Kartu
Truf
18 Maret 2016
Ini dia yang
kucari-cari. Tak mudah memang mencari identitas penjahat buronan ini. Aku harus
mengorek informasi dari orang lain dan mengeluarkan bertumpuk-tumpuk koran
bekas. Dan lagi, aku harus berselancar di dunia maya, mencari penjahat yang
tindakan kriminalnya sudah diketahui publik termasuk orang-orang dunia maya.
Aku menemukan nomor handphone dan
merencanakan bertemu di sebuah warung kopi yang tidak banyak dikunjungi orang.
Agar tidak diketahui orang, aku melakukan penyamaran. Dia pun begitu.
Aku menjelaskan rencana yang harus
dilakukan olehnya. Rencana penghancuran suatu tempat yang dihuni para siswa
sekolah dan tempat lelaki yang kucintai sekaligus kubenci itu. Menularkan
pengetahuannya mengenai dunia literasi. Ini adalah langkah pertama sebelum aku
mengeluarkan kartu truf milikku. Akan terasa seru jika aku menggunakan kartu
itu di akhir cerita. Tapi setelah tiba di kampung halamanku, aku ingin
melakukan pembalasan pada perempuan yang sebelumnya sudah kujelaskan di cerita
sebelumnya.
***
Jaket merah masih membungkus tubuh semampai perempuan
itu. Dia mengetuk pintu kayu yang menghalangi jalan masuk. Sudah tiga kali
diketuk baru ada jawaban. Perempuan itu mendengar suara selop beradu dengan
lantai.
“Eh Nyonya Muda, kenapa tidak beritahu kalau mau datang
ke sini?”
“Maafkan saya. Saya tidak sempat memberitahu. Ibu sedang
di kamar?” ujar perempuan itu dingin.
“Iya, Ibunda Nyonya sedang berada di kamar,” jawab
perempuan pendek itu sambil mempersilakan perempuan yang di depannya masuk.
Keadaan rumah masih sama saat dirinya memutuskan pergi
merantau. Namun bedanya keadaan rumah tidak begitu ramai. Perempuan itu memilih
menuju kamar tidurnya sembari melepas jaket dan tas dorong.
Sudah tersimpan barang-barang bawaan, perempuan itu
memilih menuju kamar yang berada di sebelah kamarnya. Seorang wanita paruh baya
berambut pirang teronggok lemah di kursi roda. Tatap mata sayu melihat
seseorang tengah menghampiri dirinya.
“Ibu, apa pembantu cebol itu merawat dirimu baik-baik?”
Wanita paruh baya itu sebisa mungkin menggerakkan mulut
yang terasa mengeras. Mengucapkan mungkin sepatah kata, menjawab tanya anak
perempuannya.
“Kamu... kapan... datang ke sini?” tanya sang ibu dengan
napas berjeda.
“Aku baru saja tiba, Ibu. Dan kulihat pembantu kita
sangat telaten merawat ibu yang sakit. Oh ya, Bu. Aku juga punya tujuan selain
menjenguk ibu. Aku harus menyingkirkan seorang perempuan sirik yang selalu
mengejekku waktu aku belum jadi apa-apa,” jelas perempuan itu. Ia menunjukkan
seringai kejam, menempakkan deret rapi gigi putih.
“Siapa... perempuan... itu?”
“Nanti Ibu juga tahu.” Perempuan itu sudah berada di
ambang pintu. Ia melangkah menuju kamar tidurnya. Mendorong kursi plastik,
dekat dengan laptop. Begitu layar laptop menyala, ia membuka shortcut Micrososft Word.
Sebenarnya aku rada
kasihan melihat kondisi ibu yang terduduk lumpuh di atas kursi roda. Rasanya
ingin mengakhiri nyawanya seperti aku menghabisi nyawa kakakku dan manajer si
penulis sombong itu. Dan sampai sekarang aku patut berbangga diri karena polisi
belum bisa mengendus jejakku.
Tapi hal yang kunantikan yakni
membunuh perempuan itu. Dia bernama Erlyn. Kuakui dia punya bodi aduhai yang
membuat mata lelaki melek kalau tidak memandang kemolekan tubuhnya. Dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Aku berselisih beberapa sentimeter dengannya.
Kira-kira empat sentimeter. Tinggi Erlyn sekitar 159 sentimeter. Tinggi badanku
sekitar163 sentimeter. Kelemahanku yakni tubuhku kurang berisi. Itu saja.
Namun hal yang sangat kusayangkan
sekaligus jadi penyebab mengapa aku begitu ingin membunuhnya, yakni mulutnya
kelewat “ember” dan pedas itu. Waktu di perkuliahan dulu, aku selalu menghindar
jika aku melihat dirinya dari kejauhan. Pikirku, menghindar lebih baik daripada
menjadi bahan ejekan.
Dia selalu mengejekku dengan sebutan
“ wanita gila kertas”dan satu perkataan yang paling kucamkan darinya—perempuan
kayak kamu itu gak bakalan bisa jadi penulis!
Memang aku belum bisa melampaui
ketenaran lelaki itu. Tapi novel perdana yang kutulis itu, mendapat cukup
antusiasme dan penjualan terbaik walau masih kuterbitkan di penerbit indie. Itu
yang bisa sedikit kupaparkan tentang perempuan itu. Aku jadi tak sabar ingin
cepat-cepat membunuhnya.