Wednesday, 12 July 2017

Sang Novelis - 31



Aku Harus Pergi Dari Sini
            Dua lelaki berseragam polisi sedang memeriksa berkas yang berhubungan dengan dua kasus pembunuhan. Kasus pembunuhan Rajaf Raksana dan Erynalda Lim. Dan berdasarkan keterangan dari para kerabat dan sahabat diketahui kalau kedua korban pernah bermasalahan dengan Agatha Fiolani.
            Rajaf Raksana, teman Agatha Fiolani, pernah terlibat pertengkaran dengan perempuan itu. Dan Erynalda mengalami hal serupa. Inti dari pertengkaran mereka yakni keduanya sering mengejek atau mencela kebiasaan Agatha Fiolani yang suka menyendiri dan hanya berkutat pada buku-buku dan perpustakaan.
            Agatha Fiolani, seorang perempuan yang cenderung tertutup, tidak banyak bicara dan temperamental. Ia tidak memiliki banyak teman. Ia  mempunyai ambisi dan obsesi pada buku dan cita-cita menjadi seorang penulis terkenal. Itulah hasil penyelidikan yang didapatkan pihak kepolisian mengenai identitas Agatha Fiolani. Sekarang kedua polisi itu segera menuju mobil dinas untuk berangkat ke tempat yang mereka tuju.
            “Kau yakin rekanmu tidak salah memberikan alamat Ervano Hansloffa?” tanya Fadli sambil memutar kunci.
            “Aku yakin alamat yang diberikan rekanku tidak salah. Dia juga merupakan orang terdekat dari istri Ervano Hansloffa,” jawab Zulfahmi seraya duduk di samping Fadli.
***
            Sudah setengah jam lebih Ervano meronta agar bisa lepas dari belenggu tali tambang. Tapi bukannya lepas, ia malah kecapekan. Tenaga terbuang sia-sia.
            “Bagaimana wanita jalang itu bisa mengikatku hingga sekuat ini?” umpat Ervano sambil melakukan rontaan terakhir.
            Bertopang pada kekuatan tempurung lutut, Ervano setengah berdiri, mengamati sesuatu yang bisa digunakan untuk melepaskan diri. Begitu liar dan jeli bola mata Ervano mengedar di seisi kamar tidur Fiolani, ia tidak menemukan apapun.
            “Arrgggh sial!” makinya. Tapi satu yang diingat Ervano tadi dia meletakkan handphone di atas sofa. Dengan handphone itu, setidaknya ia bisa menyuruh sang supir datang ke rumah Fiolani.
            Ervano merasa kedua pergelangan kaki mulai mati rasa. Begitu juga di bagian kedua pergelangan tangan. Pegal dan nyeri bersarang di bagian tempurung lutut. Ervano terpaksa menyeret badan, menggapai gagang pintu supaya ia bisa mengambil handphone. Meski jarak dirinya dengan gagang pintu tidak terlalu jauh, tetap saja Ervano merasakan pegal di bagian dada dan otot perut.
            Kini ia berada tepat di hadapan gagang pintu. Dengan posisi setengah berdiri, Ervano menggigit ujung gagang pintu lalu menariknya perlahan. Daun pintu sudah tersingkap. Tapi perjuangan untuk melepaskan diri belum berakhir sampai di situ. Ia harus menyeret badan lagi untuk sampai ke sofa.
            Begitu aku lepas dari sini, aku akan menghajar wanita jalang itu! maki batin Ervano sambil menyeret badannya perlahan-lahan.
            Tinggal lima meter lagi. Tapi mengambil jeda bernapas. Ia benar-benar kelelahan. Namun demi menyelamatkan istri dan anak, Ervano harus merelakan dirinya lelah.
            Ervano tiba di depan sofa. Dengan napas terengah-engah, Ervano menaikkan badan mengambil handphone-nya. Lelaki itu menggigit handphone-nya lalu diletakkan di atas lantai. Ervano menyeret bokongnya agar tangannya bisa membuka kode sandi.
            “Aku harap aku belum terlambat,” gumam Ervano dengan wajah diliputi kekhawatiran.
            “Halo Pak Ervano?” Panggilan Ervano sudah tersambung ke nomor Pak Tono.
            “Pak Tono, saya mohon cepat datang ke rumah Violana! Secepatnya!” ujar Ervano dengan penekanan tinggi.
***
            Lelehan air mata terus membanjir wajah bulat sempurna perempuan itu. Ia berada dalam posisi leher terjerat tali tambang. Dalam kondisi terjepit bertaruh nyawa pada malaikat maut. Sebab Liane harus menahan lelah, berjinjit setinggi satu inci dari kursi yang berada di bawahnya. Tapi yang menjadi bagian paling miris dari semua ini yakni Ria, putri kecil Ervano dan Liane. Isak tangis Ria begitu mengiris hati sang ibu. Namun, sang ibu pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan putrinya.
            “Ayah, ayah, tolong kami,” rengek Ria yang mulai kelelahan, menahan kedua kaki kecilnya agar tetap berjinjit. Sang ibu khawatir Ria akan menyenggol kursi dan kehilangan pijakan kaki.
            “Tenang saja anak kecil. Ayahmu pasti akan datang menyelamatkanmu. Tapi kalau ayahmu tidak telat, hahahaha,” ejek Fiolana dengan tawa penuh kepuasan.
            Di depan rumah Ervano, kerumuman orang memenuhi bagian depan pagar rumah. Ada salah satu dari kerumunan orang itu coba menyelamatkan kedua perempuan itu, tapi Fiolani mengancam akan menyenggol kursi pijakan kaki mereka. Kerumunan orang itu hanya berharap polisi bisa secepatnya datang, menyelematkan dua perempuan yang tersandera itu.
***
            Sejam lalu, Fiolani sudah tiba di depan pagar rumah Ervano. Dengan menekan klakson mobil, ada seorang perempuan mengenakan kaus menghampiri Fiolani.
            “Oh ternyata Anda. Silakan masuk.” Liane membuka pagar yang membentangi mobil Fiolani menuju rumah Liane.
            “Terimakasih,” ucap Fiolani sambil menoreh senyum kecil.
            Tak hanya disambut Liane Fayani, Fiolani disambut oleh putri kecil Liane dan Ervano, Erya Uli Favani.
            Tante Piolana datang ke sini?” tanya Ria dengan nada bicara polos seorang anak kecil.
            “Iya, Dek. Mau main-main sama tante enggak?” tawar Fiolana.
            Mau tante,” sahut Ria sambil mengangguk sekali.
            “Kalau begitu aku buatkan minuman untuk kamu,” ucap Liane sambil menunjuk ke arah dapur.
            Fiolani menggangguk sekali sambil menggelitik badan anak kecil itu.
            “Ria, ayo kejar tante Violana sampai dapat,” tantang Fiolani sambil berlari kecil, menjauhi anak itu.
             Ria begitu antusias mengejar Fiolani sambil sesekali tertawa. Fiolani sudah berlari tiga kali menghindar kejaran anak perempuan itu. Ia memilih memberhentikan diri agar ditangkap Ria.
            “Karena kamu berhasil menangkap tante, tante akan memberi kamu hadiah. Tapi pejamkan matanya dulu ya,” kata Fiolani seraya anak itu menuruti perkataan Fiolani untuk memejamkan mata. Sementara Ria memejamkan mata, Fiolani diam-diam menarik sesuatu dari dalam tas sandang. Sebuah jarum suntik kecil berisi obat bius dosis rendah sudah berada di tangan kanannya. Tanpa banyak berkata-kata, Fiolani menancapkan jarum suntik secara cepat di bagian tengkuk anak itu.
            “Aduh... sakit, Tante, ” keluh Ria. Begitu obat bius masuk ke dalam aliran darah, anak itu merasa pening beberapa saat kemudian jatuh tergeletak di atas tanah.
            Fiolani meninggalkan tubuh Ria yang tergeletak di atas tanah. Dia menuju pintu luar dan berdiri di balik pintu sambil menyingakan jarum suntik di tangan kanan.
            “Fiolana itu minuman—astaga, Ria?!” pekik Liane tak percaya melihat putrinya tergeletak tak sadarkan diri.
            Sebelum Liane menghampiri putrinya, Fiolani memiting leher Liane dan langsung menancapkan jarum suntik itu ke leher Liane. Keadaan Liane sama seperti putrinya saat ini. 
            Sekarang aku tinggal ambil tali tambang di bagasi mobilku.

No comments:

Post a Comment