut menutupi tubuh mereka. Bola mataku tak mau lepas dari pemandangan hina itu. Ingin rasanya kucabik-cabik satu per satu tubuh Robert. Tapi tidak dengan Cahyana. Meskipun ia telah mengkhianatiku, aku tetap mencintainya. Berharap ia akan menyadari perbuatannya.
            Tapi, Santoso telah bertindak di luar dugaan tanpa mempedulikan omonganku. Ia menghabisi nyawa Robert dan istriku secara keji. Aku tidak bisa menerima perlakuannya. Pergulatan sengit terjadi antara kami berdua. Dan, akulah pemenangnya. Luka yang berada di dada dan perut ini, adalah bukti kehebatanku melawan Santoso.
            Aku lupa memperkenalkan diriku pada kalian. Meskipun kalian sudah mengetahui siapa diriku, aku akan mengatakan sebuah kebenaran yang penting untuk dikatakan.
            Namaku Adi Santoso. Aku adalah Adi dan aku adalah Santoso. Kami berdua merupakan individu berbeda dalam satu rumah. Dan kini, kami telah berada di habibat asli kami. Mendekam dalam sel dingin, remangdan hening. Dan, kami harus menghadapi empat pasang bola yang memandang kami penuh heran dan keanehan. Tak masalah bagiku. Selama kau bersamaku, aku takkan gentar menghadapi mereka.
            Bukankah begitu, Santoso?

            End.

No comments:

Post a Comment