Sunday, 18 June 2017

Sang Novelis - 25



Karakter dan Konflik
            27 Maret 2016
            Memang perbaikan gedung Amazing Children Course akan memakan waktu cukup lama. Tapi Ervano tidak bisa membiarkan murid-murid kelas menulis libur lebih lama. Ia memilih menghubungi salah satu muridnya dan mengatakan untuk datang ke rumah sang guru. Melanjutkan materi pelajaran yang sempat tertunda.
            Setelah menunggu selama satu jam, murid yang terkumpul di rumah Ervano sebanyak tiga puluh orang. Ervano mengambil sebuah papan putih dan menuliskan tiga kata di sana.
            “Karakter dan konflik. Mungkin beberapa bulan lewat kita sudah mempelajari apa itu karakter dan cara mendeskripsikan karakter tokoh. Sekarang saya akan bertanya, apa yang kalian ketahui tentang konflik?” tanya Ervano sambil mengedarkan pandangan pada seluruh muridnya.
            Salah satu murid perempuan berponi sejajar dengan kening mengacungkan tangan. “Konflik itu adalah sejumlah permasalahan yang dihadapi karakter dalam cerita,” ujar perempuan berponi itu.
            “Cukup bagus. Ada yang ingin menambahkan?”
            Ervano memberikan kesempatan kepada muridnya yang lain untuk memberikan pendapat. Seorang laki-laki mengacungkan tanya di hadapan Ervano.
            “Ya, Reza silakan,” izin Ervano.
            “Konflik adalah permasalahan yang diakibatkan adanya perbedaan karakterisasi dan kepentingan tokoh dalam alur cerita,” jawab lelaki bernama Reza.
            “Tepat sekali,” timpal Ervano sambil melanjutkan penjelasannya. “Perbedaan adalah kodrat yang tak bisa dihilangkan dalam kehidupan kita. Dan, perbedaan karakter tokoh cerita akan mengalami pergesekan dan akhirnya menimbulkan konflik. Dan, perbedaan misi dan kepentingan karakter protagonis dan antagonis juga turut mempertajam ketegangan konflik dalam cerita. Dan saya akan memaparkan jenis konflik yang sering digunakan penulis dalam cerita. Pertama, konflik karakter dengan lingkungan. Kedua, konflik karakter dengan karakter tokoh yang lain. Dan terakhir, konflik karakter dengan diri sendiri,” terang Ervano panjang lebar.
            “Dan yang menjadi tugas kalian, coba jelaskan maksud dari ketiga jenis konflik itu dan beri contoh paragraf mengenai ketiga contoh itu. Dimulai dari sekarang,” intruksi Ervano pada muridnya. Tak berselang lama, handphone dalam saku jims Ervano berbunyi. Lelaki itu memilih mejauhkan diri dari para muridnya.
            “Halo,” jawab Ervano.
            “Halo Pak Ervano. Anda sedang di rumah?” sahut suara perempuan dari seberang sana.
            “Oh Ibu Violana. Ya benar. Ada keperluan apa ya?”
            “Tidak ada. Saya hanya ingin memberitahu saja kalau saya akan tiba di rumah kira-kira satu setengah jam lagi,” kata Violana.
            “Baiklah kalau begitu. Tapi setelah Ibu Violana tiba, bisa kita membicarakan soal ide baru untuk novel saya?” usul Ervano.
            “Hmm, kalau itu kita bicarakan saja besok. Badan saya masih terasa lelah,” tolak Violana secara halus.
            “Saya mengerti. Semoga Ibu Violana selamat sampai tujuan,” tutup Ervano sambil menyimpan lagi handphone-nya. Selesai berbicara dengan sang manajer, Ervano kembali dari dapur menuju ruang tamu.
            Dia melihat satu sampai dengan dua murid pindah tempat duduk, kembali ke posisi semula ketika melihat sang guru datang.
            “Bagaimana sudah siap? Bisa dikumpulkan?” tanya Ervano sambil menarik kursi duduk di depan murid-muridnya.
            “Belum, Pak,” jawab mereka serempak seperti anak SD.
            “Dari tadi saya menelepon belum siap juga? Saya rasa tugas yang berikan tidak terlalu sulit.” Ervano bangkit dari kursi lalu berjalan, memeriksa pekerjaan para muidnya. Satu per satu.
***
            Lama juga menunggu murid-murid ini siap, keluh Ervano, membatin. Ia masih merapikan susunan kertas yang masih terlihat acak. Ervano sudah mempersilakan para murid untuk pulang tapi masih ada satu murid tersisa. Kemudian murid itu menghampiri dirinya.
            “Ada perlu apa ya, Nak?” tanya Ervano sambil menyimpan tumpukan kertas itu dalam tas.
            Perempuan berwajah tirus itu tidak langsung menjawab melainkan membuka resleting tas sambil mengambil sesuatu di dalamnya. Begitu ketemu, perempuan itu langsung memberikan pada Ervano. Ervano membuka kover lalu membubuhkan tanda tangannya.
            “Jarang sekali ada perempuan suka novel thriller. Kalau boleh tahu siapa namamu?” tanya Ervano sambil mengembalikan novel itu pada pemiliknya. 
            “Dania, Pak. Tapi, apa Pak Ervano tahu penulis novel Otak Pikiran? Saya juga ingin meminta tandatangan dari penulisnya.”
            “Kalau tidak salah sih, huruf pertama A dan huruf terakhir Lane. Oh ya, A. A Lane. Itu nama penulisnya. Seperti nama orang luar negeri, bukan?” terka Ervan sambil menjentikkan jari.
            “Kalau nama penulisnya saya tahu, maksud saya, apa Pak Ervano mengenali nama penulis itu? Oh ya, Pak Ervano perlu tahu ini. Ketika saya membaca novel Absurd dan Otak Pikiran, saya melihat ada kesamaan dalam dua novel itu.” Dania menatap mata gurunya serius.
            “Kesamaan bagaimana maksudmu?”
            “Ya lebih baik Pak Ervan baca dan cari sendiri. Pasti Bapak akan menemukan apa yang saya maksud itu. Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak. Terimakasih atas tandatangannya,” pamit Dania sambil meninggalkan gurunya.
            Ervano masih termangu di kursi sambil berpikir.
            Apakah dia benar-benar serius?

No comments:

Post a Comment