Thursday, 23 March 2017

Sang Novelis - 11



Perdebatan di Meja Makan
            12 Desember 2012
            Tidak ada satu manusia bisa mengelak dari terik si bola api raksasa. Ia selalu ada. Memberi panas dan energi bagi seluruh makhluk hidup di alam semesta. Perempuan  itu memutuskan mengakhiri tidur panjangnya tadi malam. Amunisi energi cukup untuk dihabiskan selama dua puluh empat jam dengan segala macam aktivitas. Tapi membangkitkan badan dari ranjang adalah awal mula segala kegiatan.
            Kaki peremuan itu menginjak sesuatu yang tebal. Tapi bisa menghambat langkah kakinya untuk beberapa saat.
            Lho, aku lupa, ujar batin perempuan itu.
            Ia menyambut buku yang tergeletak di lantai lalu disimpan dalam sebuah rak kayu yang menempel di atas tembok.
            Menuruni tangga dengan wajah kuyu. Belum dibilas air dari kamar mandi. Perempuan itu menoleh jam yang melingkar di bagian atas dinding, tepat di tengah kamar tidur orang tuanya.
            Ah, masih jam tujuh pagi, ucap batin perempuan itu sambil melangkah ke kamar mandi.
            Perempuan itu sudah melakukan tugasnya di kamar mandi. Ia melangkah lagi menuju meja makan. Tempat kedua orang tua dan saudara laki-lakinya bercengkerama sambil menikmati hidangan pagi.
            “Kalian ngumpul di meja makan enggak ngajak-ngajak aku,” kata perempuan itu sambil menggeser kursi kayu coklat.
            Mereka berdua sejenak melihat satu sama lain. “Kamu enggak dengar aku mengetuk pintu kamar kamu?” tanya si kakak laki-laki.
            Dia menggeleng sebanyak tiga kali sambil lanjut menyendok nasi ke piring.
            “Berarti itu salah kamu sendiri. Lagian, kamu tidur malam sampai jam satu dini hari.”
            Perempuan itu memindahkan telur dadar ke atas piringnya. Ia belum mau menjawab kata-kata dari kakak laki-lakinya. Ia lebih memilih mengunyah nasi bercampur telur dadar dalam kecap lidah. Menentukan rasa apa yang pantas sematkan pada masakan ibunya pagi ini.
            As usually, masakan ibu cocok untuk sarapan.”
            Sambil menyendok nasi lagi, tak sengaja perempuan itu tersentak. Seperti melupakan sesuatu yang penting.
            “Kalau soal tidur jam satu dini hari, kayaknya sudah biasa deh. Ya biasa. Menggarap novel perdana,” anggar perempuan berambut hitam legam itu.
            “Gak usah terlalu dipaksakan, Dik. Apalagi sampai mengorbankan kesehatanmu,” anjur sang kakak laki-laki itu.
            “Apa salahnya sih berjuang demi cita-cita? Lagipula, sesuatu yang kukejar ini sesuatu yang positif. Tidak merugikan banyak orang. Sedikit memaksa juga diperlukan untuk mencapai sesuatu,” sanggahnya lagi.
            Rasa tak enak menyeruak ketika lumatan nasi bercampur telur disalurkan ke kerongkongan. Dia mengangkat sesendok nasi dalam mulutnya tapi diturunkan lagi ke piring. Sambil merentangkan tangan agak lebar di meja makan, perempuan itu bangkit berdiri lalu berujar.
            “Ah, nafsu makanku menurun,” ucap perempuan itu sambil menjauhkan piring makan dari hadapannya. “Aku harus cepat-cepat pergi kuliah. Yang masuk kali ini dosen killer.” Dia memalingkan diri dari hadapan orang tua dan kakak laki-lakinya. Ia memilih menaikkan langkah ke tangga lagi. Menuju kamar mandi.
            Tadi hanya cuci muka kali ini dia akan mandi.
            Dia menutup pintu kamar mandi dengan dorongan kekesalan. Sambil memutar keran shower, terlebih dulu ia menanggalkan segala jenis pakaian yang membungkus tubuh. Ia membiarkan ribuan rintik air shower menghujani tubuh polosnya.
            “Mungkin tak seorang pun bisa mengerti jalan pikiranku terlebih kakak dan ibu,” ucap perempuan itu sambil menyabuni bagian dada.
            “Bahkan di dunia nyata sekali pun, teman yang memiliki hobi sama sepertiku susah untuk dicari.” Sekarang berpindah ke bagian kaki.
            “Meski belum bertemu, sepertinya dia mengerti apa yang kurasakan saat ini.” Perempuan itu melangkah sedikit lagi ke ujung shower begitu selesai menyabuni seluruh badannya.

No comments:

Post a Comment