Friday, 12 February 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 2



Roda mobil Kijang Inova bergulir cepat membelah jalan raya yang lengang. Arloji yang melekat di tangan kanannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Meskipun jalan di sekitar jantung kota begitu ramai, namun lalu lalang manusia mulai berkurang jumlahnya. Selepas bekerja, Santoso mengelilingi kota, mencari sesuatu yang bisa melepas kepenatannya.
            Begitu banyak para wanita berpenampilan sensual dengan model pakaian yang menggoda nafsu birahi, hilir mudik memenuhi jalur trotoar. Tapi, tatapannya tertuju pada seorang anak lelaki dekil tertidur di depan emperan toko butik. Empati Santoso tergerak melihat kondisi sang anak yang tidak layak. Kaus oblong merah yang melekat di badannya tak lagi cerah. Berbagai debu, sinar matahari, dan kotoran melekat dan menguar aroma yang tak sedap. Ia yakin anak itu juga pasti mual mencium aroma badannya sendiri. Santoso mematikan mesin mobilnya, membuka pintu kemudian menghampiri anak itu.
            “Nak, ayo ikut sama om,” ajak Santoso.
            “Mau ke mana, om? Saya tidak punya orang tua dan sanak saudara. Saya hidup sebatang kara.” Lirih anak itu.
            “Kamu ikut ke rumah om saja. Nanti di rumah om, kamu mandi dan ganti bajumu.”
            “Om serius, ‘kan?” tanya anak itu agak ragu.
            Santoso mengangguk sekali, menjawab pertanyaan anak itu. Setelah mendapatkan restu dari anak itu, Santoso menggandeng tangan sang anak menuju mobilnya.
            Santoso menyetir dengan kecepatan minimun sehingga mobil melaju agak pelan. Ia ingin menghabiskan waktu, berbicara mengenai siapa nama dan asal-usul anak itu.
            “Jadi, kamu memang benar-benar anak yatim piatu?” tanya Santoso sambil melirik sekilas.
            Anak lelaki itu memilih diam sebentar, menata kata-kata yang pantas untuk menjadi jawabannya.
            “Sebenarnya tidak, om,” jawabnya pelan.
            “Maksud kamu?” tanya Santoso balik.
            “Saya tinggal bersama ibunya saya. Ayah saya meninggal dunia karena sakit jantung. Tiga bulan setelah ayah meninggal, ibu menikah lagi dengan seorang dokter. Ketika hari pernikahan mereka lewat empat hari, saya terkejut, ibu kandung dan ayah tiri saya meninggalkan saya tanpa ada pesan apapun... Aku berjanji pada diriku sendiri, jika aku menemukan mereka, aku akan membantai mereka tanpa ampun! Aku janji!” ungkap anak lelaki itu geram. Tatapan matanya tajam dan menyala. Dendam kesumat telah membakar hatinya hingga menjadi bara kebencian.
            Namun, Santoso hanya mengulas senyum licik yang menghilang dalam sekejap. Air mukanya berganti murung ketika anak lelaki itu memandang wajahnya. Mencari jawaban atas semua cerita masa lalu yang diutarakannya.
            “Kalau boleh tahu, namamu siapa, nak?”
            “Rizal, om. Kalau om sendiri?”
            “Santoso.” Jawabnya singkat sembari fokus pada setirnya.
            Tidak ada respon yang diberikan Santoso tentang cerita masa lalu Rizal. Ia menyesal mengapa ia begitu mudahnya bercerita kepada orang asing yang baru dikenalnya.
            Perjalanan mereka cukup jauh melewati jantung kota Siantar. Mereka melewati sebuah hutan karet yang luasnya lebih dari tiga hektar. Santoso memperlambat laju mobilnya, memasuki kawasan hutan. Rizal heran apa yang akan dilakukan Santoso di sana.
            “Apa yang kita lakukan di sini, om?”
            “Om mau buang air kecil dulu, kamu nggak ikut?”
            “Sebentar lagi, setelah om selesai.”
            Mendengar jawaban dari Rizal, Santoso menekan kenop pintu samping. Begitu tubuhnya keluar, ia menutupnya kembali. Santoso berjalan dalam hamparan jati yang diselimuti kegelapan mencekam.
            Rizal sudah menunggu lima menit lebih dalam mobil. Ia tampak gelisah. Santoso belum kembali ke mobilnya. Ia takut hal buruk akan terjadi pada Santoso. Rizal memilih turun dari mobil, mencari keberadaan Santoso, meskipun ia rada takut melihat kondisi hutan yang angker.
            Rizal terus memperhatikan langkah kakinya. Bola matanya berputar liar. Seolah tak ingin lengah, jika ada sesuatu yang hendak mengincarnya dari arah mana pun. Ia berhenti sejenak. Selain gelap, hutan jati ini lumayan sunyi. Rizal harus mengusap tengkuknya, menurunkan bulu kuduknya yang meremang.
            Ketika ia ingin melangkah lagi, daun telinganya menangkap suara kaki menginjak dedaunan jati yang telah mengering. Rizal memalingkan kepalanya ke kanan. Ia betul-betul yakin kalau suara dedaunan yang diinjak itu, berasal dari sana. Ia yakin ada sesuatu yang bersembunyi di balik batang pohon jati. Selangkah demi selangkah, Rizal sudah berada di hadapan pohon itu. Ia tinggal memajukan kepala lalu mengetahui apa atau siapa yang berusaha ingin menakutinya.
            Rizal dikejutkan ketika seorang membanting tubuhnya hingga wajahnya menyentuh permukaan tanah. Belum sempat berdiri, sosok itu menindih badannya hingga ia sulit bergerak. Rizal sebisa mungkin menyingkirkan tindihan tubuh besar itu. Tapi apa daya, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan si penindih. Walau dalam kondisi terhimpit, Rizal mulai mengenai sosok wajah yang menindih tubuhnya saat ini.
            “Om Santoso?! Ke-kenapa om melakukan hal ini?” tanya Rizal tak percaya.
            Tak diduga, Santoso malah mencengkeram wajahnya dengan tangannya.
            “Jangan macam-macam sama saya,” Santoso menarik pisau yang terselip di pinggang celana anak lelaki itu dan menempelkannya di leher Rizal.
            “Atau leher kamu saya gorok!” gertak Santoso.
            Rizal mati kutu. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa memasrahkan dirinya di tangan Santoso. Santoso membalikkan tubuh Rizal kasar. Sambil memegang pisau di leher Rizal, ia menyuruhnya merangkak di hadapannya. Santoso menarik celana Rizal sambil melepaskan ikat pinggang ynag melingkar di perutnya.
            Begitu celananya terlepas, Santoso melakukan nafsu bejadnya kepada anak lelaki yang malang itu. Tangisan Rizal memilukan diikuti jeritan lemahnya, menahan rasa perih di bagian belakangnya. Namun, Santoso tak memperdulikan kesakitan yang dialami anak lelaki itu. Ia terus saja menggoyang tubuhnya sambil merasakan kenikmatan dunia yang sedang merajai pikirannya.
            Santoso melolong meresapi ujung kenikmatan seksnya. Santoso menjatuhkan wajahnya di punggung Rizal semantara itu, tubuh Rizal ambruk di atas tanah. Kedua tangannya tak mampu menopang tubuhnya yang dicengkeram rasa sakit dan perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
            Diam-diam, Santoso meraih pisau yang berada di sampingnya. Ia menjambak rambut Rizal hingga kepalanya menengadah. Rizal meraung, membiarkan sakit yang menyentuh sampai ke akar rambutnya.
            “Aku akan mengakhiri penderitaanmu, nak.” bisik Santoso di daun telinga Rizal.
            Santoso menekan ujung pisau mulai dari sebelah kanan batang leher Rizal. Ia meneruskannya hingga mencapai sebelah kanan. Pelan tapi pasti, darah segar mengucur deras dari hasil sayatan pisau di batang leher Rizal. Suara Rizal serak tertahan merasakan kepedihan luar biasa ketika darah sudah membasahi baju yang dikenakannya. Ia tak dapat bertahan lama.
            Untuk memastikan anak lelaki itu telah tewas, Santoso membalikkan badannya lalu ia menghantamkan pisau berkali-kali di tubuh Rizal. Tikaman pisau tak tentu arah itu, mencipratkan sedikit darah ke wajah Santoso. Ia menjilat darah yang menempel di wajahnya. Kini, ia telah percaya kalau anak itu telah meninggal. Ia meninggalkan mayat Rizal menuju ke bagasi mobilnya. Ia mengambil karung goni coklat. Ia meluruskan kaki Rizal, menekuknya hingga menyentuh dadanya.Tangannya juga dilipat melingkar pada kakinya. Santoso merapatkan jari-jari Rizal seperti orang berdoa. Santoso membuka ujung karung goni, memasukkan kepala Rizal terlebih dahulu, diteruskan hingga ujung kaki Rizal.
            Setelah semuanya masuk ke dalam karung, Santoso memanggulnya menuju bagasi mobilnya. Ia mencampakkan tubuh malang itu lalu menutupnya kencang. Sekarang, Santoso tinggal mencari sungai terdekat. Ia kembali mengendarai mobilnya dan menemukan hamparan pematang sawah dilengkapi dengan saluran irigasi yang mengalir ke sungai. Keadaan sawah sama sepinya seperti di hutan jati. Setelah kondisi benar-benar aman, Santoso keluar dari mobil, membuka kembali pintu bagasinya. Ia menarik karung, lalu dipikulnya sampai di saluran irigasi.
            Santoso membuka mulut karung kemudian ia membiarkan mayat Rizal terjatuh dibawa aliran air yang begitu deras. Ia juga membuang karung goni yang berlumuran darah setelah mayat Rizalnya. Ia tidak peduli ke mana air akan membawa mayat dan karung goni itu, tapi yang pasti, perbuatannya tidak akan diketahui siapapun. Hanya ia sendiri dan mobilnya, menjadi saksi bisu atas segala kebiadabnya.

No comments:

Post a Comment