Monday, 29 January 2018

The Beauty Symphony - 9



Kehadiran     
            Usai para personil band The Beauty Symphony dan sang manajer menikmati sarapan pagi, mereka sudah berada di depan pintu masuk hotel. Di saat itu pula, Pak Tono, sang supir pribadi memberhentikan mobil tepat di hadapan mereka.
            Sang supir mempercepat laju mobil begitu semuanya berada di dalam.
            “Nah Pak Edward, sekarang Bapak bisa jelaskan bagaimana ciri-ciri pelaku pelemparan bos asap itu.” Aldo yang masih diliputi penasaran, menyuruh pak Edward melanjutkan pembicaraanya tadi.
            “Hmm baiklah. Begitu insiden pelemparan itu terjadi, saya langsung menyuruh polisi untuk mencari si pelaku. Meskipun polisi tidak berhasil meringkus pelaku, tapi polisi sudah mengantongi ciri-ciri pelaku dan nomor plat sepeda motornya,” tutur Pak Edward.
            “Cepat beritahu dong, Pak Edward. Jangan bikin penasaran,” desak Riky.
            “Si pelaku mengenakan topi hitam, jaket kulit cokelat muda. Tinggi sekitar 167 sentimeter. Kelihatannya rambut gondrong meski kepala si pelaku tertutup topi. Nomor plat kendaraan BK 2345 XYZ.”
            Keempat lelaki itu diam sejenak sambil menganalisa penjelasan yang dikatakan sang manajer.
            “Topi hitam? Gondrong? Plat BK 2345 XYZ?” ulang Jimmy.
            “Bukannya itu... Eko?” sambar Riky sambil menerka nama si pelaku. Aldo, Fidel dan Jimmy kompak menengok ke arah Riky.
            “Maksudmu Edo personil band Pentatonic yang terkenal di kampus kita?” Fidel meminta penjelasan mengenai Edo yang disebutkan Riky.
            Riky mengangguk pelan, membenarkan penegasan dari Fidel. “Benar sekali. Ciri-ciri yang sebutkan Pak Edward hampir mirip dengan Eko. Dia berambut gondrong, sering memakai topi hitam dan mengendarai sepeda motor RX King dengan plat nomor BK 2345 XYZ.”
            “Berarti firasatku tidak salah lagi. Kalian tahu, sewaktu gumpalan asap yang mengerubungi kita mulai menipis, aku seperti melihat Naryo sedang tergesa-gesa menuju pintu keluar. Aku yakin sabotase di panggung itu ulah mereka.” Aldo juga angkat bicara.
            “Kita tidak bisa menuduh mereka sembarangan tanpa bukti yang jelas. Bisa yang kita atau para polisi lihat memang mirip dengan Aldo dan Edo,” sanggah Fidel dengan apa yang diutarakan Aldo.
            “Ya aku juga yakin pasti itu ulah mereka. Mereka merasa iri dan tersaingi begitu mendengar kabar kalau kita akan masuk dapur rekaman di salah satu perusahaan musik nasional. Sabotase yang  mereka lakukan adalah usaha untuk menghancurkan image band kita,” dukung Jimmy pada pendapat Vinno.
            Fidel menghela napas lelah melihat teman-temannya yang sulit dinasihati terlebih Aldo, sang vokalis yang keras kepala. Fidel berharap ia dan teman-temannya akan sampai di rumah.
*
            Ada sekitar dua kafe berada di luar lingkungan kampus. Kantin Wanada berada di seberang jalan kampus Mensenno dan selalu ramai dikunjungi para mahasiswa dari berbagai jurusan untuk sekadar melamun sampai dengan bermain domino. Di antara keramaian itu, lima lelaki duduk di salah satu meja bundar sedang asyik berbincang serius dengan volume suara agak pelan.
            “Elo yakin Rot, cewek itu bisa kita manfaatkan buat ngedeketin si Aldo?” tanya Adit kurang yakin.
            “Iya. Kayaknya gua juga kurang yakin gitu. Bisa-bisa dia bakal ngebongkar rencana kita buat menghancurkan The Beauty Symphony?” sambung Edo. Ia juga menyatakan ketidakyakinannya pada rencana Djarot.
            Djarot berdecak pelan sambil menggelengkan kepala melihat Adit dan Edo masih meragukan rencana yang dia rancang. “Kalau loe masih enggak yakin. Mungkin Anton bisa menjelaskan.” Djarot merentangkan telapak tangannya ke arah Anton. Memberikan isyarat kepada temannya untuk menjelaskan siapa perempuan yang Djarot maksud.
            “Sebenarnya perempuan itu sudah lama memendam rasa kepada Djarot. Seminggu lalu, perempuan itu memberanikan diri mengungkapkan perasaannya secara lang—“
            “Wah hebat loe, Rot. Sangking gantengnya elo, cewek pun sampai memberanikan diri menembak cinta loe. Loe terima enggak?” potong Marthin cepat.
            Anton menautkan kedua alisnya melihat tingkah Martin yang seenak mulutnya memotong cerita Anton.
            “Eh tikus got, gua belum selesai cerita. Sekali lagi elo motong cerita gue, gue lempar kepala loe pake gelas kaca, ngerti?!” gertak Anton sambil memegang gelas kaca lalu dilepaskan kembali genggaman tangannya.
            “Djarot bilang kepada perempuan itu kalau dia butuh waktu untuk berpikir. Tapi kalian tahu sendiri ‘kan, bagaimana selera Djarot kalau memilih cewek? Jadi dengan memanfaatkan cinta si cewek tadi, Djarot membuat satu persyaratan—dia harus mendekati Aldo dan buat dia jatuh cinta padanya.” Anton menyeringai.
            Sontak Marthin, Edo dan Adit terbelalak mendengar hal itu. Si cewek jatuh cinta padamu dan kau membuat satu persyaratan yakni si perempuan harus membuat laki-laki lain jatuh cinta kepadanya. Gila!
            “Kau tidak sedang bercanda, bukan?” Adit menoleh ke arah Djarot, mempertanyakan apakah yang dijelaskan Anton memang benar dari dirinya.
            “Coba kau lihat wajah ini? Apakah aku sedang bercanda?” tunjuk Djarot pada wajahnya lalu berbicara lagi, “lagipula, perempuan itu bilang dia akan berbuat apa saja agar aku bisa menerima cintanya. Dan lagi-lagi benar kata pujangga itu. Cinta itu buta. Dan melalui kebutaan itu, aku mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama, aku punya alat yang bisa menghancurkan The Beauty Symphony secara perlahan dan yang kedua. Aku berhasil mendapat sesuatu yang berharga milik gadis itu...”
            Adit, Edo dan Marthin tercengang sekaligus merinding sesaat melihat roman bengis Djarot. Adit secara pribadi tidak menyukai para personil The Beauty Symphony tapi dia sendiri tidak sampai memikirkan rencana itu. Seberapa besar kebencian Djarot pada Aldo dan teman-temannya?
            “Boleh aku tahu siapa nama perempuan itu?” tanya Adit pada Djarot.
            “Margareth. Kau kenal?” jawab Djarot.
            Bertambah lagi kekagetan Adit. Siapa tidak mengenal Margareth. Hampir seluruh masyarakat kampus mengenal perempuan berambut sebahu itu. Perempuan yang selalu mendapatkan IPK cumlaude di kampus Mensenno. Perempuan itu memang tidak cantik tapi raut wajah manis dengan gigi ginsul sebelah kiri, bisa membuat lelaki di kampus itu tak bosan memandangnya.
            Tapi siapa sangka perempuan itu punya rasa kepada Djarot yang sifatnya bertolak belakang dengan Margareth. Djarot, lelaki berkulit putih sering gonta-ganti pacar dan memiliki IPK rendah, bisa dicintai oleh perempuan seindah Margareth. Dan sungguh disayangkan Margareth sudah jatuh dalam pesona maut Djarot.
            “Oh di sini kalian rupanya, para pengacau!” Kelima lelaki yang asyik berbincang itu langsung ambil sikap waspada begitu Aldo dan teman-temannya menghampiri.
            “Eh kalian ngapain di sini?” Edo berbasa-basi. Sebenarnya Edo sendiri pun sudah tahu apa maksud kedatangan para personil The Beauty Symphony ke kantin Wanada.
            “Enggak usah kebanyakan basa-basi! Kalian ‘kan yang sudah mengacaukan konser kami?!” tanya Riky geram.
            Edo menggerakkan kepala ke kanan dan kiri sambil menggaruk kecil kepalanya. “Maksud loe apa sih Rik? Gua sama sekali enggak ngerti.” Edo mengangkat bahunya.
            Melihat tingkah Edo pura-pura tak tahu, membuat Aldo geram lalu mencengkeram kerah kaus lelaki gondrong itu, membenturkan tubuh kurus Edo ke dinding kantin.
            Elo enggak usah pura-pura lupa deh! Siapa lagi di kampus ini yang gondrong, make topi hitam, naik Megapro BK 2345 XYZ kalau bukan elo?!” maki Aldo dengan suara keras.
            Memang tidak terlalu banyak pengunjung di kantin Wanada. Tapi melihat kondisi perseteruan Aldo dan Edo semakin menegangkan, membuat orang-orang yang sekedar lewat berduyun-duyun mendatangi kantin itu sekedar memenuhi penasaran mereka.
            Fidel sesegara mungkin menarik cengkeraman tangan Aldo dari kerah baju Edo.
            “Aldo sudah cukup! Loe bakal buat keributan besar jika loe enggak bisa kendaliin emosi loe,” cegah Fidel. Sementara itu tangan Aldo masih kuat mencengkeram kerah kaus Edo.
            Situasi semakin panas. Orang-orang mulai memadati kantin Wanada. Bukan untuk jajan atau sekadar duduk. Tapi menyaksikan duel panas Edo dan Aldo yang segera dimulai. Adit menyuruh Edo berada di belakang sambil dijaga Djarot, Anton dan Marthin. Mana tahu Aldo tiba-tiba bermain kasar.
            “Aldo, ayo kita pergi!” suruh Fidel sambil membalikkan badan Aldo. Badannya sudah berbalik tapi tatapan mata tak bisa lepas dari Edo. Tak puas hati Aldo kalau belum menghajar wajah para personil Pentatonik sampai lebam.
*
            “Loe semua kenapa sih pada ngalangin gue?!” damprat Aldo kepada teman-temannya.
            Fidel turut emosi dengan perkataan Aldo juga membalas, “Ini demi kebaikan kita, Do. Imageband kita. Elo enggak mau ‘kan band kita dicela orang-orang dengan sebutan band berandalan?!”
            “Oh jadi elo mau band kita  hancur perlahan-lahan karena ulah mereka?! Ayo jawab gua?!”
            Tak terima dirinya dibentak-bentak sang vokalis, tinju kanan Fidel tak sengaja mengenai pipi Aldo. Aldo tidak terima dengan perlakuan Fidel, membalas lagi dengan pukulan di bagian perut. Fidel mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya. Lalu Fidel membalas pukulan Aldo dengan meninju dagu sang vokalis.
            Situasi semakin tak tentu. Kedua lelaki itu terlibat baku hantam. Riky dan Jimmy dengan sigap melerai Aldo dan Fidel.
            “Elo berdua kenapa jadi berantam, hah?! Kita ini satu band! Kita ini ibarat keluarga. Dalam keluarga enggak boleh saling menyakiti satu sama lain. Semua persoalan bisa diselesaikan baik-baik,” tegur Riky pada kedua temannya.
            Tak mau mendengarkan teguran dari Riky, Aldo langsung mengeluarkan sepeda motor kemudian menekan tombol electric stater.
            “Gua mau cari angin dulu.” Begitu mesin sepeda motor menyala, Aldo langsung menarik tali gas, cepat-cepat meninggalkan pekarangan kontrakan.
*
            Tak ada tempat menenangkan diri yang sering dikunjungi Aldo selain taman kampus. Usai memakirkan sepeda motor, Aldo mencari kursi besi, mengistirahatkan pikiran yang kacau balau.
            Usai menarik dan membuang napas sebanyak tiga kali, Aldo baru sadar kalau dia memang sudah termakan emosi. Dirinya hampir saja membuat kekacauan di kantin Wanada kalau tidak segera dilerai Fidel. Dan karena masih terbawa emosi, Aldo membentak-bentak Fidel.
            “Maafkan aku, teman-teman. Maafkan aku juga, Fidel,” ucap Aldo lirih.
            Aldo memilih membenamkan diri dalam lamunan. Sambil merenungi kesalahan, dia berencana kembali ke rumah sambil meminta maaf pada teman-temannya terutama Fidel. Sembari menikmati keasrian lingkungan kampus, Aldo mengambil gitar yang dia letakkan di sebelahnya.
            “Hei.”

No comments:

Post a Comment