Aku
terpaku di atas pijakan kakiku. Kulihat Lili sedang asyik menghunjamkan pisau
berkali-kali ke tubuh ibu. Cipratan darah merah kental membasahi wajahnya yang
dingin dan bengis. Aku hanya bisa menangis dan meronta di dalam hati. Namun,
aku merasa seperti lepas dari belenggu neraka. Yang dibunuh Lili bukanlah ibu
kandungku. Dia adalah ibu tiriku yang merawatku semenjak aku berumur 8 tahun.
Ia selalu memaki-makiku. Ia selalu memperlakukanku layaknya binatang hina. Ia
selalu memberiku penderitaan mental yang entah kapan akan berakhir. Dan,
disinilah akhir penderitaanku.
Lili bangkit berdiri dan
mendekatiku.
“Aku sudah menyelesaikan semuanya.”
Ucapnya kaku
“Kenapa? Kenapa kau membunuhnya
sialan. Dasar kau pembunuh!” makiku kasar.
Bukannya marah dan menayangkal
tuduhanku, dia tersenyum sinis sambil berkata, “Lihat dirimu,”
Astaga! Aku tersentak bukan main.
Kaus oblong orange dan celana pendekku sudah berlumuran darah. Rambutku, wajahku,
dan tanganku bernodakan darah. Dan, tanganku memegang pisau yang digunakan Lili
untuk mencabut nyawa ibu tiriku.
“Aku bukan pembunuh! Aku bukan
pembunuh! Kamu yang membunuhnya, Lili!” jeritku histeris. Deraian air mata tak
henti membasahi wajahku. Tubuhku terasa berat hingga hampir hilang
keseimbangan.
No comments:
Post a Comment