Surat
Ancaman
Mengenakan piama biru dengan paduan celana pendek biru,
Ervano menekan tombol remote sambil
duduk di samping Liane.
“Berikan remote-nya,”
ucap Liane sambil mengulurkan tangan pada suaminya. Padahal Ervano baru saja
memegang remote selama lima detik. Lima detik.
“Semalam kamu ‘kan sudah pegang remote untuk nonton berita.Sekarang, aku mau nonton film India sama
Turki.” Remote itu kini berpindah
tangan ke Liane.
Ah, tadinya Ervano ingin menyaksikan siaran sidang kasus
pembunuhan Marina yang sedang dalam seru-serunya. Ia berkata seru karena
pengadilan negeri Jakarta menghadirkan saksi-saksi ahli bidang psikologi untuk
mengungkap kejiwaan Jenita. Tapi semua sirna saat tayangan dramatisasi
berlebihan seputar hubungan suami istri dan rumah tangga menghalangi niat
menonton persidangan Jenita.
Tak mau berdebat panjang dengan sang istri, Ervano
memilih pergi ke kamar tidur. Sebelum merebahkan diri, lelaki itu teringat akan
sesuatu yang diberikan bagian administrasi.
Ervano melangkahkan kaki menuju tas hitam yang tergantung
di pintu kamar bagian belakang.
Begitu resleting tas sudah terbuka, pelan-pelan tangan
Ervano masuk ke dalam tas. Kini amplop coklat itu sudah berada di genggaman
tangan.
Secara hati-hati jemari Ervano berputar ke belakang,
melepaskan tali tipis yang melilit amplop. Ketika tali terlepas, Ervano
melebarkan sedikit lubang amplop.
Harus hati-hati menarik sesuatu yang berada di dalam
amplop. Sebuah kertas putih terdapat sebuah tulisan merah. Namun ada bau aneh
terendus hidung Ervano.
Seperti bau...
darah, terka batin Ervano. Merasa tak yakin dengan apa yang diendus oleh
hidungnya, ia mengendus bau itu sekali lagi.
“Memang bau darah. Tidak salah lagi.” Ervano membuka
lipatan kertas. Sebentar lagi isi dari kertas itu akan terlihat.
INI BELUM PUNCAK
KONFLIK! AKU AKAN PERLIHATKAN RANGKAIAN KONFLIK CERITA INI SATU PER SATU!
Surat macam apa
ini?! maki Ervano dalam pikiran. Ia merobek, mencabik kertas itu sampai
potongan kecil-kecil. Lalu menggenggam potongan itu dan membuangnya ke dalam
tong sampah.
Sebenarnya ini
sudah kelewatan. Tapi aku tidak boleh menghadapi ini dengan emosi berlebihan.
Aku harus menyelidiki siapa pengirim surat ini. Sementara ini, aku hanya
berspekulasi kalau ini tindakan haters, duga Ervano dalam hati.
Supaya tidak berpikir yang tidak-tidak, Ervano memilih
mengarahkan diri menuju kasur empuk. Sebelum melelapkan diri, kepala Ervano
menoleh ke arah meja tempat menulis novel-novelnya.
Lain kali saja. Aku
lelah.
No comments:
Post a Comment