Adi
berkutat dengan catatan yang saat ini masih digenggamnya. Matanya memang
menatap berbagai tulisan yang ditorehkannya di sana. Tapi, pikirannya melayang
jauh, memikirkan kejadian yang dialaminya tadi sore.
Sinar matahari begitu terik di
tengah penyelidikannya terhadap mayat seorang anak lelaki berumur 9 tahun. Ia
tewas mengenaskan dengan sepuluh luka tusuk di bagian perut dan sebuah luka
sayat di bagian leher. Adi menduga kalau korban dibunuh dengan menggunakan
senjata tajam. Namun, siapa pelaku dan apa motifnya belum diketahui oleh Adi.
Ia masih mengorek keterangan melalui para saksi yang menemukan mayat anak
malang itu terdampar di tepi sungai Bahapal.
“Jadi, apakah bapak orang pertama
yang menemukan mayat itu di sana?” tanya Adi sembari mengeluarkan cacatannya
dari dalam saku celananya. “Tapi sebelumnya, siapa nama bapak?”
“Na-nama saya Imam, pak detektif.”
jawab lelaki berambut cepak itu setengah gugup.
“Jangan takut, pak Imam. Kedatangan
saya bukan bermaksud menuduh Anda sebagai pelaku, melainkan meminta keterangan
sebagai saksi yang pertama kali melihat korban,” jelas Adi.
Pak Imam mengangguk pelan begitu
mendengarkan penjelasan Adi.
“Sebenarnya, bukan saya saja yang
melihat mayat itu terdampar di sana. Ketika itu, saya dan bersama teman saya
sedang melakukan pengorekan pasir di daerah aliran sungai ini,” tutur pak Imam.
“Lanjutkan, pak.”
“Awalnya, saya tidak melihat apapun
yang di sekitar aliran sungai. Tapi, teman saya, Jonno, mengamati ada sesuatu
sebesar ukuran tubuh manusia, tersangkut di cabang pohon rumbia. Mulanya, saya
mengira kalau yang mengambang itu bangkai anjing. Tapi, Jonno mengajak saya
untuk mendekati benda aneh itu. Ketika kami sudah berada di depan benda itu,
Jonno mencoba melihat bagaimana wujud sebenarnya benda aneh itu. Saat kami
membalikkan tubuhnya, kami berdua terlonjak kaget kalau benda itu adalah mayat
seorang anak lelaki,” urai pak Imam panjang lebar.
“Lalu, apa tindakan yang Anda
lakukan setelah menemukan mayat anak lelaki itu?” tanya Adi lagi.
“Jonno langsung menghubungi polisi
dan ambulans. Sedangkan saya, memanggil warga sekitar guna mengangkut mayat
jika ambulans sudah tiba. Begitulah yang bisa saya ceritakan, pak detektif.”
Adi sudah selesai menulis semua
keterangan pak Imam yang diucapkannya dalam catatannya. Ia menutup ujung
pulpen, menyimpan catatannya dalam saku celananya. Ia mengambil sebatang rokok Surya dari kemasannya lalu dibakarnya di
bagian ujung hingga berpijar dan mengeluarkan kepulan asap tipis.
“Jangan panggil pak detektif.
Panggil saja saya pak Adi.” ucap Adi sambil mengeluarkan asap sisa dari
mulutnya.
“Baik, pak Adi.” sahut pak Imam.
“Tapi pak Imam, bisakah saya
melakukan pemanggilan jika saya memerlukan lagi keterangan dari bapak?”
“Boleh, pak. Tapi, hubungi saya jika
bapak ingin mengundang saya ke kantor polisi.”
“Apakah Anda mempunyai nomor telepon
yang bisa dihubungi?”
“Ada,” pak Imam mengeluarkan handphone-nya dan memberikan nomornya
pada pak Adi. Sesudah memberikan nomor handphone
masing-masing, pak Imam berpamitan pada pak Imam sebab ia harus melanjutkan
pekerjaannya.
Para warga dan pejalan kaki masih
memadati TKP. Mereka tertarik melihat aktivitas para polisi menyisir daerah
pinggiran. Para polisi masih mencari barang bukti lain guna mempermudah
penyelidikan mereka mengenai identitas mayat lelaki itu. Di tengah kesibukan
para polisi, para pengeruk pasir sungai masih melakukan aktivitas mereka. Para
pekerja tidak terpengaruh dengan hingar bingar dan tatapan mata yang mengamati
para manusia yang berbeda profesi.
Ketika Adi membaca ulang catatannya,
seorang polisi menghampiri dirinya.
“Pak Adi, kami tidak menemukan
barang-barang yang dimiliki korban di sekitar pinggiran sungai,” lapor sang
polisi berpangkat Briptu.
“Ke mana mayat anak lelaki itu
dibawa?”
“Mayat itu sudah dibawa ke rumah
sakit umum terdekat, pak Adi.” Jawab sang Briptu.
“Bisa antarkan saya ke sana?”
Sang Briptu menyetujui permintaan
sang detektif. Dengan mobil dinas sang Briptu, keduanya mengendarai mobil
dengan pelan-pelan, mengingat di jalan di depan mereka masih dikerumuni banyak
orang.
Bisa dibilang, jalan menuju rumah
sakit begitu dipadati ratusan mesin bermotor yang melaju kencang di jalan raya.
Jalan raya juga dipenuhi ratusan anak-anak yang telah pulang menimba ilmu di
sekolah. Jalan yang semula padat, terlihat kondusif begitu sang Briptu
membunyikan sirine agar para pengguna jalan leluasa memberi jalan untuk sang
polisi.
Mobil sang Briptu diparkir di tempat
disediakan pihak rumah sakit. Langkah keduanya begitu tegas, seolah menyakinkan
para pengunjung maupun petugas rumah sakit bahwa mereka adalah orang penting.
“Ibu, kalau boleh tahu ruang bedah
di sebelah mana, ya?” tanya pak Adi pada salah satu suster yang kebetulan lewat
di depan mereka.
“Oh, ada di lantai dua. Sesudah
bapak tiba di lantai dua, jalan saja terus, nanti belok kiri. Ruang bedah
berada di sebelah laboratorium.” jelas sang suster.
“Terimakasih atas penjelasannya, ibu
suster.” balas pak Adi sembari mengulas senyum tipis.
Keduanya melakukan sesuai yang
dikatakan oleh suster tadi. Memang, posisi mereka berada di lantai satu di
koridor rumah sakit.
Rumah sakit ini sudah dibangun sejak
24 tahun lalu, terdapat kurang lebih 14 ruangan dan salah satu ruangan yang
mereka cari adalah ruang bedah. Tidak sampai semenit, mereka sudah berada di
lantai dua. Tepat yang dikatakan oleh sang suster. Lantai dua juga terdapat
meja tunggu, yang didalamnya terdapat seorang petugas rumah sakit.
Keduanya menanya lagi pada petugas
di meja tunggu, memastikan lagi keberadaan ruangan yang mereka cari.
“Permisi, kalau boleh tahu ruangan
bedah di mana, ya? tanya sang Briptu.
“Oh, bapak jalan lurus saja dari
sini. Setelah itu, belok sebelah kiri. Ruang bedah berjarak tiga blok dari
ruang laboratorium rumah sakit.” Jelas sang petugas.
Hal yang sama diutarakan oleh sang
petugas. Setelah mengucapkan terimakasih, keduanya melanjutkan perjalanan
menuju ruangan bedah. Tidak terlalu jauh, diperkirakan hanya berjarak 50 meter
dari meja tunggu.
RUANG
BEDAH
Keduanya membaca plangkat yang terpampang di atas
sana. Dan memang, keduanya tepat berada di hadapan pintu ruang itu. Adi hanya
mengetuk pintu sekali kemudian mendorong gagang pintu. Di sana, terdapat
beberapa dokter berpakaian hijau sedang memegang pisau bedah.
“Selamat siang, dokter. Maaf
mengganggu kerja Anda. Apakah mayat ini sudah selesai diautopsi?”
“Ya kami hampir selesai mengautopsi
mayat ini. Kami punya dugaan bahwa korban terlebih dahulu mengalami pelecehan
seksual oleh pelaku.”
“Pelecehan seksual?” sambung sang
Briptu.
“Ya, betul sekali. Ada luka memar
akibat benda tumpul sekitar lubang anusnya. Kami berpendapat bahwa pelaku
menyodomi korban sebelum dibunuh.”
Adi sedikit merinding mendengar
penjelasan sang dokter bedah sekaligus ahli forensik. Ia memang tak bisa
menyangkal bahwa orang-orang dengan kelainan seks menyimpang, akan terus
berkeliaran di masyarakat jika keberadaan mereka dibiarkan begitu saja. Dan
sekarang, para predator “seks” mengincar anak-anak di bawah umur. Bahaya
kehancuran mental dan pikiran mengancam apabila mereka jadi korban kebejadan
predator seks. Dan bisa saja, para korban nantinya akan menjadi pelaku dan
melakukan hal yang sama, seperti yang pernah dialaminya.
Adi tersentak ketika istrinya
merangkul mesra di bagian lehernya. Memang, Adi selalu serius ketika ia sedang
meneliti bukti dan keterangan yang diperolehnya selama dirinya menangani kasus
kejahatan. Baginya, segala sesuatu yang dilakukan istrinya, Cahyana, selalu
membuatnya tentram dalam menemukan benang merah dari kasus-kasusnya.
“Sayang, kamu kelihatan serius
banget, sampai-sampai kamu nggak tahu aku datang ke sini,” ucapnya manja.
Adi memutarkan kepalanya ke
belakang, mencium pipi kanan istrinya lalu menjawab, “Bisa dibilang ini kasus
pembunuhan dan kekerasan seksual yang baru pertama kali kuselidiki, Yana,” balas
Adi.
“Siapa yang menjadi korban?”
Adi memutar kursinya ke belakang,
memberikan beberapa lembar foto mayat anak laki-laki yang ditemukan penggali
pasir tadi siang.
“Astaga, apa-apaan ini?!” Cahyana
sempat menutup mulutnya sebentar melihat kondisi mayat yang mengenaskan.
Tubuhnya menggembung, mengeluarkan nanah kuning di bagian tubuh yang terkoyak
senjata tajam.
“Memang, para dokter belum menemukan
identitas dari mayat anak laki-laki itu. Tapi, aku berkeinginan menangkap sang
pelaku dengan usahaku sendiri. Aku tidak mau si pembunuh bejad itu berkeliaran
dan melampiaskan nafsu binatanganya.” ungkap Adi mantap.
Cahyana bisa melihat kobaran
semangat terpancar dari kedua bola matanya. Suatu semangat untuk memberantas
aksi kejahatan sampai ke akar-akarnya. Tentu saja, hal ini yang membuat Cahyana
semakin mencintai suaminya. Penuh gairah dan selalu fokus pada satu tujuan,
itulah sifat yang terlihat oleh Cahyana dari diri suaminya.
“Biar kamu semangat, aku sudah seduh
secangkir kopi luwak untuk kamu.” Cahyana meletakkan secangkir kopi luwak
beserta dengan tatakannya di atas meja kerja Adi.
“Makasih ya, sayang.” Adi tersenyum
puas melihat sang istri membawakan minuman kesukaannya.
“Tapi kamu menyusul, ya, ke kamar.”
tutup Cahyana meninggalkan ruang kerja suaminya.

No comments:
Post a Comment