Roda
mobil Kijang Inova bergulir cepat
membelah jalan raya yang lengang. Arloji yang melekat di tangan kanannya
menunjukkan pukul sepuluh malam. Meskipun jalan di sekitar jantung kota begitu
ramai, namun lalu lalang manusia mulai berkurang jumlahnya. Selepas bekerja,
Santoso mengelilingi kota, mencari sesuatu yang bisa melepas kepenatannya.
Begitu banyak para wanita
berpenampilan sensual dengan model pakaian yang menggoda nafsu birahi, hilir
mudik memenuhi jalur trotoar. Tapi, tatapannya tertuju pada seorang anak lelaki
dekil tertidur di depan emperan toko butik. Empati Santoso tergerak melihat
kondisi sang anak yang tidak layak. Kaus oblong merah yang melekat di badannya
tak lagi cerah. Berbagai debu, sinar matahari, dan kotoran melekat dan menguar
aroma yang tak sedap. Ia yakin anak itu juga pasti mual mencium aroma badannya
sendiri. Santoso mematikan mesin mobilnya, membuka pintu kemudian menghampiri
anak itu.
“Nak, ayo ikut sama om,” ajak
Santoso.
“Mau ke mana, om? Saya tidak punya
orang tua dan sanak saudara. Saya hidup sebatang kara.” Lirih anak itu.
“Kamu ikut ke rumah om saja. Nanti
di rumah om, kamu mandi dan ganti bajumu.”
“Om serius, ‘kan?” tanya anak itu
agak ragu.
Santoso mengangguk sekali, menjawab
pertanyaan anak itu. Setelah mendapatkan restu dari anak itu, Santoso
menggandeng tangan sang anak menuju mobilnya.
Santoso menyetir dengan kecepatan
minimun sehingga mobil melaju agak pelan. Ia ingin menghabiskan waktu,
berbicara mengenai siapa nama dan asal-usul anak itu.
“Jadi, kamu memang benar-benar anak
yatim piatu?” tanya Santoso sambil melirik sekilas.
Anak lelaki itu memilih diam
sebentar, menata kata-kata yang pantas untuk menjadi jawabannya.
“Sebenarnya tidak, om,” jawabnya
pelan.
“Maksud kamu?” tanya Santoso balik.
“Saya tinggal bersama ibunya saya.
Ayah saya meninggal dunia karena sakit jantung. Tiga bulan setelah ayah
meninggal, ibu menikah lagi dengan seorang dokter. Ketika hari pernikahan
mereka lewat empat hari, saya terkejut, ibu kandung dan ayah tiri saya
meninggalkan saya tanpa ada pesan apapun... Aku berjanji pada diriku sendiri,
jika aku menemukan mereka, aku akan membantai mereka tanpa ampun! Aku janji!” ungkap
anak lelaki itu geram. Tatapan matanya tajam dan menyala. Dendam kesumat telah
membakar hatinya hingga menjadi bara kebencian.
Namun, Santoso hanya mengulas senyum
licik yang menghilang dalam sekejap. Air mukanya berganti murung ketika anak
lelaki itu memandang wajahnya. Mencari jawaban atas semua cerita masa lalu yang
diutarakannya.
“Kalau boleh tahu, namamu siapa,
nak?”
“Rizal, om. Kalau om sendiri?”
“Santoso.” Jawabnya singkat sembari
fokus pada setirnya.
Tidak ada respon yang diberikan
Santoso tentang cerita masa lalu Rizal. Ia menyesal mengapa ia begitu mudahnya
bercerita kepada orang asing yang baru dikenalnya.
Perjalanan mereka cukup jauh
melewati jantung kota Siantar. Mereka melewati sebuah hutan karet yang luasnya
lebih dari tiga hektar. Santoso memperlambat laju mobilnya, memasuki kawasan
hutan. Rizal heran apa yang akan dilakukan Santoso di sana.
“Apa yang kita lakukan di sini, om?”
“Om mau buang air kecil dulu, kamu
nggak ikut?”
“Sebentar lagi, setelah om selesai.”
Mendengar jawaban dari Rizal,
Santoso menekan kenop pintu samping. Begitu tubuhnya keluar, ia menutupnya
kembali. Santoso berjalan dalam hamparan jati yang diselimuti kegelapan
mencekam.
Rizal sudah menunggu lima menit
lebih dalam mobil. Ia tampak gelisah. Santoso belum kembali ke mobilnya. Ia takut
hal buruk akan terjadi pada Santoso. Rizal memilih turun dari mobil, mencari
keberadaan Santoso, meskipun ia rada takut melihat kondisi hutan yang angker.
Rizal terus memperhatikan langkah
kakinya. Bola matanya berputar liar. Seolah tak ingin lengah, jika ada sesuatu
yang hendak mengincarnya dari arah mana pun. Ia berhenti sejenak. Selain gelap,
hutan jati ini lumayan sunyi. Rizal harus mengusap tengkuknya, menurunkan bulu
kuduknya yang meremang.
Ketika ia ingin melangkah lagi, daun
telinganya menangkap suara kaki menginjak dedaunan jati yang telah mengering.
Rizal memalingkan kepalanya ke kanan. Ia betul-betul yakin kalau suara dedaunan
yang diinjak itu, berasal dari sana. Ia yakin ada sesuatu yang bersembunyi di
balik batang pohon jati. Selangkah demi selangkah, Rizal sudah berada di
hadapan pohon itu. Ia tinggal memajukan kepala lalu mengetahui apa atau siapa yang
berusaha ingin menakutinya.
Rizal dikejutkan ketika seorang
membanting tubuhnya hingga wajahnya menyentuh permukaan tanah. Belum sempat
berdiri, sosok itu menindih badannya hingga ia sulit bergerak. Rizal sebisa
mungkin menyingkirkan tindihan tubuh besar itu. Tapi apa daya, kekuatannya
tidak sebanding dengan kekuatan si penindih. Walau dalam kondisi terhimpit,
Rizal mulai mengenai sosok wajah yang menindih tubuhnya saat ini.
“Om Santoso?! Ke-kenapa om melakukan
hal ini?” tanya Rizal tak percaya.
Tak diduga, Santoso malah
mencengkeram wajahnya dengan tangannya.
“Jangan macam-macam sama saya,”
Santoso menarik pisau yang terselip di pinggang celana anak lelaki itu dan
menempelkannya di leher Rizal.
“Atau leher kamu saya gorok!” gertak
Santoso.
Rizal mati kutu. Ia tak bisa berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa memasrahkan dirinya di tangan Santoso. Santoso
membalikkan tubuh Rizal kasar. Sambil memegang pisau di leher Rizal, ia
menyuruhnya merangkak di hadapannya. Santoso menarik celana Rizal sambil
melepaskan ikat pinggang ynag melingkar di perutnya.
Begitu celananya terlepas, Santoso
melakukan nafsu bejadnya kepada anak lelaki yang malang itu. Tangisan Rizal
memilukan diikuti jeritan lemahnya, menahan rasa perih di bagian belakangnya.
Namun, Santoso tak memperdulikan kesakitan yang dialami anak lelaki itu. Ia
terus saja menggoyang tubuhnya sambil merasakan kenikmatan dunia yang sedang
merajai pikirannya.
Santoso melolong meresapi ujung
kenikmatan seksnya. Santoso menjatuhkan wajahnya di punggung Rizal semantara
itu, tubuh Rizal ambruk di atas tanah. Kedua tangannya tak mampu menopang
tubuhnya yang dicengkeram rasa sakit dan perih yang menjalar ke seluruh
tubuhnya.
Diam-diam, Santoso meraih pisau yang
berada di sampingnya. Ia menjambak rambut Rizal hingga kepalanya menengadah.
Rizal meraung, membiarkan sakit yang menyentuh sampai ke akar rambutnya.
“Aku akan mengakhiri penderitaanmu,
nak.” bisik Santoso di daun telinga Rizal.
Santoso menekan ujung pisau mulai
dari sebelah kanan batang leher Rizal. Ia meneruskannya hingga mencapai sebelah
kanan. Pelan tapi pasti, darah segar mengucur deras dari hasil sayatan pisau di
batang leher Rizal. Suara Rizal serak tertahan merasakan kepedihan luar biasa
ketika darah sudah membasahi baju yang dikenakannya. Ia tak dapat bertahan
lama.
Untuk memastikan anak lelaki itu
telah tewas, Santoso membalikkan badannya lalu ia menghantamkan pisau
berkali-kali di tubuh Rizal. Tikaman pisau tak tentu arah itu, mencipratkan
sedikit darah ke wajah Santoso. Ia menjilat darah yang menempel di wajahnya.
Kini, ia telah percaya kalau anak itu telah meninggal. Ia meninggalkan mayat
Rizal menuju ke bagasi mobilnya. Ia mengambil karung goni coklat. Ia meluruskan
kaki Rizal, menekuknya hingga menyentuh dadanya.Tangannya juga dilipat
melingkar pada kakinya. Santoso merapatkan jari-jari Rizal seperti orang
berdoa. Santoso membuka ujung karung goni, memasukkan kepala Rizal terlebih dahulu,
diteruskan hingga ujung kaki Rizal.
Setelah semuanya masuk ke dalam
karung, Santoso memanggulnya menuju bagasi mobilnya. Ia mencampakkan tubuh
malang itu lalu menutupnya kencang. Sekarang, Santoso tinggal mencari sungai
terdekat. Ia kembali mengendarai mobilnya dan menemukan hamparan pematang sawah
dilengkapi dengan saluran irigasi yang mengalir ke sungai. Keadaan sawah sama
sepinya seperti di hutan jati. Setelah kondisi benar-benar aman, Santoso keluar
dari mobil, membuka kembali pintu bagasinya. Ia menarik karung, lalu dipikulnya
sampai di saluran irigasi.
Santoso membuka mulut karung
kemudian ia membiarkan mayat Rizal terjatuh dibawa aliran air yang begitu
deras. Ia juga membuang karung goni yang berlumuran darah setelah mayat
Rizalnya. Ia tidak peduli ke mana air akan membawa mayat dan karung goni itu,
tapi yang pasti, perbuatannya tidak akan diketahui siapapun. Hanya ia sendiri
dan mobilnya, menjadi saksi bisu atas segala kebiadabnya.

No comments:
Post a Comment