Saturday, 30 January 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - Prolog



Aku menangis tersedu-sedu ketika ibu mengguyur tubuhku dengan segayung air dari dalam bak mandi. Aku menggigil hebat. Ratusan tetesan air tak luput menjamah setiap inci permukaan kulitku. Namun, ibu kurang puas melihat penderitaanku. Ia lantas mengambil lagi dua gayung air dan menumpahkannya di atas kepalaku.
            “Rasakan kamu, anak bandel! Sudah ibu bilang, jangan bermain lewat jam magrib! Kamu enggak takut apa diculik setan? Kamu enggak takut?!” maki ibu padaku seraya menjewer kuat telingaku.
            Aku dapat merasakan panas dan pedih di telinga kiriku. Rupanya, ibu sudah memberikan hukuman dua kali lipat atas sikap pembangkangku. Aku terus memeluk kedua kakiku yang kulipat menyentuh dada. Dinginnyasudah tidak bisa ditoleransi tubuhku. Kedua belahan bibirku ikut merasakan dinginnya air dari dalam bak mandi.
            “Sekarang, kamu ganti baju kamu dan kamu tunggu lagi hukuman dari bapakmu! Mengerti!” tutupnya kasar. Ia menarik tubuhku dan memaksa kuberjalan ke kamar untuk mengganti bajuku.
            Air mataku tak henti menetes. Kedua kakiku gemetar. Kurasa sendi-sendi kakiku, tidak mampu menahan getaranku tubuhku yang begitu intens. Aku memutuskan berjalan sambil berpegangan pada dinding ruang tamu.
            Aku tiba di depan kamarku. Aku mendorong pintu yang sedikit macet dengan dadaku. Badanku terkulai lemah di atas lantai semen. Aku belum mau bangkit berdiri. Aku ingin menikmati dinginnya lantai semen yang ditimpa badanku.
            Aku ingin sekali meninggalkan dunia fana ini. Meninggalkan segala rasa sakit dan penderitaan yang membekas di tubuh dan pikiranku. Tidakkah kau lihat luka memar di wajah, tangan dan kakiku? Kau tidak melihatnya? Kalau begitu mendekatlah, maka bekasnya akan begitu nyata di matamu.
            Di tengah lamunan putus asaku, aku mendengar suara lirih memanggilku.
            “Hey! Hey! Jangan putus asa begitu, teman. Coba lihat apa yang ada di dalam lacimu,” suruh suara lirih itu.
            Aku menuruti apa yang diperintahkannya. Aku bangkit berdiri, menuju laci yang berada di dalam lemari pakaianku. Aku menoleh lagi ke arahnya. Ia merapatkan genggaman tangannya seolah-olah dia memegang pisau. Ia mengayunkan tangannya dan mengarahkannya ke bagian perut. Aha, aku mengerti. Ia menyuruhku untuk membunuh kedua orang tuaku. Ide bagus untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini kujalani. Namun, aku masih harus bertarung dengan hati nuraniku. Dia menyuruhku untuk tidak melakukan tindakan itu.
            “Kalau kau masih ragu, biar aku sendiri yang akan melakukannya.” tukas suara itu. Ia menyelipkan pisau itu ke dalam celana pendeknya. Ia berlari kencang begitu mendengar jeritan ayah yang memanggil namaku. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.
            Ia sudah berada di hadapan orang tuaku. Ia menantang kedua orang tuaku dengan memelototi mereka.
            “Oh kamu mulai berani, ya, menantang ayah dan ibu? Nih, rasakan!” bentak ayah sambil melayangkan tangan kanannya ke arah pipinya. Anehnya, ia sama sekali tak merespon tamparan keras yang mendarat di wajahnya. Yang ada, ia malah semakin berani melebarkan kelopak matanya.
            “Kelihatannya kamu menikmatinya, ya, anak sialan? Ini, ayah tambahkan lagi!” ayahku melayangkan tangan kirinya ke arah pipinya. Namun, sekejap saja, dia menangkap pergelangan tangan ayahku dan mengiriskan pisau ke urat nadinya. Ayah terperanjat ketika lelehan darah menetes di permukaan lantai.
            “AKH, DASAR SETAN! ANAK SETAAANNNN!” kutuk ayah padanya. Ia tak memperdulikan sumpah serapah yang keluar dari mulut ayahku. Ayahku jatuh berlutut di hadapannya sambil memegang pergelangan tangannya. Melihat kesempatan itu, ia langsung menusukkan pisau itu ke leher ayahku. Lantas, darah kental membasahi baju yang dikenakannya. Tubuh ayah terbujur tak bernyawa di atas lantai semen.
            Melihat ayah yang tewas di tangannya, ibu mundur beberapa langkah darinya. Ibu tak sanggup menghentikan kegilaannya begitu juga denganku. Kulihat wajah ibu pucat pias ditambah tubuhnya menggigil tak karuan. Air matanya pelan-pelan meluruh dari pelupuk matanya.
            “Ampuni ibu, nak. Biarkan ibumu hidup,” ibu memohon dengan suara memelas. Ia tak memperdulikan apa yang dikatakan ibuku. Tak disangka, ia menancapkan pisau di perut ibuku sambil memutarnya kuat. Bola mata ibuku serasa dicopot keluar. Rasa pedih yang dialaminya, bisa jadi jauh lebih mengerikan dibanding penderitaan yang pernah dilakukannya padaku. Dan kini ia bisa merasakannya. Belum puas melihat derita ibuku, ia mencabut pisau itu dan menikamnya tepat di bola matanya. Yah, dia berhasil merebut nyawa ibuku secara brutal. Bukannya bersedih, aku malah puas. Puas sekali. Beban hidupku berkurang dratis. Aku merasa kelegaan yang luar biasa. Itu berkat dia. Dia melakukan apa yang paling kuinginkan namun tak pernah bisa kulakukan selama ini.
            “Dia” menoleh kepadaku sambil melemparkan seringai jahat. Aku tersentak hebat ketika melihat keadaan diriku sendiri.
            “A-a-apaan ini?! Ti-ti-tidak mungkin! Aku tidak mungkin—” suaraku terputus. Tubuhku ambruk tak jauh dari mayat mereka.

Tuesday, 19 January 2016

Masa Lalu yang Tenggelam



Coba lukis lagi senyum manis itu
Jangan cemberut walau musim gugur t’lah berlalu
Tertawalah sepuasmu jika sakitnya hidup terlalu membunuhmu
Ingatlah aku selalu di sampingmu
            Coba ceritakan kisah-kisah masa lalu yang terkenang
            Meski kutahu kisah kita ‘kan berbeda
            Aku hanya masa lalu sedangkan kau masa depan
            Aku tak berhak mengusikmu walau sekedar berbisik
Senang rasanya aku bertemu kau lagi
Kau mengulas senyum manis aku hanya tersenyum miris
Kau menggenggamnya namun tanganku tak mampu meraihmu
            Aku hanya ingin memutar waktu
            Ingin kukatakan pada sang takdir walau terdengar tak mungkin
            Aku hanya ingin bilang aku mencintaimu selamanya

Hujan








Langit kelabu menangis lagi
Tetesan air membasahi tanah kering
Kau masih saja menangis pilu
Bila waktu ‘kan berganti kelam
            Hujan basahilah hati ini
            Yang kering karena rasa abai
            Basahilah retak-retak palung hati
            Yang kering karena rasa sakit
Hujan alirkanlah air sucimu
Bersihkan hati penuh benci
Alirilah kotoran melekat di sana
Agar bening tak bercela benci
            Jangan pernah berhenti membawa arti
            Teruskanlah mencari  arti cinta sejati
            Hujan yang turun di pagi hari ini
            Takkan berarti bila tak punya arti pasti

Mencintai Mimpi



Kupejamkan mata dalam kedamaian
Ingin rasanya kukekang dirimu
Agar kau tak pergi
Agar kau tetap di sini
            Bisikkan lagi kata-kata cinta
            Yang membuat ragaku melambung jauh
            Coba kau ukir nama kita dalam prasasti
            Agar abadi tak lekang dihempas sunyi
Bangunkan aku dari mimpi indahmu
Yang terkadang jenuh perlahan beku
Membius sukma meracun jiwa
Mendekap kehampaan yang bertuai harapan

Wednesday, 13 January 2016

LiliAnna



Aku terpaku di atas pijakan kakiku. Kulihat Lili sedang asyik menghunjamkan pisau berkali-kali ke tubuh ibu. Cipratan darah merah kental membasahi wajahnya yang dingin dan bengis. Aku hanya bisa menangis dan meronta di dalam hati. Namun, aku merasa seperti lepas dari belenggu neraka. Yang dibunuh Lili bukanlah ibu kandungku. Dia adalah ibu tiriku yang merawatku semenjak aku berumur 8 tahun. Ia selalu memaki-makiku. Ia selalu memperlakukanku layaknya binatang hina. Ia selalu memberiku penderitaan mental yang entah kapan akan berakhir. Dan, disinilah akhir penderitaanku.
            Lili bangkit berdiri dan mendekatiku.
            “Aku sudah menyelesaikan semuanya.” Ucapnya kaku
            “Kenapa? Kenapa kau membunuhnya sialan. Dasar kau pembunuh!” makiku kasar.
            Bukannya marah dan menayangkal tuduhanku, dia tersenyum sinis sambil berkata, “Lihat dirimu,”
            Astaga! Aku tersentak bukan main. Kaus oblong orange dan celana pendekku sudah berlumuran darah. Rambutku, wajahku, dan tanganku bernodakan darah. Dan, tanganku memegang pisau yang digunakan Lili untuk mencabut nyawa ibu tiriku.
            “Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh! Kamu yang membunuhnya, Lili!” jeritku histeris. Deraian air mata tak henti membasahi wajahku. Tubuhku terasa berat hingga hampir hilang keseimbangan.
            “Kita adalah satu, Anna. Kita adalah Liliana.”