Saturday, 8 July 2017

Sang Novelis - 30



Agatha Fiolani
            Lelaki gondrong itu mendongakkan kepala sambil melolong keras. Perempuan yang berada di bawah lelaki itu ikut melenguh mencapai titik kenikmatan birahi. Begitu menuntaskan urusan syahwat, lelaki gondrong itu merebahkan tubuhnya di samping perempuan itu. Perempuan itu mengambil napas sambil meresapi nikmat biologis di bagian alat vital. Sementara lelaki gondrong itu masih lelah, si perempuan beranjak dari ranjang.
            “Aku ambilkan sirup dingin, ya, untuk kita berdua,” kata perempuan itu sambil meraih handphone yang berbunyi di atas ranjang.
            Lelaki itu mengangguk sekali membiarkan perempuan itu pergi. Tak butuh berlama-lama di dapur, perempuan itu sudah membawa dua gelas sirup dingin di atas nampan. Si lelaki yang haus, langsung meraih gelas yang disodorkan si perempuan.
            Belum habis setengah gelas, si lelaki gondrong itu merasa pening. Pandangan mata berkunang-kunang. Stok oksigen dalam paru-paru seolah-olah habis. Si lelaki gondrong megap seraya tercekik. Perempuan itu hanya tersenyum sadis melihat sakratul maut mulai menjemput nyawa si lelaki gondrong.
            “Terimakasih atas semua pertolonganmu, Ray. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu hidup. Sebab polisi pasti akan mencari keberadaanmu sebagai buronan. Dan itu bisa mengancam keselamatanku,” ujar si perempuan. Saat kejang-kejang terakhir, si lelaki gondrong itu sudah tak bergerak lagi.
***
            Jalan Senopati no 12. Sebentar lagi Ervano akan tiba di kediaman sang manajer. Bisa dibilang ini adalah pertemuan mendadak. Dan dia baru menghubungi sang manajer setengah jam lalu. Untung saja sang manajer sedang berada di rumah.
            “Kalau saya sudah selesai dengan urusan ini, saya akan menelepon Pak Tono.”
            “Baik, Pak Ervan. Saya undur diri dulu,” ucap sang sopir sambil melaju meninggalkan sang majikan.
            Ervano melangkah menuju pagar sepanjang 10 meter. Pagar memang belum dibuka. Dia harus melapor dulu pada satpam jaga.
            “Mau cari siapa ya?” tanya sang satpam.
            “Saya ingin bertemu Nyonya Violana. Beliau ada di rumah?”
            Sebelum sang satpam memastikan keberadaan sang nyonya di dalam rumah, tuan rumah kebetulan sudah berada di pintu luar sambil memberikan instruksi agar Ervano masuk.
            Begitu melihat instruksi sang majikan, sang satpam jaga, membuka pagar agar Ervano bisa masuk. Sebelum masuk ke dalam rumah, Ervano disambut dengan cipika cipika sang manajer. Mengantarkan lelaki itu duduk di sofa empuk.
            “Saya ambilkan makanan dulu ya,” ucap Violana seraya beralih ke dapur.
            Sambil menunggu makanan datang, Ervano membuka resleting tas sambil mengambil sesuatu di dalamnya. Dua buah novel dan sebuah smartphone sudah berada di tangan. Ervano meletakkan smartphone-nya di sebelah kiri sofa sedangkan dua novel itu diletakkan di atas meja hias. Kebetulan Violana datang membawa nampan berisi makanan dan dua gelas sirup markisa.
            “Silakan dinikmati,” suruh Violana sopan. Ia menaruh nampan di atas meja sambil duduk berhadapan dengan Ervano.
            “Hey, untuk apa kamu membawa dua novel ke sini?” tanya Violana sambil menunjuk pada dua novel yang tergeletak di atas meja.
            “Sebelum kita membicarakan  ide baru untuk naskah novel saya, ketika saya membandingkan cerita dalam novel Absurd dan Otak Pikiran, saya menduga novel Otak Pikiran meniru beberapa hal dalam novel Absurd,” duga Ervano dengan wajah meyakinkan.
            “Aku kurang mengerti dengan apa yang kamu maksud. Bisa kamu menerangkan dengan rinci dan jelas?” tanya Violana dengan raut wajah bingung.
            “Saya akan menjelaskannya. Pertama, adegan prolog dalam novel Absurd dibuka dengan seorang anak yang disiksa keluarga kandungnya sendiri. Dan adegan prolog dalam novel Otak Pikiran juga serupa—“
            “Bukankah hal itu bisa saja kebetulan?” potong Violana.
            “Tunggu sebentar. Saya masih akan menjelaskan hal berikutnya. Kedua, tokoh utama dalam kedua novel itu sama-sama bekerja di kepolisian divisi penanganan kriminal. Dan tokoh utama dalam kedua novel itu memilik partner kerja seorang laki-laki. Yang terakhir. Ternyata tokoh antagonis yang selama ini mereka cari adalah diri mereka sendiri,” simpul Ervano. Lelaki itu juga mengamati wajah sang manajer secara seksama. Jika dilihat tak nampak ekspresi mencurigakan dari wajah sang manajer.
            “Hanya itu saja?” tanya Violana lagi.
            “Tentang biodata penulis novel Otak Pikiran. Sang novelis, A.A Lane, lahir di Bekasi 26 tahun lalu. Kau tahu, kalau mendengar kata “Bekasi” aku jadi teringat seorang perempuan yang berambisi menjadi penulis sepertiku. Tapi sayangnya aku menghancurkan cita-citanya. Jika sekilas kulihat wajahmu, kau mengingatkanku pada perempuan itu, Violana. Apakah kau adalah perempuan masa lalu yang menyamar dan masuk ke dalam hidupku?” terka Ervano mengada-ada.
            “Heh. Kau berkhayal terlalu jauh, Ervano. Ataukah ini adalah usaha untuk menggoda dan menjadikanku sebagai selingkuhanmu? Ingat Ervano kamu sudah punya Liane Fayani, istri kamu,” ingat Violana dengan mimik serius.
            “Tidak. Tidak. Bukan begitu. Ini hanya dugaan liar semata. Apapun yang terjadi, aku tetap mencintai Liane Fayani. Tidak ada wanita lain di hatiku selain ibuku, istriku dan putriku,” tepis Ervano.Tak sengaja lirikan mata lelaki itu tertuju pada celah pintu kamar Violana tersingkap cukup lebar. Ia melihat sepasang kaki berada di atas ranjang Violana.
            “Violana, apa benar kamu tinggal sendirian di rumah ini?” tanya Ervano memastikan.
            “Benar. Aku memang tinggal sendirian di rumah ini.”
            Ada sesuatu dalam diri Ervano yang menggerakkan kakinya menuju ranjang sang manajer.
            “Hei, Ervano, mau apa kau ke kamarku?”
            Ervano tidak mempedulikan pertanyaan dari Violana. Ia terus melangkah sampai tangannya mendorong gagang pintu hingga terbuka lebar. Ia berada tepat di depan ranjang Violana. Dengan persiapan mental penuh, pelan-pelan Ervano menyibak selimut yang menutupi sepasang kaki itu.
            Ervano terperanjat hingga mundur. Ia melihat seorang lelaki berambut gondrong dalam keadaan tak bernyawa. Bola mata merah terbeliak. Di mulutnya terdapat sisa buih putih. Otot di seluruh tubuh menegang keras.
            Ketika ingin berpaling badan, Violana mendaratkan pukulan di rahang Ervano. Pandangan Ervano perlahan gelap seketika.
***
            Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan. Yang pasti, ia merasakan nyeri di tulang rahang dan tengkuk. Ervano mengerjapkan mata pelan-pelan hingga ia bisa melihat sesuatu yang ada di sekitarnya.
            Ervano disekap dengan kondisi kaki dan tangan terikat tali tambang. Mulut disumpal kain. Dia hanya bisa berteriak tertahan tak mengeluarkan suara. Dan posisinya berada di bawah ranjang Violana. Daun telinganya juga menangkap jemari tangan beradu dengan tuts laptop. Seperti suara orang sedang mengetik.
            “Ah akhirnya naskah novelku selesai juga,” ucap seseorang dari depan Ervano. Ia bangkit berdiri seraya memutar pinggang ke kiri dan ke kanan.
            “Ervano, apakah kau punya rekomendasi penerbit mayor yang cocok untuk novelku ini?” Ia menghampiri lelaki yang terikat tali tambang itu sambil berjongkok di hadapannya.
            Ervano bungkam. Tak menjawab pertanyaan dari Violana, sang manajer.
            “Hei, jawab dong, Ervano. Di mana penerbit mayor yang cocok untuk naskahku? Oh ya, mulutmu ‘kan masih tersumpal. Biar kubantu kau membuang sumpalannya,” ujar Violana sambil membuang sumpalan kain di mulut Ervano.
            Begitu sumpalan kain itu terbuang, tanpa disadari Violana, ludah Ervano mengenai tepat di wajah Violana.
            “Kurang ajar!” geram Violana sambil menggampar pipi Ervano. Cap tangan Violana membekas di pipinya.
            “Kau sebenarnya siapa?” tanya Ervano dengan tatapan sinis.
            Violana menanggapi pertanyaan Ervano dengan kekehan mengejek. “Beruntung sekali aku mengeluarkan biaya mahal untuk operasi plastik. Tapi aku salut denganmu. Kau bisa sedikit mengenali wajahku. Ternyata memang benar, kebanyakan penulis adalah orang-orang perasa. Panggil saja aku, Agatha Fiolani.”
            “Jadi kau bertahun-tahun merencanakan semua ini hanya untuk membalaskan dendammu? Kau tidak merasa rugi hanya memikirkan dendam sepanjang hidupmu?”
            “Jangan sok menasihatiku, Ervano. Ini memang dendam yang harus kauterima sebagai ganjaran kesombonganmu karena kau telah menghancurkan impianku sebagai seorang penulis terkenal.”
            “Tapi kau sebenarnya beruntung bisa sejajar denganku, penulis idolamu. Dan novel Otak Pikiran itu novel karanganmu ‘kan? Meskipun di jalur indie, novelmu tetap mendapatkan hati di kalangan para penggemar. Seorang penulis tidak ditentukan berapa banyak karyanya yang diterbitkan, tapi seberapa berkualitas karya yang dihasilkan.” Ervano mencoba menasihati Fiolani secara pelan-pelan agar ia mau menghentikan dendamnya.
            Fiolani bangkit berdiri lalu mengangkat kaki kanan tinggi-tinggi, mendaratkan wedges ke wajah Ervano. Menggosok-gosok telapak wedges hingga meninggalkan cap bekas tapak sepatu.
            “Simpan saja omong kosongmu, Ervano. Kau tidak mau ‘kan berakhir seperti laki-laki yang berada di atas ranjangku?” Fiolani melangkah mendekati Ray, sang buronan sambil mengelus pipinya.
            “Tapi... entah mengapa aku begitu menginginkanmu, Ervano. Ternyata kebencian mendalam menimbulkan bilur-bilur cinta yang bisa mengobati sakit hati dan kehampaan hati. Namun, alangkah baiknya aku menyingkirkan istrimu terlebih dahulu supaya kita bisa hidup bersama-sama. Inilah puncak konflik novelku, Ervano. Menarik bukan?” pungkas Fiolani sambil berpaling meninggalkan Ervano.
            “Kau mau ke mana? Jangan macam-macam dengan istri atau kau akan menerima akibatnya!” ancam Ervano sambil menggeliat, berusaha melepaskan diri.
            “Pertama kau harus menyelamatkan dirimu dulu. Setelah itu, kau baru bisa menyelamatkan istri dan anak-anakmu. Tapi jangan terlambat ya, Ervano.”Fiolani sudah menutup pintu kamar. Dan kini hanya tertinggal Ervano dan mayat lelaki yang masih tergeletak kaku di atas ranjang. Takada yang bisa diharapka Ervano saat ini. Ia hanya melihat dua foto ukuran A3 tercoret silang spidol merah dan satu foto dirinya.  


“Sialan kau, Fiolani! Brengsek!” jerit Ervano di kamar tidur Fiolani.

No comments:

Post a Comment