Sepulang
sekolah, Lina mengundang Heru dan Donni makan malam di rumahnya. Ia dan keluarganya akan
mempersiapkan sajian makanan dan minuman khas buatan keluarganya. Tentu saja
Heru dan Donni tidak menolak ajakan yang menaikkan selera makan mereka.
Sudah
kedua kalinya, Lina menatap jam analog yang terpaku di atas dinding ruang
tamunya. Ia sudah mengingatkan pada kedua teman laki-lakinya, mereka harus
datang pukul tujuh malam. Sekarang jam dinding menunjukkan pukul 07.05. Saat
prasangka mereka di alam pikirannya, suara ketukan pintu melenyapkan
lamunannya.
Tok!
Tok! Tok!
Lina
berlari kecil begitu mendengar suara ketukan dari luar. Ia sudah menduga kalau
tamunya tak lain adalah Heru dan Donni—dan itu benar. Mereka berdiri di hadapan
Lina. Mereka sama-sama mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak berlengan panjang
namun perbedaannya terletak pada warna.
“Wah,
tidak biasanya kalian rapi seperti ini,” puji Lina sambil mempersilakan mereka
masuk.
“Namanya
juga tamu. Tamu adalah raja. Tidak mungkin ‘kan, seorang raja memakai busana
yang koyak-koyak?”
“Hahaha, benar juga tuh. Ayo cepat
ke dapur, ibu dan ayahku sudah lama menunggu kalian.”
Ketiganya mempercepat langkah menuju
dapur. Di sana, ayah dan ibu sedang mengobrol sembari menunggu kedatangan putri
sulung mereka. Rafly, adiknya Lina, sedang memainkan gadget-nya.
“Ayah, Donni dan Heru sudah datang,”
panggil Lina. Ayah Lina menoleh sejenak pada putrinya.
“Oh cepat duduk, nak. Kalian hampir
saja melewatkan makan malam gratis.” Gurau ayah Lina. Mereka tertawa kecil.
Sebelum mereka menyantap hidangan, ayah Lina memimpin doa terlebih dahulu.
Semua menu yang disajikan di atas
meja makan, merupakan menu kesukaan mereka. Ikan nila panggang berolesankansambal
cabe rawit, tak henti mengepulkan uap hangat di hadapan wajah Heru. Heru tak
mampu menahan laparnya lebih lama. Ia langsung mengambil sepotong ikan panggang
lalu diletakkan di atas piring kacanya. Disusul oleh Donni yang menyambar
mangkuk besar berisi opor ayam yang tersedia di depan matanya. Makan malam yang
benar-benar nikmat bagi kedua lelaki itu. Apalagi, ditambah segelas es
kolang-kaling. Lengkaplah sudah kenikmatan dunia.
“Oh aku sempat lupa, bagaimana
dengan mas Payino? Apakah mas Payino sudah ditahan oleh pihak kepolisian?”
tanya Lina seraya menelan kunyahan nasinya.
“Polisi tidak bisa menahan mas
Payino karena belum ada keterangan dari pihak ibu Hesty. Dan kalian tahu, ibu
Hesty hampir saja membunuh istri dari ayahnya almarhum Prakoso, teman kita.”
Tatapan mata orang tua Lina kini tertuju pada Heru.
“Benarkah?” sela Lina. Heru
mengangguk kecil menjawab pertanyaan temannya. “Tapi syukurlah, beliau sudah
sadar dari koma.” Ungkap Heru.
“Satu lagi, apa yang terjadi setelah
polisi menemukan ibu Hesty?”
“Kalau itu...”
Sebuah terali besi dingin membatasi
dirinya dengan dunia luar. Seorang wanita dengan tatapan mata cekung, terus
saja menangisi boneka yang sudah rusak di bagian badannya. Ia
menimang-nimangnya seperti sedang menenangkan anak bayi yang menangis ingin
diberi asupan gizi.
“Cup, cup anakku, jangan menangis.
Ibu di sini kok. Ibu di sini,” ia terus menatap nanar boneka perempuan yang
sama sekali tidak mengeluarkan suara tangisan sedikit pun. Mulut kecilnya
terkatup erat dan membisu. Bola mata plastiknya tidak meneteskan setitik air
mata pun. Ia hanya benda mati yang diperlakukan tuannya seperti manusia biasa.
“Kamu kenapa sih dari tadi diam
melulu?! Kamu enggak dengar, ya, apa yang ibu bilang tadi, hah!” ia mengguncang
tubuh boneka berulang kali berharap boneka itu akan merespon
pertanyaannya.
Hestyani Firiawan—seorang pasien
rumah sakit jiwa yang baru satu hari berada di sana. Semenjak dirinya sadar, ia
selalu saja meraung-raung sambil memanggil nama anaknya. Bahkan, ia sempat
menjambak rambut salah satu seorang polisi yang akan membawa bonekanya ke kantor
polisi. Melihat tingkah lakunya yang brutal, mereka memutuskan untuk membawanya
ke rumah sakit jiwa.
“Dasar kurang ajar! Ibumu sudah lelah
bertanya, tetap saja enggak mau dijawab! ANAK MACAM APA KAMU INI?!” makinya
sambil melempar boneka itu ke sudut kamar. Ia merangkak perlahan menuju ranjang
sambil memeluk kedua kakinya yang telah dilipat hingga menutupi wajah.
Rambut panjangnya kusut berantakan.
Ia tak seperti Hesty yang dulu, selalu berpenampilan anggun dan menarik
perhatian orang lain. Sekarang, ia tak lebih dari seorang perempuan gila dan
menakutkan yang sering berkeliaran di jalan-jalan kota besar.
Suhu di ruangan remang-remang berukuran
3x4 meter itu menurun dratis. Hesty mendongakkan wajahnya sambil
memutar-mutarkan kepalanya mencari sumber keanehan yang pelan-pelan mencekam
dirinya. Belahan bibir pucatnya gemetar tak karuan. Pandangan matanya tak bisa
lepas dari sosok perempuan bergaun hitam yang berdiri tepat dari hadapannya.
“Ibu...”
The End

No comments:
Post a Comment