Aku Harus Pergi Dari Sini
Dua
lelaki berseragam polisi sedang memeriksa berkas yang berhubungan dengan dua
kasus pembunuhan. Kasus pembunuhan Rajaf Raksana dan Erynalda Lim. Dan
berdasarkan keterangan dari para kerabat dan sahabat diketahui kalau kedua
korban pernah bermasalahan dengan Agatha Fiolani.
Rajaf Raksana, teman Agatha Fiolani,
pernah terlibat pertengkaran dengan perempuan itu. Dan Erynalda mengalami hal
serupa. Inti dari pertengkaran mereka yakni keduanya sering mengejek atau
mencela kebiasaan Agatha Fiolani yang suka menyendiri dan hanya berkutat pada
buku-buku dan perpustakaan.
Agatha Fiolani, seorang perempuan
yang cenderung tertutup, tidak banyak bicara dan temperamental. Ia tidak
memiliki banyak teman. Ia mempunyai
ambisi dan obsesi pada buku dan cita-cita menjadi seorang penulis terkenal.
Itulah hasil penyelidikan yang didapatkan pihak kepolisian mengenai identitas
Agatha Fiolani. Sekarang kedua polisi itu segera menuju mobil dinas untuk
berangkat ke tempat yang mereka tuju.
“Kau yakin rekanmu tidak salah
memberikan alamat Ervano Hansloffa?” tanya Fadli sambil memutar kunci.
“Aku yakin alamat yang diberikan
rekanku tidak salah. Dia juga merupakan orang terdekat dari istri Ervano
Hansloffa,” jawab Zulfahmi seraya duduk di samping Fadli.
***
Sudah setengah jam lebih Ervano
meronta agar bisa lepas dari belenggu tali tambang. Tapi bukannya lepas, ia
malah kecapekan. Tenaga terbuang sia-sia.
“Bagaimana wanita jalang itu bisa
mengikatku hingga sekuat ini?” umpat Ervano sambil melakukan rontaan terakhir.
Bertopang pada kekuatan tempurung
lutut, Ervano setengah berdiri, mengamati sesuatu yang bisa digunakan untuk
melepaskan diri. Begitu liar dan jeli bola mata Ervano mengedar di seisi kamar
tidur Fiolani, ia tidak menemukan apapun.
“Arrgggh sial!” makinya. Tapi satu yang
diingat Ervano tadi dia meletakkan handphone
di atas sofa. Dengan handphone itu,
setidaknya ia bisa menyuruh sang supir datang ke rumah Fiolani.
Ervano merasa kedua pergelangan kaki
mulai mati rasa. Begitu juga di bagian kedua pergelangan tangan. Pegal dan
nyeri bersarang di bagian tempurung lutut. Ervano terpaksa menyeret badan,
menggapai gagang pintu supaya ia bisa mengambil handphone. Meski jarak dirinya dengan gagang pintu tidak terlalu
jauh, tetap saja Ervano merasakan pegal di bagian dada dan otot perut.
Kini ia berada tepat di hadapan
gagang pintu. Dengan posisi setengah berdiri, Ervano menggigit ujung gagang
pintu lalu menariknya perlahan. Daun pintu sudah tersingkap. Tapi perjuangan
untuk melepaskan diri belum berakhir sampai di situ. Ia harus menyeret badan
lagi untuk sampai ke sofa.
Begitu
aku lepas dari sini, aku akan menghajar wanita jalang itu! maki batin
Ervano sambil menyeret badannya perlahan-lahan.
Tinggal lima meter lagi. Tapi
mengambil jeda bernapas. Ia benar-benar kelelahan. Namun demi menyelamatkan
istri dan anak, Ervano harus merelakan dirinya lelah.
Ervano tiba di depan sofa. Dengan
napas terengah-engah, Ervano menaikkan badan mengambil handphone-nya. Lelaki itu menggigit handphone-nya lalu diletakkan di atas lantai. Ervano menyeret
bokongnya agar tangannya bisa membuka kode sandi.
“Aku harap aku belum terlambat,”
gumam Ervano dengan wajah diliputi kekhawatiran.
“Halo Pak Ervano?” Panggilan Ervano
sudah tersambung ke nomor Pak Tono.
“Pak Tono, saya mohon cepat datang
ke rumah Violana! Secepatnya!” ujar Ervano dengan penekanan tinggi.
***
Lelehan air mata terus membanjir
wajah bulat sempurna perempuan itu. Ia berada dalam posisi leher terjerat tali
tambang. Dalam kondisi terjepit bertaruh nyawa pada malaikat maut. Sebab Liane
harus menahan lelah, berjinjit setinggi satu inci dari kursi yang berada di
bawahnya. Tapi yang menjadi bagian paling miris dari semua ini yakni Ria, putri
kecil Ervano dan Liane. Isak tangis Ria begitu mengiris hati sang ibu. Namun,
sang ibu pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan putrinya.
“Ayah, ayah, tolong kami,” rengek
Ria yang mulai kelelahan, menahan kedua kaki kecilnya agar tetap berjinjit.
Sang ibu khawatir Ria akan menyenggol kursi dan kehilangan pijakan kaki.
“Tenang saja anak kecil. Ayahmu
pasti akan datang menyelamatkanmu. Tapi kalau ayahmu tidak telat, hahahaha,”
ejek Fiolana dengan tawa penuh kepuasan.
Di depan rumah Ervano, kerumuman
orang memenuhi bagian depan pagar rumah. Ada salah satu dari kerumunan orang
itu coba menyelamatkan kedua perempuan itu, tapi Fiolani mengancam akan
menyenggol kursi pijakan kaki mereka. Kerumunan orang itu hanya berharap polisi
bisa secepatnya datang, menyelematkan dua perempuan yang tersandera itu.
***
Sejam lalu, Fiolani sudah tiba di
depan pagar rumah Ervano. Dengan menekan klakson mobil, ada seorang perempuan
mengenakan kaus menghampiri Fiolani.
“Oh ternyata Anda. Silakan masuk.”
Liane membuka pagar yang membentangi mobil Fiolani menuju rumah Liane.
“Terimakasih,” ucap Fiolani sambil
menoreh senyum kecil.
Tak hanya disambut Liane Fayani,
Fiolani disambut oleh putri kecil Liane dan Ervano, Erya Uli Favani.
“Tante
Piolana datang ke sini?” tanya Ria dengan nada bicara polos seorang anak
kecil.
“Iya, Dek. Mau main-main sama tante
enggak?” tawar Fiolana.
“Mau
tante,” sahut Ria sambil mengangguk sekali.
“Kalau begitu aku buatkan minuman
untuk kamu,” ucap Liane sambil menunjuk ke arah dapur.
Fiolani menggangguk sekali sambil
menggelitik badan anak kecil itu.
“Ria, ayo kejar tante Violana sampai
dapat,” tantang Fiolani sambil berlari kecil, menjauhi anak itu.
Ria begitu antusias mengejar Fiolani sambil
sesekali tertawa. Fiolani sudah berlari tiga kali menghindar kejaran anak
perempuan itu. Ia memilih memberhentikan diri agar ditangkap Ria.
“Karena kamu berhasil menangkap
tante, tante akan memberi kamu hadiah. Tapi pejamkan matanya dulu ya,” kata
Fiolani seraya anak itu menuruti perkataan Fiolani untuk memejamkan mata.
Sementara Ria memejamkan mata, Fiolani diam-diam menarik sesuatu dari dalam tas
sandang. Sebuah jarum suntik kecil berisi obat bius dosis rendah sudah berada
di tangan kanannya. Tanpa banyak berkata-kata, Fiolani menancapkan jarum suntik
secara cepat di bagian tengkuk anak itu.
“Aduh... sakit, Tante, ” keluh Ria.
Begitu obat bius masuk ke dalam aliran darah, anak itu merasa pening beberapa
saat kemudian jatuh tergeletak di atas tanah.
Fiolani meninggalkan tubuh Ria yang
tergeletak di atas tanah. Dia menuju pintu luar dan berdiri di balik pintu
sambil menyingakan jarum suntik di tangan kanan.
“Fiolana itu minuman—astaga, Ria?!”
pekik Liane tak percaya melihat putrinya tergeletak tak sadarkan diri.
Sebelum Liane menghampiri putrinya,
Fiolani memiting leher Liane dan langsung menancapkan jarum suntik itu ke leher
Liane. Keadaan Liane sama seperti putrinya saat ini.
Sekarang aku
tinggal ambil tali tambang di bagasi mobilku.
No comments:
Post a Comment