Sunday, 16 April 2017

Sang Novelis - 15



Perbincangan
            Violana sedang pergi keluar kota. Fayani, istri tercinta sedang berkutat dengan buku pesanan. Kalau sudah begini, Ervano tahu ke mana ia harus pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke rumah sang sahabat—Sata Saragih.
            Sata Saragih merupakan teman sepermainan waktu SMA. Juga kawan dekat Ervano. Di mana ada Ervano, di situ ada Sata. Dan lelaki itu ingin mengunjungi kawan dekatnya yang sudah menjadi anggota DPRD di daerah Jakarta Barat.
            Sehabis diantar pulang oleh sang manajer ke rumah lagi, kali ini Ervano akan melakukan perjalanan ke rumah Sata Saragih. Sebelum ke rumah kawan dekatnya, lelaki itu mencoba memastikan apakah Sata sedang bertugas.
            “Halo, Sata,” ucap Ervano dari ponsel.
            “Halo, Ervan, ada apa nih?” jawab Sata.
            “Kau ada di rumah kan sekarang?”
            “Wah, kebetulan memang. Aku lagi ada di rumah? Ada apa? Mau main-main ke rumah?”
            “Tahu aja kau. Ya sudah kalau begitu, aku mau ke sana,” tutup Ervano.
            Mengetahui Sata sedang di rumah, Ervano langsung tancap gas meninggalkan rumah.
***
            Untung suasana jalan tol tidak terlalu macet. Memungkinkan perjalanan bisa ditempuh dari Kebon Jeruk ke Kali Deres selama satu setengah jam. Begitu akan tiba di tujuan, Ervano menyalakan lampu sein, membelokkan mobil ke kiri.
            Suasana perumahan Puri Cendana Indah selalu ramai kala menjelang sore. Banyak anak-anak remaja bermain dengan sepatu roda dan sepeda BMX. Ada taman seluas seratus meter di pinggir kanan jalan raya. Di taman itu terdapat beberapa anak muda sedang bermain basket dan futsal dan sisanya lari sore sambil mengitari taman.
             Sambil menyapa pos penjaga, Ervano mulai melihat kediaman sang kawan dari radius lima puluh meter.
            Sebuah pagar besi bercat hitam seluas dua puluh meter membentang sepanjang pekarangan. Pekarangan rumah juga bisa terbilang luas. Bisa memarkirkan lima mobil pribadi di sana. Pekarangan rumah seluas itu, sang tuan rumah juga menanam berbagai tanaman buah-buahan dan tanaman hias unik. Salah satunya kantong semar jenis silang alami dan silang buatan. Sebuah ayunan anak-anak dan perosotan juga tersedia.
             Ketika sudah tiba di muka pagar, seseorang berperawakan kurus namun memiliki postur tegap menghampiri Ervano.
            “Ada Pak Sata Saragih di rumah?” tanya Ervano dari dalam mobil.
            “Oh kebetulan. Beliau sedang memberi makan ayam di halaman belakang,” jawab lelaki kurus itu.
            “Tolong buka gerbangnya. Ini saya teman dekat beliau. Mau bertemu dengan beliau.”
            Sudah mengetahui kalau ada yang ingin bertemu dengan majikannya, lelaki itu membuka gerbang seluas mobil yang dikendarai Ervano.
            Begitu mobil tiba di pekarangan rumah, Ervano langsung turun dari mobil dan memanggil nama teman dekatnya.
            “Hey, Sata, keluar kau. Jangan bercinta sama ayam-ayam peliharaanmu di belakang sana. Ini aku kawan dekatmu, rindu sama kau,” panggil Ervano dari teras rumah. Namun sekilas sang penjaga pos menoleh ke arah dirinya. Ia tidak menyangka ada yang memanggil sang majikan dengan ucapan seperti itu.
            “Dasar penulis kutu rebus, seenaknya kau ngomong kayak gitu samaku. Ya sudah duduk dulu. Biar kusuruh istriku bikin teh manis untuk kita berdua,” balas Sata sambil melangkah ke tempat sang kawan akrab berpijak saat ini.
            Ervano sudah duduk di kursi yang dipersilakan teman dekatnya. Tapi Sata permisi dulu pada Ervano untuk menemuni istrinya. Lalu kembali lagi tak begitu lama dari dapur.
            “Ada apa kau datang ke sini? Enggak biasanya,” tanya Sata sambil duduk di kursi, berseberangan dengan Ervano.
            “Ya apa lagi kalau menjumpai kawanku yang jelek sejagad ini dong. Hahaha,” jawab Ervano sambil tertawa mengejek Sata.
            Eh muka boleh jelek, yang penting enggak ganteng,” sanggah Sata dengan wajah sok berwibawa.
            Jiah, itu mah sama aja—” Belum selesai bicara, seorang wanita dengan celemek hijau dengan tubuh semampai dibalut kaus merah muda dan celana pendek cokelat muda memegang nampan berisi dua gelas teh manis panas.
              “Silakan diminum, Bang Ervan,” suruh istri Sata, sopan. Sambil mengundurkan diri dari hadapan kedua lelaki itu.
            Begitu istri Sata, kawan dekat Ervano sudah menjauh, Ervano berbisik pada kawan dekatnya.
            “Eh Sata, tapi hebat juga kau ya. Jelek-jelek begini, bisa dapet istri yang oke punya,” kagum Ervano pada kawan dekatnya itu.
            “Ya kau juga beruntung dapat si Fayani. Dia itu cantiknya sebelas duabelas sama istriku, si Nidda. Eh omong-omong, mana manajermu yang pelit senyum itu? Er, siapa namanya?”
            “Violana,” jawab Ervano.
            “Iya, iya, Violana. Ke mana dia?”
            “Dia lagi izin ke luar kota. Katanya, lihat temannya yang meninggal.”
            Sata menggangguk-angguk saja begitu mengetahui manajer Ervano sedang pergi keluar kota.
            “Baguslah kalau dia lagi pergi. Dengan begini ‘kan, aku bisa bercanda sama kawan dekatku.”
            “Tapi kenapa kau enggak suka sih sama si Violana?” tanya Ervano agak heran.
            “Hmm, gimana ya? Dia itu kayak kurang ekspresif gitu. Asal aku ngasih lelucon atau melucu, dia itu cuma senyum. Tapi, senyumannya kayak gak ikhlas gitu. Makanya, kalau kamu mengajak dia, aku ngomong topik-topik yang serius. Eh ternyata, responnya sama. Kadang diperhatikan, kadang enggak. Kesal,” ujar Sata.
            “Violana juga mengingatkanku pada Pigop. Kau masih ingat dengan dia?” tanya Ervano.
            “Si Pigop yang suka menyendiri itu ‘kan? Jelas ingat banget dong. Dia sering kali jadi bahan bully-an teman-teman sekelas termasuk kita berdua. Tapi kau tahu bagaimana keadaannya sekarang?”
            Ervano menggeleng pelan, mengisyaratkan dia sama sekali tak mengetahui perkembangan keadaan Pigop.
            “Dia sudah bekerja sebagai seorang supervisor di sebuah perusahaan asing di Jerman. Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa berkembang pesat seperti itu. Padahal jika dilihat-lihat dia bukan orang yang dikatakan pintar. Ditambah lagi dia kurang pandai bersosialisasi. Tidak memungkinkan dirinya mendapatkan pekerjaan itu,” ungkap Sata, panjang lebar.
            “Terkadang masa lalu tidak bisa menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Masa depan seperti kotak misteri yang tidak bisa kita tebak apa isinya. Jika orang-orang biasa menjadikan masa lalu dan tabiat sebagai tolak ukur keberhasilan seseorang, bisa saja masa depan memberikan kejutan bagi orang dengan masa lalu dan tabiat buruk. Asalkan perubahan positif dikerjakan dengan usaha tekun. Contoh terdekat yakni kita berdua. Kau menjadi seorang anggota DPRD dan aku menjadi seorang penulis,” jelas Ervano sambil mengambil napas sejenak.
            “Ada benarnya juga apa yang kau katakan. Tapi perubahan signifikan paling terasa itu, terjadi pada dirimu, Ervano. Kau punya karya yang bisa dibilang sudah dikenal secara nasional dan kau bisa menciptakan omongan sarat filosofi,” kagum Sata.
            “Semua perlu latihan dan butuh proses. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi. Banyak membaca. Salah satunya dengan membaca novelku yang dijual di toko buku.”
            “Ujung-ujungnya promosi juga. Tapi, sudah berapa royalti dari hasil penjualan novelmu? Boleh dong kau traktir aku makan di Solaria kalau sudah banyak,” tanya lelaki itu sambil mengangkat gelas lalu didekatkan ke mulut.
            “Kalau soal royalti itu diberitahu setiap satu semester. Kalau sudah bicara soal royalti, kamu orang pertama yang selalu menanyakan itu. Makanya beli novelku kalau bisa kamu bantu promosi sama teman-temanmu di DPRD,” tandas Ervano sambil mengangkat cangkir, menyesap teh manis yang perlahan-lahan dingin.
            “Kau tahu sendiri ‘kan, Ervano, aku kurang suka membaca buku. Jadi berbicara soal beli buku, itu tidak terlalu menjadi prioritas utama.”
            Ervano mendengus kesal mendengar perkataan temannya. Ia memilih menghabiskan sisa teh manis yang tinggal seperempat lagi di dalam gelasnya.

***
            Lelaki berambut gondrong itu menengguk secangkir kopi yang tinggal sedikit lagi. Memang tak biasanya lelaki itu bisa minum kopi di kafe mahal. Warung kopi dengan harga terjangkau di kantong selalu menjadi langganan. Sambil meletakkan cangkir, lelaki itu menatap sebuah foto yang terpampang di layar telepon genggam. Memikirkan rencana yang akan dilakukan sesuai yang dikatakan seseorang lewat sambungan telepon.

No comments:

Post a Comment