Cross
Check
Sosok berjaket merah mengangkat handphone sambil mengamati kontak di dalamnya. Setelah menemukan
kontak yang diinginkan, sosok itu menekan tombol hijau.
“Halo, kau masih di rumah?”
“Ya saya masih ada di rumah Ibu. Ada informasi apa?”
“Bagus. Aku hanya
ingin memberitahukan kalau aku akan segera di rumah. Pernah polisi datang ke
rumah saya?”
“Tidak, Bu. Sejauh ini kondisi aman.”
“Baiklah. Tunggu kedatangan saya ke sana. Saya masih
punya satu tugas terakhir untukmu,” pungkas sosok berjaket merah itu sambil
menyimpan kembali handphone-nya.
“Ya tugas terakhir,” gumam sosok itu sambil menyeringai
jahat.
***
Kini yang tersisa di rumah hanya Ervano seorang diri. Ia
masih merenungi apa yang dikatakan Dania, anak didiknya.
Ketika saya membaca
novel Absurd dan Otak Pikiran, saya melihat ada kesamaan dalam dua novel itu.
Tak ingin lama
berpikir, Ervano menaiki tangga menuju kamar. Ia harus menemukan novel Otak dan
Pikiran yang ia letakkan di dalam laci meja.
Berada di depan pintu kamar, ia langsung menekan gagang
pintu. Liane sedang tidak ada di rumah. Ia sedang pergi ke rumah salah satu
temannya untuk membicarakan pengeluaran perbaikan CV. LiFay Media.
Novel itu sudah berada di genggaman tangannya. Ervano
membuka halaman novel mulai dari ucapan terimakasih. Di sana ucapan terimakasih
hanya tertuju pada owner CV. LiFay
Media, editor, dan ibu dan kakak sang penulis dan terakhir lelaki yang menjadi
inspirasi menulis yang tidak disebutkan namanya—anonim.
Ervano mulai membuka bagian prolog. Prolog novel itu
dibuka dengan adegan seorang anak perempuan disiksa secara fisik oleh sang
kakak. Setelah disiksa sang kakak mulai menatap celana pendek yang dikenakan
sang adik perempuan. Itulah bagian prolog.
Sedangkan dalam novel Absurd, prolog dibuka dengan adegan seorang anak
lelaki sedang meringkuk di lantai kamar mandi. Sang ibu terus saja mengguyur
anak itu dengan gayung berisikan air. Jika diambil kesimpulan, adegan prolog
dalam kedua novel itu dibuka dengan seorang anak disiksa keluarga kandungnya
sendiri.
Ervano masih menganggap hal itu sebagai kebetulan. Dengan
teknik scanning, ia menemukan
kesamaan kedua. Tokoh utama dalam kedua novel ini sama-sama bekerja di
kepolisian dan memilki partner. Meskipun tokoh utama dalam novel Absurd bekerja
sebagai detektif sedangkan tokoh utama novel Otak Pikiran bekerja sebagai
polisi berpangkat Briptu.
Ervano merasa dua kesamaan itu masih belum cukup. Ia
terus mencari sampai ia menemukan kesamaan terakhir. Di akhir cerita, tokoh
utama mengetahui diri mereka sendirilah yang selama ini mereka cari ketika
dalam pencarian pelaku kejahatan yang mereka usut. Tokoh utama dalam kedua
novel itu memang mengalami trauma penyiksaan masa kecil. Dan memang di akhir
cerita, tokoh utama dalam novel Absurd harus mendekam di rumah sakit jiwa
sedangkan tokoh utama dalam novel Otak Pikiran berakhir kematian.
Meski sudah menemukan kesamaan dalam kedua novel itu,
Ervano masih juga bingung. Ia tidak mengetahui siapa sebenarnya penulis novel
Otak Pikiran dan di alamat sang penulis. Tapi dengan membaca profil penulis,
ada sedikit petunjuk yang bisa didapatkan yakni tempat lahir dan sedikit
kalimat aneh dan janggal menurut Ervano—aku
ingin menyaingi dia. Aku akan merebut apapun miliknya termasuk dirinya sendiri.
Cukup terdengar aneh. Jika mendengar kata Bekasi, Ervano
teringat akan seseorang yang pernah berimpian menjadi seorang penulis hebat.
Mengingat hal itu, Ervano jugamerasa bersalah karena sudah mematahkan semangat
dan harapan orang itu. Ia ingin meminta maaf sebesar-besarnya tapi ia tidak
tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan media sosialnya pun sudah tak aktif
lagi.
Tapi jika menilik lagi pada pernyataan sang penulis novel
apakah “dia” yang dimaksud adalah seseorang di masa lalu yang punya dendam
kepada dirinya? Memikirkan hal ini membuat kepala Ervano pening. Ia memilih
menaiki tangga lantai atas menuju kamar tidur sekadar berbaring melepas lelah
sehabis mengajar.
Ervano merebahkan diri di atas keempukan spring bed beberapa saat. Sebelum
benar-benar masuk ke alam bawah sadar, Ervano mendadak bangkit dari tidurnya.
Ia seperti mendapat suntikan energi secara tak kasat mata. Ervano mendekati
laci meja sambil merogoh isi laci.
“Oh sial, kenapa akau lupa? Aku kan sudah merobek kertas
itu,” rutuk Ervano seraya menangkupkan kedua tangannya di atas kepala.
“Tapi aku harus
pergi ke rumah Violana. Mungkin dia punya pendapat tentang semua ini,” simpul
Ervano sambil menghubungi supir pribadinya.
No comments:
Post a Comment