Friday, 17 March 2017

Sang Novelis - 9



Surat Ancaman
            Mengenakan piama biru dengan paduan celana pendek biru, Ervano menekan tombol remote sambil duduk di samping Liane.
            “Berikan remote-nya,” ucap Liane sambil mengulurkan tangan pada suaminya. Padahal Ervano baru saja memegang remote selama lima detik. Lima detik.
            “Semalam kamu ‘kan sudah pegang remote untuk nonton berita.Sekarang, aku mau nonton film India sama Turki.” Remote itu kini berpindah tangan ke Liane.
            Ah, tadinya Ervano ingin menyaksikan siaran sidang kasus pembunuhan Marina yang sedang dalam seru-serunya. Ia berkata seru karena pengadilan negeri Jakarta menghadirkan saksi-saksi ahli bidang psikologi untuk mengungkap kejiwaan Jenita. Tapi semua sirna saat tayangan dramatisasi berlebihan seputar hubungan suami istri dan rumah tangga menghalangi niat menonton persidangan Jenita.
            Tak mau berdebat panjang dengan sang istri, Ervano memilih pergi ke kamar tidur. Sebelum merebahkan diri, lelaki itu teringat akan sesuatu yang diberikan bagian administrasi.
            Ervano melangkahkan kaki menuju tas hitam yang tergantung di pintu kamar bagian belakang. 
            Begitu resleting tas sudah terbuka, pelan-pelan tangan Ervano masuk ke dalam tas. Kini amplop coklat itu sudah berada di genggaman tangan.
            Secara hati-hati jemari Ervano berputar ke belakang, melepaskan tali tipis yang melilit amplop. Ketika tali terlepas, Ervano melebarkan sedikit lubang amplop.
            Harus hati-hati menarik sesuatu yang berada di dalam amplop. Sebuah kertas putih terdapat sebuah tulisan merah. Namun ada bau aneh terendus hidung Ervano.
            Seperti bau... darah, terka batin Ervano. Merasa tak yakin dengan apa yang diendus oleh hidungnya, ia mengendus bau itu sekali lagi.
            “Memang bau darah. Tidak salah lagi.” Ervano membuka lipatan kertas. Sebentar lagi isi dari kertas itu akan terlihat.
            INI BELUM PUNCAK KONFLIK! AKU AKAN PERLIHATKAN RANGKAIAN KONFLIK CERITA INI SATU PER SATU!
            Surat macam apa ini?! maki Ervano dalam pikiran. Ia merobek, mencabik kertas itu sampai potongan kecil-kecil. Lalu menggenggam potongan itu dan membuangnya ke dalam tong sampah.
            Sebenarnya ini sudah kelewatan. Tapi aku tidak boleh menghadapi ini dengan emosi berlebihan. Aku harus menyelidiki siapa pengirim surat ini. Sementara ini, aku hanya berspekulasi kalau ini tindakan haters, duga Ervano dalam hati.
            Supaya tidak berpikir yang tidak-tidak, Ervano memilih mengarahkan diri menuju kasur empuk. Sebelum melelapkan diri, kepala Ervano menoleh ke arah meja tempat menulis novel-novelnya.
            Lain kali saja. Aku lelah.    

No comments:

Post a Comment