Thursday, 29 June 2017

Sang Novelis - 28



Lebih Dari Sekadar Kekecewaan Biasa
            9 Juni 2013
            Sudah cukup. Aku akan pergi ke rumah penulis itu.
            Perkataan itu tak terucap langsung dari bibir perempuan itu. Mungkin dia sudah habis kesabaran. Menunggu sang penulis tak kunjung memberikan kabar mengenai naskah yang diberikannya tiga bulan yang lalu.
            Awalnya perempuan itu tidak tahu alamat domisili sang penulis. Namun perempuan itu sering mengintip media sosial sang penulis. Sekarang, ia mengetahui alamat domisili sang penulis. Untung saja bus Trans Jakarta sudah beroperasi di Bekasi. Walau harus beberapa kali naik turun halte, itu sama sekali tak mengurangi niatnya menemui sang penulis.
***
            Kini perempuan itu sudah tiba di halte Salemba. Ia turun dari busway melewati jembatan penyeberangan. Untung saja ada mikrolet berhenti bertepatan saat perempuan itu menginjak tangga turun jembatan penyeberangan.
            “Rawa Mangun, Neng?” tanya sang supir mikrolet.
            Perempuan itu hanya menganggukkan kepala sambil melangkahkan kaki ke dalam mikrolet. Suasana di dalam mikrolet tidak terlalu padat. Hanya ada dua pria dan empat wanita termasuk dirinya.
            Di dalam mikrolet, perempuan itu menyusun berbagai pertanyaan mengenai naskah novelnya yang tak mendapat kepastian. Dalam hati perempuan itu, sesibuk apa sang penulis sampai-sampai tidak bisa menyempatkan waktu sebentar membaca naskah novelnya? Pertanyaan itu masih bersuara di dalam otaknya. Menuntut jawaban yang tepat dan benar-benar masuk akal.
            Ketika sudah berada di Rawa Mangun, perempuan itu memberhentikan laju mikrolet.
            “Kiri, Bang,” ucap perempuan itu. Setelah mikrolet berhenti, perempuan itu turun dari sana dan membayar ongkos.
            Memang ia sudah berada di Rawa Mangun, tapi ia belum menemukan rumah sang penulis. Ia bertanya pada orang-orang lewat mengenai alamat yang ia cari.
            “Oh laki-laki yang penulis itu toh? Mbak tinggal jalan lurus saja 50 meter lagi dari sini lalu belok kanan. Kalau ada rumah besar bercat hijau muda berpagar perak, itulah rumah penulis itu,” jelas lelaki paruh baya yang sedang duduk di depan warung rokok. Setelah lima orang ditanya, hanya satu yang tahu betul alamat sang penulis. Perempuan itu mengucapkan terimakasih sambil beranjak pergi dari lelaki itu.
            Perempuan itu berjalan sesuai petunjuk yang diberikan. Kini ia sudah berhadapan dengan rumah yang dijelaskan lelaki paruh baya itu. Rumah besar bercat hijau muda, dengan pagar motif tombak. Gugup dan gemetar menyatu dalam gerak tangan perempuan itu saat menggoyangkan lonceng kecil yang menggantung dekat engsel pagar.
            Ting, ting, ting!
            Sudah tiga kali lonceng itu berdenting. Tapi pemilik rumah belum juga menampakkan batang hidungnya. Perempuan itu mendentingkan lonceng sekali lagi.
              Ting, ting, ting!
            Pintu luar rumah itu mulai tersingkap. Menampakkan seorang wanita berpostur sedang, mengenakan kemeja lengan panjang dan rambut melewati bahu. Wanita itu menuju ke pagar yang membatasi rumah itu dengan dunia luar. Dia adalah Christia, manajer sang penulis novel Last Holiday.
            “Ada perlu apa?” tanya Christia sambil membuka engsel pagar.
            “Saya ingin meminta kejelasan mengenai penilaian naskah novel saya,” jawab perempuan itu, lugas.
            “Mohon maaf kami berdua tidak sempat untuk membaca naskah novel kamu,” tampik wanita berkemeja lengan panjang itu.
            “Apa? Enggak sempat? Enggak sempat apa maksud Anda?” tanya perempuan itu, agak emosi.
            “Bisakah Anda berbicara lebih sopan? Orang yang Anda cari sedang tidak berada di sini.”
            “Bohong. Saya ingin berbicara dengannya,” desak perempuan itu.
            Merasa tidak bisa meyakinkan perempuan itu, Christia mengambil handphone di dalam saku jins. Ketika ia sudah menemukan kontak yang dimaksud, ia menekan tombol hijau sambil menekan handphone ke daun telinga.
            “Halo.”
            “Halo Christia, ada apa?” Panggilan telepon sudah tersambung.
            “Ada seseorang yang ingin berbicara dengan Anda?”
            “Siapa dia?”
            “Nanti kamu akan tahu sendiri,” ucap Christia sambil memberikan handphone itu pada perempuan di depannya.
            “Kenapa sampai sekarang Anda menelantarkan naskah saya? Apakah Anda berniat menipu saya?” tanya perempuan itu dengan tekanan suara agak tinggi.
            “Kamu salah paham. Saya benar-benar sibuk untuk saat ini. Banyak yang mengundang saya dalam acara atau seminar kepenulisan. Perlu kamu tahu, saya sedang melakukan ri—“
            “Maaf... jika saya mengganggu pekerjaan Anda. Maafkan juga kalau saya terlalu berharap naskah novel saya akan dibaca oleh penulis idola saya. Rasanya tidak mungkin kalau saya bisa menjadi penulis yang sesukses Anda.”
            “Kau salah paham lagi. Hei? Halo?” Perempuan itu sudah memutus sambungan telepon.
             “Bisakah Anda memberikan naskah novel itu kepadaku?” Perempuan itu memberikan handphone itu kepada pemiliknya. Bola mata perempuan itu memerah tapi tak tampak lelehan air mata menetes di kelopak mata.
            Christia memalingkan badan menuju dalam rumah sambil mengambil barang yang dimaksud perempuan itu. Sementara menunggu, perempuan itu menangis sesunggukkan tanpa mengeluarkan suara. Ia tidak tahu kata-kata seperti apa yang menggambarkan kesedihan yang dialaminya saat ini.
            “Ini dia.” Christia mengangsurkan ratusan kertas tersampul dan terjilid rapi. Perempuan itu menerima dengan tangan gemetar.
            “Maafkan kami.” Hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Christia. Sementara perempuan itu sudah memalingkan badan, menjauhi rumah sang penulis novel.
***
            Perempuan itu duduk termangu di depan teras rumah. Ditemani secangkir susu cokelat yang mulai mendingin. Ia menatap lurus seakan sedang menembus batas angan.
            “Jangan terlalu memaksakan diri, Dik. Memang tidak mudah menjalin komunikasi dengan orang-orang high class. Mereka akan dipenuhi kesibukan luar biasa yang membuat mereka tak sempat berinteraksi dengan orang-orang low class seperti kita.” Sang kakak mencoba menasihati sang adik yang tengah melamun.
            Tapi sang adik tidak merespons nasihat sang kakak. Bahkan, tak ada niat melirik sang kakak yang duduk di sebelahnya. Ia hanya fokus pada lamunan mengenai cita-cita yang hancur karena ulah penulis idolanya.
            “Dan perlu kau tahu, kuharap kau menghentikan cita-citamu sebagai seorang penulis. Di Indonesia, penulis itu masih kalah saing dengan pegawai negeri sipil, pengusaha, dokter, polisi, tentara dan pekerjaan bergengsi lainnya. Penghasilan yang kau dapatkan dari hasil menulis tidak akan cukup memenuhi kebutuhan hidupmu. Bahkan ada salah satu penulis yang kukenal, keadaan hidupnya serba pas-pasan dan bisa kubilang hampir melarat. Terakhir, di Indonesia, minat membaca buku di kalangan masyarakat masih sangat rendah. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan buku pun tidak terlalu tinggi. Dan jikalau kau berhasil menerbitkan sebuah buku, apakah kau yakin bukumu bakal laris manis di pasaran?” Sang kakak mencoba memengaruhi pikiran sang adik dengan stigma negatif mengenai buku dan dunia kepenulisan.
            Merasa cita-citanya dipandang enteng, perempuan itu menoleh ke arah sang kakak dengan sorot mata tajam.
            “Diam kau! Itu bukan urusanmu!” maki perempuan itu sambil menggertakkan rahangnya.
            Sang kakak hanya terdiam. Tak berani membalas makian sang adik. Perempuan itu memilih menyingkir dari hadapan sang kakak daripada emosi memuncak mendengar nasihat sang kakak yang terkesan mematahkan semangat.
***
            Sudah jam dua belas tengah malam. Diam-diam perempuan itu menyingkap pintu kamar tidur sedikit demi sedikit. Dan sekarang perempuan itu sudah keluar dari kamar tidur. Dia membawa segulung peralatan mekanik di tangan kanan. Perlahan-lahan menuruni anak tangga menuju Mega Pro yang terparkir di ruang tamu.
            “Kakak, aku ingin memberimu sedikit pelajaran agar kau tidak berlagak seperti pembalap jalan raya dan satu hal yang harus kau camkan... jangan membuatku marah,” gumam perempuan itu sambil menyeringai samar. Dia sudah berdiri di hadapan Mega Pro itu.
***
            10 Juni 2013
            Pagi ini sang ibu baru saja selesai memberikan sarapan pada kedua anaknya. Si kakak meraih tas sandang yang berada di bawah kursi sedangkan perempuan itu mulai menaiki anak tangga yang akan mengantarnya menuju kamar tidur.
            “Aku pergi dulu ya, Bu.” Sang kakak berpamitan dengan mencium punggung tangan sang ibu. Sang kakak sudah menggiring sepeda motornya menuju halaman rumah.
            Sebelum menaiki anak tangga terakhir, perempuan itu tersenyum samar saat deru knalpot sepeda motor menghantarkan sang kakak meninggalkan pekarangan rumah.
            Di dalam kamar tidur perempuan itu tak henti memaki sang penulis novel yang dulu menjadi pujaannya itu.
            “Dasar penulis sombong! Dasar penulis angkuh! Aku akan balas perbuatanmu padaku! Lihat saja!” maki perempuan itu, geram sambil mencoret-coret kertas bergambarkan wajah sang penulis novel. Belum puas sampai di situ, perempuan itu beralih ke rak buku. Ia menumpahkan segala amarah dan kekesalan dengan menjatuhkan rak buku.
            Praaakkkk!
            Debuman kayu disertai suara pecahan kaca cukup mengagetkan sang ibu yang sedang membersihkan rumah untuk menuju kamar tidur putrinya.
            “Ada apa ini?”
            Sang ibu membuka pintu kamar putrinya yang tidak terkunci. Ia melihat anaknya duduk di lantai sambil memalingkan kepala, menghindari tatapan mata sang ibu.
            “Kamu kenapa, Nak? Coba ceritakan apa masalahmu pada ibu?” rayu sang ibu sambil mencoba mendekati putrinya.
            “Jangan mendekat, Bu. Aku tidak apa-apa. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri,” hardik perempuan itu dengan sorot mata merah dan menusuk.
            Sang ibu merasa ada hal yang aneh pada putrinya, mencoba mendekat sekali lagi.
            “Tidak. Ini pasti ada apa-apa. Coba jelaskan apa masalahmu,” bantah sang ibu seraya memaksa mendekati putrinya.
            “Jangan mendekat, Ibu! Sudah kukatakan aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri! Dan kumohon, tinggalkan aku sendiri!” bentak perempuan sambil menyuruh sang ibu pergi.
            Sebenarnya sang ibu tidak rela meninggalkan anaknya sendirian. Naluriah alami seorang ibu mengatakan kalau anaknya sedang mengalami masalah yang tidak bisa dikatakan enteng. Itu terlihat bagaimana kekacauan yang dibuat oleh putrinya. Ingin sekali ia berada di sana, menemani putrinya menangis sambil mencoba membujuk agar mau bercerita. Tapi melihat keadaan putrinya yang begitu emosional, mau tak mau sang ibu harus meninggalkan anak sendirian. Ia masih menunggu waktu tepat agar bisa bicara dengan sang anak perempuannya.
            Ketika menuruni anak tangga terakhir, suara telepon menginterupsi lamunan sang ibu. Melangkah meraih gagang telepon.
            “Halo, dengan siapa ini?”
            “Apakah ini Ibu Miskha? Kami dari kepolisian.”
            “Ya ini saya sendiri. Ada apa dengan anak saya? Kenapa handphone anak saya bisa berada di kepolisian?” cecar sang ibu dengan nada panik.
            “Saya mohon Ibu segera ke RSU Bekasi. Kondisi anak ibu saat ini sedang kritis.”
            Perempuan paruh baya itu menangis tersedu-sedu seraya menuju kamar tidur.

No comments:

Post a Comment