Agatha
Fiolani
Lelaki gondrong itu mendongakkan kepala sambil melolong
keras. Perempuan yang berada di bawah lelaki itu ikut melenguh mencapai titik
kenikmatan birahi. Begitu menuntaskan urusan syahwat, lelaki gondrong itu
merebahkan tubuhnya di samping perempuan itu. Perempuan itu mengambil napas
sambil meresapi nikmat biologis di bagian alat vital. Sementara lelaki gondrong
itu masih lelah, si perempuan beranjak dari ranjang.
“Aku ambilkan sirup dingin, ya, untuk kita berdua,” kata
perempuan itu sambil meraih handphone yang
berbunyi di atas ranjang.
Lelaki itu mengangguk sekali membiarkan perempuan itu
pergi. Tak butuh berlama-lama di dapur, perempuan itu sudah membawa dua gelas
sirup dingin di atas nampan. Si lelaki yang haus, langsung meraih gelas yang
disodorkan si perempuan.
Belum habis setengah gelas, si lelaki gondrong itu merasa
pening. Pandangan mata berkunang-kunang. Stok oksigen dalam paru-paru
seolah-olah habis. Si lelaki gondrong megap seraya tercekik. Perempuan itu
hanya tersenyum sadis melihat sakratul maut mulai menjemput nyawa si lelaki
gondrong.
“Terimakasih atas semua pertolonganmu, Ray. Tapi aku
tidak bisa membiarkanmu hidup. Sebab polisi pasti akan mencari keberadaanmu
sebagai buronan. Dan itu bisa mengancam keselamatanku,” ujar si perempuan. Saat
kejang-kejang terakhir, si lelaki gondrong itu sudah tak bergerak lagi.
***
Jalan Senopati no 12. Sebentar lagi Ervano akan tiba di
kediaman sang manajer. Bisa dibilang ini adalah pertemuan mendadak. Dan dia
baru menghubungi sang manajer setengah jam lalu. Untung saja sang manajer
sedang berada di rumah.
“Kalau saya sudah selesai dengan urusan ini, saya akan
menelepon Pak Tono.”
“Baik, Pak Ervan. Saya undur diri dulu,” ucap sang sopir
sambil melaju meninggalkan sang majikan.
Ervano melangkah menuju pagar sepanjang 10 meter. Pagar
memang belum dibuka. Dia harus melapor dulu pada satpam jaga.
“Mau cari siapa ya?” tanya sang satpam.
“Saya ingin bertemu Nyonya Violana. Beliau ada di rumah?”
Sebelum sang satpam memastikan keberadaan sang nyonya di
dalam rumah, tuan rumah kebetulan sudah berada di pintu luar sambil memberikan
instruksi agar Ervano masuk.
Begitu melihat instruksi sang majikan, sang satpam jaga,
membuka pagar agar Ervano bisa masuk. Sebelum masuk ke dalam rumah, Ervano
disambut dengan cipika cipika sang manajer. Mengantarkan lelaki itu duduk di
sofa empuk.
“Saya ambilkan makanan dulu ya,” ucap Violana seraya
beralih ke dapur.
Sambil menunggu makanan datang, Ervano membuka resleting
tas sambil mengambil sesuatu di dalamnya. Dua buah novel dan sebuah smartphone sudah berada di tangan.
Ervano meletakkan smartphone-nya di
sebelah kiri sofa sedangkan dua novel itu diletakkan di atas meja hias. Kebetulan
Violana datang membawa nampan berisi makanan dan dua gelas sirup markisa.
“Silakan dinikmati,” suruh Violana sopan. Ia menaruh
nampan di atas meja sambil duduk berhadapan dengan Ervano.
“Hey, untuk apa kamu membawa dua novel ke sini?” tanya
Violana sambil menunjuk pada dua novel yang tergeletak di atas meja.
“Sebelum kita membicarakan ide baru untuk naskah novel saya, ketika saya
membandingkan cerita dalam novel Absurd
dan Otak Pikiran, saya menduga novel Otak Pikiran meniru beberapa hal dalam
novel Absurd,” duga Ervano dengan
wajah meyakinkan.
“Aku kurang mengerti dengan apa yang kamu maksud. Bisa
kamu menerangkan dengan rinci dan jelas?” tanya Violana dengan raut wajah
bingung.
“Saya akan menjelaskannya. Pertama, adegan prolog dalam
novel Absurd dibuka dengan seorang
anak yang disiksa keluarga kandungnya sendiri. Dan adegan prolog dalam novel
Otak Pikiran juga serupa—“
“Bukankah hal itu bisa saja kebetulan?” potong Violana.
“Tunggu sebentar. Saya masih akan menjelaskan hal
berikutnya. Kedua, tokoh utama dalam kedua novel itu sama-sama bekerja di
kepolisian divisi penanganan kriminal. Dan tokoh utama dalam kedua novel itu
memilik partner kerja seorang laki-laki. Yang terakhir. Ternyata tokoh
antagonis yang selama ini mereka cari adalah diri mereka sendiri,” simpul
Ervano. Lelaki itu juga mengamati wajah sang manajer secara seksama. Jika
dilihat tak nampak ekspresi mencurigakan dari wajah sang manajer.
“Hanya itu saja?” tanya Violana lagi.
“Tentang biodata penulis novel Otak Pikiran. Sang
novelis, A.A Lane, lahir di Bekasi 26 tahun lalu. Kau tahu, kalau mendengar
kata “Bekasi” aku jadi teringat seorang perempuan yang berambisi menjadi
penulis sepertiku. Tapi sayangnya aku menghancurkan cita-citanya. Jika sekilas
kulihat wajahmu, kau mengingatkanku pada perempuan itu, Violana. Apakah kau
adalah perempuan masa lalu yang menyamar dan masuk ke dalam hidupku?” terka
Ervano mengada-ada.
“Heh. Kau berkhayal terlalu jauh, Ervano. Ataukah ini
adalah usaha untuk menggoda dan menjadikanku sebagai selingkuhanmu? Ingat
Ervano kamu sudah punya Liane Fayani, istri kamu,” ingat Violana dengan mimik
serius.
“Tidak. Tidak. Bukan begitu. Ini hanya dugaan liar
semata. Apapun yang terjadi, aku tetap mencintai Liane Fayani. Tidak ada wanita
lain di hatiku selain ibuku, istriku dan putriku,” tepis Ervano.Tak sengaja
lirikan mata lelaki itu tertuju pada celah pintu kamar Violana tersingkap cukup
lebar. Ia melihat sepasang kaki berada di atas ranjang Violana.
“Violana, apa benar kamu tinggal sendirian di rumah ini?”
tanya Ervano memastikan.
“Benar. Aku memang tinggal sendirian di rumah ini.”
Ada sesuatu dalam diri Ervano yang menggerakkan kakinya
menuju ranjang sang manajer.
“Hei, Ervano, mau apa kau ke kamarku?”
Ervano tidak mempedulikan pertanyaan dari Violana. Ia
terus melangkah sampai tangannya mendorong gagang pintu hingga terbuka lebar.
Ia berada tepat di depan ranjang Violana. Dengan persiapan mental penuh,
pelan-pelan Ervano menyibak selimut yang menutupi sepasang kaki itu.
Ervano terperanjat hingga mundur. Ia melihat seorang
lelaki berambut gondrong dalam keadaan tak bernyawa. Bola mata merah terbeliak.
Di mulutnya terdapat sisa buih putih. Otot di seluruh tubuh menegang keras.
Ketika ingin berpaling badan, Violana mendaratkan pukulan
di rahang Ervano. Pandangan Ervano perlahan gelap seketika.
***
Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan. Yang pasti,
ia merasakan nyeri di tulang rahang dan tengkuk. Ervano mengerjapkan mata
pelan-pelan hingga ia bisa melihat sesuatu yang ada di sekitarnya.
Ervano disekap dengan kondisi kaki dan tangan terikat
tali tambang. Mulut disumpal kain. Dia hanya bisa berteriak tertahan tak
mengeluarkan suara. Dan posisinya berada di bawah ranjang Violana. Daun
telinganya juga menangkap jemari tangan beradu dengan tuts laptop. Seperti
suara orang sedang mengetik.
“Ah akhirnya naskah novelku selesai juga,” ucap seseorang
dari depan Ervano. Ia bangkit berdiri seraya memutar pinggang ke kiri dan ke
kanan.
“Ervano, apakah kau punya rekomendasi penerbit mayor yang
cocok untuk novelku ini?” Ia menghampiri lelaki yang terikat tali tambang itu
sambil berjongkok di hadapannya.
Ervano bungkam. Tak menjawab pertanyaan dari Violana,
sang manajer.
“Hei, jawab dong, Ervano. Di mana penerbit mayor yang cocok
untuk naskahku? Oh ya, mulutmu ‘kan masih tersumpal. Biar kubantu kau membuang
sumpalannya,” ujar Violana sambil membuang sumpalan kain di mulut Ervano.
Begitu sumpalan kain itu terbuang, tanpa disadari
Violana, ludah Ervano mengenai tepat di wajah Violana.
“Kurang ajar!” geram Violana sambil menggampar pipi
Ervano. Cap tangan Violana membekas di pipinya.
“Kau sebenarnya siapa?” tanya Ervano dengan tatapan
sinis.
Violana menanggapi pertanyaan Ervano dengan kekehan
mengejek. “Beruntung sekali aku mengeluarkan biaya mahal untuk operasi plastik.
Tapi aku salut denganmu. Kau bisa sedikit mengenali wajahku. Ternyata memang
benar, kebanyakan penulis adalah orang-orang perasa. Panggil saja aku, Agatha
Fiolani.”
“Jadi kau bertahun-tahun merencanakan semua ini hanya
untuk membalaskan dendammu? Kau tidak merasa rugi hanya memikirkan dendam
sepanjang hidupmu?”
“Jangan sok menasihatiku, Ervano. Ini memang dendam yang
harus kauterima sebagai ganjaran kesombonganmu karena kau telah menghancurkan
impianku sebagai seorang penulis terkenal.”
“Tapi kau sebenarnya beruntung bisa sejajar denganku,
penulis idolamu. Dan novel Otak Pikiran
itu novel karanganmu ‘kan? Meskipun di jalur indie, novelmu tetap mendapatkan
hati di kalangan para penggemar. Seorang penulis tidak ditentukan berapa banyak
karyanya yang diterbitkan, tapi seberapa berkualitas karya yang dihasilkan.”
Ervano mencoba menasihati Fiolani secara pelan-pelan agar ia mau menghentikan
dendamnya.
Fiolani bangkit berdiri lalu mengangkat kaki kanan
tinggi-tinggi, mendaratkan wedges ke
wajah Ervano. Menggosok-gosok telapak wedges
hingga meninggalkan cap bekas tapak sepatu.
“Simpan saja omong kosongmu, Ervano. Kau tidak mau ‘kan
berakhir seperti laki-laki yang berada di atas ranjangku?” Fiolani melangkah
mendekati Ray, sang buronan sambil mengelus pipinya.
“Tapi... entah mengapa aku begitu menginginkanmu, Ervano.
Ternyata kebencian mendalam menimbulkan bilur-bilur cinta yang bisa mengobati
sakit hati dan kehampaan hati. Namun, alangkah baiknya aku menyingkirkan
istrimu terlebih dahulu supaya kita bisa hidup bersama-sama. Inilah puncak
konflik novelku, Ervano. Menarik bukan?” pungkas Fiolani sambil berpaling
meninggalkan Ervano.
“Kau mau ke mana? Jangan macam-macam dengan istri atau
kau akan menerima akibatnya!” ancam Ervano sambil menggeliat, berusaha
melepaskan diri.
“Pertama kau harus menyelamatkan dirimu dulu. Setelah itu,
kau baru bisa menyelamatkan istri dan anak-anakmu. Tapi jangan terlambat ya,
Ervano.”Fiolani sudah menutup pintu kamar.
Dan kini hanya tertinggal Ervano dan mayat lelaki yang masih tergeletak kaku di
atas ranjang. Takada yang bisa diharapka Ervano saat ini. Ia hanya melihat dua foto ukuran
A3 tercoret silang spidol merah dan satu foto dirinya.
“Sialan kau, Fiolani! Brengsek!” jerit Ervano di
kamar tidur Fiolani.
No comments:
Post a Comment