Tuesday, 16 February 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 3



            Seperti biasanya, cahaya matahari menyusup ke dalam kamarnya tanpa seizin pemiliknya ketika malam sudah berganti pagi. Berkas sinarnya menerpa kedua kelopak mata Adi  yang masih enggan terbuka. Lama kelamaan, Adi mulai terganggu. Kedua bola matanya mulai terasa hangat, memaksanya untuk segera bangun. Adi mencelikkan kelopak matanya berkali-kali. Sebelum turun dari ranjang, ia merenggangkan tangan dan kakinya, menggerakkannya ke kiri dan kanan.
            Usai perenggangan, Adi turun dari ranjangnya. Ia tak menjumpai istrinya di sana. Ia baru ingat kalau istrinya sedang membersihkan rumah sambil menyiapkan sarapan pagi. Adi melangkah menuju lemari, mengambil satu kaus kutang dan satu celana dalam. Ia siap membasuh badanya yang kaku di kamar mandi.
            Sudah sepuluh menit ia membasuh badannya. Kini, ia keluar dari sana dengan melilitkan handuk di bagian pinggangnya. Adi kembali lagi menuju kamarnya.
            Sudah menjadi kebiasaan Adi memakai pakaian di kamarnya. Begitu selesai mandi, ia hanya memakai kaus kutang dan celana dalam yang dibawanya. Ia baru akan memakai baju setelah ia berada di kamarnya.
            Namun, Adi tampak kebingungan, mencari beberapa tumpukan pakaian yang menyarati lemarinya. Ia tak menjumpai pakaian yang diinginkannya. Terpaksa ia memilih T-shirt poliester merah tua dan celana Lee biru. Seusai dikenakannya, Adi menggerakkan kedua kakinya ke meja makan. Perutnya harus diisi oleh asupan gizi yang cukup dari masakan istrinya.
            Adi menyaksikan pemandangan yang selalu menjadi keseharian di rumahnya. Cahyana memakai celemek pink yang tergantung di depan dadanya. Celemek yang dikenakannya memperlihatkan noda cipratan minyak dan cabe giling yang menempel di sana. Perjuangan yang dilakukan istrinya untuk menghidangkan makanan untuknya patut diapresiasi.
            Sebelum mereka berdua menikah, Cahyana pernah mengatakan kepada Adi bahwa dirinya baru tiga tahun belajar memasak.
            Cahyana, seorang perempuan yang mempunyai latar belakang keluarga yang berkecukupan. Ia juga putri tunggal di keluarga Haryono. Ayahnya, Jaka Haryono, seorang agen properti yang sudah punya jaringan sampai ke Malaysia. Dan ibunya, Dwi Agatha, mantan model fashion yang beralih profesi menjadi pengusaha butik yang masih merintis usaha di daerah tempat tinggalnya.
            Karena begitu padatnya aktivitas kedua orang tuanya, mereka menyewa asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah ibundanya. Meskipun begitu, ibunda Cahyana menyempatkan diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah jika tidak melayani pelanggannya. Ia menyempatkan diri melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak mau, semua tugasnya dikerjakan oleh asistennya.
            Ayahnya Cahyana juga demikian. Di samping kesibukan bisnisnya, ia berusaha menyisihkan waktu, berkumpul bersama keluarganya. Sarapan pagi, makan siang, maupun makan malam, ia sempatkan menikmati momen-momen berkesan itu bersama putrinya dan istri tercinta. Menjelang weekend, mereka mengunjungi tempat wisata yang lokasinya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu memakan budget yang tinggi. Lokasi pantai dan danau, selalu menjadi pilihan yang sering mereka pilih jika ingin bepergian.
            Adi menarik bangku yang terdapat di dalam meja makan. Ia tenang menunggu istrinya, menyendokkan nasi di atas piring cokelat keramik. Nasi yang tergeletak di atas piringnya, masih mengepulkan uap-uap panas. Cahyana juga meletakkan ikan dan sayur bayam di atas piringnya. Melihat menu sarapan pagi yang ada di piringnya, membuat Adi tak tahan untuk segera menikmatinya. Sebelum menikmati, ia berdoa terlebih dahulu agar makanan yang dihidangkan istrinya semakin nikmat.
            “Masakan kamu memang very good,” puji Adi sambil mengunyah nasi yang ada di dalam mulutnya.
            “Ah, kamu bisa saja, pa. Bagaimana dengan kasus yang sedang kamu tangani saat ini? Apa kamu sudah tahu, bagaimana ciri-ciri pelaku?” tanya Cahyana sambil melipat kedua tangannya di atas meja makan.
            “Sejauh ini, aku belum menemukan ciri-ciri korban. Kurasa ini akan menjadi kasus yang tersulit yang pernah kuselidiki.” jawab Adi sambil meraih segelas air yang berada di sampingnya.
            “Tapi, aku tidak pernah meragukan kualitasmu, pa, walaupun kamu baru menjadi detektif selama dua tahun.”
            “Ya, aku harus pihak kepolisian mau bekerja denganku dalam mengusut kasus ini. Hmm, oh ya, kamu lihat kemeja lengan panjangku bergaris-garis merah itu tidak, Yanna?” Adi kembali menyodorkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
            “Bukannya dua hari yang lalu, kamu barusan memakainya? Dan sekarang, kemeja itu mau kucuci nanti siang,” 
            “Benarkah? Seingatku, aku belum pernah mengenakan pakaian itu,” tanya Adi balik.
            Cahyana hanya diam saja menanggapi pertanyaan suaminya. Ia terkadang bingung melihat tingkah suaminya akhir-akhir ini. Ia seperti melihat ada orang lain di balik diri suaminya. Terkadang, suaminya bisa berubah menjadi sosok agresif dan kasar. Dan terkadang, sifatnya bisa kembali tenang dan penyayang seperti semula.
            Ia pernah melihat suaminya pulang dengan mulut berbau alkohol. Ketika suaminya mengetuk pintu tamu, Cahyana yang saat itu sedang membuka pintu, langsung menyambar istrinya, merangkul, kemudian mengecup di bagian lehernya. Saat itu, naluri Cahyana sebagai seorang istri meningkat pesat. Ia cepat-cepat membawa suaminya ke kamar tidurnya. Meskipun umur pernikahan mereka menjalani empat bulan, ia tak pernah mengetahui kalau suaminya suka menikmati minuman beralkohol.
            “Lebih baik, kamu cepat-cepat pergi ke kantor polisi. Mungkin rekan kamu, Dharma, sudah punya informasi terbaru tentang kasusmu.”
            “Ya, ini juga tinggal sesendok lagi,” Adi mengambil nasi yang memang tersisa sedikit lagi di piringnya. Ia menenggak habis air yang berada di gelasnya. Seusai mengelap mulut dengan serbet, Adi meraih koper yang terletak di sampingnya lalu berpamitan dengan istrinya. Ia mencium tepat di kening istrinya.
            “Ayah pergi dulu ya, ma,” salam Adi.
            Cahyana menggangguk pelan seraya mengulas senyum manis di bibirnya. Ia mengambil piring yang masih tergeletak di atas meja. Ia mengangkat ke tempat cucian piring. Ia menoleh sebentar ke arah suami yang sudah meninggalkan dapur. Suaminya meninggalkan ribuan tanda tanya yang masih menyarang di pikirannya.
            Adi sudah berada di depan pintu garasi. Ia membuka gembok lalu menarik penutup ke atas. Mungkin sudah tiga hari, ia tidak memakai mobilnya. Kadang-kadang, ia lebih memilih menggunakan transportasi umum. Dan untuk mobil, ia hanya memakainya jika ia ingin menenangkan diri berkeliling kota atau ketika ia sedang menyelidiki kasus baru.
            Ia sudah sampai di depan pintu samping. Ia menekan gagang lalu memasukkan tubuhnya ke dalam mobil. Adi mendudukkan bokongnya di atas jok mobil. Namun, ada perasaan asing ketika ia sudah memasuki mobilnya. Adi merasakan ada seseorang yang tidak dia kenali masuk ke dalam mobilnya. Semakin dia berusaha mengingatnya, semakin ia bingung. Ditambah lagi, sakit kepala tiba-tiba menghantam otaknya. Menimbulkan potongan-potongan ingatan seperti film negatif yang menampakkan bayangan-bayangan mengerikan.
            Ia melihat seorang ayah sedang melecutkan ikat pinggangnya di atas punggung seorang anak kecil. Anak itu hanya menangis sesunggukkan, menerima pedihnya lecutan bertubi-tubi tali pinggang di atas punggungnya.
            Kepala Adi makin terasa berat dan panas. Ia memohon kepada pikirannya untuk tidak memproyeksikan bayangan buruk itu di dalam pikirannya. Tentu, hal itu tidak akan berhasil. Ia meraba-raba dasbor mobil yang berada tepat di atas kepalanya lalu mengambil kotak P3K. Adi mengambil satu robekan Paraceptamol, menelannya kemudian meneguk air mineral botol yang berada di samping tuas persneling.
            Lambat laun, sakit kepala yang dideritanya mulai mereda. Adi bisa bernapas lega untuk sesaat. Ia tidak mengerti kenapa memori buruk itu terkadang menghantuinya. Namun, satu hal yang diyakininya yakni—pekerjaannya.
            Pekerjaannya sebagai seorang detektif membuka keahlian intelegensi berpikir, menganalisa, berhipotesis dan menyatukan rangkaian bukti dan keterangan yang didapatnya selama penyelidikan kasus. Ia menyadari jika terlalu dipaksakan akan membuat saraf-saraf otak bekerja ekstra hingga menimbulkan rasa sakit di bagian kepala.
            Ketika ia sudah bisa menenangkan diri, Adi memutar kunci sembari memanaskan mesin. Ketika ia menunggu mesin mobil panas, Samsung V yang tersimpan di kantong celananya, berdering keras diikuti getarannya. Adi buru-buru mengeluarkan handphone-nya dari dalam kantong. Saat handpone-nya berada di tangannya, layar LCD-nya menampakkan nama Briptu Dharmawan di sana.
            “Halo,” jawab Adi begitu dirinya menekan tombol hijau di sebelah kiri.
            “Halo, pak Adi. Di mana Anda sekarang?”
            “Ini, saya mau berangkat dari rumah,”
            “Oh, kalau begitu, saya harap bapak cepat datang ke kantor tim polisi sudah menemukan barang bukti baru,”
            “Baiklah, saya akan segera ke sana.” tutup Adi. Adi lantas menaikkan tuas persneling ke kanan. Mobilnya melaju perlahan meninggalkan gerbang rumahnya.
            Lampu merah akan segera berganti hijau kira-kira satu menit lagi. Adi memperhatikan jalan raya sarat akan ratusan kendaraan bertenaga minyak. Mereka saling beradu kecepatan satu sama lain. Bisa dibilang, jalan raya merupakan sumber produkvitas pengendara kendaraan bertenaga minyak dalam melakukan pekerjaan mereka.
            Lampu hijau menyala terang di atas para pengendara. Sudah waktunya, para pengendara yang berada di sebelah kanan persimpangan tiga, melajukan kendaraan mereka. Pandangan Adi sejenak tertuju pada pengamen jalanan yang berada di kiri. Kulit wajahnya yang kusam dan pakaian yang dikenakannya sudah menjelma menjadi cokelat kehitam-hitaman. Di tangannya, sebuah alat musik yang terbuat dari tutup botol yang digepengkan, dipukulkan berkali-kali dengan tangannya hingga menimbulkan suara ‘cring’.
            Lagu-lagu yang dilantunkan pengamen itu, nyaris membuat telinga pengendara mobil yang berada di sana sedikit nyeri. Sang pengendara mobil langsung memberikan uang seribuan sebagai penghargaan atas lagunya sekaligus mengusirnya agar ia tidak berada di sana. Pengamen itu mengucapkan terimakasih lalu meninggalkannya.
            Adi tidak mengerti mengapa fenomena pengamen jalanan bisa menjamur di kota-kata kecil maupun kota-kota besar di seluruh Indonesia. Apakah fenomena itu murni kemalasan individu dalam mencari penghidupan atau mereka merupakan jaringan yang sudah terorganisasi sebegitu besar hingga berkali-kali Satpol PP menjaring dan memberikan penyuluhan, para pengamen jalan tetap saja menguasai jalan raya. Adakah faktor lain di balik itu semua?
            Setelah dua puluh menit berkonsentrasi di jalan raya, ujung mobil Adi sudah tiba di depan kantor kepolisian daerah Kisaran. Kantor ini berada di tengah pusat keramaian kota Kisaran. Luas kantor polisi itu mencapai dua hektar. Kantor kepolisian dilengkapi dengan lapangan uji kelayakan SIM, asrama polisi, taman kanak-kanak, dan poliklinik. Jika para polisi sedang tidak bertugas, mereka dapat sekedar beristirahat sekaligus berdiskusi di kafe yang dibangun dua tempat di depan kantor dan satu tempat di belakang kantor.
            Tapi untuk pagi ini, suasana kafe yang berada di depan kantor, tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga orang polisi sedang menikmati sarapan lontong yang disajikan hangat untuk mereka. Adi tak tertarik untuk ke sana. Ia memilih masuk ke dalam, menemui Briptu Dharmawan yang sudah lama menunggunya di dalam kantor.
            Kedua bola mata Adi masih mencari keberadaan Briptu Dharmawan di sana. Suasana kantor tidak terlalu ramai. Hanya ada seorang polisi dan seorang pemuda tanggung duduk berhadapan. Jika melihat keadaan ini, Adi langsung mengerti. Sang polisi berpangkat sersan mayor itu sedang mengetik berita acara kasus yang diperoleh berdasarkan keterangan pemuda itu. Namun, Adi tak mau tahu kasus apa yang sedang diketik polisi itu. Ia ingin menemui rekannya saat ini.
            “Maaf, membuat Anda menunggu, pak Adi,” sapa seseorang dari belakangnya.
            Adi agak tersentak, langsung membalikkan tubuhnya ke belakang. “Oh, tidak apa-apa, Briptu Dharmawan. Justru, sayalah yang harus meminta maaf pada Anda. Apakah Anda menemukan bukti baru tentang mengenai pembunuh anak itu?”
            “Hmm, kami belum bisa menemukan identitas pembunuh anak itu. Tapi kami punya bukti baru yang kami temukan tidak jauh dari tempat tewasnya anak itu,”
            “Apa itu?” tanya Adi setengah pensaran.
            “Ayo ikuti saya,” Briptu Dharmawan berbalik badan, meninggalkan Adi di belakangnya. Adi mengekor di belakang rekannya. Ia melangkahkan kakinya ke sebuah lemari penyimpanan yang berjarak lima belas meter dari tempat mereka berdiri. Sebelum membuka lemari itu, Briptu Dharmawan merogoh saputangan dari dalam kantongnya kemudian memakainya pada kedua tangannya. Ia mengatakan, hal itu dilakukan supaya sidik jari polisi tidak mencap pada barang bukti, apabila barang bukti itu sudah pernah disentuh oleh pihak kepolisian.
            Briptu Dharmawan membuka kenop lemari dan terlihatlah sebuah karung goni cokelat berlumuran darah. Memang, darah yang mengotori karung sudah memudar tapi sisanya masih menempel di karung.
            “Karung goni?”
            “Ya, benar. Kami punya dugaan setelah korban dibunuh, pelaku memasukkan tubuh korban ke dalam karung dan membuangnya ke sungai,”
            “Izinkan saya memfoto karung itu.” Usai menulis keterangan Dharmawan, Adi meraih handphone yang berada di saku jaketnya. Ia membidik lurus objek agar foto yang dihasilkan tidak blur. Begitu hasil foto sudah tersalin, Adi mengembalikan handphone-nya ke dalam saku jaket, kembali memfokuskan perhatian pada rekannya.
            “Bagaimana dengan identitas korban?” sambung Adi.
            “Kami menemukan satu selebaran ini menempel di tiang listrik.” Dharmawan menyimpan lagi karung goni yang dipegangnya ke dalam lemari. Ia juga merogoh kantung kiri dinas polisinya. Adi melihat kertas putih rapuh dan tipis itu dilipat menjadi empat bagian. Adi terus memusatkan perhatian mulai dari cara Dharmawan mengambil kertas sampai membukanya.
            Meskipun agak kusam dan memudar warnanya, Adi bisa melihat sedikit ciri-ciri wajah yang tertera di dalam kertas. Wajah korban pembunuhan yang dilihatnya di rumah sakit, persis dengan apa yang ada di kertas.
            Rambutnya hitam ikal. Lekuk wajahnya sedikit kekotakan. Hidungnya tidak terlalu besar dengan ujung tumpul. Bola matanya bulat dengan goresan alis lurus. Sungguh tampan rupa anak ini. Tapi, ia harus tewas mengenaskan di tangan seorang pembunuh sekaligus predator seks. Pandangan Adi belum luput dari selebaran itu. Matanya tertuju pada sebuah nama—Charles Pardomuan. Anak lelaki itu baru menginjak usia sepuluh tahun. Anak dengan usia seperti itu, merupakan anak sekolah dasar kelas empat. Sudah menghilang dari rumah sejak empat bulan lalu. Di sana juga sudah terdapat kontak yang dapat dihubungi apabila seseorang menemukan anak lelaki dengan ciri yang dimaksudkan.
            “Apa jenazah anak lelaki itu sudah diambil oleh orang tuanya?” tanya Adi setelah selebaran itu dilipat lagi dan dimasukkan ke dalam kantung seragam Dharmawan.
            “Kami sudah menghubungi kontaknya. Mungkin, nanti sore, orang tua sang anak akan mengambil jenazah mayat anak mereka,”
            “Pak Dharmawan,”
            “Ada apa, pak Adi?” tanya Dharmawan lagi.
            “Ini pertama kalinya, aku menangani kasus pembunuhan yang lumayan rumit. Aku sempat berpikir untuk mundur saja dari kasus ini,” ungkap Adi. Ia memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Dharmawan.
            “Lho, lho, lho, apa yang barusan pak Adi bilang? Mundur? Kita tidak bisa mundur begitu saja dari kasus ini, pak! Kita baru saja memulai. Dan lagi, saya tidak asal pilih detektif dalam membantu saya dalam menangani kasus-kasus sulit seperti ini. Berdasarkan cerita para klien yang pernah meminta bantuan pada bapak, mereka menganggap kualitas kinerja bapak cukup memuaskan.”
            Adi memutar ulang ingatannya mengenai kasus-kasus yang pernah ditangani atas permintaan kliennya. Mulai mencari barang-barang yang tercecer di jalan sampai menguntit pasangan yang berselingkuh. Ia juga pernah menangani kasus pencurian emas di toko Emas Abadi kepunyaan orang Tiongkok. Awalnya, kepolisian menganggap pelaku yang terlibat dalam kasus pencurian di toko itu merupakan orang luar. Tapi, Adi berpendapat bahwa ada seorang karyawan yang terlibat semacam konspirasi untuk merampok toko itu. Dan ternyata, dugaan Adi benar.
            Setelah menginterogasi beberapa karyawan di sana, terbuktilah dugaan Adi. Marissa, nama karyawati yang bekerja di sana, membeberkan bahwa dirinyalah yang bertindak sebagai dalang intelektual sekaligus korban dalam rencana liciknya.
            Marissa melakukan hal itu didasari rasa kesal karena sang majikan toko tidak memberikan uang pinjaman padanya. Ia mengatakan bahwa uang pinjaman sebesar lima belas juta, akan dipakai untuk membayar uang sewa kontrakannya dan membayar utangnya pada bandar judi togel. Ia menyewa beberapa anak muda jalanan dan mengiming-imingi, seperempat dari hasil curian akan diberikan kepada mereka. Dan, mereka pun menyetujuinya.
            Sejak kasus itulah, nama detektif Adi semakin dikenal di kalangan kepolisian resort. Kasus kedua yang akhir-akhir ini ditanganinya adalah penculikan anak seorang pengusaha grosir elektronik. Awal mula, orang tua sang anak sedang mengunjungi sebuah malluntuk menikmati wahana permainan TimeZone. Ketika sang orang tua sedang sibuk membeli koin, si anak yang baru berusia empat tahun, meninggalkan orang tuanya, sekedar melihat-lihat macam-macam permainan yang berada di wahana. Si anak yang melihat permainan tembak-menembak, ditawarkan permen lolipop oleh seseorang yang tidak dikenal. Si anak asyik menikmati lolipop, orang itu menarik tangan anak itu dan meninggalkan wahana.
            Setelah dua hari pencarian, anak itu ditemukan di sebuah gubuk, dengan posisi tubuh terlilit tali tambang. Adi dan beberapa polisi menemukan sang anak dalam kondisi menangis. Mungkin, sudah ribuan kali anak kecil itu memohon dibebaskan. Namun, sang penculik bersikeras kalau orang tuanya sudah memberikan tebusan uang sejumlah seratus juta. Tapi, seratus juta tak bisa dinikmatinya karena ia harus mendekam di jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
            Itulah sejumlah kasus yang pernah diselesaikan oleh dirinya. Ia juga tak bisa menampik kalau ia sungguh-sungguh memberikan hatinya untuk pekerjaan ini. Ia tidak mematok jumlah uang yang diberikan klien jika ia sudah selesai menuntaskan pekerjaannya. Ia tetap ikhlas atas dasar kemanusiaan. Namun, ketika ia menangani kasus penculikan anak, ia didera semacam sakit kepala yang luar biasa. Otaknya seakan-akan digenjot dinding beton yang berjalan otomatis. Lalu, gambaran seorang anak kecil yang selalu menghantui pikirannya, membuatnya harus berpikir ekstra keras, mengungkap siapa sebenarnya anak kecil itu.
            Di alam pikirannya, anak itu selalu mengalami siksaan fisik dan mental oleh orang tuanya. Terakhir kali yang diingatnya, ayah si anak kecil itu menampar pipi si anak ketika ia tak senjaga menumpahkan segelas kopi hanya karena kakinya tersandung seekor kucing. Adi tak bisa menahan kesedihannya melihat kondisi anak lelaki malang itu.
            “Pak Adi, pak Adi..., anda sedang memikirkan apa?” Dharmawan menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
            “Tidak ada, pak Dharmawan. Memang benar, yang dikatakan oleh bapak. Saya sudah memberikan hati dan pikiran saya untuk menjalani setiap kasus yang saya selidiki sebagai seorang detektif. Bukan hal yang baik, jika saya menyerah begitu saja pada kasus semacam ini, kan?” Adi menghadapkan wajahnya percaya diri. Senyumnya mengembang di kedua belah bibir cokelatnya.
            “Benar sekali, pak Adi. Ini baru Adi yang saya kenal. Hahaha,” puji Dharmawan seraya tertawa keras melihat semangat kawannya yang semula redup kini membara bagai api.
            “Kalau begitu, kamu saya traktir minum cappucinno coffee buatan bu Sasti di kafe depan.” ajak Adi sambil menepuk pundak rekannya.
            “Tumben, bapak mau menraktir saya. Biasanya bayar masing-masing,”
            “Mumpung saya lagi baik hari ini.”
            “Ok, kalau begitu, tunggu apa lagi. Ayo.” Pungkas Dharmawan. Mereka melangkah keluar bersama-sama dari dalam kantor.

No comments:

Post a Comment