
Rasa nyeri hebat
masih berdenyut di kepalanya. Donni sudah sadar. Namun, ada hal janggal di
tempatnya berada sekarang. Tempat ini beraroma kemenyan dan wewangian yang
belum pernah dibauinya. Hanya terdapat satu lubang ventilasi yang berada di
atas jendela yang memiliki dua tirai. Dan satu hal yang pasti—tempat ini begitu
remang. Bisa dibilang hampir gelap. Donni melihat seorang wanita berjubah hitam
sedang menghampirinya.
“Kau sudah bangun?”
Kedua bola mata Donni mendelik. Ia kenal betul, suara wanita yang
membelakanginya saat ini. Wanita itu sedang berjongkok menyalakan lilin hitam
yang disusun seperti pentagram di atas tubuh seorang wanita yang terbaring tak
berdaya.
“Lina? Mau kau apakan dia?!” pekik Donni. Ia tak bisa
menggerakkan badannya leluasa karena dililit tali tambang dan lengannya
dirantai.
“Entah apa yang membuat kalian terlambat menyadari bahwa
semua ini adalah ulahku.” Wanita itu berbalik badan, menghadapkan diri ke arah
Donni. Ia tak percaya tubuh Lina sudah ditaburi dengan kembang tujuh rupa dan
di atas dadanya sebuah boneka perempuan ditaruh dengan posisi duduk.
“Arwah anakku ingin sekali meminta tubuh yang masih hidup
sebagai pengganti tubuhnnya yang sudah mati. Ia merasa, tubuh temanmu ini, cocok
sekali untuknya,” tutur ibu Hesty. Tangan kirinya memegang sebuah pisau dapur.
Donni tak mengerti sama sekali apa yang dikatakan oleh
gurunya. Sialnya, ia juga tak bisa menemukan menemukan kancing peniti yang
biasanya ia dilekatkan di saku belakang celana jeans-nya.
“Kau seperti tidak mengerti dengan penjelasanku. Baik,
akan kujelaskan semua. Aku bukanlah orang yang suka mengajar murid-murid seperti
kebanyakan guru meskipun aku adalah sarjana pendidikan matematika. Aku lebih
suka dengan menjahit dan membuat mainan seperti boneka.”
“Lalu, kenapa kau bisa menjadi guru di sekolah kami? Ada
apa dengan keluargamu?” Donni sudah menemukan letak kancing peniti itu.
Pelan-pelan ditariknya hingga peniti itu berada di genggaman tangannya.
“Anakku meninggal dunia karena dibunuh teman-temannya. Teman-teman
sebayanya, iri padanya karena anakku merupakan murid terpintar meskipun dia
punya cacat di bagian matanya. Hatiku hancur mengetahui putriku satu-satunya
dibunuh ditambah lagi suamiku meminta cerai. Aku memutuskan pindah rumah ke
komplek Grand Morista. Ya, untuk memenuhi kebutuhan hidupku, aku mempergunakan
ijazahku untuk melamar sebagai guru honor di sekolahmu tercinta.”
Ia tak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan gurunya.
Kedua tangannya masih sibuk membentuk lubang kunci yang pas pada gembok yang
membelenggunya.
“Oh ya, walaupun sudah berlalu dua tahun, rasa sakit
karena kehilangan putri kesayanganku membuatku makin merana. Apalagi, dia
selalu datang ke mimpiku dengan wajah penuh kemalangan dan kesedihan. Aku
selalu menangis jika membayangkan hal itu.”
“Suatu
hari, aku anakku datang lagi dalam mimpiku. Ia menyuruhku, menjahit sebuah
boneka sebagai media pemanggilan arwah sekaligus penyegelan jiwa-jiwa yang
ditumbalkan. Semakin banyak jiwa yang ditumbalkan, akan membuatnya semakin kuat
menempati raga yang dipilihnya. Sekarang, dia sedang merasuk ke dalam raga anak
ini. Dan jika anakku sudah berhasil mengambil alih raganya, roh perempuan ini
akan tersegel dalam bonekauntuk selamanya, hahaha!” ibu Hesty tertawa jahat,
menyadari rencananya akan segera terwujud.
Donni
mengetahui bahaya besar akan menimpa nyawa temannya. Donni berteriak sekuat
tenaga membangunkan Lina, tapi Lina masih saja tertidur. Kelopak matanya
mengatup erat seolah dia berada dalam kondisi tidur yang begitu dalam.
Kondisi
Lina tak jauh beda dengan Donni. Ia tak bisa berkutik di tangan makhluk itu.
Makhluk itu mencekik kuat lehernya hingga membuatnya napasnya tersendat-sendat.
“Pergilah!
Ini tubuhku!” hardikan makhluk itu meremangkan bulu kuduk Lina.
Makhluk
itu menatap geram ke arah Lina. Ia menyunggingkan seringai lebar menyeramkan
yang membuat pertahanan Lina kian mengendur.
“Menyerahlah,
maka aku akan membiarkan kau hidup dan kau bisa melihat teman-temanmu.”
Kini
untuk mengangkat jari-jarinya saat ia sudah kesulitan. Ia mulai merasakan urat
nadi di lehernya mati rasa. Terlintas di pikirannya untuk menyerah dan
membiarkan makhluk itu menguasai raganya.
“LINA!
LINA! KAU DENGAR AKU? BANGUNLAH LINA! KAU TAKKAN MUNGKIN KALAH!” pekik Donni
sekuat-kuatnya berharap Lina bisa mendengarnya. Ia melihat gumpalan asap hitam
mengepul dari rahang mulut Lina yang menganga.
Lina
bisa mendengarnya. Sekilas, teriakan itu menyebut-nyebut namanya—itu Donni—ya
Donni. Ia berusaha mengerak-gerakkan satu jarinya tapi makhluk itu semakin
menguatkan cengkramannya di leher Lina.
“Lina!”
“Bagus
anakku, tinggal sedikit lagi maka kau akan mendapatkan tubuh yang kau
inginkan!” raut wajah ibu Hesty semakin sumringah. Ia melebarkan senyumnya
seiring membesarnya gumpalan asap yang keluar dari mulut Lina.
“Apakah
ini akhir dari hidupku?” gumam Lina. Jika dia masih diberikan kesempatan hidup
oleh sang Mahakuasa, ia ingin menyatakan perasaannya pada Donni. Menghabiskan
hari-harinya bersama Donni. Ia belajar sungguh-sungguh untuk mencapai
cita-citanya sebagai seorang sutradara film. Lina berharap Shanti akan menjadi
partnernya dalam film-film buatannya nanti.
“Berani-beraninya
kau menyakiti sahabatku, makhluk jelek!” suara itu sontak membangunkan Lina
dari dunia khayalannya. Bondan, Indra dan Shanti bersiap di belakang Lina,
menolongnya supaya terbebas dari jeratan makhluk terkutuk itu.
“Kami
datang untuk menolongmu.” ujar Bondan seraya tersenyum kecil. Sungguh tak
diduganya, mereka bertiga datang di saat dirinya hampir menyerahkan nyawa pada
kematian.
Makhluk
itu melepaskan cekikannya pada leher Lina. Makhluk itu mengambil sikap was-was
dengan kehadiran ketiga temannya yang datang tanpa sepengetahuannya.
“Ayo
kita lakukan!” Lina bergabung bersama ketiga temannya. Ia hanya mengangguk
pelan, dengan napas agak sesak. Mereka bersama-sama mengangkat kedua telapak
tangan, seolah mengumpulkan kekuatan untuk menghempaskan makhluk itu keluar
dari tubuh Lina.
“Akkkhhh!”
makhluk itu melolong keras ketika kekuatan yang dikumpulkan di telapak tangan
mereka, berhasil menghempas tubuh makhluk itu keluar dari raga Lina.
“Sekarang
dia sudah pergi. Waktunya bangun, Lina. Donni sangat membutuhkan pertolonganmu.”
tutur Shanti lembut. Ia tak dapat menahan air matanya bisa melihat sahabat
dalam kondisi seperti ini—teduh dan menyejukkan hati.
“Kami
harus pergi..., selamat tinggal.”Lina bak patung, memandangi tubuh halus
teman-temannya yang pelan-pelan menipis. Air matanya terus meleleh mengiringi
perjumpaan singkat di alam pikirannya. Terakhir kali, ia hanya melihat tangan
mereka yang melambai lambat. Kini, tinggallah Lina sendiri.
“Selamat
tinggal...” gumam Lina.
Gumpalan
kabut hitam yang menyelimuti boneka, lenyap seketika. Ibu Hesty tercengang
sementara sosok makhluk yang merasuk tubuh Lina, terhempas keluar dan bertelut
membelakangi ibu Hesty.
“Apa
yang terjadi?” Donni juga terheran-heran. Gembok yang mengunci tangannya sudah
terbuka namun tali tambang masih mengikat kencang tubuhnya. Donni melihat Lina
sudah mulai mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali.
“A-a-apa
yang terjadi anakku?” tanya ibu Hesty terbata. Bola mata sosok perempuan itu merah
menyala. Pandangannya liar seakan-akan ingin menerkam apa yang berada di
hadapannya. Deru nafasnya begitu berat. Ia menggeram dengan suara tercekat.
“Iiiibbbuuuuuuu!!!”
sosok itu meraung hebat. Air mukanya menjadi lebih beringas dan kejam. Kali
ini, sosok itu benar-benar tampak mengerikan. Ia mengubah dirinya menjadi
segumpal kabut hitam lalu menebus tubuh kasar ibu Hesty.
Perubahan
mengerikan tampak nyata dalam diri ibu Hesty. Wajahnya yang sepucat tisu,
tertutupi rambut panjangnya. Sorot matanya tajam dan mematikan. Kornea matanya memutih.
Rahangnya kaku menegang. Genggamannya mengencang pada pisau dapur yang
dipegangnya.
“Ma...ti!”
Bola matanya tertuju pada Donni yang masih terikat tali tambang.
Ibu
Hesty mempercepat langkahnya menuju Donni. Tak seperti ibu Hesty yang dilihatnya
sewaktu menyambutnya di ruang tamu. Sosok itu benar-benar sudah mengambil alih
tubuh dan pikiran ibu Hesty. Dan sekarang, dari mulutnya, dia mengeluarkan
desisan-desisan halus bercampur dengan ceracau yang tak jelas.
“Ini
gawat!” Donni tergesa-gesa melonggarkan ikatan tali yang menjerat tubuhnya. Sebelum
tali yang menjeratnya terlepas, ibu Hesty tiba di hadapannya.
Tali
itu tak kunjung lepas. Ibu Hesty menyeringai penuh kemenangan. Kedua tangannya
sudah menggenggam pisau yang terhunus di depan mata Donni. Ia hanya mendelik
lebar. Arah mata pisau yang berkilap itu menukik, siap menghunjam keningnya.
Dalam
posisi setengah berdiri, Lina berhasil menangkis serangan ibu Hesty dengan
menolakkan kedua telapak tangannya mengenai dada ibu Hesty. Tubuh ibu Hesty
terpelanting jauh. Bagian belakang kepalanya mengenai dinding beton. Meskipun
dirinya sedang dirasuki, ibu Hesty masih merasakan tempurung kepalanya bergetar.
Pandangannya berkunang-kunang. Tapi, sosok itu terus memaksanya untuk terus bangkit.
“Cepat
Donni. Selagi ada lilin yang menyala, bakar tali yang mengikatmu.” seru Lina.
Ia masih berdiri menghadang ibu Hesty yang sudah bisa mengendalikan keseimbangan
tubuhnya.
Donni
menyeret-nyeret perutnya ke arah lilin yang menyala. Api yang berkobar liar, cukup
untuk menghanguskan tali tambang yang tak terlalu tebal pilinannya.
Ia
berbalik ke belakang dan mengarahkan tali itu tepat di atas lilin yang menyala.
Pijaran api mulai menjilat serat-serat taling tambang. Untuk mempercepatnya,
Donni merenggangkan dan menarik kuat talinya agar cepat putus.
Di
sana, ibu Hesty sudah menenggakkan pijakan kakinya yang sempat goyah. Ibu Hesty
kembali menajamkan sorot matanya yang bengis dan tidak mengenal rasa ampun.
Lutut Lina bergetar. Ia tak mampu menahan ketakutannya.
“Cepatlah
Donni!” dengus Lina. Tinggal satu meter lagi, ibu Hesty bisa saja mengakhiri
kesempatan hidupnya dalam sekejap.
“Pergilah kau ke neraka!”
Donni
merentangkan kedua tangan boneka dan mengarahkan badan boneka itu tepat di
bagian dadanya.Tinggal beberapa senti lagi, ujung mata pisau yang lancip itu,
akan menancap kening Donni.
Donni
melepaskan boneka yang dipegangnya. Pisau dapur berhasilmenembus bagian dada
boneka. Ibu Hesty membelakkan bola matanya yang memerah. Ia barusan menyadari
perbuatan yang dilakukannya.
“Tidak...TIIIIDDDAAAAAKKKKKK!!!”
ibu Hesty mengaum keras bak raja hutan yang kehilangan mangsanya. Dia menjambak
rambutnya sendiri, merasakan panas luar biasa membakar tubuhnya. Ia kehilangan
kendali tubuhnya. Mondar-mandir tak tentu arah. Ibu Hesty terus menepuk-nepuk
tubuhnya yang serasa tebakar hingga membuatnya berguling-guling seraya
menggelepar bagai ikan yang kehabisan udara.
“Ayo
kita pergi dari sini, Lina.” Donni menarik lengan Lina, meninggalkan ibu Hesty
yang masih meraung-raung dengan suara yang hampir serak .
Ketika
mereka keluar, Heru dan beberapa polisi yang mengikutinya dari belakang telah
berhasil menemukan Donni dan Lina. Keduanya letih dengan tetesan peluh yang
mengalir lambat dari dahi mereka.
“Kalian
tak apa-apa?” tanya Heru. Mereka mengangguk pelan, merespon pertanyaan Heru.
“Polisi
sudah menemukan rumah ini setelah beberapa saat kami mendengar suara jeritan
wanita, tapi di mana ibu Hesty?”
“Dia
berada di dalam.” pungkas Donni seraya mengarahkan jempolnya ke gudang bekas
yang terdapat di dalam rumah ini.
Usai
diberitahu oleh Donni, pihak kepolisian langsung menyerbu ruangan yang
ditunjukkan oleh Donni. Mereka masih bersiaga dengan pistol yang mengacung di
depan mata mereka.
“Aku
senang semua ini sudah berakhir.” ucap Heru lega. Ia memapah kedua temannya
yang kehabisan tenaga, menuju halaman rumah ibu Hesty.
Di luar sana, ayah dan ibu Lina sudah menantikan
kehadiran mereka. Rafly, adiknya Lina, berdiri di samping ibunya. Ibunya berlari
terlebih dahulu, menyongsong kedatangan anaknya dengan sebuah pelukan hangat.
“Lina, syukurlah kamu selamat, nak!” ujar ibunya penuh
haru dan air mata kebahagian. Lina juga tak mampu menahan titik air mata yang
berkumpul di ujung pelupuk matanya.
“Ini semua berkat pertolongan mereka, bu.” kepala Lina
berputar ke arah Donni dan Heru.
“Terimakasih banyak, ya nak.”
Kedua lelaki itu mengangguk kepala seraya mengulas senyum
kecil dari belahan bibir mereka. Mereka semua beranjak pergi dari sana menaiki
Toyota yang sedari tadi parkir di halaman rumah itu.
No comments:
Post a Comment