Monday, 6 March 2017

Sang Novelis - 8



Folder
            Sambil melepaskan jaket yang melekat di badan, sosok itu memilih menyandarkan badan di sebuah kursi malas.
            “Aku yakin pasti dia sedang menduga-duga siapa yang mengirim amplop itu. Tapi aku beruntung juga. Bagian administrasi tidak mengenali diriku. Sepertinya, dia memperkerjakan pegawai baru.” Sosok itu beranjak pergi dari kursi malas. Masih mengenakan sepatu kets, ia menuju sebuah laptop yang tergeletak di atas meja.
            Menunggu layar laptop menampilkan desktop, ia memilih ke dapur sebentar menyeduh secangkir kopi ditambah dengan susu kental manis.
            Sebuah cangkir keramik berisi kopi susu berada dalam genggaman tangan. Dan tak lama ia akan tiba di depan laptopnya.
            Begitu wallpaper ditampilkan, ia membuka data flashdisk sambil mengarahkan panah tetikus ke folder N.O.V.E.L. Mengarahkan tetikus lagi menuju sebuah file Microsoft Word. Membaca sambil meresapi deretan kata per kata yang tersusun rapi dan runut di layar laptop.
            Memang tak mudah mengatur rencana ini secara sistematis. Perlu pertimbangan jauh-jauh hari. Dan pertimbangan keberhasilan dan kegagalan akan rencana ini juga perlu dipikirkan masak-masak. Tapi aku yakin. Siapa berani mengambil resiko tanpa harus berpikir terlalu lama dan terlalu banyak pertimbangan, dia akan memperoleh kemenangan sejati. Karena seorang pemenang sejati tak terlalu merepotkan risiko.
            Korban pertama adalah JAFAR SANARAK. Dia laki-laki. Tapi bukan asli pribumi. Ia adalah seorang peranakan India dengan mojang Bandung. Jika dilihat-lihat dia tampan, berkulit sawo matang. Hidung bangir. Rahang gigi keras dan tegas. Memiliki lesung pipit. Sebenarnya aku tidak pandai memvisualisasikan bentuk tubuh seseorang lewat kata-kata. Tapi untungnya dia tampan. Jadi IQ otakku yang pas-pasan ini bisa mengingatnya.
            Tapi dia sungguh menyakiti hatiku. Dan sebenarnya aku enggak tega membunuh dia. Tapi demi kebencian dan dendam masa lalu, aku harus membunuhnya. Harus.
            Dia selalu mengejekku dengan sebutan ‘penunggu perpustakaan’. Walaupun, aku mengatakan kalau keperluanku ke perpustakaan demi melakukan riset atas novel perdanaku dulu, dia makin rajin mengejekku.
            Susah payah sih aku mengorek informasi dari teman-teman satu angkatanku mengenai dirinya setelah wisuda. Aku berhasil mendapatkan alamat. Benar-benar keberuntunganku.
            Ternyata alamat rumahnya berada di sekitar kota Bandung. Tepatnya di Cirebon. Di sebuah rumah kontrakan, pemukiman yang cukup sepi. Yes, inilah yang kutunggu-tunggu.
            Aku bersembunyi di balik dinding luar rumah kontrakannya. Kulihat dia pulang dalam wajah letih. Menurut informasi dari teman-teman, dia bekerja sebagai guru les sekaligus guru honor bidang studi Bahasa Inggris di sebuah SMA Negeri. Yang kuketahui juga dia orangnya cukup awas, bagaimanapun keadaannya. Tapi kuamati dia pulang sekitar pukul setengah enam sore.
            Aku sudah mempersiapkan sebuah rantai besi sebagai alat memampuskan si JAFAR yang brengsek itu. Dan, sebilah pisau ukuran sedang untuk jaga-jaga.
            Tapi hal yang paling kutunggu saat ia merenggang nyawa terlilit rantai besi di lehernya. Ekspresi kesakitan dan sesak luar biasa. Aku yakin, asupan oksigen di paru-parunya hampir menipis membuat wajahnya membiru luar biasa. Mungkin dalam hatinya ia berkata ‘Aku harus bertahan. Aku harus bertahan!’
            Percuma! Sebentar lagi kau akan mati, lelaki tampan!
            Tapi dia berhasil melukaiku dengan garpu. Cukup sakit tapi ada kekuatan misterius yang entah dari mana bisa membuatku bertahan. Dan aku mampu mencabut nyawanya. Mission completed.
            Sebelum aku pergi, aku menancapkan garpu itu di matanya. Augh! Cukup sadis, bukan?
            Usai membaca file yang berada di laptop, sosok itu memilih menutup file lalu diikuti dengan turn off laptop.        
             “Target pertama sudah beres.” Sosok itu menarik sesuatu dari di dalam laci. Terlihat empat lembar foto dengan ukuran kertas A3. Salah satu dari foto itu disilang dengan spidol merah lalu ia melengketkan foto itu di dinding.
            “Target kedua, seorang perempuan. Cantik sih tapi suka ngomongin orang lagi. Aku yakin itu mulut enggak pernah disekolahkan. Tapi enggak apa-apa. Sebentar lagi dia akan... mati,” tutup sosok itu sambil menyimpan foto yang tersisa dalam laci.

No comments:

Post a Comment