Wednesday, 24 February 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 4



Rabu melelahkan diakhiri Adi dengan meminum bandrek di alun-alun kota Kisaran. Menghirup uap panas bandrek, menimbulkan sensasi nyaman tak terkira bagi jiwanya. Menghilangkan kepenatan batin dan pikiran, mencari identitas sang pembunuh sekaligus melayat penguburan anak lelaki korban pembunuhan di tempat pemakaman umum.
            Menikmati suasana alun-alun yang begitu sunyi di tengah keramaian lalu lintas kota, merupakan cita rasa pemandangan khas di sana. Para pekerja hilir balik ke rumah masing-masing, menjumpai keluarga yang sudah menanti kedatangan mereka.
            Adi tenggelam sesaat dalam lamunannya. Kedua matanya melihat sebuah keluarga kecil sedang menikamati jajanan di lapak penjual nasi goreng. Mereka tampak akrab satu sama lain. Si anak yang diperkirakan berumur enam tahun, sedang menyendoki nasi ke dalam mulutnya. Meskipun ada butiran nasi yang tercecer dari piring, sang ayah memungut ceceran itu dan membuangnya jauh. Sedangkan, sang ibu mengelap sisa-sisa nasi yang menempel di mulut anaknya dengan menggunakan tisu. Sungguh pemandangan yang sangat dirindukan Adi.
            Pernikahannya dengan Cahyana sudah menginjak bulan keenam. Namun, rasa ingin menjadi ayah untuk anak pertamanya, begitu menggebu-gebu di dada. Mereka berdua sudah berkonsultasi dengan dokter. Dan dokter pun sudah memeriksa keduanya dan menjelaskan, mereka berdua merupakan pasangan yang subur. Bisa memiliki keturunan. Namun, rasa khawatir terselip di dalam hati Adi. Ia belum menemukan tanda-tanda Cahyana akan mengandung. Tapi, Adi tetap meyakinkan diri kalau Tuhan pasti akan memberikan momongan di waktu yang tepat. Hanya diperlukan doa dan kesabaran yang tinggi untuk menunggu “titipan” itu sampai kepada mereka berdua.
            Bandrek yang diminum Adi tersisa setengah gelas lagi. Tapi, ia mulai merasakan kehangatan mulai merenggangkan otot-ototnya yang tegang. Perut dan dadanya juga demikian. Mungkin, Adi akan menambahkan segelas lagi untuk memulihkan tenaganya yang terkuras selama seharian.
            Ingin rasanya, Adi berjalan kaki mengitari daerah seputar alun-alun. Sebelumnya, Adi membayar dahulu uang bandrek yang telah diminumnya sebanyak dua gelas. Seusai dibayarnya , ia lantasberjalan santai, memandangi langit sore kejingga-jingga yang sebentar lagi gelap dan bertaburan miliaran bintang kerlap-kerlip. Hanya saja, waktu belum mengizinkannya.
            Ia melangkah menuju pintu keluar alun-alun. Ada dua arah jalan yang terbentang di sana. Jalan raya sebelah kiri menuju arah Parapat dan sebelah kanan menunjukkan arah Perdagangan dan Lima Puluh. Adi memilih jalan di sebelah kiri. Ia melewati trotoar yang disediakan khusus pejalan kaki. Ia melihat banyak tersebar toko-toko di sepanjang jalan. Kebanyakan toko di sana, dimiliki oleh oleh orang-orang Tiongkok. Orang-ornag Tiongkok dikenal ahli dalam menjalankan suatu bisnis wirausaha. Bagi mereka, bisnis sekecil apapun bisa menghasilkan untung yang lumayan banyak asalkan dikerjakan penuh totalitas dan keikhlasan.
            Sambil berjalan, Adi merasa ada sesuatu yang pernah dia lakukan di sana. Mungkin orang akan menyebutnya de javu. Entah kenapa, ia tidak bisa mengingatnya lebih jelas. Seakan potongan memori yang akan diproyeksikan otaknya, menjadi blur dan terbakar.
            Adi terus saja berjalan di sepanjang trotoar. Ia beranggapan semakin lama ia berjalan, pasti ia bisa menghadirkan sedikit ingatannya tentang jalan ini. Nampaknya, hal itu sia-sia. Sakit kepalanya muncul lagi di tengah keramaian. Adi memencet kepalanya dengan kedua tangan. Otaknya serasa diguncang-guncang lalu dihempaskan ke dinding beton. Kesakitan ini membuatnya jatuh bersujud dan hampir menangis. Ia pelan-pelan menenggakkan posisi kakinya sambil menghirup napas kencang-kencang. Ia setengah berlari, menyebrangi jalan raya yang tidak begitu padat. Adi masih bisa mengendalikan dirinya walaupun rasa sakit masih mendera kepalanya.
            Ia suda tiba di seberang. Sebuah kios kecil dilengkapi dengan kaca etalase memuat macam-macam rokok, makanan, minuman, alat-alat tulis serta obat-obatan. Adi merogoh selembaran uang dua ribu lalu diberikannya kepada sang penjual. Ia menelan satu pil Bodrex lalu menenggak air mineral kemasan gelas yang berada di genggamannya. Adi tak mengerti, mengapa sakit kepala ini muncul ketika ia berusaha keras mengingat sesuatu.
            “Apa yang terjadi dengan kepalaku? Apa aku perlu memeriksanya ke dokter?” gumam Adi sambil meringis.
            Bola matanya mengerling ke arah pasar yang berada di sebelah kirinya. Sebuah bangunan tingkat empat yang memiliki kios atau lapak berjualan yang tidak bisa dihitung secara akurat. Jika ditaksir kasar, bangunan ini memuat sekitar 200 kios. Setiap kios dibatasi pilar-pilar penyangga yang kokoh. Kebanyakan kios menjual kebutuhan sehari-hari, peralatan memasak, bumbu dan rempah-rempah, dan pakaian. Ia pernah menemani Cahyana berbelanja pakaian dan ikan nila. Keadaan di sana begitu pengap dan gerah. Bagaimana tidak gerah, hampir di setiap jalan, ada kios yang menjajakan barang-barang jualan mereka. Bahkan, tidak jarang, para pengunjung pasar bersenggolan satu sama lain kar’na sisa jalan untuk pengunjung tidak mencukupi.
            “Hey...,”
            Daun telinga Adi menangkap suara lirih berasal dari koridor pasar. Adi mencari pemilik suara lirih itu guna menuntaskan rasa penasarannya.
            Suasana di koridor pasar begitu sunyi, berbeda saat masih pagi. Yang terdengar di sana, hanya ketukan sepatu pantofel miliknya. Kesunyianlah yang mendominasi di sana. Dan satu-satunya orang yang ada di sana hanyalah Adi. Gerak-gerik bola mata Adi selalu sigap dan awas bagai mata tokek yang membidik nyamuk yang terbang di sekitar tubuhnya. Adi menaiki tangga menuju lantai dua. Di sana, didominasi toko pakaian tradisional dan butik.
            Tapi, tak ada yang bisa diamati Adi selain tirai-tirai alumunium menandakan bahwa kios sedang tutup. Dirinya tetap saja berjalan tak pasti. Ketika menuju toko di sebelahnya, tangan Adi mendadak dipelintir ke belakang. Kepalanya diantukkan ke dinding yang ada di sana. Tidak hanya tangan dan kepalanya, tapi tubuhnya didorong lalu dibenturkan berkali-kali ke dinding. Urat nadinya di pergelangan tangannya mulai mati rasa. Kepalanya lagi-lagi nyeri dan pusing. Ia benar-benar tidak mengerti siapa orang gila yang melakukan hal ini padanya.
            “Hey! Siapa kamu?!” maki Adi. Ia tak bisa leluasa menggerakkan tubuhnya karena punggungnya ditekan seseorang dari belakang.
            “Kamu tidak perlu tahu siapa namaku, yang terpenting, aku mau memberitahumu hal yang lebih penting dari namaku,” jawabnya dari belakang.
            “Bedebah! Jangan main-main, ya sama saya! Kalau saya bisa melepaskan diri dari kuncian ini, akan saya hajar kamu habis-habisan!” balas Adi kesal.
            “Terserah apa yang mau kamu lakukan pada saya. Yang ingin kulakukan hanya mengingatkanmu tentang kasus yang kamu hadapi saat ini... sebaiknya, kamu berhenti menyelidiki kasus itu, detektif,”
            “Kenapa?! Apa kamu yang sudah membunuh anak lelaki itu, hah! Jawab aku! Dasar iblis!” umpat Adi lebih kejam.
            “Suatu hari, kamu pasti akan mengetahuinya, tapi aku cuma mengingatkan kepadamu... ketahuilah siapa dirimu sebenarnya,” pungkas sosok misterius itu.
            Sosok misterius itu mencampakkan tubuh Adi secara kasar. Wajahnya jatuh tersungkur, mencium dinginnya permukaan lantai. Sialnya, sosok itu cepat sekali melarikan diri padahal ia baru saja mencoba bangkit. Saat dirinya mencoba mengingat apa yang barusan terjadi, saraf-saraf di dalam otaknya berdenyut keras. Adi merasa bebatuan besar sedang menghujani tempurung kepalanya. Sambil menahan sakit, ia berjalan pelan-pelan dengan berpegangan pada tiang beton.
            Perlahan tapi pasti, Adi sudah bisa mengendalikan dirinya. Tatapan matanya tetap waspada, mengamati apapun yang menurutnya mencurigakan di sekitarnya. Hamparan langit semesta menghitam. Cahaya bulan berpendar lemah tapi tetap indah menerangi panorama malam. Adi sudah lama meninggalkan mobilnya di alun-alun. Kijang Innova hitamnya tetap terparkir aman meskipun sudah tiga puluh menit berada di sana. Ia merogoh kantong celana Lee seraya mencari kunci mobilnya. Usai menemukan kunci, Adi memutar kunci dan pintu pun terbuka untuknya.
            Ia menutup kembali mobil sambil memikirkan sesuatu.
            ketahuilah siapa dirimu sebenarnya...
            Walaupun ia tidak tahu siapa yang menghajarnya di dalam pasar, ia sempat mengingat kata-kata terakhir sosok misterius itu sebelum dirinya tersungkur ke lantai.
            “Apa maksud perkataannya? Apa yang tidak kuketahui tentang diriku?”
            Berbagai tanda tanya memenuhi ruang-ruang pikirannya. Adi mencoba melupakan rangkaian pertanyaan sulit itu sejenak. Ia memilih mengeluarkan mobilnya dahulu lalu beranjak dari sana. Tentang dirinya, anak kecil, dan sosok misterius yang menghajarnya tadi di pasar, akan dia pikirkan nanti di rumah bersama dengan istrinya, Cahyana.

No comments:

Post a Comment