Izin
Kepergian
17 Maret 2016
Saat kedua jari Ervano memainkan Samsung Galaxy TAB
miliknya, suara klakson mengganggu kesenangannya saat ini.
“Biar aku saja yang lihat,” ujar sang istri sambil
meninggalkan sebuah sendok beroleskan mentega.
Sebenarnya bisa saja lelaki itu melihatnya keluar, tapi
ia dalam kondisi pakaian tidak sopan. Mengenakan sebuah kaus kutang dan celana
pendek biru muda. Lagi, ia sedang membaca sebuah koran online mengenai sidang kasus pembunuhan Marina.
“Biasa. Manajer kamu,” ucap Liane. Ia sudah berdiri di
hadapan suaminya.
Sambil melirik jam bulat di atas dinding, pikiran Ervano
berkata, Ada apa dia pagi-pagi datang ke
rumahku. Adakah hal yang penting?
Kali ini, ia
meletakkan TAB-nya di atas meja. Ervano memilih mengenakan pakaian lebih sopan.
Sebuah kaus kemeja biru berkerah dan sebuah celana jins hitam. Buru-buru, ia
menuruni tangga berbentuk agak spiral itu.
Sudah berada di pintu luar, Ervano menyuruh satpam yang
berjaga membukakan pintu untuk manajernya.
“Pak Sakin, buka gerbangnya,” suruh Ervano sambil
berdiri, menunggu di depan pintu luar rumah.
Begitu mobil sang manajer masuk ke pekarangan, Ervano
langsung menghampiri.
“Ayo masuk, Violana,” ajak Ervano.
“Enggak usah.Aku malah mau kamu cepat-cepat mandi dan
ganti pakaian. Ada hal yang penting ingin kuberitahu padamu,” tolak Violana
sambil tetap duduk di dalam jok mobil.
“Hal penting apa? Kan bisa juga kita bicarakan di teras
rumahku,” tawar Ervano. Sebenarnya, hari ini Ervano malas keluar rumah.
Makanya, ia menawarkan untuk berbincang di teras rumah.
“Ini penting, Ervano Hansloffa. Ini penting,” balas
Violana dengan penekanan kata ‘penting’ dalam perkataannya.
Tanpa mau bertanya lagi, Ervano masuk lagi ke dalam
rumah. Dengan dongkol hati, ia menaiki tangga lagi menuju pintu kamar.
“Apa yang dibicarakan oleh manajermu?”
“Entahlah. Katanya urusan yang penting. Oh ya, kamu
enggak pergi ke percetakan lagi?” tanya Ervano balik.
“Ya sebentar lagi. Kira-kira, jam sembilan. Tinggal
mengerjakan tiga puluh eksemplar lagi untuk pemesanan novel Otak Pikiran,”
“Good succesfor you,
Liane,” pungkas Ervano dengan ulas senyum kecil di bibirnya. Langkah yang
sempat terhenti karena pertanyaan sang istri, ia lanjutkan lagi. Ervano tak mau
membuat manajernya lama menunggu.
***
Sudah jauh dari
rumah Ervano. Violana membuka percakapan lebih dulu.
“Kau punya rekomendasi tempat yang cocok berbincang empat
mata?” sambil mengerling mata pada lelaki di sampingnya lalu fokus pada setir.
“Booktarian Cafe?
Kamu pernah dengar?” usul Ervano.
“Belum. Memang di mana lokasinya?”
“Dekat Glodok LTC. Jarak kafe itu kira-kira empat blok
dari Glodok LTC,” jawab Ervano, rinci.
Violana memilih menimbang-nimbang usulan dari Ervano.
Tapi tak butuh banyak waktu bagi Violana memikirkan jawabannya.
“Boleh juga. Jalan-jalan sambil menenangkan pikiran.”
Perempuan berkemeja kotak-kotak merah putih melirik
Ervano sekejap. Ia mengulas senyum kecil sambil berfokus pada setir.
***
Daerah parkir di kafe ini cukup besar. Diperkirakan bisa
menampung empat mobil dan sepuluh sepeda motor. Violana memilih memakirkan
mobilnya di sudut tempat parkir.
“Silakan turun,” suruh Violana sopan.
“Terimakasih,” jawab Ervano.
Begitu sampai di pintu masuk, Ervano membukakan pintu
masuk untuk sang manajer. Kemudian, disusul lelaki berkaos kemeja biru itu.
Ervano memilih tempat duduk yang berada di meja nomor
empat belas. Meja berbentuk persegi panjang dengan kursi berbentuk persegi
panjang pula. Tapi Ervano sempat melihat ekspresi takjub yang tak sengaja
dipancarkan sang manajer lewat wajah. Di bagian asbes kafe itu terdapat,
beberapa buku yang digantung menggunakan tali. Keduanya bisa melihat kalau
buku-buku yang digantung merupakan buku-buku bestseller yang biasanya sering terpajang di toko buku.
Selain itu, tiga rak buku berbentuk aneh tapi tak
mengurangi unsur kreatif dan tema yang diusung pihak pengelola kafe. Rak
pertama dan kedua berada di bagian pemesanan makanan sekaligus memesan lagu
untuk para pembaca buku yang ingin menikmati suasana membaca buku dengan alunan
musik.
Kafe ini juga terbagi menjadi dua tempat. Satu tempat
tanpa musik dengan pembatas kaca dilengkapi anti kedap suara. Dan satu lagi, untuk
para pembaca buku yang menginginkan musik. Dan rak ketiga, berada di
pertengahan ruang pertama dan kedua.
Rak ketiga berisi buku-buku nonfiksi di antara lain: buku
panduan, biografi, kamus bahasa asing, kamus bahasa Indonesia, motivasi,
pengembangan diri, dan lain-lain. Ervano dan Violana memilih ruang pertama
tanpa musik.
“Konsep yang unik. Jarang ada kafe memakai konsep seperti
ini,” ujar Violana.
“Oh ya, kamu pesan apa? Makanan dan minuman?” tanya
Ervano.
“Jus alpukat saja. Aku tidak selera makan hari ini.”
Ervano menuju tempat pemesanan menu sambil mengatakan
pesanan yang diinginkan sang manajer juga dirinya. Usai mengatakan pesanan
mereka, Ervano balik lagi ke meja bersama dengan Violana.
“Aku baru ingat. Kamu mau omong apa sewaktu di rumah?”
Sebelum mengatakan maksud perkataannya sewaktu berada di
rumah Ervano, Violana memilih berdeham lebih dahulu sambil menarik napas pelan.
“Kau tidak menonton berita di televisi rumahmu?”
“Nonton. Tapi lebih sering berita-berita olahraga sama
yang sedang update akhir-akhir ini.
Berita persidangan kasus pembunuhan Marina.”
“Bukan. Bukan itu. Berita pembunuhan sekitar lima hari
lalu di Cirebon. Namanya Rajaf Raksana. Pernah nonton?”
Sambil mengingat apa yang telah ditontonnya beberapa hari
lalu, ada ide yang tiba-tiba melintas di otak.
“Oh itu. Ada apa dengan berita itu? Kamu masuk peliputan
berita itu?” canda Ervano.
“Tidak. Rajaf Raksana itu temanku. Teman semasa kuliah.”
“Oh, terus?” tanya Ervano yang mulai tak tertarik dengan
apa yang dikatakan sang manajer.
“Aku mau melayat ke rumahnya. Aku hanya minta izin
beberapa hari ini saja. Bisa?” tanya Violana, ingin memastikan.
“Hmmm. Oke. Unutng saja, waktu kamu pergi ke Garut selama
seminggu, kamu tepat datang ke Jakarta tiga hari sebelum acara bedah buku. Tapi
sekarang, tidak acara apa-apa. Kamu mau pergi ke mana saja, ya terserah. Aku
punya ide untuk novel baruku tapi bisa saja dibicarakan setelah kamu tiba di
Jakarta lagi,” ungkap Ervano panjang lebar.
“Bapak Ervano, pesanan Anda sudah siap,” panggil suara
perempuan yang berada di seberang jauh meja keduanya.
Ervano menoleh ke arah sumber suara itu. Saat tahu
pesanannya sudah siap, lelaki itu melangkah menuju barista yang sudah
meletakkan nampan pesanan di atas bartender. Ervano meletakkan pesanan jus
alpokat di hadapan manajernya sedangkan pesanan nasi goreng, ia letakkan
sendiri.
“Tapi boleh aku bertanya satu hal padamu?” tanya Violana
sambil menyeruput jus alpukat itu, sekali seruputan.
“Apa itu?” tanya Ervano lagi.
“Apa istrimu tak pernah mengeluh atau cemburu ketika kita
bersama-sama?”
Sambil mengunyah
sesendok nasi di dalam mulut, Ervano menjawab pertanyaan sang manajer.
“Pernah aku bertanya pertanyaan yang kamu tanyakan itu
tapi istriku menjawab tidak. Dia yakin kalau kedekatan kita berdua cuma sebatas
rekan kerja.”
“Istrimu orang baik, Ervano. Kamu jangan menyia-nyiakan
dia. Kamu tahu, perempuan makhluk super sensitif jika melihat pasangannya
dekat-dekat dengan orang lain meskipun itu atas nama profesionalisme kerja,”
jelas Violana.
“Bagaimana dengan kamu, manajerku, Egath Violana? Kamu
enggak berkeinginan mencari pendamping hidup di usiamu yang menginjak
keduapuluh enam ini?”
“Tidak,” jawab Violana singkat, “tapi, kamu akan tahu kok
siapa pria idamanku selama ini.” Violana menggoreskan lengkung senyum sebagai
penutup perkataannya sambil menyedot kembali jus alpukat.
Ervano tak ingin bertanya lagi. Ia memilih menikmati nasi
goreng yang belum habis setengah. Ia tak mau berpusing-pusing memikirkan siapa
pria idaman yang dimaksud sang manajer.
Lapar sudah meraja dalam perut sejengkalnya.
No comments:
Post a Comment