Friday, 24 March 2017

Sang Novelis - 12



Everything About Her
            Aku ingin menjadi penulis terkenal.
            Kecintaan begitu besar akan dunia literasi dimulai saat dirinya di bangku Sekolah Dasar. Buku apapun selalu menjadi teman setia kala waktu senggang. Kalau teman-teman sepermainan memilih bermain-main atau bercengkerama, ia lebih memilih menutup pintu kamar. Menghabiskan waktu berdua bersama buku-buku kesayangan.
            Buku bagai kawan yang tak banyak komentar. Buku menghadirkan susunan kata per kata yang memilih sukarela menghibur kalau dunia nyata hanya menebar sunyi dan senyap. Buku bagai kawan yang tak mengecewakan. Karena dia akan memberimu suatu pandangan baru dan dunia baru yang mungkin belum pernah kautemui sebelumnya. Orang-orang baru dengan sikap berbeda, latar belakang berbeda dan fisik serta mental berbeda.
            Meski sering bergaul dengan buku-buku, ia masih bergaul dengan teman-teman sebaya. Walau hanya sekedar bertegur sapa.
            Suatu kali, ada lelaki nakal mencoba mengganggu kemesraan dirinya dengan buku kesayangannya.
            Perempuan itu duduk di bangku taman mini. Dua lelaki nakal dengan tawa menjengkelkan menghampiri perempuan itu.
            “Buku apa sih yang kamu baca?” tanya lelaki nakal itu sambil menarik paksa buku yang dipegang perempuan itu.
            “Kembalikan! Kembalikan buku itu!” jerit perempuan itu. Tak rela ‘kekasih’nya diganggu orang lain.
            Sambil melihat-lihat isi buku secara cepat, ia melempar buku itu tepat di muka perempuan itu.
            “Dasar cewek aneh! Emangnya buku itu bisa kamu ajak ngomong dan main-main?!”
            Perempuan itu memilih tak menjawab. Ia memilih bungkam sambil menatap nanar lelaki yang sedang mencibir dirinya.
            “Ayo teman-teman. Kita tinggalkan cewek aneh ini,” ajak lelaki berpostur gempal dan pendek. Tak lupa sebelum pergi, ia menempeleng kepala perempuan itu sambil tertawa mengejek.
            Sebelum pindah ke tempat lain, ia memilih menatap penuh kesal, ketiga lelaki jahil yang baru saja mengusili dirinya.
***
            Kalau para perempuan puber menyibukan diri dengan trend pakaian dan kosmetik, perempuan satu ini memilih enggan mengikuti. Ia lebih nyaman dengan model standard anak SMA ditambah kacamata bertengger di depan kedua mata.
            Disibukkan pula dengan gonta-ganti pacar. Cari pacar dengan lelaki yang mempunyai reputasi cemerlang di sekolah. Tapi sekali lagi, perempuan itu tidak terlalu memikirkan apa itu pacar dan lika-liku menarik dalam dunia pacaran.
            Bagi dirinya, pacar terbaik adalah buku. Ia bisa saja membeli novel romansa dengan berbagai lika-liku cinta cukup menguras emosi. Dari berbagai pengarang, negara dan latar belakang. Tapi novel romansa dari luar negeri selalu menarik perhatian dirinya. Dari novel-novel romansa yang selama ini dibaca, setidaknya mengetahui bagaimana seluk-beluk dunia pacaran dan percintaan sepasang kekasih. Menilai semua itu dengan sudut pandang yang ia ciptakan sendiri.
            Melalui membaca, impian yang semula ia ragukan, mulai menuntut untuk segera direalisasikan. Menjadi seorang penulis terkenal.
            Satu langkah kecil sudah dilakukan untuk menggapai impian itu—membaca. Seseorang yang gemar membaca, memiliki renjana untuk menulis sebuah buku. Buku yang ditulis dengan kedua tangannya. Sistem operasi yang rumit di otak, akan merealisasikan berbagai kata-kata dalam sebuah tulisan. Terkonsep pada ide yang dibawakan penulis itu sendiri. Tapi, ia tidak tahu harus memulai darimana.
            Dia membutuhkan seorang yang cukup ahli dalam bidang kepenulisan. Atau, memiliki buku panduan dari seorang yang sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia kepenulisan.
            Waktu itu, ia belum punya cukup keberanian bertanya pada penulis yang punya segudang keahlian dalam kepenulisan. Belum lagi rasa takut atau segan ketika ia bertanya pada penulis kondang. Takut jikalau pertanyaannya tidak direspon dengan baik. Jadilah, ia mencari teknik-teknik menulis melalui internet.
            Coba-coba menulis sebuah puisi. Menurut dia, menulis puisi adalah hal yang cukup mudah. Bisa berkata hal seperti itu karena ia pernah memenangkan lomba baca puisi tingkat kabupaten. Namun membuat puisi seindah Chairil Anwar, W.S Rendra atau Sapardi Damono selalu ia coba lakukan jika tidak sedang mengerjakan tugas-tugas serius.
             Pernah menulis cerpen. Tak terkira berapa banyak cerpen sudah dicoba dia tulis. Namun tetek benget Ejaan Baca Indonesia dan struktur dasar cerita tak pernah menjadi perhatian. Yang penting menulis. Menulis untuk kesenangan pribadi.
            Namun setelah membaca teknik-teknik dasar dalam menulis, ia baru menyadari kalau kata-kata yang berada di kepala dan akan dijadikan suatu cerita tak sembarang menulis. Selalu menempatkan unsur SPOK dalam membuat kalimat. Selalu memprioritaskan kalimat utama dan kalimat penjelas jika ingin membuat sebuah paragraf.
            Saat dia ingin menerapkan teknik itu, tak disangka ia tak bisa berbuat apa-apa. Serba hati-hati dalam menempatkan apakah suatu kata adalah subjek, predikat, objek, atau keterangan. Begitu juga dalam membuat paragraf. Bagaimana membuat paragraf berisi kalimat utama dengan gagasan utama dan kalimat penjelas dengan gagasan penjelas. Sungguh teknik ini membuat isi kepalanya seratus persen tak berfungsi.
            Daripada bingung, dia memilih terus mencari teknik menulis yang gampang diterapkan. Juga, membaca banyak novel bagus. Dari novel-novel itu, ia bisa mengoreksi apakah kata-kata yang ada dalam novel bacaannya sudah mengandung unsur SPOK dan unsur kalimat utama serta kalimat penjelas per paragraf.
            Lambat laun, keinginan menuliskan sebuah novel semakin tak terbendung. Tapi banyak teknik menulis yang berkata begini dan begitu, membuat dirinya tak mampu menuliskan sepatah kata pun. Bingung harus menerapkan teknik seperti apa dalam menulis cerita yang baik dan benar.
***
            Hari minggu. Waktu yang tepat untuk menikmati libur akhir pekan. Dia memilih mengunjungi sebuah toko buku besar yang berada di jalan Daan Mogot.
            Tak seperti tempat wisata yang menawarkan wahana permainan mengasyikan, toko buku hanya menawarkan berjuta-juta buku bacaan. Fiksi maupun nonfiksi. Disusun rapi di sebuah rak buku berdasarkan genre. Ada juga buku yang disusun  merupakan recommended books, best seller atau new arrival. Dia memilih berjalan ke arah tumpukan buku yang berisi buku-buku best seller.
            Salah satu buku yang diambil adalah jenis novel. Novel thriller romantis berjudul The Last Holiday. Untung saja, ada novel yang sudah dibuka segel untuk bisa dilihat para calon pembeli. Namun, tubuh perempuan itu agak tersentak. Seperti mengingat sebuah perkataan.
***
            Ketika berjalan ke perpustakaan kampus, perempuan itu memelankan langkah kaki. Menguping pembicaraan sekumpulan perempuan sebayanya yang sedang asyik mengobrol.
            “Eh tahu enggak teman-teman, novel ini bagus banget. Keren!” seru salah satu perempuan yang berada di kumpulan perempuan di sana.
             “Ah masa sih? Emangnya isi ceritanya kayak mana?” tanya salah satu perempuan yang ada di sana. Jumlah perempuan di sana sekitar empat orang.
            “Ini novel bercerita tentang kisah cinta segitiga sekaligus persahabatan dua orang laki-laki dan perempuan. Ternyata ada satu cowok yang suka sama sahabat perempuan mereka sendiri. Tapi yang bikin ngenes, ternyata si cewek sudah tunangan sama si cowok yang jadi sahabatnya,” jelas perempuan itu, sepengetahuannya.
            “Aduh, sedih banget ya. Terus, terus?” tanya  salah satu perempuan yang berada di kumpulan itu.
            “Enak aja mau gratisan aja. Makanya beli ini novel,” ujar perempuan yang bercerita itu.
            Gue pinjam dong,” mohon perempuan itu.
            “Pinjam? Beli dong.”
***
            Begitulah sekilas yang diingat perempuan itu. Kalau tidak salah judul novel yang dibicarakan teman-teman perempuan di sekolahnya, The Last Holiday.
            Membaca blurb yang berada di bagian belakang novel, inti cerita yang dipaparkan temannya waktu itu, tidak terlalu salah. Hampir mengena. Lalu ia melihat profil penulis novel itu.
            Ternyata aku berbeda umur dua tahun dengannya, pikir perempuan itu.
            Usai melihat isi novel itu sekilas, dia melangkah menuju kasir dan membayar sesuai banderol harga.
            Butuh tiga puluh menit setelah tiga kali menaiki angkutan kota. Melewati perumahan yang dibangun berjarak antara satu rumah dengan rumah lain.
            “Beli novel lagi, Dik?” kata sang kakak sambil melirik sebentar lalu memusatkan perhatian pada layar kaca.
            “Yang penting bukan pakai uangmu,” balas perempuan itu sambil meneruskan langkah kaki menuju kamar tidur.
            Begitu sampai di kamar, dia merebahkan bokong di atas kasur bergambar Tweety, merogoh novel yang berada di dalam tas sandang.
            Segel plastik melapisi novel yang berada di dalamnya. Dan sebentar lagi, segel plastik itu akan dirobek oleh kedua tangannya. Sebelum membuka lembaran novel itu, ia mengirup aroma yang biasa terdapat pada buku-buku baru.
            Mumpung hari minggu, perempuan itu akan menghabiskan waktu membaca novel yang baru saja dibeli.
            Kedua bola mata yang bulat itu seakan tak mau melepaskan tatapan perempuan itu. Menyuruh untuk tetap berfokus pada deretan kata yang tertulis di dalam novel itu.
            Ia duduk di sebuah kursi malas yang sengaja diletakkan pihak losmen khusus untuk para pengunjung yang ingin menikmati suasana di luar. Raka meletakkan pantatnya di atas permukaan kursi. Ia mulai mengamati suasana malam dipenuhi bintang-bintang kecil kelap-kelip di hamparan langit gelap.
“Sayang, kenapa kamu duduk sendirian di teras ini? Apa kamu belum mengantuk?” Sebuah suara perempuan membuat dirinya agak tersentak.
“Eh kamu Rahel. Belum mengantuk nih. Kamu sendiri kenapa datang ke teras?“ Raka membalas pertanyaan dari Rahel, kekasihnya, dan menanyakan pertanyaan serupa.
“Aku juga belum mengantuk, tapi kenapa kamu duduk sendirian di teras ini? Sudah jam sepuluh lho. Kamu enggak takut masuk angin?“
“Tidak Rahel. Entah kenapa aku merasakan hal yang tidak enak saat kita berniat berlibur ke pulau itu.“
“Hal tidak enak seperti apa?“
“Sebenarnya aku juga merasa khawatir dengan liburan ini sejak awal. Firasatku mengatakan kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi sama kita semua. Aku merasa ragu kalau  mengatakan semua pada kalian semua,“ ungkap Raka dengan wajah menggambarkan keraguan yang jelas.
“Aku juga sependapat dengan kamu, kalau kita membatalkan liburan ini hanya berdasarkan kekhawatiran semata, mereka akan marah pada kita. Biarlah, kita serahkan saja semua pada Yang Mahakuasa supaya lancar dan yang terpenting keep positive thinking, darling.“ tutur Rahel disertai senyuman manis.
“Makasih ya  sayang, kamu mau mendengarkan ceritaku. Tidak salah aku memilih kamu menjadi pacarku,” kata Raka sambil menggenggam tangan Rahel.
            Sepenggal cerita dalam novel itu berhasil sukses membuat perempuan itu menorehkan senyum kecil. Yang biasanya jarang ia perlihatkan kepada orang lain.
            Tapi semakin serius menikmati novel itu, kantuk semakin intens menyerang dirinya. Dengan kondisi kepala mengangguk menahan kantuk, dia membaca novel yang berada di tangannya.
            Dengan posisi tidur beralaskan tangan masih menggapit novel, perempuan itu pelan-pelan menggerakkan badan. Namun tak sadar kalau dirinya tertidur sewaktu membaca novel. 
              “Astaga! Bisa-bisanya aku tertidur waktu baca novel,” ujarnya pada dirinya sendiri, “sudah halaman ke berapa ya?” sambil membolak-balikkan kertas-kertas yang menempel dalam novel itu.
            “Nak, ayo makan siang,” seru sang ibu dari luar kamar putrinya.
            “Iya, Bu. Sebentar lagi,” jawab perempuan itu.
            Lama mencari akhirnya dia menemukan di halaman ke berapa ia membaca novel itu. Dengan pembatas buku, ia menandai halaman yang belum dibaca. Ia akan menuju meja makan. Perut keroncong sudah menuntut untuk diisi asupan makanan bernutrisi.    
***
            Sesi makan siang sudah terlewati. Kembali ke kamar tercinta. Melanjutkan novel yang belum selesai dibaca.
            Mendaratkan bokong ke atas kasur sambil tangan kiri meraih novel yang berada di atas kasur. Perut sudah terisi. Kini, ia bisa mencurahkan konsentrasi membaca novel yang belum usai.
            Armand masih dalam keadaan setengah sadar setelah beberapa menit lalu dikeroyok oleh mereka bertiga. Luka memar dan lebam menghiasi area pipi dan mata. Dari lubang hidung masih tersisa tetesan-tetesan darah. Ia merasakan tulang-tulang yang merekat di persendian, sudah berpindah posisi. Untuk menengadahkan kepala saja, ia sudah hampir mau mati.
            Dia berusaha sekuat tenaga menyeret badan untuk mencapai mayat Rania yang tidak terlalu jauh darinya. Rasa sakit luar biasa itu hilang demi sampai kepada Rania. Armand bangkit walaupun rasa sakit menyiksa. Dengan bersusah payah, Armand duduk, mencoba mengambil tubuh Rania menaruhnya dalam dekapannya.
            Dipandanginya dalam-dalam tubuh Rania yang tak bernyawa—gadis yang sangat dicintainya. Tanpa terasa tetesan air mata sudah membanjiri wajah. Tangis memecah kesunyian semakin keras menggema di ruangan eksekusi. Armand menggoyang-goyangkan badan Rania berharap dia masih hidup.
            “Rania... Bangun Rania, bangun!“ Armand masih saja berusaha untuk membangunkan Rania tapi apa daya usaha nya sia-sia, Tuhan sudah memutuskan Rania telah berakhir di sini.
“Rangga, kau... HARUS MEMBAYAR KEMATIAN RANIA! KAU HARUS MATI DI TANGANKU, RANGGA!!!“ Armand memekik keras. Sumpah serapah sudah diikrarkan mengutuk Rangga. Tatapan matanya merah padam.Api dendam sudah tersulut di hatinya.
            Ketika membaca di bagian ini, secara refleks tangan perempuan itu menutup mulutnya. Hati kecilnya tersentuh dengan tragedi dan kemalangan dialami tokoh utama. Seakan merasakan penderitaan yang dialami Armand. Tokoh laki-laki dalam novel itu. Yang kehilangan sosok perempuan yang dicintainya. Dibunuh sahabatnya sendiri.
            Tak terasa novel itu sudah dekat penghujung. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.
            Tamat. Begitulah kata yang tertulis di akhir cerita. Sebelum menyimpan novel itu dalam laci, sesuatu terlintas di pikiran perempuan itu.
            Sebenarnya aku kurang suka di bagian ending. Terlalu cepat. Mungkin novel ini bisa jadi best seller karena peristiwa dialami tokoh-tokoh dalam novel ini cukup menguras emosi para pembaca, pikir perempuan itu.
            Ia melihat sekali lagi profil penulis novel itu.
            Untung ada dia punya facebook. Besok saja aku coba chatting dan bertanya seputar teknik menulis.

Thursday, 23 March 2017

Sang Novelis - 11



Perdebatan di Meja Makan
            12 Desember 2012
            Tidak ada satu manusia bisa mengelak dari terik si bola api raksasa. Ia selalu ada. Memberi panas dan energi bagi seluruh makhluk hidup di alam semesta. Perempuan  itu memutuskan mengakhiri tidur panjangnya tadi malam. Amunisi energi cukup untuk dihabiskan selama dua puluh empat jam dengan segala macam aktivitas. Tapi membangkitkan badan dari ranjang adalah awal mula segala kegiatan.
            Kaki peremuan itu menginjak sesuatu yang tebal. Tapi bisa menghambat langkah kakinya untuk beberapa saat.
            Lho, aku lupa, ujar batin perempuan itu.
            Ia menyambut buku yang tergeletak di lantai lalu disimpan dalam sebuah rak kayu yang menempel di atas tembok.
            Menuruni tangga dengan wajah kuyu. Belum dibilas air dari kamar mandi. Perempuan itu menoleh jam yang melingkar di bagian atas dinding, tepat di tengah kamar tidur orang tuanya.
            Ah, masih jam tujuh pagi, ucap batin perempuan itu sambil melangkah ke kamar mandi.
            Perempuan itu sudah melakukan tugasnya di kamar mandi. Ia melangkah lagi menuju meja makan. Tempat kedua orang tua dan saudara laki-lakinya bercengkerama sambil menikmati hidangan pagi.
            “Kalian ngumpul di meja makan enggak ngajak-ngajak aku,” kata perempuan itu sambil menggeser kursi kayu coklat.
            Mereka berdua sejenak melihat satu sama lain. “Kamu enggak dengar aku mengetuk pintu kamar kamu?” tanya si kakak laki-laki.
            Dia menggeleng sebanyak tiga kali sambil lanjut menyendok nasi ke piring.
            “Berarti itu salah kamu sendiri. Lagian, kamu tidur malam sampai jam satu dini hari.”
            Perempuan itu memindahkan telur dadar ke atas piringnya. Ia belum mau menjawab kata-kata dari kakak laki-lakinya. Ia lebih memilih mengunyah nasi bercampur telur dadar dalam kecap lidah. Menentukan rasa apa yang pantas sematkan pada masakan ibunya pagi ini.
            As usually, masakan ibu cocok untuk sarapan.”
            Sambil menyendok nasi lagi, tak sengaja perempuan itu tersentak. Seperti melupakan sesuatu yang penting.
            “Kalau soal tidur jam satu dini hari, kayaknya sudah biasa deh. Ya biasa. Menggarap novel perdana,” anggar perempuan berambut hitam legam itu.
            “Gak usah terlalu dipaksakan, Dik. Apalagi sampai mengorbankan kesehatanmu,” anjur sang kakak laki-laki itu.
            “Apa salahnya sih berjuang demi cita-cita? Lagipula, sesuatu yang kukejar ini sesuatu yang positif. Tidak merugikan banyak orang. Sedikit memaksa juga diperlukan untuk mencapai sesuatu,” sanggahnya lagi.
            Rasa tak enak menyeruak ketika lumatan nasi bercampur telur disalurkan ke kerongkongan. Dia mengangkat sesendok nasi dalam mulutnya tapi diturunkan lagi ke piring. Sambil merentangkan tangan agak lebar di meja makan, perempuan itu bangkit berdiri lalu berujar.
            “Ah, nafsu makanku menurun,” ucap perempuan itu sambil menjauhkan piring makan dari hadapannya. “Aku harus cepat-cepat pergi kuliah. Yang masuk kali ini dosen killer.” Dia memalingkan diri dari hadapan orang tua dan kakak laki-lakinya. Ia memilih menaikkan langkah ke tangga lagi. Menuju kamar mandi.
            Tadi hanya cuci muka kali ini dia akan mandi.
            Dia menutup pintu kamar mandi dengan dorongan kekesalan. Sambil memutar keran shower, terlebih dulu ia menanggalkan segala jenis pakaian yang membungkus tubuh. Ia membiarkan ribuan rintik air shower menghujani tubuh polosnya.
            “Mungkin tak seorang pun bisa mengerti jalan pikiranku terlebih kakak dan ibu,” ucap perempuan itu sambil menyabuni bagian dada.
            “Bahkan di dunia nyata sekali pun, teman yang memiliki hobi sama sepertiku susah untuk dicari.” Sekarang berpindah ke bagian kaki.
            “Meski belum bertemu, sepertinya dia mengerti apa yang kurasakan saat ini.” Perempuan itu melangkah sedikit lagi ke ujung shower begitu selesai menyabuni seluruh badannya.

Tuesday, 21 March 2017

Sang Novelis - 10



Ini Sudah Pukul Satu Dini Hari
            11 Desember 2012
            Urat nadi bola mata merah mencuat. Masih beradu tahan lama menahan pendar cahaya laptop. Jemari kurus itu masih berkutat dengan tuts laptop. Dari tuts yang ditekan, susunan huruf demi huruf  terpampang rapi di lembar kerja Microsoft Word.
            Tanggung. Tinggal dua halaman lagi. Semangat. Semangat, ucap perempuan itu dalam hatinya.
            Seorang wanita paruh baya keluar dari kamar kecil. Sambil mengelus pelan kelopak mata, wanita itu menoleh ke arah jam dinding.
            “Kamu belum tidur, Nak? Ini sudah pukul satu dini hari. Besok kan kamu masuk kuliah,” ujar sang wanita yang berkata ‘Nak’ itu.
            “Iya, sebentar lagi ya, Bu. Tinggal dua halaman lagi,” balas perempuan muda itu.
            Berteriak dalam sumpalan kain itu percuma tapi tetap saja dilakukan oleh Sheila. Meronta-ronta tangannnya dalam ikatan ketat tali tambang. Sementara melepaskan diri dalam kesia-sian, seorang perempuan berambut panjang pirang memegang sebilah pisau dapur berukuran besar. Perempuan tersandera itu melebarkan kelopak matanya. Ia tahu bahaya besar sedang mengintai nyawa.
            “Kamu wanita jalang penjaja kenikmatan sesaat tak pantas hidup di dunia. Pemikiran para lelaki jadi mengacu pada seks sebagai kenikmatan. Bukan sesuatu yang sakral.”
            Perempuan misterius itu juga menyeret sebuah karung di tangan sambil mengeluarkan isi dalam karung.
            Jeritan perempuan itu makin tak karuan. Ia meronta-ronta tak tentu arah begitu mengetahui isi karung itu.
            “Itu kepala lelaki hidung belang yang jadi pelangganmu tadi. Ya kira-kira seperti itulah hal yang akan kulakukan padamu. Tapi bersyukurlah aku masih berbaik hati padamu, teman sesama wanita,” jelas perempuan misterius itu sambil menempelkan sisi tajam pisau di pipi mulus wanita itu.
            Perempuan itu juga menghela napas. Memang melelahkan memfokuskan pikiran 100% pada satu pekerjaan. Ia juga mengelus kelopak mata secara lembut sambil meraih cangkir berkuping.
            “Sangking seriusnya, aku tidak sadar kalau kopi yang kuminum tinggal ampas,” gumam perempuan muda itu sambil menjulurkan lidah menikmati tetes terakhir ampas kopi. Agak pahit tapi manis gula ikut melebur di dalamnya.
            Ia akhirnya menggerakkan leher ke arah jam dinding. Betul yang dikatakan  ibunya. Jarum panjang dan pendek menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit dini hari. Dan besok ada jadwal mata kuliah masuk jam sembilan pagi.
            “Ada baiknya aku menuruti kata-kata Ibu. Besok aku juga ada masuk perkuliahan,” ujar perempuan itu sambil menyimpan data ke dalam flashdisk. Kalau soal cangkir, besok ia akan menyimpannya ke dapur.