Aku
menangis tersedu-sedu ketika ibu mengguyur tubuhku dengan segayung air dari
dalam bak mandi. Aku menggigil hebat. Ratusan tetesan air tak luput menjamah
setiap inci permukaan kulitku. Namun, ibu kurang puas melihat penderitaanku. Ia
lantas mengambil lagi dua gayung air dan menumpahkannya di atas kepalaku.
“Rasakan kamu, anak bandel! Sudah
ibu bilang, jangan bermain lewat jam magrib! Kamu enggak takut apa diculik
setan? Kamu enggak takut?!” maki ibu padaku seraya menjewer kuat telingaku.
Aku dapat merasakan panas dan pedih
di telinga kiriku. Rupanya, ibu sudah memberikan hukuman dua kali lipat atas
sikap pembangkangku. Aku terus memeluk kedua kakiku yang kulipat menyentuh
dada. Dinginnyasudah tidak bisa ditoleransi tubuhku. Kedua belahan bibirku ikut
merasakan dinginnya air dari dalam bak mandi.
“Sekarang, kamu ganti baju kamu dan
kamu tunggu lagi hukuman dari bapakmu! Mengerti!” tutupnya kasar. Ia menarik
tubuhku dan memaksa kuberjalan ke kamar untuk mengganti bajuku.
Air mataku tak henti menetes. Kedua
kakiku gemetar. Kurasa sendi-sendi kakiku, tidak mampu menahan getaranku
tubuhku yang begitu intens. Aku memutuskan berjalan sambil berpegangan pada
dinding ruang tamu.
Aku tiba di depan kamarku. Aku
mendorong pintu yang sedikit macet dengan dadaku. Badanku terkulai lemah di
atas lantai semen. Aku belum mau bangkit berdiri. Aku ingin menikmati dinginnya
lantai semen yang ditimpa badanku.
Aku ingin sekali meninggalkan dunia
fana ini. Meninggalkan segala rasa sakit dan penderitaan yang membekas di tubuh
dan pikiranku. Tidakkah kau lihat luka memar di wajah, tangan dan kakiku? Kau
tidak melihatnya? Kalau begitu mendekatlah, maka bekasnya akan begitu nyata di
matamu.
Di tengah lamunan putus asaku, aku
mendengar suara lirih memanggilku.
“Hey! Hey! Jangan putus asa begitu,
teman. Coba lihat apa yang ada di dalam lacimu,” suruh suara lirih itu.
Aku menuruti apa yang diperintahkannya.
Aku bangkit berdiri, menuju laci yang berada di dalam lemari pakaianku. Aku
menoleh lagi ke arahnya. Ia merapatkan genggaman tangannya seolah-olah dia
memegang pisau. Ia mengayunkan tangannya dan mengarahkannya ke bagian perut.
Aha, aku mengerti. Ia menyuruhku untuk membunuh kedua orang tuaku. Ide bagus
untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini kujalani. Namun, aku masih harus
bertarung dengan hati nuraniku. Dia menyuruhku untuk tidak melakukan tindakan
itu.
“Kalau kau masih ragu, biar aku
sendiri yang akan melakukannya.” tukas suara itu. Ia menyelipkan pisau itu ke
dalam celana pendeknya. Ia berlari kencang begitu mendengar jeritan ayah yang
memanggil namaku. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.
Ia sudah berada di hadapan orang
tuaku. Ia menantang kedua orang tuaku dengan memelototi mereka.
“Oh kamu mulai berani, ya, menantang
ayah dan ibu? Nih, rasakan!” bentak ayah sambil melayangkan tangan kanannya ke
arah pipinya. Anehnya, ia sama sekali tak merespon tamparan keras yang mendarat
di wajahnya. Yang ada, ia malah semakin berani melebarkan kelopak matanya.
“Kelihatannya kamu menikmatinya, ya,
anak sialan? Ini, ayah tambahkan lagi!” ayahku melayangkan tangan kirinya ke
arah pipinya. Namun, sekejap saja, dia menangkap pergelangan tangan ayahku dan
mengiriskan pisau ke urat nadinya. Ayah terperanjat ketika lelehan darah menetes
di permukaan lantai.
“AKH, DASAR SETAN! ANAK SETAAANNNN!”
kutuk ayah padanya. Ia tak memperdulikan sumpah serapah yang keluar dari mulut
ayahku. Ayahku jatuh berlutut di hadapannya sambil memegang pergelangan
tangannya. Melihat kesempatan itu, ia langsung menusukkan pisau itu ke leher
ayahku. Lantas, darah kental membasahi baju yang dikenakannya. Tubuh ayah
terbujur tak bernyawa di atas lantai semen.
Melihat ayah yang tewas di
tangannya, ibu mundur beberapa langkah darinya. Ibu tak sanggup menghentikan
kegilaannya begitu juga denganku. Kulihat wajah ibu pucat pias ditambah
tubuhnya menggigil tak karuan. Air matanya pelan-pelan meluruh dari pelupuk
matanya.
“Ampuni ibu, nak. Biarkan ibumu
hidup,” ibu memohon dengan suara memelas. Ia tak memperdulikan apa yang
dikatakan ibuku. Tak disangka, ia menancapkan pisau di perut ibuku sambil
memutarnya kuat. Bola mata ibuku serasa dicopot keluar. Rasa pedih yang
dialaminya, bisa jadi jauh lebih mengerikan dibanding penderitaan yang pernah
dilakukannya padaku. Dan kini ia bisa merasakannya. Belum puas melihat derita
ibuku, ia mencabut pisau itu dan menikamnya tepat di bola matanya. Yah, dia
berhasil merebut nyawa ibuku secara brutal. Bukannya bersedih, aku malah puas.
Puas sekali. Beban hidupku berkurang dratis. Aku merasa kelegaan yang luar biasa.
Itu berkat dia. Dia melakukan apa yang paling kuinginkan namun tak pernah bisa
kulakukan selama ini.
“Dia” menoleh kepadaku sambil
melemparkan seringai jahat. Aku tersentak hebat ketika melihat keadaan diriku
sendiri.
“A-a-apaan ini?! Ti-ti-tidak
mungkin! Aku tidak mungkin—” suaraku terputus. Tubuhku ambruk tak jauh dari
mayat mereka.

No comments:
Post a Comment