Friday, 7 April 2017

Sang Novelis - 13



Izin Kepergian
            17 Maret 2016
            Saat kedua jari Ervano memainkan Samsung Galaxy TAB miliknya, suara klakson mengganggu kesenangannya saat ini.
            “Biar aku saja yang lihat,” ujar sang istri sambil meninggalkan sebuah sendok beroleskan mentega.
            Sebenarnya bisa saja lelaki itu melihatnya keluar, tapi ia dalam kondisi pakaian tidak sopan. Mengenakan sebuah kaus kutang dan celana pendek biru muda. Lagi, ia sedang membaca sebuah koran online mengenai sidang kasus pembunuhan Marina.
            “Biasa. Manajer kamu,” ucap Liane. Ia sudah berdiri di hadapan suaminya.
            Sambil melirik jam bulat di atas dinding, pikiran Ervano berkata, Ada apa dia pagi-pagi datang ke rumahku. Adakah hal yang penting?
            Kali ini, ia meletakkan TAB-nya di atas meja. Ervano memilih mengenakan pakaian lebih sopan. Sebuah kaus kemeja biru berkerah dan sebuah celana jins hitam. Buru-buru, ia menuruni tangga berbentuk agak spiral itu.
            Sudah berada di pintu luar, Ervano menyuruh satpam yang berjaga membukakan pintu untuk manajernya.
            “Pak Sakin, buka gerbangnya,” suruh Ervano sambil berdiri, menunggu di depan pintu luar rumah.
            Begitu mobil sang manajer masuk ke pekarangan, Ervano langsung menghampiri.
            “Ayo masuk, Violana,” ajak Ervano.
            “Enggak usah.Aku malah mau kamu cepat-cepat mandi dan ganti pakaian. Ada hal yang penting ingin kuberitahu padamu,” tolak Violana sambil tetap duduk di dalam jok mobil.
            “Hal penting apa? Kan bisa juga kita bicarakan di teras rumahku,” tawar Ervano. Sebenarnya, hari ini Ervano malas keluar rumah. Makanya, ia menawarkan untuk berbincang di teras rumah.
            “Ini penting, Ervano Hansloffa. Ini penting,” balas Violana dengan penekanan kata ‘penting’ dalam perkataannya.
            Tanpa mau bertanya lagi, Ervano masuk lagi ke dalam rumah. Dengan dongkol hati, ia menaiki tangga lagi menuju pintu kamar.
            “Apa yang dibicarakan oleh manajermu?”
            “Entahlah. Katanya urusan yang penting. Oh ya, kamu enggak pergi ke percetakan lagi?” tanya Ervano balik.
            “Ya sebentar lagi. Kira-kira, jam sembilan. Tinggal mengerjakan tiga puluh eksemplar lagi untuk pemesanan novel Otak Pikiran,”
            Good succesfor you, Liane,” pungkas Ervano dengan ulas senyum kecil di bibirnya. Langkah yang sempat terhenti karena pertanyaan sang istri, ia lanjutkan lagi. Ervano tak mau membuat manajernya lama menunggu.
***
             Sudah jauh dari rumah Ervano. Violana membuka percakapan lebih dulu.
            “Kau punya rekomendasi tempat yang cocok berbincang empat mata?” sambil mengerling mata pada lelaki di sampingnya lalu fokus pada setir.
            Booktarian Cafe? Kamu pernah dengar?” usul Ervano.
            “Belum. Memang di mana lokasinya?”
            “Dekat Glodok LTC. Jarak kafe itu kira-kira empat blok dari Glodok LTC,” jawab Ervano, rinci.
            Violana memilih menimbang-nimbang usulan dari Ervano. Tapi tak butuh banyak waktu bagi Violana memikirkan jawabannya.
            “Boleh juga. Jalan-jalan sambil menenangkan pikiran.”
            Perempuan berkemeja kotak-kotak merah putih melirik Ervano sekejap. Ia mengulas senyum kecil sambil berfokus pada setir.
***
            Daerah parkir di kafe ini cukup besar. Diperkirakan bisa menampung empat mobil dan sepuluh sepeda motor. Violana memilih memakirkan mobilnya di sudut tempat parkir.
            “Silakan turun,” suruh Violana sopan.
            “Terimakasih,” jawab Ervano.
            Begitu sampai di pintu masuk, Ervano membukakan pintu masuk untuk sang manajer. Kemudian, disusul lelaki berkaos kemeja biru itu.
            Ervano memilih tempat duduk yang berada di meja nomor empat belas. Meja berbentuk persegi panjang dengan kursi berbentuk persegi panjang pula. Tapi Ervano sempat melihat ekspresi takjub yang tak sengaja dipancarkan sang manajer lewat wajah. Di bagian asbes kafe itu terdapat, beberapa buku yang digantung menggunakan tali. Keduanya bisa melihat kalau buku-buku yang digantung merupakan buku-buku bestseller yang biasanya sering terpajang di toko buku.
            Selain itu, tiga rak buku berbentuk aneh tapi tak mengurangi unsur kreatif dan tema yang diusung pihak pengelola kafe. Rak pertama dan kedua berada di bagian pemesanan makanan sekaligus memesan lagu untuk para pembaca buku yang ingin menikmati suasana membaca buku dengan alunan musik.
            Kafe ini juga terbagi menjadi dua tempat. Satu tempat tanpa musik dengan pembatas kaca dilengkapi anti kedap suara. Dan satu lagi, untuk para pembaca buku yang menginginkan musik. Dan rak ketiga, berada di pertengahan ruang pertama dan kedua.
            Rak ketiga berisi buku-buku nonfiksi di antara lain: buku panduan, biografi, kamus bahasa asing, kamus bahasa Indonesia, motivasi, pengembangan diri, dan lain-lain. Ervano dan Violana memilih ruang pertama tanpa musik.
            “Konsep yang unik. Jarang ada kafe memakai konsep seperti ini,” ujar Violana.
            “Oh ya, kamu pesan apa? Makanan dan minuman?” tanya Ervano.
            “Jus alpukat saja. Aku tidak selera makan hari ini.”
            Ervano menuju tempat pemesanan menu sambil mengatakan pesanan yang diinginkan sang manajer juga dirinya. Usai mengatakan pesanan mereka, Ervano balik lagi ke meja bersama dengan Violana.
            “Aku baru ingat. Kamu mau omong apa sewaktu di rumah?”
            Sebelum mengatakan maksud perkataannya sewaktu berada di rumah Ervano, Violana memilih berdeham lebih dahulu sambil menarik napas pelan.
            “Kau tidak menonton berita di televisi rumahmu?”
            “Nonton. Tapi lebih sering berita-berita olahraga sama yang sedang update akhir-akhir ini. Berita persidangan kasus pembunuhan Marina.”
            “Bukan. Bukan itu. Berita pembunuhan sekitar lima hari lalu di Cirebon. Namanya Rajaf Raksana. Pernah nonton?”
            Sambil mengingat apa yang telah ditontonnya beberapa hari lalu, ada ide yang tiba-tiba melintas di otak.
            “Oh itu. Ada apa dengan berita itu? Kamu masuk peliputan berita itu?” canda Ervano.
            “Tidak. Rajaf Raksana itu temanku. Teman semasa kuliah.”
            “Oh, terus?” tanya Ervano yang mulai tak tertarik dengan apa yang dikatakan sang manajer.
            “Aku mau melayat ke rumahnya. Aku hanya minta izin beberapa hari ini saja. Bisa?” tanya Violana, ingin memastikan.
            “Hmmm. Oke. Unutng saja, waktu kamu pergi ke Garut selama seminggu, kamu tepat datang ke Jakarta tiga hari sebelum acara bedah buku. Tapi sekarang, tidak acara apa-apa. Kamu mau pergi ke mana saja, ya terserah. Aku punya ide untuk novel baruku tapi bisa saja dibicarakan setelah kamu tiba di Jakarta lagi,” ungkap Ervano panjang lebar.
            “Bapak Ervano, pesanan Anda sudah siap,” panggil suara perempuan yang berada di seberang jauh meja keduanya.
            Ervano menoleh ke arah sumber suara itu. Saat tahu pesanannya sudah siap, lelaki itu melangkah menuju barista yang sudah meletakkan nampan pesanan di atas bartender. Ervano meletakkan pesanan jus alpokat di hadapan manajernya sedangkan pesanan nasi goreng, ia letakkan sendiri.
            “Tapi boleh aku bertanya satu hal padamu?” tanya Violana sambil menyeruput jus alpukat itu, sekali seruputan.
            “Apa itu?” tanya Ervano lagi.
            “Apa istrimu tak pernah mengeluh atau cemburu ketika kita bersama-sama?”
             Sambil mengunyah sesendok nasi di dalam mulut, Ervano menjawab pertanyaan sang manajer.
            “Pernah aku bertanya pertanyaan yang kamu tanyakan itu tapi istriku menjawab tidak. Dia yakin kalau kedekatan kita berdua cuma sebatas rekan kerja.”
            “Istrimu orang baik, Ervano. Kamu jangan menyia-nyiakan dia. Kamu tahu, perempuan makhluk super sensitif jika melihat pasangannya dekat-dekat dengan orang lain meskipun itu atas nama profesionalisme kerja,” jelas Violana.
            “Bagaimana dengan kamu, manajerku, Egath Violana? Kamu enggak berkeinginan mencari pendamping hidup di usiamu yang menginjak keduapuluh enam ini?”
            “Tidak,” jawab Violana singkat, “tapi, kamu akan tahu kok siapa pria idamanku selama ini.” Violana menggoreskan lengkung senyum sebagai penutup perkataannya sambil menyedot kembali jus alpukat.
            Ervano tak ingin bertanya lagi. Ia memilih menikmati nasi goreng yang belum habis setengah. Ia tak mau berpusing-pusing memikirkan siapa pria idaman yang dimaksud sang manajer.
            Lapar sudah meraja dalam perut sejengkalnya.

No comments:

Post a Comment