Lebih
Dari Sekadar Kekecewaan Biasa
9 Juni 2013
Sudah
cukup. Aku akan pergi ke rumah penulis itu.
Perkataan itu
tak terucap langsung dari bibir perempuan itu. Mungkin dia sudah habis
kesabaran. Menunggu sang penulis tak kunjung memberikan kabar mengenai naskah
yang diberikannya tiga bulan yang lalu.
Awalnya perempuan itu tidak tahu alamat domisili sang
penulis. Namun perempuan itu sering mengintip media sosial sang penulis.
Sekarang, ia mengetahui alamat domisili sang penulis. Untung saja bus Trans
Jakarta sudah beroperasi di Bekasi. Walau harus beberapa kali naik turun halte,
itu sama sekali tak mengurangi niatnya menemui sang penulis.
***
Kini perempuan itu sudah tiba di halte Salemba. Ia turun
dari busway melewati jembatan penyeberangan. Untung saja ada mikrolet berhenti
bertepatan saat perempuan itu menginjak tangga turun jembatan penyeberangan.
“Rawa Mangun, Neng?” tanya sang supir mikrolet.
Perempuan itu hanya menganggukkan kepala sambil
melangkahkan kaki ke dalam mikrolet. Suasana di dalam mikrolet tidak terlalu
padat. Hanya ada dua pria dan empat wanita termasuk dirinya.
Di dalam mikrolet, perempuan itu menyusun berbagai
pertanyaan mengenai naskah novelnya yang tak mendapat kepastian. Dalam hati perempuan
itu, sesibuk apa sang penulis sampai-sampai tidak bisa menyempatkan waktu
sebentar membaca naskah novelnya? Pertanyaan itu masih bersuara di dalam
otaknya. Menuntut jawaban yang tepat dan benar-benar masuk akal.
Ketika sudah berada di Rawa Mangun, perempuan itu
memberhentikan laju mikrolet.
“Kiri, Bang,” ucap perempuan itu. Setelah mikrolet
berhenti, perempuan itu turun dari sana dan membayar ongkos.
Memang ia sudah berada di Rawa Mangun, tapi ia belum
menemukan rumah sang penulis. Ia bertanya pada orang-orang lewat mengenai
alamat yang ia cari.
“Oh laki-laki yang penulis itu toh? Mbak tinggal jalan
lurus saja 50 meter lagi dari sini lalu belok kanan. Kalau ada rumah besar
bercat hijau muda berpagar perak, itulah rumah penulis itu,” jelas lelaki paruh
baya yang sedang duduk di depan warung rokok. Setelah lima orang ditanya, hanya
satu yang tahu betul alamat sang penulis. Perempuan itu mengucapkan terimakasih
sambil beranjak pergi dari lelaki itu.
Perempuan itu berjalan sesuai petunjuk yang diberikan.
Kini ia sudah berhadapan dengan rumah yang dijelaskan lelaki paruh baya itu.
Rumah besar bercat hijau muda, dengan pagar motif tombak. Gugup dan gemetar
menyatu dalam gerak tangan perempuan itu saat menggoyangkan lonceng kecil yang
menggantung dekat engsel pagar.
Ting, ting, ting!
Sudah tiga kali lonceng itu berdenting. Tapi pemilik
rumah belum juga menampakkan batang hidungnya. Perempuan itu mendentingkan
lonceng sekali lagi.
Ting, ting, ting!
Pintu luar rumah itu mulai tersingkap. Menampakkan seorang
wanita berpostur sedang, mengenakan kemeja lengan panjang dan rambut melewati
bahu. Wanita itu menuju ke pagar yang membatasi rumah itu dengan dunia luar.
Dia adalah Christia, manajer sang penulis novel Last Holiday.
“Ada perlu apa?” tanya Christia sambil membuka engsel
pagar.
“Saya ingin meminta kejelasan mengenai penilaian naskah
novel saya,” jawab perempuan itu, lugas.
“Mohon maaf kami berdua tidak sempat untuk membaca naskah
novel kamu,” tampik wanita berkemeja lengan panjang itu.
“Apa? Enggak sempat? Enggak sempat apa maksud Anda?”
tanya perempuan itu, agak emosi.
“Bisakah Anda berbicara lebih sopan? Orang yang Anda cari
sedang tidak berada di sini.”
“Bohong. Saya ingin berbicara dengannya,” desak perempuan
itu.
Merasa tidak bisa meyakinkan perempuan itu, Christia
mengambil handphone di dalam saku
jins. Ketika ia sudah menemukan kontak yang dimaksud, ia menekan tombol hijau
sambil menekan handphone ke daun
telinga.
“Halo.”
“Halo Christia, ada apa?” Panggilan telepon sudah
tersambung.
“Ada seseorang yang ingin berbicara dengan Anda?”
“Siapa dia?”
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” ucap Christia sambil
memberikan handphone itu pada perempuan di depannya.
“Kenapa sampai sekarang Anda menelantarkan naskah saya?
Apakah Anda berniat menipu saya?” tanya perempuan itu dengan tekanan suara agak
tinggi.
“Kamu salah paham. Saya benar-benar sibuk untuk saat ini.
Banyak yang mengundang saya dalam acara atau seminar kepenulisan. Perlu kamu
tahu, saya sedang melakukan ri—“
“Maaf... jika saya mengganggu pekerjaan Anda. Maafkan
juga kalau saya terlalu berharap naskah novel saya akan dibaca oleh penulis
idola saya. Rasanya tidak mungkin kalau saya bisa menjadi penulis yang sesukses
Anda.”
“Kau salah paham lagi. Hei? Halo?” Perempuan itu sudah
memutus sambungan telepon.
“Bisakah Anda
memberikan naskah novel itu kepadaku?” Perempuan itu memberikan handphone itu kepada pemiliknya. Bola
mata perempuan itu memerah tapi tak tampak lelehan air mata menetes di kelopak
mata.
Christia memalingkan badan menuju dalam rumah sambil
mengambil barang yang dimaksud perempuan itu. Sementara menunggu, perempuan itu
menangis sesunggukkan tanpa mengeluarkan suara. Ia tidak tahu kata-kata seperti
apa yang menggambarkan kesedihan yang dialaminya saat ini.
“Ini dia.” Christia mengangsurkan ratusan kertas
tersampul dan terjilid rapi. Perempuan itu menerima dengan tangan gemetar.
“Maafkan kami.” Hanya dua kata itu yang terucap dari
bibir Christia. Sementara perempuan itu sudah memalingkan badan, menjauhi rumah
sang penulis novel.
***
Perempuan itu duduk termangu di depan teras rumah.
Ditemani secangkir susu cokelat yang mulai mendingin. Ia menatap lurus seakan
sedang menembus batas angan.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Dik. Memang tidak mudah
menjalin komunikasi dengan orang-orang high
class. Mereka akan dipenuhi kesibukan luar biasa yang membuat mereka tak
sempat berinteraksi dengan orang-orang low
class seperti kita.” Sang kakak mencoba menasihati sang adik yang tengah
melamun.
Tapi sang adik tidak merespons nasihat sang kakak.
Bahkan, tak ada niat melirik sang kakak yang duduk di sebelahnya. Ia hanya
fokus pada lamunan mengenai cita-cita yang hancur karena ulah penulis idolanya.
“Dan perlu kau tahu, kuharap kau menghentikan cita-citamu
sebagai seorang penulis. Di Indonesia, penulis itu masih kalah saing dengan
pegawai negeri sipil, pengusaha, dokter, polisi, tentara dan pekerjaan
bergengsi lainnya. Penghasilan yang kau dapatkan dari hasil menulis tidak akan
cukup memenuhi kebutuhan hidupmu. Bahkan ada salah satu penulis yang kukenal,
keadaan hidupnya serba pas-pasan dan bisa kubilang hampir melarat. Terakhir, di
Indonesia, minat membaca buku di kalangan masyarakat masih sangat rendah.
Kebutuhan masyarakat Indonesia akan buku pun tidak terlalu tinggi. Dan jikalau
kau berhasil menerbitkan sebuah buku, apakah kau yakin bukumu bakal laris manis
di pasaran?” Sang kakak mencoba memengaruhi pikiran sang adik dengan stigma
negatif mengenai buku dan dunia kepenulisan.
Merasa cita-citanya dipandang enteng, perempuan itu
menoleh ke arah sang kakak dengan sorot mata tajam.
“Diam kau! Itu bukan urusanmu!” maki perempuan itu sambil
menggertakkan rahangnya.
Sang kakak hanya terdiam. Tak berani membalas makian sang
adik. Perempuan itu memilih menyingkir dari hadapan sang kakak daripada emosi
memuncak mendengar nasihat sang kakak yang terkesan mematahkan semangat.
***
Sudah jam dua belas tengah malam. Diam-diam perempuan itu
menyingkap pintu kamar tidur sedikit demi sedikit. Dan sekarang perempuan itu
sudah keluar dari kamar tidur. Dia membawa segulung peralatan mekanik di tangan
kanan. Perlahan-lahan menuruni anak tangga menuju Mega Pro yang terparkir di
ruang tamu.
“Kakak, aku ingin memberimu sedikit pelajaran agar kau
tidak berlagak seperti pembalap jalan raya dan satu hal yang harus kau
camkan... jangan membuatku marah,” gumam perempuan itu sambil menyeringai
samar. Dia sudah berdiri di hadapan Mega Pro itu.
***
10 Juni 2013
Pagi ini sang ibu baru saja selesai memberikan sarapan
pada kedua anaknya. Si kakak meraih tas sandang yang berada di bawah kursi
sedangkan perempuan itu mulai menaiki anak tangga yang akan mengantarnya menuju
kamar tidur.
“Aku pergi dulu ya, Bu.” Sang kakak berpamitan dengan
mencium punggung tangan sang ibu. Sang kakak sudah menggiring sepeda motornya
menuju halaman rumah.
Sebelum menaiki anak tangga terakhir, perempuan itu
tersenyum samar saat deru knalpot sepeda motor menghantarkan sang kakak
meninggalkan pekarangan rumah.
Di dalam kamar tidur perempuan itu tak henti memaki sang
penulis novel yang dulu menjadi pujaannya itu.
“Dasar penulis sombong! Dasar penulis angkuh! Aku akan
balas perbuatanmu padaku! Lihat saja!” maki perempuan itu, geram sambil
mencoret-coret kertas bergambarkan wajah sang penulis novel. Belum puas sampai
di situ, perempuan itu beralih ke rak buku. Ia menumpahkan segala amarah dan
kekesalan dengan menjatuhkan rak buku.
Praaakkkk!
Debuman kayu disertai suara pecahan kaca cukup
mengagetkan sang ibu yang sedang membersihkan rumah untuk menuju kamar tidur
putrinya.
“Ada apa ini?”
Sang ibu membuka pintu kamar putrinya yang tidak
terkunci. Ia melihat anaknya duduk di lantai sambil memalingkan kepala,
menghindari tatapan mata sang ibu.
“Kamu kenapa, Nak? Coba ceritakan apa masalahmu pada
ibu?” rayu sang ibu sambil mencoba mendekati putrinya.
“Jangan mendekat, Bu. Aku tidak apa-apa. Aku bisa
menyelesaikan masalahku sendiri,” hardik perempuan itu dengan sorot mata merah
dan menusuk.
Sang ibu merasa ada hal yang aneh pada putrinya, mencoba
mendekat sekali lagi.
“Tidak. Ini pasti ada apa-apa. Coba jelaskan apa
masalahmu,” bantah sang ibu seraya memaksa mendekati putrinya.
“Jangan mendekat, Ibu! Sudah kukatakan aku bisa
menyelesaikan masalahku sendiri! Dan kumohon, tinggalkan aku sendiri!” bentak
perempuan sambil menyuruh sang ibu pergi.
Sebenarnya sang ibu tidak rela meninggalkan anaknya
sendirian. Naluriah alami seorang ibu mengatakan kalau anaknya sedang mengalami
masalah yang tidak bisa dikatakan enteng. Itu terlihat bagaimana kekacauan yang
dibuat oleh putrinya. Ingin sekali ia berada di sana, menemani putrinya
menangis sambil mencoba membujuk agar mau bercerita. Tapi melihat keadaan
putrinya yang begitu emosional, mau tak mau sang ibu harus meninggalkan anak
sendirian. Ia masih menunggu waktu tepat agar bisa bicara dengan sang anak
perempuannya.
Ketika menuruni anak tangga terakhir, suara telepon
menginterupsi lamunan sang ibu. Melangkah meraih gagang telepon.
“Halo, dengan siapa ini?”
“Apakah ini Ibu Miskha? Kami dari kepolisian.”
“Ya ini saya sendiri. Ada apa dengan anak saya? Kenapa handphone anak saya bisa berada di
kepolisian?” cecar sang ibu dengan nada panik.
“Saya mohon Ibu segera ke RSU Bekasi. Kondisi anak ibu
saat ini sedang kritis.”
Perempuan paruh baya itu menangis tersedu-sedu seraya menuju
kamar tidur.