Saturday, 15 July 2017

Sang Novelis - 32 (TAMAT)



Akhir Petualangan Fiolani
            Ervano dan sang supir pribadi tiba bersamaan dengan tiga mobil polisi yang membunyikan sirine pemecah kesunyian malam. Ervano melihat kerumuman manusia memadati pagar rumah. Ia dan para polisi membelah kerumunan manusia hingga mereka sudah berada di barisan depan. Para polisi sudah bersiaga dengan pistol di tangan mereka.
            “Saudara Fiolani rumah ini sudah kami kepung. Kami memperingatkan Anda untuk tidak berbuat nekat pada para sandera,” instruksi salah satu polisi dengan loud speaker.
            “Saya tidak akan berbuat macam-macam pada para sandera. Saya hanya menginginkan Ervano Hansloffa masuk ke dalam pekarangan ini,” balas Fiolana dengan suara lantang.
            “Kami tidak bisa membiarkan saudara Ervano ke sana. Kau harus menjamin saudara Ervano masuk dalam keadaan selamat. Dan jika sampai saudara Er—“
            “Biar saya masuk, Pak Polisi,” sela Ervano sampai menarik sebuah kunci dari dalam saku jaketnya. Ia melangkah penuh keyakinan sementara ia tak tahu apa yang direncanakan Fiolani kepada dirinya.
            “Sudah kukira kau akan datang terlambat ke sini. Tapi aku punya dua pilihan untukmu.” Fiolani mengeluarkan sepucuk pistol dari dalam saku celana lalu disodorkan pada Ervano.
            “Apa maksudmu?” tanya Ervano yang tak mengerti.
            “Kau atau para polisi bisa saja menembak kepala, dada atau perutku menggunakan pistol tapi lihat bagian kakiku. Dua kursi ini terikat tali dan aku bisa saja menariknya menggunakan kaki begitu kau atau salah satu polisi menembakku. Atau, kau memilih bunuh diri dan aku akan membebaskan istri dan anakmu. Semua pilihan berada di tanganmu,” urai Fiolani panjang lebar sambil menoreh senyum licik.
            Ervano masih tertegun dengan perkataan Fiolani. Ia benar-benar tidak boleh salah pilih. Dan harus berpikir cepat. Ia memandang sebentar pistol di tangannya. Tanpa diduga Ervano mengarahkan pistol itu tepat di kening Fiolani.
            “Ayo tunggu apa lagi? Cepat ledakkan kepalaku,” suruh Fiolani tanpa rasa takut dan ragu.
            Diam-diam Ervano menyiapkan ancang-ancang kaki. Ia sudah bersiap mengarahkan tendangan tiba-tiba ke arah Fiolani yang terlihat lengah.
            “Maafkan aku, Fiolani.” Ervano mendaratkan tendangan kaki luar, tepat mengenai perut Fiolani. Wanita itu terpelanting seraya menjerit kesakitan. Tapi Ervano tak menduga kalau kursi pijakan kaki istri dan putrinya ikut terlempar.
            “Liane! Ria! Bertahanlah!” Terlihat Liane dan Ria megap-megap saat tali tambang itu mulai menghambat udara masuk ke paru-paru mereka. Melihat keadaan gawat ini, Ervano langsung menghampiri Fiolani sambil merogoh isi kantong. Menemukan pisau yang berguna memotong tali.
            “Tidak perlu tergesa-gesa, Ervano. Lihat di belakangmu,” ujar Fiolani seraya Ervano menoleh ke belakang.
            Ternyata beberapa warga sekitar sudah memasuki pekarangan rumah Ervano. Mereka berhasil menyelematkan nyawa Liane dan Ria dari ancaman kematian. Meskipun selamat, wajah mereka telihat pucat pasi. Masih kesulitan mengatur irama pernapasan.
            “Tolong bawa anak dan istri saya ke rumah sakit,” pinta Ervano pada para warga di sana.
            Ada seorang polisi juga ikut masuk ke dalam pekarangan rumah dan kini tengah menggiring seorang perempuan yang sedang diborgol menuju mobil polisi untuk diproses lebih lanjut.
            “Percayalah, Ervano. Ini masih bagian dari plot twist,” ucap Fiolani di hadapan Ervano. Polisi terus menyuruhnya berjalan menuju mobil polisi. Ervano menatap penuh tanda tanya dalam pikiran. Tapi yang terpenting, ia harus pergi ke rumah sakit, memastikan kondisi anak dan istrinya.
***
            28 Maret 2016
            Tak sampai dua hari Liane dan Ria berada di rumah sakit. Kondisi keduanya sudah membaik dan diperbolehkan pulang oleh dokter. Bersama dengan supir pribadi, Ervano membawa istri dan putrinya ke rumah.
            Keluarga kecil Ervano menikmati sarapan pagi yang disediakan Liane. Telur dadar dan ikan asin ditambah dengan sepiring nasi hangat. Ria, putri Ervano sedang bermain bersama dengan teman-teman sepermainan di halaman rumah.
            “Bagaimana dengan renovasi percetakanmu? Sudah selesai?” tanya Ervano sambil menelan kunyahan nasi.
            “Renovasi percetakan sudah selesai tiga hari sesudah peristiwa kebakaran itu. Dan sudah beroperasi seperti biasa. Oh ya, bagaimana dengan gedung kursusmu? Apakah sudah selesai juga direnovasi?” jawab Liane dengan mengajukan pertanyaan yang sama.
            “Mungkin dua hari lagi, gedung sudah selesai direnovasi. Dan mengenai ide novel terbaruku, aku harus mencari manajer baru lagi. Tentunya aku harus hati-hati dan jeli kalau perlu menanyakan bagaimana kehidupan pribadinya.”
            Liane tersenyum kecil. “Sekarang kau jadi orang yang selektif?”
            “Ya aku harus belajar dari kesalahan. Dan jangan sampai ada Agatha Fiolani yang kedua.”
            Sambil menikmati sarapan, kedua bola mata mereka memperhatikan siaran TV yang menampilkan sekilas berita.
            Agatha Fiolani, pelaku penyanderaan istri dan anak Ervano Hansloffa, ditemukan meninggal dunia. Pelaku ditemukan dalam sel tahanan dengan kondisi mulut berbuih putih dan otot tubuh menegang. Dugaan sementara, Agatha Fiolani meninggal karena bunuh diri. Pelaku sudah dibawa ke rumah sakit umum guna uji autopsi.
            Saya Prida Claurita dari Indosuara melaporkan.
           
            Selesai.

Wednesday, 12 July 2017

Sang Novelis - 31



Aku Harus Pergi Dari Sini
            Dua lelaki berseragam polisi sedang memeriksa berkas yang berhubungan dengan dua kasus pembunuhan. Kasus pembunuhan Rajaf Raksana dan Erynalda Lim. Dan berdasarkan keterangan dari para kerabat dan sahabat diketahui kalau kedua korban pernah bermasalahan dengan Agatha Fiolani.
            Rajaf Raksana, teman Agatha Fiolani, pernah terlibat pertengkaran dengan perempuan itu. Dan Erynalda mengalami hal serupa. Inti dari pertengkaran mereka yakni keduanya sering mengejek atau mencela kebiasaan Agatha Fiolani yang suka menyendiri dan hanya berkutat pada buku-buku dan perpustakaan.
            Agatha Fiolani, seorang perempuan yang cenderung tertutup, tidak banyak bicara dan temperamental. Ia tidak memiliki banyak teman. Ia  mempunyai ambisi dan obsesi pada buku dan cita-cita menjadi seorang penulis terkenal. Itulah hasil penyelidikan yang didapatkan pihak kepolisian mengenai identitas Agatha Fiolani. Sekarang kedua polisi itu segera menuju mobil dinas untuk berangkat ke tempat yang mereka tuju.
            “Kau yakin rekanmu tidak salah memberikan alamat Ervano Hansloffa?” tanya Fadli sambil memutar kunci.
            “Aku yakin alamat yang diberikan rekanku tidak salah. Dia juga merupakan orang terdekat dari istri Ervano Hansloffa,” jawab Zulfahmi seraya duduk di samping Fadli.
***
            Sudah setengah jam lebih Ervano meronta agar bisa lepas dari belenggu tali tambang. Tapi bukannya lepas, ia malah kecapekan. Tenaga terbuang sia-sia.
            “Bagaimana wanita jalang itu bisa mengikatku hingga sekuat ini?” umpat Ervano sambil melakukan rontaan terakhir.
            Bertopang pada kekuatan tempurung lutut, Ervano setengah berdiri, mengamati sesuatu yang bisa digunakan untuk melepaskan diri. Begitu liar dan jeli bola mata Ervano mengedar di seisi kamar tidur Fiolani, ia tidak menemukan apapun.
            “Arrgggh sial!” makinya. Tapi satu yang diingat Ervano tadi dia meletakkan handphone di atas sofa. Dengan handphone itu, setidaknya ia bisa menyuruh sang supir datang ke rumah Fiolani.
            Ervano merasa kedua pergelangan kaki mulai mati rasa. Begitu juga di bagian kedua pergelangan tangan. Pegal dan nyeri bersarang di bagian tempurung lutut. Ervano terpaksa menyeret badan, menggapai gagang pintu supaya ia bisa mengambil handphone. Meski jarak dirinya dengan gagang pintu tidak terlalu jauh, tetap saja Ervano merasakan pegal di bagian dada dan otot perut.
            Kini ia berada tepat di hadapan gagang pintu. Dengan posisi setengah berdiri, Ervano menggigit ujung gagang pintu lalu menariknya perlahan. Daun pintu sudah tersingkap. Tapi perjuangan untuk melepaskan diri belum berakhir sampai di situ. Ia harus menyeret badan lagi untuk sampai ke sofa.
            Begitu aku lepas dari sini, aku akan menghajar wanita jalang itu! maki batin Ervano sambil menyeret badannya perlahan-lahan.
            Tinggal lima meter lagi. Tapi mengambil jeda bernapas. Ia benar-benar kelelahan. Namun demi menyelamatkan istri dan anak, Ervano harus merelakan dirinya lelah.
            Ervano tiba di depan sofa. Dengan napas terengah-engah, Ervano menaikkan badan mengambil handphone-nya. Lelaki itu menggigit handphone-nya lalu diletakkan di atas lantai. Ervano menyeret bokongnya agar tangannya bisa membuka kode sandi.
            “Aku harap aku belum terlambat,” gumam Ervano dengan wajah diliputi kekhawatiran.
            “Halo Pak Ervano?” Panggilan Ervano sudah tersambung ke nomor Pak Tono.
            “Pak Tono, saya mohon cepat datang ke rumah Violana! Secepatnya!” ujar Ervano dengan penekanan tinggi.
***
            Lelehan air mata terus membanjir wajah bulat sempurna perempuan itu. Ia berada dalam posisi leher terjerat tali tambang. Dalam kondisi terjepit bertaruh nyawa pada malaikat maut. Sebab Liane harus menahan lelah, berjinjit setinggi satu inci dari kursi yang berada di bawahnya. Tapi yang menjadi bagian paling miris dari semua ini yakni Ria, putri kecil Ervano dan Liane. Isak tangis Ria begitu mengiris hati sang ibu. Namun, sang ibu pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan putrinya.
            “Ayah, ayah, tolong kami,” rengek Ria yang mulai kelelahan, menahan kedua kaki kecilnya agar tetap berjinjit. Sang ibu khawatir Ria akan menyenggol kursi dan kehilangan pijakan kaki.
            “Tenang saja anak kecil. Ayahmu pasti akan datang menyelamatkanmu. Tapi kalau ayahmu tidak telat, hahahaha,” ejek Fiolana dengan tawa penuh kepuasan.
            Di depan rumah Ervano, kerumuman orang memenuhi bagian depan pagar rumah. Ada salah satu dari kerumunan orang itu coba menyelamatkan kedua perempuan itu, tapi Fiolani mengancam akan menyenggol kursi pijakan kaki mereka. Kerumunan orang itu hanya berharap polisi bisa secepatnya datang, menyelematkan dua perempuan yang tersandera itu.
***
            Sejam lalu, Fiolani sudah tiba di depan pagar rumah Ervano. Dengan menekan klakson mobil, ada seorang perempuan mengenakan kaus menghampiri Fiolani.
            “Oh ternyata Anda. Silakan masuk.” Liane membuka pagar yang membentangi mobil Fiolani menuju rumah Liane.
            “Terimakasih,” ucap Fiolani sambil menoreh senyum kecil.
            Tak hanya disambut Liane Fayani, Fiolani disambut oleh putri kecil Liane dan Ervano, Erya Uli Favani.
            Tante Piolana datang ke sini?” tanya Ria dengan nada bicara polos seorang anak kecil.
            “Iya, Dek. Mau main-main sama tante enggak?” tawar Fiolana.
            Mau tante,” sahut Ria sambil mengangguk sekali.
            “Kalau begitu aku buatkan minuman untuk kamu,” ucap Liane sambil menunjuk ke arah dapur.
            Fiolani menggangguk sekali sambil menggelitik badan anak kecil itu.
            “Ria, ayo kejar tante Violana sampai dapat,” tantang Fiolani sambil berlari kecil, menjauhi anak itu.
             Ria begitu antusias mengejar Fiolani sambil sesekali tertawa. Fiolani sudah berlari tiga kali menghindar kejaran anak perempuan itu. Ia memilih memberhentikan diri agar ditangkap Ria.
            “Karena kamu berhasil menangkap tante, tante akan memberi kamu hadiah. Tapi pejamkan matanya dulu ya,” kata Fiolani seraya anak itu menuruti perkataan Fiolani untuk memejamkan mata. Sementara Ria memejamkan mata, Fiolani diam-diam menarik sesuatu dari dalam tas sandang. Sebuah jarum suntik kecil berisi obat bius dosis rendah sudah berada di tangan kanannya. Tanpa banyak berkata-kata, Fiolani menancapkan jarum suntik secara cepat di bagian tengkuk anak itu.
            “Aduh... sakit, Tante, ” keluh Ria. Begitu obat bius masuk ke dalam aliran darah, anak itu merasa pening beberapa saat kemudian jatuh tergeletak di atas tanah.
            Fiolani meninggalkan tubuh Ria yang tergeletak di atas tanah. Dia menuju pintu luar dan berdiri di balik pintu sambil menyingakan jarum suntik di tangan kanan.
            “Fiolana itu minuman—astaga, Ria?!” pekik Liane tak percaya melihat putrinya tergeletak tak sadarkan diri.
            Sebelum Liane menghampiri putrinya, Fiolani memiting leher Liane dan langsung menancapkan jarum suntik itu ke leher Liane. Keadaan Liane sama seperti putrinya saat ini. 
            Sekarang aku tinggal ambil tali tambang di bagasi mobilku.

Saturday, 8 July 2017

Sang Novelis - 30



Agatha Fiolani
            Lelaki gondrong itu mendongakkan kepala sambil melolong keras. Perempuan yang berada di bawah lelaki itu ikut melenguh mencapai titik kenikmatan birahi. Begitu menuntaskan urusan syahwat, lelaki gondrong itu merebahkan tubuhnya di samping perempuan itu. Perempuan itu mengambil napas sambil meresapi nikmat biologis di bagian alat vital. Sementara lelaki gondrong itu masih lelah, si perempuan beranjak dari ranjang.
            “Aku ambilkan sirup dingin, ya, untuk kita berdua,” kata perempuan itu sambil meraih handphone yang berbunyi di atas ranjang.
            Lelaki itu mengangguk sekali membiarkan perempuan itu pergi. Tak butuh berlama-lama di dapur, perempuan itu sudah membawa dua gelas sirup dingin di atas nampan. Si lelaki yang haus, langsung meraih gelas yang disodorkan si perempuan.
            Belum habis setengah gelas, si lelaki gondrong itu merasa pening. Pandangan mata berkunang-kunang. Stok oksigen dalam paru-paru seolah-olah habis. Si lelaki gondrong megap seraya tercekik. Perempuan itu hanya tersenyum sadis melihat sakratul maut mulai menjemput nyawa si lelaki gondrong.
            “Terimakasih atas semua pertolonganmu, Ray. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu hidup. Sebab polisi pasti akan mencari keberadaanmu sebagai buronan. Dan itu bisa mengancam keselamatanku,” ujar si perempuan. Saat kejang-kejang terakhir, si lelaki gondrong itu sudah tak bergerak lagi.
***
            Jalan Senopati no 12. Sebentar lagi Ervano akan tiba di kediaman sang manajer. Bisa dibilang ini adalah pertemuan mendadak. Dan dia baru menghubungi sang manajer setengah jam lalu. Untung saja sang manajer sedang berada di rumah.
            “Kalau saya sudah selesai dengan urusan ini, saya akan menelepon Pak Tono.”
            “Baik, Pak Ervan. Saya undur diri dulu,” ucap sang sopir sambil melaju meninggalkan sang majikan.
            Ervano melangkah menuju pagar sepanjang 10 meter. Pagar memang belum dibuka. Dia harus melapor dulu pada satpam jaga.
            “Mau cari siapa ya?” tanya sang satpam.
            “Saya ingin bertemu Nyonya Violana. Beliau ada di rumah?”
            Sebelum sang satpam memastikan keberadaan sang nyonya di dalam rumah, tuan rumah kebetulan sudah berada di pintu luar sambil memberikan instruksi agar Ervano masuk.
            Begitu melihat instruksi sang majikan, sang satpam jaga, membuka pagar agar Ervano bisa masuk. Sebelum masuk ke dalam rumah, Ervano disambut dengan cipika cipika sang manajer. Mengantarkan lelaki itu duduk di sofa empuk.
            “Saya ambilkan makanan dulu ya,” ucap Violana seraya beralih ke dapur.
            Sambil menunggu makanan datang, Ervano membuka resleting tas sambil mengambil sesuatu di dalamnya. Dua buah novel dan sebuah smartphone sudah berada di tangan. Ervano meletakkan smartphone-nya di sebelah kiri sofa sedangkan dua novel itu diletakkan di atas meja hias. Kebetulan Violana datang membawa nampan berisi makanan dan dua gelas sirup markisa.
            “Silakan dinikmati,” suruh Violana sopan. Ia menaruh nampan di atas meja sambil duduk berhadapan dengan Ervano.
            “Hey, untuk apa kamu membawa dua novel ke sini?” tanya Violana sambil menunjuk pada dua novel yang tergeletak di atas meja.
            “Sebelum kita membicarakan  ide baru untuk naskah novel saya, ketika saya membandingkan cerita dalam novel Absurd dan Otak Pikiran, saya menduga novel Otak Pikiran meniru beberapa hal dalam novel Absurd,” duga Ervano dengan wajah meyakinkan.
            “Aku kurang mengerti dengan apa yang kamu maksud. Bisa kamu menerangkan dengan rinci dan jelas?” tanya Violana dengan raut wajah bingung.
            “Saya akan menjelaskannya. Pertama, adegan prolog dalam novel Absurd dibuka dengan seorang anak yang disiksa keluarga kandungnya sendiri. Dan adegan prolog dalam novel Otak Pikiran juga serupa—“
            “Bukankah hal itu bisa saja kebetulan?” potong Violana.
            “Tunggu sebentar. Saya masih akan menjelaskan hal berikutnya. Kedua, tokoh utama dalam kedua novel itu sama-sama bekerja di kepolisian divisi penanganan kriminal. Dan tokoh utama dalam kedua novel itu memilik partner kerja seorang laki-laki. Yang terakhir. Ternyata tokoh antagonis yang selama ini mereka cari adalah diri mereka sendiri,” simpul Ervano. Lelaki itu juga mengamati wajah sang manajer secara seksama. Jika dilihat tak nampak ekspresi mencurigakan dari wajah sang manajer.
            “Hanya itu saja?” tanya Violana lagi.
            “Tentang biodata penulis novel Otak Pikiran. Sang novelis, A.A Lane, lahir di Bekasi 26 tahun lalu. Kau tahu, kalau mendengar kata “Bekasi” aku jadi teringat seorang perempuan yang berambisi menjadi penulis sepertiku. Tapi sayangnya aku menghancurkan cita-citanya. Jika sekilas kulihat wajahmu, kau mengingatkanku pada perempuan itu, Violana. Apakah kau adalah perempuan masa lalu yang menyamar dan masuk ke dalam hidupku?” terka Ervano mengada-ada.
            “Heh. Kau berkhayal terlalu jauh, Ervano. Ataukah ini adalah usaha untuk menggoda dan menjadikanku sebagai selingkuhanmu? Ingat Ervano kamu sudah punya Liane Fayani, istri kamu,” ingat Violana dengan mimik serius.
            “Tidak. Tidak. Bukan begitu. Ini hanya dugaan liar semata. Apapun yang terjadi, aku tetap mencintai Liane Fayani. Tidak ada wanita lain di hatiku selain ibuku, istriku dan putriku,” tepis Ervano.Tak sengaja lirikan mata lelaki itu tertuju pada celah pintu kamar Violana tersingkap cukup lebar. Ia melihat sepasang kaki berada di atas ranjang Violana.
            “Violana, apa benar kamu tinggal sendirian di rumah ini?” tanya Ervano memastikan.
            “Benar. Aku memang tinggal sendirian di rumah ini.”
            Ada sesuatu dalam diri Ervano yang menggerakkan kakinya menuju ranjang sang manajer.
            “Hei, Ervano, mau apa kau ke kamarku?”
            Ervano tidak mempedulikan pertanyaan dari Violana. Ia terus melangkah sampai tangannya mendorong gagang pintu hingga terbuka lebar. Ia berada tepat di depan ranjang Violana. Dengan persiapan mental penuh, pelan-pelan Ervano menyibak selimut yang menutupi sepasang kaki itu.
            Ervano terperanjat hingga mundur. Ia melihat seorang lelaki berambut gondrong dalam keadaan tak bernyawa. Bola mata merah terbeliak. Di mulutnya terdapat sisa buih putih. Otot di seluruh tubuh menegang keras.
            Ketika ingin berpaling badan, Violana mendaratkan pukulan di rahang Ervano. Pandangan Ervano perlahan gelap seketika.
***
            Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan. Yang pasti, ia merasakan nyeri di tulang rahang dan tengkuk. Ervano mengerjapkan mata pelan-pelan hingga ia bisa melihat sesuatu yang ada di sekitarnya.
            Ervano disekap dengan kondisi kaki dan tangan terikat tali tambang. Mulut disumpal kain. Dia hanya bisa berteriak tertahan tak mengeluarkan suara. Dan posisinya berada di bawah ranjang Violana. Daun telinganya juga menangkap jemari tangan beradu dengan tuts laptop. Seperti suara orang sedang mengetik.
            “Ah akhirnya naskah novelku selesai juga,” ucap seseorang dari depan Ervano. Ia bangkit berdiri seraya memutar pinggang ke kiri dan ke kanan.
            “Ervano, apakah kau punya rekomendasi penerbit mayor yang cocok untuk novelku ini?” Ia menghampiri lelaki yang terikat tali tambang itu sambil berjongkok di hadapannya.
            Ervano bungkam. Tak menjawab pertanyaan dari Violana, sang manajer.
            “Hei, jawab dong, Ervano. Di mana penerbit mayor yang cocok untuk naskahku? Oh ya, mulutmu ‘kan masih tersumpal. Biar kubantu kau membuang sumpalannya,” ujar Violana sambil membuang sumpalan kain di mulut Ervano.
            Begitu sumpalan kain itu terbuang, tanpa disadari Violana, ludah Ervano mengenai tepat di wajah Violana.
            “Kurang ajar!” geram Violana sambil menggampar pipi Ervano. Cap tangan Violana membekas di pipinya.
            “Kau sebenarnya siapa?” tanya Ervano dengan tatapan sinis.
            Violana menanggapi pertanyaan Ervano dengan kekehan mengejek. “Beruntung sekali aku mengeluarkan biaya mahal untuk operasi plastik. Tapi aku salut denganmu. Kau bisa sedikit mengenali wajahku. Ternyata memang benar, kebanyakan penulis adalah orang-orang perasa. Panggil saja aku, Agatha Fiolani.”
            “Jadi kau bertahun-tahun merencanakan semua ini hanya untuk membalaskan dendammu? Kau tidak merasa rugi hanya memikirkan dendam sepanjang hidupmu?”
            “Jangan sok menasihatiku, Ervano. Ini memang dendam yang harus kauterima sebagai ganjaran kesombonganmu karena kau telah menghancurkan impianku sebagai seorang penulis terkenal.”
            “Tapi kau sebenarnya beruntung bisa sejajar denganku, penulis idolamu. Dan novel Otak Pikiran itu novel karanganmu ‘kan? Meskipun di jalur indie, novelmu tetap mendapatkan hati di kalangan para penggemar. Seorang penulis tidak ditentukan berapa banyak karyanya yang diterbitkan, tapi seberapa berkualitas karya yang dihasilkan.” Ervano mencoba menasihati Fiolani secara pelan-pelan agar ia mau menghentikan dendamnya.
            Fiolani bangkit berdiri lalu mengangkat kaki kanan tinggi-tinggi, mendaratkan wedges ke wajah Ervano. Menggosok-gosok telapak wedges hingga meninggalkan cap bekas tapak sepatu.
            “Simpan saja omong kosongmu, Ervano. Kau tidak mau ‘kan berakhir seperti laki-laki yang berada di atas ranjangku?” Fiolani melangkah mendekati Ray, sang buronan sambil mengelus pipinya.
            “Tapi... entah mengapa aku begitu menginginkanmu, Ervano. Ternyata kebencian mendalam menimbulkan bilur-bilur cinta yang bisa mengobati sakit hati dan kehampaan hati. Namun, alangkah baiknya aku menyingkirkan istrimu terlebih dahulu supaya kita bisa hidup bersama-sama. Inilah puncak konflik novelku, Ervano. Menarik bukan?” pungkas Fiolani sambil berpaling meninggalkan Ervano.
            “Kau mau ke mana? Jangan macam-macam dengan istri atau kau akan menerima akibatnya!” ancam Ervano sambil menggeliat, berusaha melepaskan diri.
            “Pertama kau harus menyelamatkan dirimu dulu. Setelah itu, kau baru bisa menyelamatkan istri dan anak-anakmu. Tapi jangan terlambat ya, Ervano.”Fiolani sudah menutup pintu kamar. Dan kini hanya tertinggal Ervano dan mayat lelaki yang masih tergeletak kaku di atas ranjang. Takada yang bisa diharapka Ervano saat ini. Ia hanya melihat dua foto ukuran A3 tercoret silang spidol merah dan satu foto dirinya.  


“Sialan kau, Fiolani! Brengsek!” jerit Ervano di kamar tidur Fiolani.