Monday, 5 June 2017

Sang Novelis - 24



Hari H
            15 Februari 2013        
            Dengan ditemani segelas teh manis panas, perempuan itu sedang menunggu lima kertas terakhir keluar dari mesin cetak.
            Perempuan itu melirik ke arah jam dinding. Pukul delapan pagi. Dan dia masih belum mandi. Padahal acara book signing bertempat di Toko Buku Gramedia Leuwi Pajang. Jika ditaksir kasar, waktu tempuh dari rumah ke toko buku akan menghabiskan waktu dua jam dari Purwakarta.
            Kalau begini aku akan terlambat, cemas batin perempuan itu. Tapi satu hal yang masih dia syukuri. Naskah novel perdananya sudah selesai dua hari sebelum hari H.
***
            Dalam kondisi rambut masih lembab dan lambung masih mencerna makanan, perempuan itu telah berada di terminal. Menunggu keberangkatan bus dari Purwakarta menuju terminal Leuwi Pajang.
            “Kau benar-benar nekat, Adikku. Demi tandatangan tak seberapa dari seorang penulis, kau mau menempuh perjalanan berjam-jam ke Leuwi Pajang,” ujar sang kakak yang masih berdiri menasihati sang adik.
            “Kau tidak akan mengerti antusiasme seorang fans terhadap karya seorang penulis. Dan aku sangat mengerti apa yang kulakukan ini bukanlah sesuatu yang tak berguna. Lagipula, aku punya urusan penting dengan penulis novel itu,” bela perempuan berkucir karet itu sambil menatap sang kakak penuh keyakinan.
             “Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu,” respons sang kakak yang kelihatan pasrah dengan adiknya. “Ini. Ada sedikit uang diberikan ibu untukmu.” Sang kakak mengangsurkan empat lembar nominal lima puluh ribu ke tangan sang adik.
            “Apa masih kurang?” tanya sang kakak guna memastikan.
            “Mungkin lima puluh ribu lagi,” jawab perempuan itu sambil tersenyum kecil.
             Sang kakak menarik dompet dari dalam saku celana, memberikan selembar uang lima puluh ribu ke tangan sang adik.
            “Ini sudah cukup,” kata sang adik sambil berjalan meninggalkan sang kakak. Perempuan itu langsung menaiki bus begitu sang kondektur mengatakan tujuan bus itu pergi.
***
            Menikmati hijau suasana alam membuat hati perempuan itu tenang. Semula terasa resah karena ia akan terlambat ke acara signing book. Perempuan itu memilih memasrahkan diri, berdoa kepada Sang Mahakuasa agar ia masih punya kesempatan bertemu dengan sang penulis idola.
            Struktur jalan berkelok-kelok ditambah udara dingin, mulai menggelitik kelopak mata agar segera melelapkan diri. Dan sekarang perempuan itu benar-benar membenamkan diri dalam tidur lelapnya.
***
            Senyuman manis itu tergores indah di wajah ketika perempuan itu membubuhkan tanda tangan di halaman depan sebuah novel.
            “Kak, Novelnya bagus loh. Saya suka dengan karakter tokohnya. Bikin gemas sekaligus takjub gitu. Kakak dapat idenya dari mana?” tanya salah satu fan yang novelnya sudah ditandatangani penulis itu.
            “Oh ya? Benarkah?” tanya sang penulis. Kedua belah pipi penulis itu merah merona.
            “Serius, Kak. Kalau bicara ide sih, dapat dari mana saja. Misalnya kamu melihat atau mengetahui sebuah kejadian pembunuhan, pencurian atau apa saja, kamu bisa menjadikan itu sebagai inspirasi ceritamu lalu kamu tambahan riset yang mendukung dengan alur ceritamu. Saya kira hanya itu saja,” jelas sang penulis, simpel.
             “Tapi masalahnya saya tidak punya bakat menulis. Bagaimana mengatasi hal itu?” tanya fan laki-laki itu.
            “Hei, Bang, bukan hanya kau saja yang mengantri di sini. Lihat. Masih banyak yang ingin meminta tandatangan,” omel salah seorang perempuan yang berada di belakang fan laki-laki itu.
            “Kalau begitu, saya akan menjumpai Kakak sehabis acara book signing,” pesan sang fan lalu pergi meninggalkan sang penulis. Dan antrian di belakang mulai membuka halaman novel mereka.
***
            “Leuwi Pajang, Leuwi Pajang,” ucap sang kondektur dengan logat Sunda dari depan bus.
            Telinga perempuan itu cukup peka mendengar perkataan sang kondektur. Di situlah akhir dari mimpi indahnya. Ia mencelik mata terlebih dahulu lalu menggerakkan badan. Menghilangkan rasa kebas di badan. Memang betul yang diucapkan sang kondektur. Sekarang ia sudah berada di Leuwi Pajang. Dan toko buku Gramedia Leuwi Pajang tinggal seratus meter lagi.
            Setelah merapikan jaket yang melekat di badan, ia mengambil tas yang tersimpan di bagasi atas. Lalu bersiap-siap turun di tempat yang dia tuju.
            Kini ia sudah tiba di depan gedung toko buku Gramedia Leuwi Pajang. Sebenarnya toko buku itu tidak punya gedung sendiri. Toko buku Gramedia menyatu dengan toko-toko lain. Ia mengetahui hal itu setelah ia memasuki gedung dan bertanya pada pengunjung yang hilir balik.
            Toko buku itu berada di lantai tiga berdekatan dengan toko handphone Seikan dan toko pakaian Hawaii.
            Dan benar di depan toko itu terpajang sebuah stand bertuliskan acara book signing novel Last Holiday. Dan kelihatannya acara akan berakhir. Karena hanya sedikit para fans yang ingin meminta tandatangan dari sang penulis. Melihat keadaan itu, perempuan itu berlari agak kencang menuju antrian yang mulai sepi itu.
            “Permisi apakah acara ini sudah selesai?” tanya perempuan itu, agak tersengal.
            “Ya, acara ini memang sudah mau selesai. Ada keperluan apa?” tanya sang penulis begitu selesai membubuhkan tandatangan terakhir.
            Perempuan itu tergesa-gesa membuka resleting tas punggung, mengobok-obok isi dalam tas.
            “Bisakah saya meminta tandatangan untuk novel saya?” pinta perempuan itu sambil menyodorkan novel miliknya.
            Sang penulis mengambil novel yang disodorkan perempuan itu. Ia membuka cover, membubuhkan tandatangan miliknya di sana. Lalu, mengembalikan novel itu pada pemiliknya.
            “Tapi saya seperti tidak asing dengan kamu? Coba katakan di mana saya pernah melihat kamu?” tanya sang penulis. Kedua alis tebalnya bertautan.
            “Saya pernah chatting dengan Anda di facebook beberapa bulan lalu,” jawab perempuan itu.
            Lama berpikir dan mencari informasi di dalam kepala, barulah sang penulis angkat bicara.
            “Oh ini kamu toh. Maaf saya baru ingat.”
            “Bolehkah saya meminta tolong pada Anda?” pinta perempuan itu dengan tatapan antusias.
            “Minta tolong untuk apa?”
            Perempuan itu memberikan sebuah naskah yang sudah dijilid rapi pada sang penulis. “Saya minta tolong pada Anda untuk memberikan kritik dan saran pada naskah novel buatan saya. Bisakah Anda membantu saya?”
            Sang penulis tidak memilih menjawab pertanyaan itu langsung. Ia pertama kali mengamati judul naskah kemudian membuka halaman secara acak.
            “Baiklah. Saya akan membaca naskahmu lalu saya akan menuliskan kritik dan saran di dalam naskah ini juga. Tapi, kamu sudah menerakan alamat atau nomor telepon yang bisa dihubungi?”
            Perempuan itu mengangguk sekali. “Terimakasih atas bantuannya, Kak.”

No comments:

Post a Comment