Thursday, 27 April 2017

Sang Novelis - 17





Kartu Truf
            18 Maret 2016
            Ini dia yang kucari-cari. Tak mudah memang mencari identitas penjahat buronan ini. Aku harus mengorek informasi dari orang lain dan mengeluarkan bertumpuk-tumpuk koran bekas. Dan lagi, aku harus berselancar di dunia maya, mencari penjahat yang tindakan kriminalnya sudah diketahui publik termasuk orang-orang dunia maya.
            Aku menemukan nomor handphone dan merencanakan bertemu di sebuah warung kopi yang tidak banyak dikunjungi orang. Agar tidak diketahui orang, aku melakukan penyamaran. Dia pun begitu.
            Aku menjelaskan rencana yang harus dilakukan olehnya. Rencana penghancuran suatu tempat yang dihuni para siswa sekolah dan tempat lelaki yang kucintai sekaligus kubenci itu. Menularkan pengetahuannya mengenai dunia literasi. Ini adalah langkah pertama sebelum aku mengeluarkan kartu truf milikku. Akan terasa seru jika aku menggunakan kartu itu di akhir cerita. Tapi setelah tiba di kampung halamanku, aku ingin melakukan pembalasan pada perempuan yang sebelumnya sudah kujelaskan di cerita sebelumnya. 
***
            Jaket merah masih membungkus tubuh semampai perempuan itu. Dia mengetuk pintu kayu yang menghalangi jalan masuk. Sudah tiga kali diketuk baru ada jawaban. Perempuan itu mendengar suara selop beradu dengan lantai.
            “Eh Nyonya Muda, kenapa tidak beritahu kalau mau datang ke sini?”
            “Maafkan saya. Saya tidak sempat memberitahu. Ibu sedang di kamar?” ujar perempuan itu dingin.
            “Iya, Ibunda Nyonya sedang berada di kamar,” jawab perempuan pendek itu sambil mempersilakan perempuan yang di depannya masuk.
            Keadaan rumah masih sama saat dirinya memutuskan pergi merantau. Namun bedanya keadaan rumah tidak begitu ramai. Perempuan itu memilih menuju kamar tidurnya sembari melepas jaket dan tas dorong.
            Sudah tersimpan barang-barang bawaan, perempuan itu memilih menuju kamar yang berada di sebelah kamarnya. Seorang wanita paruh baya berambut pirang teronggok lemah di kursi roda. Tatap mata sayu melihat seseorang tengah menghampiri dirinya.
            “Ibu, apa pembantu cebol itu merawat dirimu baik-baik?”
            Wanita paruh baya itu sebisa mungkin menggerakkan mulut yang terasa mengeras. Mengucapkan mungkin sepatah kata, menjawab tanya anak perempuannya.
            “Kamu... kapan... datang ke sini?” tanya sang ibu dengan napas berjeda.
            “Aku baru saja tiba, Ibu. Dan kulihat pembantu kita sangat telaten merawat ibu yang sakit. Oh ya, Bu. Aku juga punya tujuan selain menjenguk ibu. Aku harus menyingkirkan seorang perempuan sirik yang selalu mengejekku waktu aku belum jadi apa-apa,” jelas perempuan itu. Ia menunjukkan seringai kejam, menempakkan deret rapi gigi putih.
            “Siapa... perempuan... itu?”
            “Nanti Ibu juga tahu.” Perempuan itu sudah berada di ambang pintu. Ia melangkah menuju kamar tidurnya. Mendorong kursi plastik, dekat dengan laptop. Begitu layar laptop menyala, ia membuka shortcut Micrososft Word.
            Sebenarnya aku rada kasihan melihat kondisi ibu yang terduduk lumpuh di atas kursi roda. Rasanya ingin mengakhiri nyawanya seperti aku menghabisi nyawa kakakku dan manajer si penulis sombong itu. Dan sampai sekarang aku patut berbangga diri karena polisi belum bisa mengendus jejakku.
            Tapi hal yang kunantikan yakni membunuh perempuan itu. Dia bernama Erlyn. Kuakui dia punya bodi aduhai yang membuat mata lelaki melek kalau tidak memandang kemolekan tubuhnya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku berselisih beberapa sentimeter dengannya. Kira-kira empat sentimeter. Tinggi Erlyn sekitar 159 sentimeter. Tinggi badanku sekitar163 sentimeter. Kelemahanku yakni tubuhku kurang berisi. Itu saja.
            Namun hal yang sangat kusayangkan sekaligus jadi penyebab mengapa aku begitu ingin membunuhnya, yakni mulutnya kelewat “ember” dan pedas itu. Waktu di perkuliahan dulu, aku selalu menghindar jika aku melihat dirinya dari kejauhan. Pikirku, menghindar lebih baik daripada menjadi bahan ejekan.
            Dia selalu mengejekku dengan sebutan “ wanita gila kertas”dan satu perkataan yang paling kucamkan darinya—perempuan kayak kamu itu gak bakalan bisa jadi penulis!
            Memang aku belum bisa melampaui ketenaran lelaki itu. Tapi novel perdana yang kutulis itu, mendapat cukup antusiasme dan penjualan terbaik walau masih kuterbitkan di penerbit indie. Itu yang bisa sedikit kupaparkan tentang perempuan itu. Aku jadi tak sabar ingin cepat-cepat membunuhnya.

Thursday, 20 April 2017

Sang Novelis - 16



Tekad atau Ambisi?
            3 Januari 2013
            Sejak mengobrol panjang lebar dengan sang penulis via Facebook, perempuan itu bertekad menyelesaikan naskah yang sempat tertunda. Setiap malam tak pernah absen suara jemari beradu dengan tuts laptop. Pertama kali, ia selalu menargetkan jumlah halaman yang akan diketik. Paling banyak empat halaman setiap hari. Meskipun ada tugas kuliah, ia lebih mengutamakan ketikan naskah daripada tugas kuliah.
            AKBP Jon Haris sedang melakukan penyergapan di markas sang pembunuh berantai bersama dengan dua anggotanya. Ia mengacungkan pistol di sebelah kanan sambil mengendap pelan-pelan. Aura kesunyian bercampur kematian terasa menyesakkan di dada mereka. Bau anyir dan busuk dari darah mengering menusuk penciuman.
            “Kalian harus berhati-hati. Dia bisa bersembunyi di mana saja. Ini wilayahnya,” instruksi AKBP Jon Haris.
            Sebuah gudang logistik yang sudah terbengkalai hampir sembilan tahun sudah tentu menjadi sarang kejahatan apalagi gudang itu cocok sebagai tempat eksekusi para pembunuh atau pemerkosa. Salah satu anggota AKBP Jon Haris, Briptu Ian Sumandi mengamati sebauh lemari kayu teronggok lapuk. Bercat cokelat memiliki dua pintu.
            “Lapor komandan, ada sebuah lemari di bagian belakang gudang.”
            “Tahan di sana. Tunggu aba-aba dari saya. Jangan menyentuh lemari sebelum saya tiba di sana,”tutup AKBP Jon Haris.
            AKBP Jon Haris memang sedang berada di bagian depan gedung. Ketika ada laporan dari anak buahnya lewat radio, ia segera menyusul anak buahnya.
            AKBP Jon Haris sudah bersama dengan anak buahnya. Berdiri di hadapan lemari itu.
            “Ini lemari yang kalian maksud?”tanya sang AKBP. Lemari itu berada di bagian sudut terdepan sebelah kiri gudang belakang.
            “Ya Komandan. Tadi kami berdua sempat menggoyangkan sedikit lemari ini. Kami menduga ada sesuatu mencurigakan tersimpan di lemari ini,” jelas Briptu Ian Sumandi diikuti anggukan teman di sebelahnya.
            Mendengar penjelasan dari anak buahnya, AKBP Jon Haris penasaran dengan apa yang ada di dalam lemari itu. Dengan kunci yang masih tertancap di pintu kayu, sang polisi mencoba memutarnya walau agak kesulitan.
            Kelihatannya lemari sudah bisa dibuka. Dengan menyimpan rasa degdegan di dada, tangan AKBP Jon Haris sigap memegang gagang lemari kayu itu.
             Mereka bertiga menghela napas lega. Tidak ada sesuatu mengcurigakan di dalam lemari. Yang ada malah berkas-berkas warga penerima kartu raskin pada tahun 2010 dan berkas-berkas penting lainnya. Tapi kecurigaan AKBP Jon Haris belum usai. Dengan posisi lemari menutupi sudut ruangan dan bau anyir di sekitar lemari, mengharuskan AKBP Jon Haris menyuruh kedua anggotanya mengangkat lemari.
            Begitu lemari dijauhkan, ketiga lelaki itu sempat terperanjat melihat tubuh manusia tanpa kepala. Bagian leher putus sudah membusuk dihinggapi lalat. Belatung putih menggeliat geli.
            Ketikan pada lembar kerja Microsoft Word telah sampai di halaman keempat. Ini masih setengah jalan dari keseluruhan bab yang telah ditentukan. Pernah suatu waktu ia mengeluh apakah yang dilakukannya ini akan berujung percuma. Tapi ia selalu mengatakan pada dirinya sendiri jikalau orang yang menghargai proses akan menuai keberhasilan. Dan tak mungkin gagal. Tak mungkin.
            Setelah semua bab sudah selesai dia kerjakan, ia akan menjumpai penulis novel Last Holiday, menilai hasil naskah yang sudah selesai dikerjakan. Sebenarnya, bisa saja perempuan itu membuat blog terlebih dahulu lalu memajang naskah novel yang telah ditulisnya di sana. Kemudian meminta sang penulis agar memberikan saran dan kritik via blog tapi perempuan itu tidak mau. Ia lebih suka apabila bertatap mata secara langsung dengan penulis idola. Segala cara akan dilakukan demi bertemu dengan penulis idola perempuan itu.     

Sunday, 16 April 2017

Sang Novelis - 15



Perbincangan
            Violana sedang pergi keluar kota. Fayani, istri tercinta sedang berkutat dengan buku pesanan. Kalau sudah begini, Ervano tahu ke mana ia harus pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke rumah sang sahabat—Sata Saragih.
            Sata Saragih merupakan teman sepermainan waktu SMA. Juga kawan dekat Ervano. Di mana ada Ervano, di situ ada Sata. Dan lelaki itu ingin mengunjungi kawan dekatnya yang sudah menjadi anggota DPRD di daerah Jakarta Barat.
            Sehabis diantar pulang oleh sang manajer ke rumah lagi, kali ini Ervano akan melakukan perjalanan ke rumah Sata Saragih. Sebelum ke rumah kawan dekatnya, lelaki itu mencoba memastikan apakah Sata sedang bertugas.
            “Halo, Sata,” ucap Ervano dari ponsel.
            “Halo, Ervan, ada apa nih?” jawab Sata.
            “Kau ada di rumah kan sekarang?”
            “Wah, kebetulan memang. Aku lagi ada di rumah? Ada apa? Mau main-main ke rumah?”
            “Tahu aja kau. Ya sudah kalau begitu, aku mau ke sana,” tutup Ervano.
            Mengetahui Sata sedang di rumah, Ervano langsung tancap gas meninggalkan rumah.
***
            Untung suasana jalan tol tidak terlalu macet. Memungkinkan perjalanan bisa ditempuh dari Kebon Jeruk ke Kali Deres selama satu setengah jam. Begitu akan tiba di tujuan, Ervano menyalakan lampu sein, membelokkan mobil ke kiri.
            Suasana perumahan Puri Cendana Indah selalu ramai kala menjelang sore. Banyak anak-anak remaja bermain dengan sepatu roda dan sepeda BMX. Ada taman seluas seratus meter di pinggir kanan jalan raya. Di taman itu terdapat beberapa anak muda sedang bermain basket dan futsal dan sisanya lari sore sambil mengitari taman.
             Sambil menyapa pos penjaga, Ervano mulai melihat kediaman sang kawan dari radius lima puluh meter.
            Sebuah pagar besi bercat hitam seluas dua puluh meter membentang sepanjang pekarangan. Pekarangan rumah juga bisa terbilang luas. Bisa memarkirkan lima mobil pribadi di sana. Pekarangan rumah seluas itu, sang tuan rumah juga menanam berbagai tanaman buah-buahan dan tanaman hias unik. Salah satunya kantong semar jenis silang alami dan silang buatan. Sebuah ayunan anak-anak dan perosotan juga tersedia.
             Ketika sudah tiba di muka pagar, seseorang berperawakan kurus namun memiliki postur tegap menghampiri Ervano.
            “Ada Pak Sata Saragih di rumah?” tanya Ervano dari dalam mobil.
            “Oh kebetulan. Beliau sedang memberi makan ayam di halaman belakang,” jawab lelaki kurus itu.
            “Tolong buka gerbangnya. Ini saya teman dekat beliau. Mau bertemu dengan beliau.”
            Sudah mengetahui kalau ada yang ingin bertemu dengan majikannya, lelaki itu membuka gerbang seluas mobil yang dikendarai Ervano.
            Begitu mobil tiba di pekarangan rumah, Ervano langsung turun dari mobil dan memanggil nama teman dekatnya.
            “Hey, Sata, keluar kau. Jangan bercinta sama ayam-ayam peliharaanmu di belakang sana. Ini aku kawan dekatmu, rindu sama kau,” panggil Ervano dari teras rumah. Namun sekilas sang penjaga pos menoleh ke arah dirinya. Ia tidak menyangka ada yang memanggil sang majikan dengan ucapan seperti itu.
            “Dasar penulis kutu rebus, seenaknya kau ngomong kayak gitu samaku. Ya sudah duduk dulu. Biar kusuruh istriku bikin teh manis untuk kita berdua,” balas Sata sambil melangkah ke tempat sang kawan akrab berpijak saat ini.
            Ervano sudah duduk di kursi yang dipersilakan teman dekatnya. Tapi Sata permisi dulu pada Ervano untuk menemuni istrinya. Lalu kembali lagi tak begitu lama dari dapur.
            “Ada apa kau datang ke sini? Enggak biasanya,” tanya Sata sambil duduk di kursi, berseberangan dengan Ervano.
            “Ya apa lagi kalau menjumpai kawanku yang jelek sejagad ini dong. Hahaha,” jawab Ervano sambil tertawa mengejek Sata.
            Eh muka boleh jelek, yang penting enggak ganteng,” sanggah Sata dengan wajah sok berwibawa.
            Jiah, itu mah sama aja—” Belum selesai bicara, seorang wanita dengan celemek hijau dengan tubuh semampai dibalut kaus merah muda dan celana pendek cokelat muda memegang nampan berisi dua gelas teh manis panas.
              “Silakan diminum, Bang Ervan,” suruh istri Sata, sopan. Sambil mengundurkan diri dari hadapan kedua lelaki itu.
            Begitu istri Sata, kawan dekat Ervano sudah menjauh, Ervano berbisik pada kawan dekatnya.
            “Eh Sata, tapi hebat juga kau ya. Jelek-jelek begini, bisa dapet istri yang oke punya,” kagum Ervano pada kawan dekatnya itu.
            “Ya kau juga beruntung dapat si Fayani. Dia itu cantiknya sebelas duabelas sama istriku, si Nidda. Eh omong-omong, mana manajermu yang pelit senyum itu? Er, siapa namanya?”
            “Violana,” jawab Ervano.
            “Iya, iya, Violana. Ke mana dia?”
            “Dia lagi izin ke luar kota. Katanya, lihat temannya yang meninggal.”
            Sata menggangguk-angguk saja begitu mengetahui manajer Ervano sedang pergi keluar kota.
            “Baguslah kalau dia lagi pergi. Dengan begini ‘kan, aku bisa bercanda sama kawan dekatku.”
            “Tapi kenapa kau enggak suka sih sama si Violana?” tanya Ervano agak heran.
            “Hmm, gimana ya? Dia itu kayak kurang ekspresif gitu. Asal aku ngasih lelucon atau melucu, dia itu cuma senyum. Tapi, senyumannya kayak gak ikhlas gitu. Makanya, kalau kamu mengajak dia, aku ngomong topik-topik yang serius. Eh ternyata, responnya sama. Kadang diperhatikan, kadang enggak. Kesal,” ujar Sata.
            “Violana juga mengingatkanku pada Pigop. Kau masih ingat dengan dia?” tanya Ervano.
            “Si Pigop yang suka menyendiri itu ‘kan? Jelas ingat banget dong. Dia sering kali jadi bahan bully-an teman-teman sekelas termasuk kita berdua. Tapi kau tahu bagaimana keadaannya sekarang?”
            Ervano menggeleng pelan, mengisyaratkan dia sama sekali tak mengetahui perkembangan keadaan Pigop.
            “Dia sudah bekerja sebagai seorang supervisor di sebuah perusahaan asing di Jerman. Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa berkembang pesat seperti itu. Padahal jika dilihat-lihat dia bukan orang yang dikatakan pintar. Ditambah lagi dia kurang pandai bersosialisasi. Tidak memungkinkan dirinya mendapatkan pekerjaan itu,” ungkap Sata, panjang lebar.
            “Terkadang masa lalu tidak bisa menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Masa depan seperti kotak misteri yang tidak bisa kita tebak apa isinya. Jika orang-orang biasa menjadikan masa lalu dan tabiat sebagai tolak ukur keberhasilan seseorang, bisa saja masa depan memberikan kejutan bagi orang dengan masa lalu dan tabiat buruk. Asalkan perubahan positif dikerjakan dengan usaha tekun. Contoh terdekat yakni kita berdua. Kau menjadi seorang anggota DPRD dan aku menjadi seorang penulis,” jelas Ervano sambil mengambil napas sejenak.
            “Ada benarnya juga apa yang kau katakan. Tapi perubahan signifikan paling terasa itu, terjadi pada dirimu, Ervano. Kau punya karya yang bisa dibilang sudah dikenal secara nasional dan kau bisa menciptakan omongan sarat filosofi,” kagum Sata.
            “Semua perlu latihan dan butuh proses. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi. Banyak membaca. Salah satunya dengan membaca novelku yang dijual di toko buku.”
            “Ujung-ujungnya promosi juga. Tapi, sudah berapa royalti dari hasil penjualan novelmu? Boleh dong kau traktir aku makan di Solaria kalau sudah banyak,” tanya lelaki itu sambil mengangkat gelas lalu didekatkan ke mulut.
            “Kalau soal royalti itu diberitahu setiap satu semester. Kalau sudah bicara soal royalti, kamu orang pertama yang selalu menanyakan itu. Makanya beli novelku kalau bisa kamu bantu promosi sama teman-temanmu di DPRD,” tandas Ervano sambil mengangkat cangkir, menyesap teh manis yang perlahan-lahan dingin.
            “Kau tahu sendiri ‘kan, Ervano, aku kurang suka membaca buku. Jadi berbicara soal beli buku, itu tidak terlalu menjadi prioritas utama.”
            Ervano mendengus kesal mendengar perkataan temannya. Ia memilih menghabiskan sisa teh manis yang tinggal seperempat lagi di dalam gelasnya.

***
            Lelaki berambut gondrong itu menengguk secangkir kopi yang tinggal sedikit lagi. Memang tak biasanya lelaki itu bisa minum kopi di kafe mahal. Warung kopi dengan harga terjangkau di kantong selalu menjadi langganan. Sambil meletakkan cangkir, lelaki itu menatap sebuah foto yang terpampang di layar telepon genggam. Memikirkan rencana yang akan dilakukan sesuai yang dikatakan seseorang lewat sambungan telepon.