Wednesday, 3 February 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 1



Adi berkutat dengan catatan yang saat ini masih digenggamnya. Matanya memang menatap berbagai tulisan yang ditorehkannya di sana. Tapi, pikirannya melayang jauh, memikirkan kejadian yang dialaminya tadi sore.
            Sinar matahari begitu terik di tengah penyelidikannya terhadap mayat seorang anak lelaki berumur 9 tahun. Ia tewas mengenaskan dengan sepuluh luka tusuk di bagian perut dan sebuah luka sayat di bagian leher. Adi menduga kalau korban dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Namun, siapa pelaku dan apa motifnya belum diketahui oleh Adi. Ia masih mengorek keterangan melalui para saksi yang menemukan mayat anak malang itu terdampar di tepi sungai Bahapal.
            “Jadi, apakah bapak orang pertama yang menemukan mayat itu di sana?” tanya Adi sembari mengeluarkan cacatannya dari dalam saku celananya. “Tapi sebelumnya, siapa nama bapak?”
            “Na-nama saya Imam, pak detektif.” jawab lelaki berambut cepak itu setengah gugup.
            “Jangan takut, pak Imam. Kedatangan saya bukan bermaksud menuduh Anda sebagai pelaku, melainkan meminta keterangan sebagai saksi yang pertama kali melihat korban,” jelas Adi.
            Pak Imam mengangguk pelan begitu mendengarkan penjelasan Adi.
            “Sebenarnya, bukan saya saja yang melihat mayat itu terdampar di sana. Ketika itu, saya dan bersama teman saya sedang melakukan pengorekan pasir di daerah aliran sungai ini,” tutur pak Imam.
            “Lanjutkan, pak.”
            “Awalnya, saya tidak melihat apapun yang di sekitar aliran sungai. Tapi, teman saya, Jonno, mengamati ada sesuatu sebesar ukuran tubuh manusia, tersangkut di cabang pohon rumbia. Mulanya, saya mengira kalau yang mengambang itu bangkai anjing. Tapi, Jonno mengajak saya untuk mendekati benda aneh itu. Ketika kami sudah berada di depan benda itu, Jonno mencoba melihat bagaimana wujud sebenarnya benda aneh itu. Saat kami membalikkan tubuhnya, kami berdua terlonjak kaget kalau benda itu adalah mayat seorang anak lelaki,” urai pak Imam panjang lebar.
            “Lalu, apa tindakan yang Anda lakukan setelah menemukan mayat anak lelaki itu?” tanya Adi lagi.
            “Jonno langsung menghubungi polisi dan ambulans. Sedangkan saya, memanggil warga sekitar guna mengangkut mayat jika ambulans sudah tiba. Begitulah yang bisa saya ceritakan, pak detektif.”
            Adi sudah selesai menulis semua keterangan pak Imam yang diucapkannya dalam catatannya. Ia menutup ujung pulpen, menyimpan catatannya dalam saku celananya. Ia mengambil sebatang rokok Surya dari kemasannya lalu dibakarnya di bagian ujung hingga berpijar dan mengeluarkan kepulan asap tipis.
            “Jangan panggil pak detektif. Panggil saja saya pak Adi.” ucap Adi sambil mengeluarkan asap sisa dari mulutnya.
            “Baik, pak Adi.” sahut pak Imam.
            “Tapi pak Imam, bisakah saya melakukan pemanggilan jika saya memerlukan lagi keterangan dari bapak?”
            “Boleh, pak. Tapi, hubungi saya jika bapak ingin mengundang saya ke kantor polisi.”
            “Apakah Anda mempunyai nomor telepon yang bisa dihubungi?”
            “Ada,” pak Imam mengeluarkan handphone-nya dan memberikan nomornya pada pak Adi. Sesudah memberikan nomor handphone masing-masing, pak Imam berpamitan pada pak Imam sebab ia harus melanjutkan pekerjaannya.
            Para warga dan pejalan kaki masih memadati TKP. Mereka tertarik melihat aktivitas para polisi menyisir daerah pinggiran. Para polisi masih mencari barang bukti lain guna mempermudah penyelidikan mereka mengenai identitas mayat lelaki itu. Di tengah kesibukan para polisi, para pengeruk pasir sungai masih melakukan aktivitas mereka. Para pekerja tidak terpengaruh dengan hingar bingar dan tatapan mata yang mengamati para manusia yang berbeda profesi.
            Ketika Adi membaca ulang catatannya, seorang polisi menghampiri dirinya.
            “Pak Adi, kami tidak menemukan barang-barang yang dimiliki korban di sekitar pinggiran sungai,” lapor sang polisi berpangkat Briptu.
            “Ke mana mayat anak lelaki itu dibawa?”
            “Mayat itu sudah dibawa ke rumah sakit umum terdekat, pak Adi.” Jawab sang Briptu.
            “Bisa antarkan saya ke sana?”
            Sang Briptu menyetujui permintaan sang detektif. Dengan mobil dinas sang Briptu, keduanya mengendarai mobil dengan pelan-pelan, mengingat di jalan di depan mereka masih dikerumuni banyak orang.
            Bisa dibilang, jalan menuju rumah sakit begitu dipadati ratusan mesin bermotor yang melaju kencang di jalan raya. Jalan raya juga dipenuhi ratusan anak-anak yang telah pulang menimba ilmu di sekolah. Jalan yang semula padat, terlihat kondusif begitu sang Briptu membunyikan sirine agar para pengguna jalan leluasa memberi jalan untuk sang polisi.
            Mobil sang Briptu diparkir di tempat disediakan pihak rumah sakit. Langkah keduanya begitu tegas, seolah menyakinkan para pengunjung maupun petugas rumah sakit bahwa mereka adalah orang penting.
            “Ibu, kalau boleh tahu ruang bedah di sebelah mana, ya?” tanya pak Adi pada salah satu suster yang kebetulan lewat di depan mereka.
            “Oh, ada di lantai dua. Sesudah bapak tiba di lantai dua, jalan saja terus, nanti belok kiri. Ruang bedah berada di sebelah laboratorium.” jelas sang suster.
            “Terimakasih atas penjelasannya, ibu suster.” balas pak Adi sembari mengulas senyum tipis.
            Keduanya melakukan sesuai yang dikatakan oleh suster tadi. Memang, posisi mereka berada di lantai satu di koridor rumah sakit.
            Rumah sakit ini sudah dibangun sejak 24 tahun lalu, terdapat kurang lebih 14 ruangan dan salah satu ruangan yang mereka cari adalah ruang bedah. Tidak sampai semenit, mereka sudah berada di lantai dua. Tepat yang dikatakan oleh sang suster. Lantai dua juga terdapat meja tunggu, yang didalamnya terdapat seorang petugas rumah sakit.
            Keduanya menanya lagi pada petugas di meja tunggu, memastikan lagi keberadaan ruangan yang mereka cari.
            “Permisi, kalau boleh tahu ruangan bedah di mana, ya? tanya sang Briptu.
            “Oh, bapak jalan lurus saja dari sini. Setelah itu, belok sebelah kiri. Ruang bedah berjarak tiga blok dari ruang laboratorium rumah sakit.” Jelas sang petugas.
            Hal yang sama diutarakan oleh sang petugas. Setelah mengucapkan terimakasih, keduanya melanjutkan perjalanan menuju ruangan bedah. Tidak terlalu jauh, diperkirakan hanya berjarak 50 meter dari meja tunggu.
            RUANG BEDAH
            Keduanya membaca plangkat yang terpampang di atas sana. Dan memang, keduanya tepat berada di hadapan pintu ruang itu. Adi hanya mengetuk pintu sekali kemudian mendorong gagang pintu. Di sana, terdapat beberapa dokter berpakaian hijau sedang memegang pisau bedah.
            “Selamat siang, dokter. Maaf mengganggu kerja Anda. Apakah mayat ini sudah selesai diautopsi?”
            “Ya kami hampir selesai mengautopsi mayat ini. Kami punya dugaan bahwa korban terlebih dahulu mengalami pelecehan seksual oleh pelaku.”
            “Pelecehan seksual?” sambung sang Briptu.
            “Ya, betul sekali. Ada luka memar akibat benda tumpul sekitar lubang anusnya. Kami berpendapat bahwa pelaku menyodomi korban sebelum dibunuh.”
            Adi sedikit merinding mendengar penjelasan sang dokter bedah sekaligus ahli forensik. Ia memang tak bisa menyangkal bahwa orang-orang dengan kelainan seks menyimpang, akan terus berkeliaran di masyarakat jika keberadaan mereka dibiarkan begitu saja. Dan sekarang, para predator “seks” mengincar anak-anak di bawah umur. Bahaya kehancuran mental dan pikiran mengancam apabila mereka jadi korban kebejadan predator seks. Dan bisa saja, para korban nantinya akan menjadi pelaku dan melakukan hal yang sama, seperti yang pernah dialaminya.
            Adi tersentak ketika istrinya merangkul mesra di bagian lehernya. Memang, Adi selalu serius ketika ia sedang meneliti bukti dan keterangan yang diperolehnya selama dirinya menangani kasus kejahatan. Baginya, segala sesuatu yang dilakukan istrinya, Cahyana, selalu membuatnya tentram dalam menemukan benang merah dari kasus-kasusnya.
            “Sayang, kamu kelihatan serius banget, sampai-sampai kamu nggak tahu aku datang ke sini,” ucapnya manja.
            Adi memutarkan kepalanya ke belakang, mencium pipi kanan istrinya lalu menjawab, “Bisa dibilang ini kasus pembunuhan dan kekerasan seksual yang baru pertama kali kuselidiki, Yana,” balas Adi.
            “Siapa yang menjadi korban?”
            Adi memutar kursinya ke belakang, memberikan beberapa lembar foto mayat anak laki-laki yang ditemukan penggali pasir tadi siang.
            “Astaga, apa-apaan ini?!” Cahyana sempat menutup mulutnya sebentar melihat kondisi mayat yang mengenaskan. Tubuhnya menggembung, mengeluarkan nanah kuning di bagian tubuh yang terkoyak senjata tajam.
            “Memang, para dokter belum menemukan identitas dari mayat anak laki-laki itu. Tapi, aku berkeinginan menangkap sang pelaku dengan usahaku sendiri. Aku tidak mau si pembunuh bejad itu berkeliaran dan melampiaskan nafsu binatanganya.” ungkap Adi mantap.
            Cahyana bisa melihat kobaran semangat terpancar dari kedua bola matanya. Suatu semangat untuk memberantas aksi kejahatan sampai ke akar-akarnya. Tentu saja, hal ini yang membuat Cahyana semakin mencintai suaminya. Penuh gairah dan selalu fokus pada satu tujuan, itulah sifat yang terlihat oleh Cahyana dari diri suaminya.
            “Biar kamu semangat, aku sudah seduh secangkir kopi luwak untuk kamu.” Cahyana meletakkan secangkir kopi luwak beserta dengan tatakannya di atas meja kerja Adi.
            “Makasih ya, sayang.” Adi tersenyum puas melihat sang istri membawakan minuman kesukaannya.
            “Tapi kamu menyusul, ya, ke kamar.” tutup Cahyana meninggalkan ruang kerja suaminya.

No comments:

Post a Comment