Rabu
melelahkan diakhiri Adi dengan meminum bandrek di alun-alun kota Kisaran.
Menghirup uap panas bandrek, menimbulkan sensasi nyaman tak terkira bagi
jiwanya. Menghilangkan kepenatan batin dan pikiran, mencari identitas sang
pembunuh sekaligus melayat penguburan anak lelaki korban pembunuhan di tempat
pemakaman umum.
Menikmati suasana alun-alun yang
begitu sunyi di tengah keramaian lalu lintas kota, merupakan cita rasa
pemandangan khas di sana. Para pekerja hilir balik ke rumah masing-masing,
menjumpai keluarga yang sudah menanti kedatangan mereka.
Adi tenggelam sesaat dalam
lamunannya. Kedua matanya melihat sebuah keluarga kecil sedang menikamati
jajanan di lapak penjual nasi goreng. Mereka tampak akrab satu sama lain. Si
anak yang diperkirakan berumur enam tahun, sedang menyendoki nasi ke dalam
mulutnya. Meskipun ada butiran nasi yang tercecer dari piring, sang ayah
memungut ceceran itu dan membuangnya jauh. Sedangkan, sang ibu mengelap
sisa-sisa nasi yang menempel di mulut anaknya dengan menggunakan tisu. Sungguh
pemandangan yang sangat dirindukan Adi.
Pernikahannya dengan Cahyana sudah
menginjak bulan keenam. Namun, rasa ingin menjadi ayah untuk anak pertamanya,
begitu menggebu-gebu di dada. Mereka berdua sudah berkonsultasi dengan dokter.
Dan dokter pun sudah memeriksa keduanya dan menjelaskan, mereka berdua
merupakan pasangan yang subur. Bisa memiliki keturunan. Namun, rasa khawatir
terselip di dalam hati Adi. Ia belum menemukan tanda-tanda Cahyana akan
mengandung. Tapi, Adi tetap meyakinkan diri kalau Tuhan pasti akan memberikan
momongan di waktu yang tepat. Hanya diperlukan doa dan kesabaran yang tinggi
untuk menunggu “titipan” itu sampai kepada mereka berdua.
Bandrek yang diminum Adi tersisa
setengah gelas lagi. Tapi, ia mulai merasakan kehangatan mulai merenggangkan
otot-ototnya yang tegang. Perut dan dadanya juga demikian. Mungkin, Adi akan
menambahkan segelas lagi untuk memulihkan tenaganya yang terkuras selama
seharian.
Ingin rasanya, Adi berjalan kaki
mengitari daerah seputar alun-alun. Sebelumnya, Adi membayar dahulu uang
bandrek yang telah diminumnya sebanyak dua gelas. Seusai dibayarnya , ia
lantasberjalan santai, memandangi langit sore kejingga-jingga yang sebentar
lagi gelap dan bertaburan miliaran bintang kerlap-kerlip. Hanya saja, waktu
belum mengizinkannya.
Ia melangkah menuju pintu keluar
alun-alun. Ada dua arah jalan yang terbentang di sana. Jalan raya sebelah kiri
menuju arah Parapat dan sebelah kanan menunjukkan arah Perdagangan dan Lima
Puluh. Adi memilih jalan di sebelah kiri. Ia melewati trotoar yang disediakan
khusus pejalan kaki. Ia melihat banyak tersebar toko-toko di sepanjang jalan.
Kebanyakan toko di sana, dimiliki oleh oleh orang-orang Tiongkok. Orang-ornag
Tiongkok dikenal ahli dalam menjalankan suatu bisnis wirausaha. Bagi mereka,
bisnis sekecil apapun bisa menghasilkan untung yang lumayan banyak asalkan
dikerjakan penuh totalitas dan keikhlasan.
Sambil berjalan, Adi merasa ada
sesuatu yang pernah dia lakukan di sana. Mungkin orang akan menyebutnya de javu. Entah kenapa, ia tidak bisa
mengingatnya lebih jelas. Seakan potongan memori yang akan diproyeksikan
otaknya, menjadi blur dan terbakar.
Adi terus saja berjalan di sepanjang
trotoar. Ia beranggapan semakin lama ia berjalan, pasti ia bisa menghadirkan
sedikit ingatannya tentang jalan ini. Nampaknya, hal itu sia-sia. Sakit
kepalanya muncul lagi di tengah keramaian. Adi memencet kepalanya dengan kedua
tangan. Otaknya serasa diguncang-guncang lalu dihempaskan ke dinding beton.
Kesakitan ini membuatnya jatuh bersujud dan hampir menangis. Ia pelan-pelan
menenggakkan posisi kakinya sambil menghirup napas kencang-kencang. Ia setengah
berlari, menyebrangi jalan raya yang tidak begitu padat. Adi masih bisa
mengendalikan dirinya walaupun rasa sakit masih mendera kepalanya.
Ia suda tiba di seberang. Sebuah
kios kecil dilengkapi dengan kaca etalase memuat macam-macam rokok, makanan,
minuman, alat-alat tulis serta obat-obatan. Adi merogoh selembaran uang dua
ribu lalu diberikannya kepada sang penjual. Ia menelan satu pil Bodrex lalu
menenggak air mineral kemasan gelas yang berada di genggamannya. Adi tak
mengerti, mengapa sakit kepala ini muncul ketika ia berusaha keras mengingat
sesuatu.
“Apa yang terjadi dengan kepalaku?
Apa aku perlu memeriksanya ke dokter?” gumam Adi sambil meringis.
Bola matanya mengerling ke arah
pasar yang berada di sebelah kirinya. Sebuah bangunan tingkat empat yang
memiliki kios atau lapak berjualan yang tidak bisa dihitung secara akurat. Jika
ditaksir kasar, bangunan ini memuat sekitar 200 kios. Setiap kios dibatasi
pilar-pilar penyangga yang kokoh. Kebanyakan kios menjual kebutuhan
sehari-hari, peralatan memasak, bumbu dan rempah-rempah, dan pakaian. Ia pernah
menemani Cahyana berbelanja pakaian dan ikan nila. Keadaan di sana begitu
pengap dan gerah. Bagaimana tidak gerah, hampir di setiap jalan, ada kios yang
menjajakan barang-barang jualan mereka. Bahkan, tidak jarang, para pengunjung
pasar bersenggolan satu sama lain kar’na sisa jalan untuk pengunjung tidak
mencukupi.
“Hey...,”
Daun telinga Adi menangkap suara
lirih berasal dari koridor pasar. Adi mencari pemilik suara lirih itu guna
menuntaskan rasa penasarannya.
Suasana di koridor pasar begitu
sunyi, berbeda saat masih pagi. Yang terdengar di sana, hanya ketukan sepatu
pantofel miliknya. Kesunyianlah yang mendominasi di sana. Dan satu-satunya
orang yang ada di sana hanyalah Adi. Gerak-gerik bola mata Adi selalu sigap dan
awas bagai mata tokek yang membidik nyamuk yang terbang di sekitar tubuhnya.
Adi menaiki tangga menuju lantai dua. Di sana, didominasi toko pakaian
tradisional dan butik.
Tapi, tak ada yang bisa diamati Adi
selain tirai-tirai alumunium menandakan bahwa kios sedang tutup. Dirinya tetap
saja berjalan tak pasti. Ketika menuju toko di sebelahnya, tangan Adi mendadak
dipelintir ke belakang. Kepalanya diantukkan ke dinding yang ada di sana. Tidak
hanya tangan dan kepalanya, tapi tubuhnya didorong lalu dibenturkan
berkali-kali ke dinding. Urat nadinya di pergelangan tangannya mulai mati rasa.
Kepalanya lagi-lagi nyeri dan pusing. Ia benar-benar tidak mengerti siapa orang
gila yang melakukan hal ini padanya.
“Hey! Siapa kamu?!” maki Adi. Ia tak
bisa leluasa menggerakkan tubuhnya karena punggungnya ditekan seseorang dari
belakang.
“Kamu tidak perlu tahu siapa namaku,
yang terpenting, aku mau memberitahumu hal yang lebih penting dari namaku,”
jawabnya dari belakang.
“Bedebah! Jangan main-main, ya sama
saya! Kalau saya bisa melepaskan diri dari kuncian ini, akan saya hajar kamu
habis-habisan!” balas Adi kesal.
“Terserah apa yang mau kamu lakukan
pada saya. Yang ingin kulakukan hanya mengingatkanmu tentang kasus yang kamu
hadapi saat ini... sebaiknya, kamu berhenti menyelidiki kasus itu, detektif,”
“Kenapa?! Apa kamu yang sudah
membunuh anak lelaki itu, hah! Jawab aku! Dasar iblis!” umpat Adi lebih kejam.
“Suatu hari, kamu pasti akan
mengetahuinya, tapi aku cuma mengingatkan kepadamu... ketahuilah siapa dirimu
sebenarnya,” pungkas sosok misterius itu.
Sosok misterius itu mencampakkan
tubuh Adi secara kasar. Wajahnya jatuh tersungkur, mencium dinginnya permukaan
lantai. Sialnya, sosok itu cepat sekali melarikan diri padahal ia baru saja
mencoba bangkit. Saat dirinya mencoba mengingat apa yang barusan terjadi,
saraf-saraf di dalam otaknya berdenyut keras. Adi merasa bebatuan besar sedang
menghujani tempurung kepalanya. Sambil menahan sakit, ia berjalan pelan-pelan
dengan berpegangan pada tiang beton.
Perlahan tapi pasti, Adi sudah bisa
mengendalikan dirinya. Tatapan matanya tetap waspada, mengamati apapun yang
menurutnya mencurigakan di sekitarnya. Hamparan langit semesta menghitam.
Cahaya bulan berpendar lemah tapi tetap indah menerangi panorama malam. Adi
sudah lama meninggalkan mobilnya di alun-alun. Kijang Innova hitamnya tetap
terparkir aman meskipun sudah tiga puluh menit berada di sana. Ia merogoh
kantong celana Lee seraya mencari
kunci mobilnya. Usai menemukan kunci, Adi memutar kunci dan pintu pun terbuka
untuknya.
Ia menutup kembali mobil sambil
memikirkan sesuatu.
ketahuilah
siapa dirimu sebenarnya...
Walaupun ia tidak tahu siapa yang
menghajarnya di dalam pasar, ia sempat mengingat kata-kata terakhir sosok
misterius itu sebelum dirinya tersungkur ke lantai.
“Apa maksud perkataannya? Apa yang
tidak kuketahui tentang diriku?”
Berbagai tanda tanya memenuhi
ruang-ruang pikirannya. Adi mencoba melupakan rangkaian pertanyaan sulit itu
sejenak. Ia memilih mengeluarkan mobilnya dahulu lalu beranjak dari sana.
Tentang dirinya, anak kecil, dan sosok misterius yang menghajarnya tadi di
pasar, akan dia pikirkan nanti di rumah bersama dengan istrinya, Cahyana.