“Selamat
datang, Aiptu Eben,” sapa Ipda Firman, hormat. Bias wajah lelaki itu muram. Ada
setitik penyesalan yang merebak di hati.
“Terimakasih, Ipda Firman, tapi
mengapa wajah Anda muram? Ada sesuatu yang mengganjal?”
“Saya mohon maaf sebesar-besarnya
karena tidak dapat menyelamatkan korban yang dibunuhnya...” Aipda Firman mengambil
jeda sejenak. Aiptu Eben menunduk sebentar. Bukan salah anggotanya yang
terlambat. Ipda Firman baru mendapatkan informasi setelah ada laporan keributan
kecil di salah satu toko butik di pusat kota. Dan ternyata, target yang mereka
cari berada di sana.
“Ini bukan sepenuhnya salah Anda,
Ipda Firman. Tapi, kita beruntung mendapatkan dia dalam keadaan masih hidup.
Tak kusangka, dengan luka parah yang diderita, dia masih bisa bertahan.” Aiptu
Eben berjalan di samping Ipda Firman.
“Saya tak habis pikir mengapa dia
tega menghabisi istrinya begitu sadis. Seberapa beratkah masalah yang
dihadapinya dengan istrinya? Oh, saya baru ingat. Bagaimana dengan pemeriksaan
hasil sidik jari pada pisau yang diberikan Bripka Gerry Dharmawan? Apa itu
benar-benar sidik jari miliknya?” Firman menggelengkan kepala sekali sambil
mengeluarkan decakan kecil dari mulut. Kemudian, mencecar Aiptu Eben dengan
sejumlah pertanyaan yang telah dipersiapkan.
“Sidik jari yang menempel di pisau
itu positif miliknya. Tapi, tak mudah mengorek informasi darinya. Dia pasti
akan mengelak dan mengatakan kalau orang lain yang telah membunuhnya.”
“Lho, mengapa bisa begitu?
Jelas-jelas, barang bukti dan semua tuduhan mengacu padanya. Bisa-bisanya dia
mengelak dan mengatakan ini ulah orang lain.”
“Dia punya semacam penyakit jiwa
yang aneh. Aku sendiri pun tidak bisa menjelaskan secara spesifik. Kita harus
menunggu orang tuanya datang ke sini sekaligus meminta penjelasan mereka. Tapi,
sambil menunggu mereka datang, lebih baik kita lihat dia di sel isolasi. Kita
hampir sampai sebentar lagi.”
Ipda Firman mengangguk sekali sambil
tetap berjalan di samping Aiptu Eben menuju ruangan isolasi.
***
Aku beberapa kali mengedipkan
kelopak mata hingga diriku benar-benar sadar sepenuhnya. Bangkit dari tidur nyenyakku.
Namun, rasa sakit mengganggu di bagian dada dan perutku.Aduh! Aku mengamati ada
dua lilitan perban putih membungkus tubuhku. Setelah begitu jauh kuberpikir, aku
sudah menemukan penyebabnya. Tapi, bisakah aku menanyakan sesuatu padamu.
Pernahkah
kau berpikir apa arti dirimu di dunia fana ini?
Apakah
kau tahu, siapa sebenarnya dirimu kala penderitaan diam-diam merenggut segala
keceriaan dan kebahagiaan yang seharusnya kaumiliki?
Bisakah
kau mempertahankan jati dirimu agar tak goyah, tak tersesat di jalan kehidupan
penuh lika-liku kepalsuan?
***
Bahagia. Itulah salah satu ungkapan yang bisa
kuutarakan ketika diriku dilahirkan ke dunia ini. Lengkap dengan kedua orang
tua menyambutku penuh haru dan syukur. Meskipun diriku hanya menangis dan
menangis, aku yakin kedua orang tuaku mampu membesarkan, mengayomiku penuh
kasih sayang. Aku akan menjadi seorang anak yang bahagia, bertumbuh dan
berkembang.Membuahkan kebaikan dan manfaat bagi diriku, orang tuaku, dan orang
lain kelak dewasa nanti.
Tubuhku berkembang pesat. Mulai dari
ujung rambut sampai ujung kakiku. Begitu pula dengan pikiranku. Tanggap
mencerna segala sesuatu yang terjadi di lingkunganku tepatnya di keluargaku.
Ketika aku baru saja pulang bermain
dengan teman sepermainanku, aku mendengar kegaduhan tercipta dari kata-kata
kasar keluar begitu saja dari mulut kedua orang tuaku. Aku bisa mendengar suara
benda-benda jatuh dan berbenturan dengan dinding. Aku tidak mengerti apa yang
mereka ributkan tetapi aku bisa mendengar inti pertengkaran mereka.
Aku
menyesal telah menikahi lelaki miskin sepertimu... dan aku tidak menyangka
kau...
Itulah inti pembicaraan yang bisa
kusimpulkan dari pertengkaran hebat kedua orang tuaku. Sebagai anak kecil, aku
hanya bisa menangis dan menangis. Tak bisa melakukan apapun untuk mengubah
keadaan. Aku hanya bisa berdoa dan berharap semua akan baik-baik saja.
Tapi yang terjadi sungguh melewati
batas ekspetasi dan doaku. Seperti ada jarak dan sekat membatasi kedekatan
mereka berdua. Ada apa ini?
Kalau pun mereka punya waktu, hanya
sekadar bicara atau makan bersama tanpa memulai perbincangan hangat. Ketika
kami menikmati makan malam bersama, tak sepatah kata pun terucap dari mulut
kedua orang tuaku. Mereka bersuara jika ada sesuatu yang perlu diambil seperti
nasi, ikan atau kobokan. Apa penyebab
semua ini?
Semakin lama sikap kedua orang tuaku
semakin aneh. Mulai dari ibuku. Hampir jarang terdengar ibuku mengucap kata
santun yang begitu merdu di telinga. Makian, cercaan, terkadang sumpah serapah,
tak ragu-ragu terlontar dari bibirnya. Jelas saja hatiku mengucurkan air mata
kesedihan.Terluka akibat pedas tutur kata ibuku. Meski terlihat tegar, terkadang
aku memilih menumpahkan air mataku di dalam kamarku sendiri. Di sana, aku bisa
puas mencurahkan perasaan tanpa diketahui ibuku.
Ayahku menambah daftar penderitaanku
setelah ibuku. Jika aku melakukan sedikit kesalahan, kelima jari tangan ayah
melayang ringan menuju kepalaku sambil merendahkan diriku dengan makian
nama-nama hewan. Apakah penyebab semua ini?
Pernah suatu hari ketika diriku
pulang sekolah, aku memergoki ayah sedang bercumbu dengan seorang... lelaki. Mataku
mencoba mengintip melalui celah pintu kamar yang terbuka sedikit. Aku tak
percaya dengan pemandangan yang diperhadapkan padaku. Apa yang dilakukan
ayahku, benar-benar di luar batas norma dan kewajaran. Sangking herannya, aku
sampai tidak mengetahui kalau ayah akan menghampiriku.
Aku tidak mampu membalas pandang
ayahku. Bola matanya mengkilap dengan tatapan tajam berselimut kabut amarah.
Ya, aku bisa memastikan kalau iblis-iblis yang bertengger di dalam otak ayahku,
sedang mengompori agar mau memberikan pelajaran berharga untukku.
Benar saja. Ayah langsung melepaskan
ikat pinggang yang melingkar di perut lalu dilecutkan beberapa kali di tubuhku.
Puas melecutkan ikat pinggang itu, ayah melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan pada lelaki yang dibawanya ke rumah ini. Sakit. Sakit sekali. Aku tak
bisa menahannya. Argh!
Sejak kejadian itu, aku merasakan
hal yang berbeda dari sebelumnya. Marah, benci sekaligus jijik, semuanya pantas
kusematkan pada diriku sendiri. Aku menyesal mengapa aku tidak bisa lebih
tegas, lebih berani melawan ketidaksenonohan ayahku. Aku mengutuk diriku
sendiri. Aku lemah. Tak berdaya. Bagai kerbau dicocok hidung. Menjadi penurut
tanpa bisa melakukan perlawanan berarti.
Teman-temanku menjadi aneh. Apabila
bertemu denganku, mereka mengatakan aku berbeda. Aku tak mempedulikan hal itu. Aku
lebih suka menenggelamkan diri dalam kesibukanku sendiri. Ya, aku mulai menyukai
hal itu.
Tapi, dengan keadaan diriku yang
serba tertutup, aku memilikiseorang teman baru. Namanya Santoso. Bisa dibilang
dia hampir mirip denganku dari segi fisik. Berbeda dengan sifat. Ia hiperaktif,
periang dan lincah. Tidak sepertiku yang cenderung lambat, malas, dan pemurung.
Meski sifat kami bertolak belakang, kami berdua bisa menjalin persahabatan yang
akrab. Ketika diriku pergi sekolah, aku meninggalkannya di rumah. Kubilang padanya
jangan melakukan tindakan yang bisa memicu amarah kedua orang tuaku selama
dirinya berada di rumah. Dan, ia mengangguk pelan, menyahut anjuranku.
Ketika berada di sekolah, aku selalu
berdoa dalam hati agar jam belajar bisa dipercepat. Aku ingin pulang ke rumah,
menemui sahabatku, mengajaknya keluar memainkan permainan menarik dan unik. Ya,
Santoso selalu punya ide untuk mengisi waktu luang.
Suatu ketika, kami memergoki ibu
sedang memasukkan seorang laki-laki ke kamar tidurnya. Aku tidak tahu apa yang
akan mereka lakukan. Tapi yang pasti suara lenguhan dan desahan cetar membahana
kamar ibu. Santoso merasa ada hal yang tidak beres di sana. Ia ingin menggedor
pintu, memancing mereka keluar dari sarang persetubuhan. Tapi, aku berusaha
menahan dia. Aku takut ibuku akan menghukum kami berdua. Masih membekas di
benakku ketika ibu mengambil seikat sapu lidi dan dihajarkan padaku
bertubi-tubi lantaran aku menjatuhkan piring keramik bekas cucianku.
Aku tak menyangka hari selasa adalah
hari tersial bagiku. Aku bermain-main dengan Santoso sampai aku melupakan
waktu. Melupakan segala kewajiban rumah. Kami berdua berlari tergesa-gesa dari
lapangan bola sampai pekarangan rumahku. Rongga dadaku kembang-kempis bak pompa
angin. Tulang rusukku seakan mencuat. Ingin copot satu per satu. Di depan pintu
luar, ibu sudah berkacak pinggang menunggu kedatangan kami. Tatap mata kejam
dan menusuk. Aku bisa melihat ribuan iblis sedang menari-nari di dalam bola
mata ibu. Mereka kelihatan tak sabar menantikan eksekusi atas kami berdua.
Kami melangkah pelan-pelan.
Selangkah demi selangkah. Tinggal setengah meter lagi, kami sudah berada di
hadapan ibu. Aku tak tahan membalas tatapannya. Tanpa banyak tanya, ibu menarik
tanganku kasar, membawaku ke kamar mandi. Santoso mengekor sambil memandangku
nelangsa.
Tubuhku tertutupi air. Hawa dingin
sampai menggetarkan tulang. Aku tak sanggup menahan ini semua. Aku ingin semua
ini berakhir. Tapi, aku terlalu lemah. Aku tidak berdaya. Namun, Santoso
memberiku jalan keluar. Ia mengambil sebuah pisau dapur dari dalam laciku.
Seingatku, aku menyimpan sudah lama menyimpan pisau itu. Aku ingin menghabisi
nyawa kedua orang tuaku tapi aku tak bisa. Rasa sayang masih tertinggal di
hati.Berharap kedua orang tuaku akan berubah. Dan sampai sekarang, mereka tidak
berubah.
Begitu pisau tersimpan di pinggang,
Santoso berlari menuju orang tuaku. Terdengar suara ayah memanggil namaku. Aku
ikut berlari menyusul Santoso di belakang. Ia sudah berdiri tepat di hadapan
ayahku. Saat ayah ingin menamparnya, Santoso sigap mengambil pisau lalu
membantai ayahku. Ibuku tak luput dari sasarannya. Kini, nyawa kedua orang
tuaku berakhir di tangan Santoso. Senang, lega beraduk trauma bergejolak di
dadaku. Mereka berdua sudah mati. Sumber penderitaanku telah pergi. Tapi, aku
begitu tersentak. Astaga! Kedua tanganku ternodai pisau bercampur lelehan darah
yang masih hangat. Aku tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Belum sempat
meminta penjelasan Santoso, kelopak mataku tertutup begitu saja. Semuanya
gelap.
***
Entah di mana diriku berada saat
ini. Remang, dingin, dan hening. Itu yang bisa kudapatkan di sini. Aku tidak
ingat apa yang terjadi sebelumnya. Otakku masih sibuk mengutak-atik peristiwa
lalu. Tapi aku tidak bisa mengingatnya. Sial. Telingaku menangkap sayup-sayup
suara mendekat ke tempatku.
Pemilik suara itu telah berada di
depan ruanganku. Ia menatapku dengan senyum tulus di celah persegi di pintu
depan.
Aku
akan menyembuhkan dan merawatmu, Nak. Sepatah kata telah terujar dari
bibirnya.
Menyembuhkanku? Memangnya, apa penyakit yang
kuderita? Aku benar-benar tak mengerti. Setelah kunci pintu terbuka, pria berjas
putih menyodorkan tangan. Aku menatap bola matanya dengan ribuan tanda tanya
sambil menerima sodoran tangannya. Ia mengangkatku berdiri, beranjak dari
ruangan aneh ini. Aku tak memikirkan ke mana pria ini akan membawaku. Itu bukan
masalah bagiku. Sebelum diriku menjauh dari sana, aku mengamati sosok lelaki
berdiri sambil mengamati kepergianku. Dari segi penampilan, aku seperti
mengenalinya. Namun, aku memilih mengabaikan dan membiarkan pria yang
menggenggam tanganku, membawaku pergi.
Sesampainya di kediaman pria itu,
aku melihat sosok wanita tengah menghampiri kami. Rona wajah berbinar-binar.Membiaskan
ketulusan murni. Tutur kata halus.Mengalun indah di telingaku. Tatap mata
jernih. Tak seperti ibuku yang tersulut amarah membara. Ribuan iblis selalu
menyarati tatapannya. Kurasa, aku akan menemukan kebahagian jika bersama dengan
mereka. Hari-hariku takkan penuh siksa, derita dan air mata. Hatiku akan
dibanjiri berkubik-kubik kasih sayang. Dan, tentu aku akan mempunyai
teman-teman baru yang tak memandangku aneh. Mereka akan memberi nostalgia
persahabatan yang indah.
Tak terasa aku sudah sembilan tahun
bersama dengan mereka. Aku ingin melanjutkan pendidikanku sekaligus mewujudkan
cita-citaku menjadi seorang detektif. Sudah lama aku berada di Jakarta. Mungkin
hampir enam tahun di sana. Aku memutuskan kembali ke tempat asalku, Sumatra
Utara, dan memulai karier pertama sebagai seorang detektif di Pematangsiantar.
Karierku sebagai seorang detektif
cukup cemerlang. Aku mendapatkan banyak tawaran menyelidiki kasus terkecil
sampai terbesar. Karierku sebagai seorang detektif juga mempertemukanku pada
Cahyana. Seorang pengusaha butik yang berdomisili di Pematangsiantar. Cantik,
anggun, dan sederhana. Tiga kata itu yang menjadi alasanku untuk meminang
dirinya menjadi istriku.
Jadwal kerjaku semakin bertambah di
awal pernikahanku. Cahyana pun demikian. Ia lebih memilih menggeluti bisnis
butiknya. Ia hampir melupakan kewajiban sebagai seorang istri. Melayani
kebutuhan biologis dan memberiku keturunan. Tapi, aku tidak bisa menyalahkan
Cahyana saja. Aku juga larut dalam pekerjaanku dan hampir saja melupakan
kewajibanku sebagai seorang suami.
Akhir-akhir ini, aku sering mengeluh
sakit kepala akut. Ditambah lagi, dengan kemunculan sekilas memori bak film
negatif, memperlihatkan seorang anak lelaki yang disiksa orang tuanya. Aku
lebih dikejutkan lagi dengan kehadiran seorang laki-laki bernama Santoso. Ia
mengaku bahwa dirinya adalah teman akrabku di masa lalu. Namun, aku benar-benar
tidak bisa mengingatnya. Jika bertemu dengan dia, aku selalu cepat-cepat
menyuruhnya pergi. Karena begitu dia datang, sakit kepalaku mulai meradang
sampai-sampai aku tidak bisa menahannya.
Meskipun begitu, ia tetap berusaha membuka
ingatan masa lalu sekaligus membongkar jati diriku sebenarnya. Santoso selalu
mengajakku berkeliling di pusat kota, menghilangkan kepenatan dan kejenuhan di
kepalaku sehabis bekerja seharian. Yang kulihat, dia mengajak anak kecil
laki-laki yang sedang meringkuk di depan emperan toko, masuk ke dalam mobil.
Santoso membawa kami ke sebuah hutan. Di sana, dia sudah mempersiapkan jebakan
untuk menghabisi nyawa anak itu sekaligus melampiaskan nafsu bejad. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Bagai penonton bioskop yang hanya bisa meneriaki actingkacangan para aktor dan aktris.
Santoso bagaikan iblis neraka liar nan brutal tega menghabisi nyawa Octaviany
Ananda dan Briptu Dharmawan.Dan lagi-lagi, aku tak bisa berbuat apa-apa selain
berteriak dan memaki dirinya.
Kehidupan rumah tanggaku juga mulai
terganggu dengan hadirnya sosok Robert Antonio. Aku mulai menduga Robert dan
istriku diam-diam bermain api di belakangku. Ternyata dugaanku benar. Setelah
Cahyana begitu tega membohongiku, aku dan Santoso berusaha keras mencari di
mana keberadaan Cahyana. Sesudah melewati perjalanan yang begitu panjang, kami
berhenti di salah satu hotel yang terdapat di kawasan Danau Toba. Dan para kru
film Robert Antonio berada di sana. Berarti, mereka berdua juga berada di dalam
sana.
Kami berdua harus melakukan
penyamaran, menyelinap ke dalam kamar pesanan mereka. Santoso berhasil membekuk
salah satu pelayan hotel untuk bertukar pakaian dengannya. Sementara itu,
Santoso menyuruhku untuk tetap di belakang.
Kami sudah berada di dalam kamar
Robert dan Cahyana. Detak jantungku seakan berhenti selama semenit. Kulihat
Robert dan istriku seranjang dengan berselimutkan kain biru laut menutupi tubuh
mereka. Bola mataku tak mau lepas dari pemandangan hina itu. Ingin rasanya
kucabik-cabik satu per satu tubuh Robert. Tapi tidak dengan Cahyana. Meskipun
ia telah mengkhianatiku, aku tetap mencintainya. Berharap ia akan menyadari
perbuatannya.
Tapi, Santoso telah bertindak di
luar dugaan tanpa mempedulikan omonganku. Ia menghabisi nyawa Robert dan
istriku secara keji. Aku tidak bisa menerima perlakuannya. Pergulatan sengit
terjadi antara kami berdua. Dan, akulah pemenangnya. Luka yang berada di dada
dan perut ini, adalah bukti kehebatanku melawan Santoso.
Aku lupa memperkenalkan diriku pada
kalian. Meskipun kalian sudah mengetahui siapa diriku, aku akan mengatakan
sebuah kebenaran yang penting untuk dikatakan.
Namaku
Adi Santoso. Aku adalah Adi dan aku adalah Santoso. Kami berdua merupakan individu
berbeda dalam satu rumah. Dan kini, kami telah berada di habibat asli kami.
Mendekam dalam sel dingin, remangdan hening. Dan, kami harus menghadapi empat
pasang bola yang memandang kami penuh heran dan keanehan. Tak masalah bagiku.
Selama kau bersamaku, aku takkan gentar menghadapi mereka.
Bukankah
begitu, Santoso?
End.

No comments:
Post a Comment