Thursday, 22 June 2017

Sang Novelis - 26



Cross Check
            Sosok berjaket merah mengangkat handphone sambil mengamati kontak di dalamnya. Setelah menemukan kontak yang diinginkan, sosok itu menekan tombol hijau.
            “Halo, kau masih di rumah?”
            “Ya saya masih ada di rumah Ibu. Ada informasi apa?”
             “Bagus. Aku hanya ingin memberitahukan kalau aku akan segera di rumah. Pernah polisi datang ke rumah saya?”
            “Tidak, Bu. Sejauh ini kondisi aman.”
            “Baiklah. Tunggu kedatangan saya ke sana. Saya masih punya satu tugas terakhir untukmu,” pungkas sosok berjaket merah itu sambil menyimpan kembali handphone-nya.
            “Ya tugas terakhir,” gumam sosok itu sambil menyeringai jahat.
***
            Kini yang tersisa di rumah hanya Ervano seorang diri. Ia masih merenungi apa yang dikatakan Dania, anak didiknya.
            Ketika saya membaca novel Absurd dan Otak Pikiran, saya melihat ada kesamaan dalam dua novel itu.
            Tak ingin lama berpikir, Ervano menaiki tangga menuju kamar. Ia harus menemukan novel Otak dan Pikiran yang ia letakkan di dalam laci meja.
            Berada di depan pintu kamar, ia langsung menekan gagang pintu. Liane sedang tidak ada di rumah. Ia sedang pergi ke rumah salah satu temannya untuk membicarakan pengeluaran perbaikan CV. LiFay Media.
            Novel itu sudah berada di genggaman tangannya. Ervano membuka halaman novel mulai dari ucapan terimakasih. Di sana ucapan terimakasih hanya tertuju pada owner CV. LiFay Media, editor, dan ibu dan kakak sang penulis dan terakhir lelaki yang menjadi inspirasi menulis yang tidak disebutkan namanya—anonim.
            Ervano mulai membuka bagian prolog. Prolog novel itu dibuka dengan adegan seorang anak perempuan disiksa secara fisik oleh sang kakak. Setelah disiksa sang kakak mulai menatap celana pendek yang dikenakan sang adik perempuan. Itulah bagian prolog.
            Sedangkan dalam novel Absurd,  prolog dibuka dengan adegan seorang anak lelaki sedang meringkuk di lantai kamar mandi. Sang ibu terus saja mengguyur anak itu dengan gayung berisikan air. Jika diambil kesimpulan, adegan prolog dalam kedua novel itu dibuka dengan seorang anak disiksa keluarga kandungnya sendiri.
            Ervano masih menganggap hal itu sebagai kebetulan. Dengan teknik scanning, ia menemukan kesamaan kedua. Tokoh utama dalam kedua novel ini sama-sama bekerja di kepolisian dan memilki partner. Meskipun tokoh utama dalam novel Absurd bekerja sebagai detektif sedangkan tokoh utama novel Otak Pikiran bekerja sebagai polisi berpangkat Briptu.
            Ervano merasa dua kesamaan itu masih belum cukup. Ia terus mencari sampai ia menemukan kesamaan terakhir. Di akhir cerita, tokoh utama mengetahui diri mereka sendirilah yang selama ini mereka cari ketika dalam pencarian pelaku kejahatan yang mereka usut. Tokoh utama dalam kedua novel itu memang mengalami trauma penyiksaan masa kecil. Dan memang di akhir cerita, tokoh utama dalam novel Absurd harus mendekam di rumah sakit jiwa sedangkan tokoh utama dalam novel Otak Pikiran berakhir kematian.
            Meski sudah menemukan kesamaan dalam kedua novel itu, Ervano masih juga bingung. Ia tidak mengetahui siapa sebenarnya penulis novel Otak Pikiran dan di alamat sang penulis. Tapi dengan membaca profil penulis, ada sedikit petunjuk yang bisa didapatkan yakni tempat lahir dan sedikit kalimat aneh dan janggal menurut Ervano—aku ingin menyaingi dia. Aku akan merebut apapun miliknya termasuk dirinya sendiri.
            Cukup terdengar aneh. Jika mendengar kata Bekasi, Ervano teringat akan seseorang yang pernah berimpian menjadi seorang penulis hebat. Mengingat hal itu, Ervano jugamerasa bersalah karena sudah mematahkan semangat dan harapan orang itu. Ia ingin meminta maaf sebesar-besarnya tapi ia tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan media sosialnya pun sudah tak aktif lagi.
            Tapi jika menilik lagi pada pernyataan sang penulis novel apakah “dia” yang dimaksud adalah seseorang di masa lalu yang punya dendam kepada dirinya? Memikirkan hal ini membuat kepala Ervano pening. Ia memilih menaiki tangga lantai atas menuju kamar tidur sekadar berbaring melepas lelah sehabis mengajar.
            Ervano merebahkan diri di atas keempukan spring bed beberapa saat. Sebelum benar-benar masuk ke alam bawah sadar, Ervano mendadak bangkit dari tidurnya. Ia seperti mendapat suntikan energi secara tak kasat mata. Ervano mendekati laci meja sambil merogoh isi laci.
            “Oh sial, kenapa akau lupa? Aku kan sudah merobek kertas itu,” rutuk Ervano seraya menangkupkan kedua tangannya di atas kepala.
              “Tapi aku harus pergi ke rumah Violana. Mungkin dia punya pendapat tentang semua ini,” simpul Ervano sambil menghubungi supir pribadinya.

No comments:

Post a Comment