Seperti biasanya, cahaya matahari menyusup ke dalam
kamarnya tanpa seizin pemiliknya ketika malam sudah berganti pagi. Berkas
sinarnya menerpa kedua kelopak mata Adi
yang masih enggan terbuka. Lama kelamaan, Adi mulai terganggu. Kedua
bola matanya mulai terasa hangat, memaksanya untuk segera bangun. Adi
mencelikkan kelopak matanya berkali-kali. Sebelum turun dari ranjang, ia
merenggangkan tangan dan kakinya, menggerakkannya ke kiri dan kanan.
Usai perenggangan, Adi turun dari
ranjangnya. Ia tak menjumpai istrinya di sana. Ia baru ingat kalau istrinya
sedang membersihkan rumah sambil menyiapkan sarapan pagi. Adi melangkah menuju
lemari, mengambil satu kaus kutang dan satu celana dalam. Ia siap membasuh
badanya yang kaku di kamar mandi.
Sudah sepuluh menit ia membasuh
badannya. Kini, ia keluar dari sana dengan melilitkan handuk di bagian
pinggangnya. Adi kembali lagi menuju kamarnya.
Sudah menjadi kebiasaan Adi memakai
pakaian di kamarnya. Begitu selesai mandi, ia hanya memakai kaus kutang dan
celana dalam yang dibawanya. Ia baru akan memakai baju setelah ia berada di
kamarnya.
Namun, Adi tampak kebingungan, mencari beberapa
tumpukan pakaian yang menyarati lemarinya. Ia tak menjumpai pakaian yang
diinginkannya. Terpaksa ia memilih T-shirt
poliester merah tua dan celana Lee
biru. Seusai dikenakannya, Adi menggerakkan kedua kakinya ke meja makan.
Perutnya harus diisi oleh asupan gizi yang cukup dari masakan istrinya.
Adi menyaksikan pemandangan yang
selalu menjadi keseharian di rumahnya. Cahyana memakai celemek pink yang
tergantung di depan dadanya. Celemek yang dikenakannya memperlihatkan noda
cipratan minyak dan cabe giling yang menempel di sana. Perjuangan yang dilakukan
istrinya untuk menghidangkan makanan untuknya patut diapresiasi.
Sebelum mereka berdua menikah,
Cahyana pernah mengatakan kepada Adi bahwa dirinya baru tiga tahun belajar
memasak.
Cahyana, seorang perempuan yang
mempunyai latar belakang keluarga yang berkecukupan. Ia juga putri tunggal di
keluarga Haryono. Ayahnya, Jaka Haryono, seorang agen properti yang sudah punya
jaringan sampai ke Malaysia. Dan ibunya, Dwi Agatha, mantan model fashion yang beralih profesi menjadi
pengusaha butik yang masih merintis usaha di daerah tempat tinggalnya.
Karena begitu padatnya aktivitas
kedua orang tuanya, mereka menyewa asisten rumah tangga untuk membantu
pekerjaan rumah ibundanya. Meskipun begitu, ibunda Cahyana menyempatkan diri
untuk mengerjakan pekerjaan rumah jika tidak melayani pelanggannya. Ia
menyempatkan diri melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak mau,
semua tugasnya dikerjakan oleh asistennya.
Ayahnya Cahyana juga demikian. Di
samping kesibukan bisnisnya, ia berusaha menyisihkan waktu, berkumpul bersama
keluarganya. Sarapan pagi, makan siang, maupun makan malam, ia sempatkan
menikmati momen-momen berkesan itu bersama putrinya dan istri tercinta.
Menjelang weekend, mereka mengunjungi
tempat wisata yang lokasinya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu memakan budget yang tinggi. Lokasi pantai dan
danau, selalu menjadi pilihan yang sering mereka pilih jika ingin bepergian.
Adi menarik bangku yang terdapat di
dalam meja makan. Ia tenang menunggu istrinya, menyendokkan nasi di atas piring
cokelat keramik. Nasi yang tergeletak di atas piringnya, masih mengepulkan
uap-uap panas. Cahyana juga meletakkan ikan dan sayur bayam di atas piringnya.
Melihat menu sarapan pagi yang ada di piringnya, membuat Adi tak tahan untuk
segera menikmatinya. Sebelum menikmati, ia berdoa terlebih dahulu agar makanan
yang dihidangkan istrinya semakin nikmat.
“Masakan kamu memang very good,” puji Adi sambil mengunyah
nasi yang ada di dalam mulutnya.
“Ah, kamu bisa saja, pa. Bagaimana
dengan kasus yang sedang kamu tangani saat ini? Apa kamu sudah tahu, bagaimana
ciri-ciri pelaku?” tanya Cahyana sambil melipat kedua tangannya di atas meja
makan.
“Sejauh ini, aku belum menemukan
ciri-ciri korban. Kurasa ini akan menjadi kasus yang tersulit yang pernah
kuselidiki.” jawab Adi sambil meraih segelas air yang berada di sampingnya.
“Tapi, aku tidak pernah meragukan
kualitasmu, pa, walaupun kamu baru menjadi detektif selama dua tahun.”
“Ya, aku harus pihak kepolisian mau
bekerja denganku dalam mengusut kasus ini. Hmm, oh ya, kamu lihat kemeja lengan
panjangku bergaris-garis merah itu tidak, Yanna?” Adi kembali menyodorkan
sesendok nasi ke dalam mulutnya.
“Bukannya dua hari yang lalu, kamu
barusan memakainya? Dan sekarang, kemeja itu mau kucuci nanti siang,”
“Benarkah? Seingatku, aku belum
pernah mengenakan pakaian itu,” tanya Adi balik.
Cahyana hanya diam saja menanggapi
pertanyaan suaminya. Ia terkadang bingung melihat tingkah suaminya akhir-akhir
ini. Ia seperti melihat ada orang lain di balik diri suaminya. Terkadang,
suaminya bisa berubah menjadi sosok agresif dan kasar. Dan terkadang, sifatnya
bisa kembali tenang dan penyayang seperti semula.
Ia pernah melihat suaminya pulang
dengan mulut berbau alkohol. Ketika suaminya mengetuk pintu tamu, Cahyana yang
saat itu sedang membuka pintu, langsung menyambar istrinya, merangkul, kemudian
mengecup di bagian lehernya. Saat itu, naluri Cahyana sebagai seorang istri
meningkat pesat. Ia cepat-cepat membawa suaminya ke kamar tidurnya. Meskipun
umur pernikahan mereka menjalani empat bulan, ia tak pernah mengetahui kalau suaminya
suka menikmati minuman beralkohol.
“Lebih baik, kamu cepat-cepat pergi
ke kantor polisi. Mungkin rekan kamu, Dharma, sudah punya informasi terbaru
tentang kasusmu.”
“Ya, ini juga tinggal sesendok
lagi,” Adi mengambil nasi yang memang tersisa sedikit lagi di piringnya. Ia
menenggak habis air yang berada di gelasnya. Seusai mengelap mulut dengan
serbet, Adi meraih koper yang terletak di sampingnya lalu berpamitan dengan
istrinya. Ia mencium tepat di kening istrinya.
“Ayah pergi dulu ya, ma,” salam Adi.
Cahyana menggangguk pelan seraya
mengulas senyum manis di bibirnya. Ia mengambil piring yang masih tergeletak di
atas meja. Ia mengangkat ke tempat cucian piring. Ia menoleh sebentar ke arah
suami yang sudah meninggalkan dapur. Suaminya meninggalkan ribuan tanda tanya
yang masih menyarang di pikirannya.
Adi sudah berada di depan pintu
garasi. Ia membuka gembok lalu menarik penutup ke atas. Mungkin sudah tiga
hari, ia tidak memakai mobilnya. Kadang-kadang, ia lebih memilih menggunakan
transportasi umum. Dan untuk mobil, ia hanya memakainya jika ia ingin
menenangkan diri berkeliling kota atau ketika ia sedang menyelidiki kasus baru.
Ia sudah sampai di depan pintu
samping. Ia menekan gagang lalu memasukkan tubuhnya ke dalam mobil. Adi
mendudukkan bokongnya di atas jok mobil. Namun, ada perasaan asing ketika ia
sudah memasuki mobilnya. Adi merasakan ada seseorang yang tidak dia kenali
masuk ke dalam mobilnya. Semakin dia berusaha mengingatnya, semakin ia bingung.
Ditambah lagi, sakit kepala tiba-tiba menghantam otaknya. Menimbulkan
potongan-potongan ingatan seperti film negatif yang menampakkan
bayangan-bayangan mengerikan.
Ia melihat seorang ayah sedang
melecutkan ikat pinggangnya di atas punggung seorang anak kecil. Anak itu hanya
menangis sesunggukkan, menerima pedihnya lecutan bertubi-tubi tali pinggang di
atas punggungnya.
Kepala Adi makin terasa berat dan
panas. Ia memohon kepada pikirannya untuk tidak memproyeksikan bayangan buruk
itu di dalam pikirannya. Tentu, hal itu tidak akan berhasil. Ia meraba-raba dasbor
mobil yang berada tepat di atas kepalanya lalu mengambil kotak P3K. Adi
mengambil satu robekan Paraceptamol,
menelannya kemudian meneguk air mineral botol yang berada di samping tuas
persneling.
Lambat laun, sakit kepala yang
dideritanya mulai mereda. Adi bisa bernapas lega untuk sesaat. Ia tidak
mengerti kenapa memori buruk itu terkadang menghantuinya. Namun, satu hal yang
diyakininya yakni—pekerjaannya.
Pekerjaannya sebagai seorang
detektif membuka keahlian intelegensi berpikir, menganalisa, berhipotesis dan
menyatukan rangkaian bukti dan keterangan yang didapatnya selama penyelidikan
kasus. Ia menyadari jika terlalu dipaksakan akan membuat saraf-saraf otak
bekerja ekstra hingga menimbulkan rasa sakit di bagian kepala.
Ketika ia sudah bisa menenangkan
diri, Adi memutar kunci sembari memanaskan mesin. Ketika ia menunggu mesin
mobil panas, Samsung V yang tersimpan
di kantong celananya, berdering keras diikuti getarannya. Adi buru-buru
mengeluarkan handphone-nya dari dalam
kantong. Saat handpone-nya berada di
tangannya, layar LCD-nya menampakkan nama Briptu Dharmawan di sana.
“Halo,” jawab Adi begitu dirinya
menekan tombol hijau di sebelah kiri.
“Halo, pak Adi. Di mana Anda
sekarang?”
“Ini, saya mau berangkat dari
rumah,”
“Oh, kalau begitu, saya harap bapak
cepat datang ke kantor tim polisi sudah menemukan barang bukti baru,”
“Baiklah, saya akan segera ke sana.”
tutup Adi. Adi lantas menaikkan tuas persneling ke kanan. Mobilnya melaju perlahan
meninggalkan gerbang rumahnya.
Lampu merah akan segera berganti
hijau kira-kira satu menit lagi. Adi memperhatikan jalan raya sarat akan
ratusan kendaraan bertenaga minyak. Mereka saling beradu kecepatan satu sama
lain. Bisa dibilang, jalan raya merupakan sumber produkvitas pengendara
kendaraan bertenaga minyak dalam melakukan pekerjaan mereka.
Lampu hijau menyala terang di atas
para pengendara. Sudah waktunya, para pengendara yang berada di sebelah kanan
persimpangan tiga, melajukan kendaraan mereka. Pandangan Adi sejenak tertuju
pada pengamen jalanan yang berada di kiri. Kulit wajahnya yang kusam dan
pakaian yang dikenakannya sudah menjelma menjadi cokelat kehitam-hitaman. Di
tangannya, sebuah alat musik yang terbuat dari tutup botol yang digepengkan,
dipukulkan berkali-kali dengan tangannya hingga menimbulkan suara ‘cring’.
Lagu-lagu yang dilantunkan pengamen
itu, nyaris membuat telinga pengendara mobil yang berada di sana sedikit nyeri.
Sang pengendara mobil langsung memberikan uang seribuan sebagai penghargaan
atas lagunya sekaligus mengusirnya agar ia tidak berada di sana. Pengamen itu
mengucapkan terimakasih lalu meninggalkannya.
Adi tidak mengerti mengapa fenomena
pengamen jalanan bisa menjamur di kota-kata kecil maupun kota-kota besar di
seluruh Indonesia. Apakah fenomena itu murni kemalasan individu dalam mencari
penghidupan atau mereka merupakan jaringan yang sudah terorganisasi sebegitu
besar hingga berkali-kali Satpol PP menjaring dan memberikan penyuluhan, para
pengamen jalan tetap saja menguasai jalan raya. Adakah faktor lain di balik itu
semua?
Setelah dua puluh menit
berkonsentrasi di jalan raya, ujung mobil Adi sudah tiba di depan kantor
kepolisian daerah Kisaran. Kantor ini berada di tengah pusat keramaian kota
Kisaran. Luas kantor polisi itu mencapai dua hektar. Kantor kepolisian
dilengkapi dengan lapangan uji kelayakan SIM, asrama polisi, taman kanak-kanak,
dan poliklinik. Jika para polisi sedang tidak bertugas, mereka dapat sekedar beristirahat
sekaligus berdiskusi di kafe yang dibangun dua tempat di depan kantor dan satu
tempat di belakang kantor.
Tapi untuk pagi ini, suasana kafe
yang berada di depan kantor, tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga orang polisi
sedang menikmati sarapan lontong yang disajikan hangat untuk mereka. Adi tak
tertarik untuk ke sana. Ia memilih masuk ke dalam, menemui Briptu Dharmawan
yang sudah lama menunggunya di dalam kantor.
Kedua bola mata Adi masih mencari
keberadaan Briptu Dharmawan di sana. Suasana kantor tidak terlalu ramai. Hanya
ada seorang polisi dan seorang pemuda tanggung duduk berhadapan. Jika melihat
keadaan ini, Adi langsung mengerti. Sang polisi berpangkat sersan mayor itu
sedang mengetik berita acara kasus yang diperoleh berdasarkan keterangan pemuda
itu. Namun, Adi tak mau tahu kasus apa yang sedang diketik polisi itu. Ia ingin
menemui rekannya saat ini.
“Maaf, membuat Anda menunggu, pak
Adi,” sapa seseorang dari belakangnya.
Adi agak tersentak, langsung
membalikkan tubuhnya ke belakang. “Oh, tidak apa-apa, Briptu Dharmawan. Justru,
sayalah yang harus meminta maaf pada Anda. Apakah Anda menemukan bukti baru
tentang mengenai pembunuh anak itu?”
“Hmm, kami belum bisa menemukan
identitas pembunuh anak itu. Tapi kami punya bukti baru yang kami temukan tidak
jauh dari tempat tewasnya anak itu,”
“Apa itu?” tanya Adi setengah
pensaran.
“Ayo ikuti saya,” Briptu Dharmawan
berbalik badan, meninggalkan Adi di belakangnya. Adi mengekor di belakang
rekannya. Ia melangkahkan kakinya ke sebuah lemari penyimpanan yang berjarak
lima belas meter dari tempat mereka berdiri. Sebelum membuka lemari itu, Briptu
Dharmawan merogoh saputangan dari dalam kantongnya kemudian memakainya pada
kedua tangannya. Ia mengatakan, hal itu dilakukan supaya sidik jari polisi
tidak mencap pada barang bukti, apabila barang bukti itu sudah pernah disentuh
oleh pihak kepolisian.
Briptu Dharmawan membuka kenop
lemari dan terlihatlah sebuah karung goni cokelat berlumuran darah. Memang,
darah yang mengotori karung sudah memudar tapi sisanya masih menempel di
karung.
“Karung goni?”
“Ya, benar. Kami punya dugaan
setelah korban dibunuh, pelaku memasukkan tubuh korban ke dalam karung dan
membuangnya ke sungai,”
“Izinkan saya memfoto karung itu.” Usai
menulis keterangan Dharmawan, Adi meraih handphone
yang berada di saku jaketnya. Ia membidik lurus objek agar foto yang dihasilkan
tidak blur. Begitu hasil foto sudah tersalin, Adi mengembalikan handphone-nya ke dalam saku jaket,
kembali memfokuskan perhatian pada rekannya.
“Bagaimana dengan identitas korban?”
sambung Adi.
“Kami menemukan satu selebaran ini
menempel di tiang listrik.” Dharmawan menyimpan lagi karung goni yang
dipegangnya ke dalam lemari. Ia juga merogoh kantung kiri dinas polisinya. Adi
melihat kertas putih rapuh dan tipis itu dilipat menjadi empat bagian. Adi terus
memusatkan perhatian mulai dari cara Dharmawan mengambil kertas sampai
membukanya.
Meskipun agak kusam dan memudar
warnanya, Adi bisa melihat sedikit ciri-ciri wajah yang tertera di dalam
kertas. Wajah korban pembunuhan yang dilihatnya di rumah sakit, persis dengan
apa yang ada di kertas.
Rambutnya hitam ikal. Lekuk wajahnya
sedikit kekotakan. Hidungnya tidak terlalu besar dengan ujung tumpul. Bola
matanya bulat dengan goresan alis lurus. Sungguh tampan rupa anak ini. Tapi, ia
harus tewas mengenaskan di tangan seorang pembunuh sekaligus predator seks.
Pandangan Adi belum luput dari selebaran itu. Matanya tertuju pada sebuah
nama—Charles Pardomuan. Anak lelaki itu baru menginjak usia sepuluh tahun. Anak
dengan usia seperti itu, merupakan anak sekolah dasar kelas empat. Sudah
menghilang dari rumah sejak empat bulan lalu. Di sana juga sudah terdapat
kontak yang dapat dihubungi apabila seseorang menemukan anak lelaki dengan ciri
yang dimaksudkan.
“Apa jenazah anak lelaki itu sudah
diambil oleh orang tuanya?” tanya Adi setelah selebaran itu dilipat lagi dan
dimasukkan ke dalam kantung seragam Dharmawan.
“Kami sudah menghubungi kontaknya.
Mungkin, nanti sore, orang tua sang anak akan mengambil jenazah mayat anak
mereka,”
“Pak Dharmawan,”
“Ada apa, pak Adi?” tanya Dharmawan
lagi.
“Ini pertama kalinya, aku menangani
kasus pembunuhan yang lumayan rumit. Aku sempat berpikir untuk mundur saja dari
kasus ini,” ungkap Adi. Ia memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Dharmawan.
“Lho, lho, lho, apa yang barusan pak
Adi bilang? Mundur? Kita tidak bisa mundur begitu saja dari kasus ini, pak!
Kita baru saja memulai. Dan lagi, saya tidak asal pilih detektif dalam membantu
saya dalam menangani kasus-kasus sulit seperti ini. Berdasarkan cerita para
klien yang pernah meminta bantuan pada bapak, mereka menganggap kualitas
kinerja bapak cukup memuaskan.”
Adi memutar ulang ingatannya
mengenai kasus-kasus yang pernah ditangani atas permintaan kliennya. Mulai
mencari barang-barang yang tercecer di jalan sampai menguntit pasangan yang
berselingkuh. Ia juga pernah menangani kasus pencurian emas di toko Emas Abadi
kepunyaan orang Tiongkok. Awalnya, kepolisian menganggap pelaku yang terlibat
dalam kasus pencurian di toko itu merupakan orang luar. Tapi, Adi berpendapat
bahwa ada seorang karyawan yang terlibat semacam konspirasi untuk merampok toko
itu. Dan ternyata, dugaan Adi benar.
Setelah menginterogasi beberapa
karyawan di sana, terbuktilah dugaan Adi. Marissa, nama karyawati yang bekerja
di sana, membeberkan bahwa dirinyalah yang bertindak sebagai dalang intelektual
sekaligus korban dalam rencana liciknya.
Marissa melakukan hal itu didasari
rasa kesal karena sang majikan toko tidak memberikan uang pinjaman padanya. Ia
mengatakan bahwa uang pinjaman sebesar lima belas juta, akan dipakai untuk
membayar uang sewa kontrakannya dan membayar utangnya pada bandar judi togel.
Ia menyewa beberapa anak muda jalanan dan mengiming-imingi, seperempat dari
hasil curian akan diberikan kepada mereka. Dan, mereka pun menyetujuinya.
Sejak kasus itulah, nama detektif
Adi semakin dikenal di kalangan kepolisian resort. Kasus kedua yang akhir-akhir
ini ditanganinya adalah penculikan anak seorang pengusaha grosir elektronik.
Awal mula, orang tua sang anak sedang mengunjungi sebuah malluntuk menikmati wahana permainan TimeZone. Ketika sang orang
tua sedang sibuk membeli koin, si anak yang baru berusia empat tahun,
meninggalkan orang tuanya, sekedar melihat-lihat macam-macam permainan yang
berada di wahana. Si anak yang melihat permainan tembak-menembak, ditawarkan
permen lolipop oleh seseorang yang tidak dikenal. Si anak asyik menikmati
lolipop, orang itu menarik tangan anak itu dan meninggalkan wahana.
Setelah dua hari pencarian, anak itu
ditemukan di sebuah gubuk, dengan posisi tubuh terlilit tali tambang. Adi dan
beberapa polisi menemukan sang anak dalam kondisi menangis. Mungkin, sudah
ribuan kali anak kecil itu memohon dibebaskan. Namun, sang penculik bersikeras
kalau orang tuanya sudah memberikan tebusan uang sejumlah seratus juta. Tapi,
seratus juta tak bisa dinikmatinya karena ia harus mendekam di jeruji besi
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Itulah sejumlah kasus yang pernah
diselesaikan oleh dirinya. Ia juga tak bisa menampik kalau ia sungguh-sungguh
memberikan hatinya untuk pekerjaan ini. Ia tidak mematok jumlah uang yang
diberikan klien jika ia sudah selesai menuntaskan pekerjaannya. Ia tetap ikhlas
atas dasar kemanusiaan. Namun, ketika ia menangani kasus penculikan anak, ia
didera semacam sakit kepala yang luar biasa. Otaknya seakan-akan digenjot
dinding beton yang berjalan otomatis. Lalu, gambaran seorang anak kecil yang
selalu menghantui pikirannya, membuatnya harus berpikir ekstra keras,
mengungkap siapa sebenarnya anak kecil itu.
Di alam pikirannya, anak itu selalu
mengalami siksaan fisik dan mental oleh orang tuanya. Terakhir kali yang
diingatnya, ayah si anak kecil itu menampar pipi si anak ketika ia tak senjaga
menumpahkan segelas kopi hanya karena kakinya tersandung seekor kucing. Adi tak
bisa menahan kesedihannya melihat kondisi anak lelaki malang itu.
“Pak Adi, pak Adi..., anda sedang
memikirkan apa?” Dharmawan menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Tidak ada, pak Dharmawan. Memang
benar, yang dikatakan oleh bapak. Saya sudah memberikan hati dan pikiran saya
untuk menjalani setiap kasus yang saya selidiki sebagai seorang detektif. Bukan
hal yang baik, jika saya menyerah begitu saja pada kasus semacam ini, kan?” Adi
menghadapkan wajahnya percaya diri. Senyumnya mengembang di kedua belah bibir
cokelatnya.
“Benar sekali, pak Adi. Ini baru Adi
yang saya kenal. Hahaha,” puji Dharmawan seraya tertawa keras melihat semangat
kawannya yang semula redup kini membara bagai api.
“Kalau begitu, kamu saya traktir
minum cappucinno coffee buatan bu
Sasti di kafe depan.” ajak Adi sambil menepuk pundak rekannya.
“Tumben, bapak mau menraktir saya.
Biasanya bayar masing-masing,”
“Mumpung saya lagi baik hari ini.”
“Ok, kalau begitu, tunggu apa lagi.
Ayo.” Pungkas Dharmawan. Mereka melangkah keluar bersama-sama dari dalam kantor.

No comments:
Post a Comment