Malam semakin mencekam. Udara dingin menggetarkan
tulang. Lelah dan penat sungguh membebani pikiran dan badan Ahmad. Ia baru saja
turun dari angkot yang membawanya pulang menuju kontrakannya. Hanya saja ia
masih harus menempuh 200 meter dari jalan menuju ke sana. Ia tak melihat
satupun tukang ojek yang biasanya beroperasi di depan jalan Cemara. Biasanya
sampai pukul sembilan malam pun mereka masih beroperasi di sana, tapi ini aneh.
Arloji Ahmad masih menunjukkan pukul setengah sembilan, namun tak satu pun
tukang ojek berada di sana—entah kemana perginya para tukang ojek. Dengan
perasaan dongkol, Ahmad harus berjalan kaki untuk sampai di kontrakannya.
Sebenarnya, ia bisa saja menerima tawaran Rio untuk
pulang bersama dengannya. Tapi, ia malah menyuruh Rio pulang lebih awal dengan
alasan pekerjaannya belum tuntas. Dan sekarang, ia agak menyesali keputusannya.
Setelah 10 menit berlalu, ia tiba di depan jalan
cemara. Dirasakannya suasana malam di jalan Cemara begitu senyap. Tak ada
lalu-lalang seorang pun sekadar lewat di sana. Bahkan, warung-warung tutup
lebih cepat—ada yang terjadi di sana?
Ahmad langsung menepis pikiran buruk mengenai cerita
Rio tadi siang dan melanjutkan perjalanannya menuju ke kontrakan. Dipandanginya
kiri dan kanan. Rumah-rumah yang berada di seberang jalan, sudah mematikan
lampu rumah bagian dalam—apakah mereka sudah tidur?
Suara derap sepatu kets yang dipakainya terdengar
oleh kedua daun telinganya. Dinginnya angin malam, sukses membuat bulu kuduknya
meremang. Ia hanya mengelus-elus pelan tengkuknya agar bulu kuduknya segera
turun.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang
anak kecil sedang menangis tersedu-sedu di depan sebuah pohon nangka yang
mempunyai tinggi dua meter.
“Kenapa ada anak kecil menangis sendirian
malam-malam begini?” tanya Ahmad membatin.
Ahmad heran, kenapa tak ada seorang pun yang
mendengar suara tangisan anak ini. Padahal,suara tangisannya lumayan keras. Tak
mungkin tak ada orang yang mendengarkannya. Ahmad yang tergerak oleh belas
kasihan menghampiri anak itu.
“Dek, kenapa kamu menangis?” tanya Ahmad padanya.
Anak kecil itu mengangkat wajahnya. Ternyata dia
adalah seorang perempuan, rambutnya pendek dengan wajah bulat dan kulit kuning langsat.
Satu hal yang membuatnya tertegun wajahnya pucat pias seperti orang yang tidak
makan berhari-hari.
“Huhuhu, bonekaku tersangkut di atas sana, kak.”
anak kecil itu mengusap air mata yang masih tersisa di pelupuk mata sambil menunjuk
ke sebuah boneka Doraemon yang tergantung di salah satu ranting pohon.
“Kalau begitu, kakak bantu kamu ambil boneka itu, ya?”
sahut Ahmad. Sang anak hanya mengangguk pelan tanda setuju.
Ahmad melepas sepatunya, meraih batang nangka lalu
menaikkan kedua tungkai kakinya. Kini, ia sudah berada di atas pohon. Ia meraih
boneka yang tersangkut di ranting dengan menggunakan tangan kirinya sambil
menjaga keseimbangannya agar tak terjatuh.
“Dek, kakak sudah dapatkan bonekanya.” seru Ahmad dari atas pohon. Anak kecil itu tak
memberi respon apapun. Ia membisu menutupi wajahnya. Setelah boneka itu
didapatkannya, Ahmad pelan-pelan turun dengan mengeratkan pegangan tangan
kirinya pada batang nangka. Sementara, tangan kanannya memegang boneka.
Ahmad sudah berada di bawah pohon. Ia segera menghampiri
anak perempuan yang sedari tadi menunggunya.
“Ini bonekanya, dik.” Ahmad menunjukkan boneka itu
di hadapannya.
Anak perempuan itu pelan-pelan mendongakkan
wajahnya. Ahmad terperanjat begitu wajah anak perempuan yang berada di
depannya, berubah 180 derajat.
Setengah wajah anak perempuan itu tinggal tulang
tengkorak yang nampak jelas oleh Ahmad. Setengah wajahnya lagi berlumuran darah
kering. Rambut panjangnya lepek oleh darah yang tersisa di batok kepalanya.
Ahmad tak sanggup berkata apapun untuk
mendeskripsikan ketakutan yang mengancam dirinya. Ahmad mencoba mundur
pelan-pelan. Anak perempuan itu masih saja menertawakan Ahmad yang takut luar
bisa memandangi dirinya.
“Khikhikhikhi!” suara lengkingan tawa dari mulut
anak perempuan itu, terdengar menyakitkan di telinga Ahmad. Ahmad memekik,
berlari secepat mungkin tanpa mempedulikan apakah anak setan itu mengikutinya
dari belakang.
Ahmad menggebrak-gebrak pagar kontrakannya, berharap
seseorang akan menghampiri dirinya. Ia tak mampu menyembunyikan ketakutan yang
mencekam dirinya. Deru napasnya seakan ikut merasakan kengerian yang dirasakan
sang pemilik tubuh. Detak jantungnya memompa udara secara cepat dan berlebihan.
“Ahmad, kamu kenapa?” tanya Rio sambil membuka
gembok yang mengunci pagar. Rupanya, Rio belum tidur. Ia masih berkutat dengan laptop-nya.
“Ah... ah... cepat buka pagarnya! Buruan!” suruh
Ahmad tak sabar.
Begitu disemprot Ahmad, Rio cepat-cepat membuka
gembok pagar. Ia memapah temannya yang terlihat kelelehan. Ahmad duduk di atas
kursi plastik. Rio membawakan segelas air hangat untuk diminum oleh temannya.
Ketika Ahmad bisa mengendalikan diri, ia mulai bercerita pada Rio, semua yang
terjadi padanya.
“Sudah kuberitahu samamu, kalau pulang, jangan di
atas jam sepuluh. Dan para penduduk yang berada di sekitar sini sudah mencoba
mengusir makhluk itu. Sepertinya, ia enggan untuk pindah dengan alasan, pohon
itu adalah “rumah” aslinya.” jelas Rio panjang lebar.
Ahmad sudah mendengar penuturan dari Rio, temannya.
Ia berjanji dalam hatinya untuk tidak pulang kerja di atas jam sepuluh malam.
Jika bosnya meminta lembur, ia akan mempertimbangkan permintaan itu secara
baik-baik dengan bosnya. Jangan sampai untuk kedua kalinya, ia bertemu dengan
anak setan itu lagi.

No comments:
Post a Comment