Selang infus masih
tertancap di urat nadi Sofia. Ia dalam
keadaan koma dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya. Grafik
elektronik naik turun menunjukkan bahwa perkembangan kesadaran Sofia belum
menujukkan tanda-tanda siginifikan. Hendra menggenggam erat tangan Sofia yang
lemah sembari berkata-kata.
“Sayang, sadarlah. Aku dan Melly sudah berada di sini.” ucap
Hendra pelan.
Hendra terpaksa harus membatalkan rencananya ketika mendapat
telepon dari kepolisian bahwa istrinya mengalami kecelakaan di ruas jalan
bandara Kualanamu. Kabar itu terdengar ketika ia sudah sampai di bandara Sultan
Syarif Kasim II. Ia harus kembali lagi ke Medan dengan perasaan sedih
bergemuruh di dada.
Melly yang berada di samping ayahnya juga tak dapat
membendung air mata. Setelah ditinggalkan oleh kakaknya, kini, ibunya tengah
terbujur tak berdaya di atas ranjang. Melly sudah absen selama dua hari dari
sekolah tanpa memberi kabar pada teman sekelasnya.
Tok tok tok!
“Masuk.” suruh Hendra lemah.
Dua orang polisi masuk ke dalam ruang perawatan Sofia. Hendra
sontak berdiri dan menghapus air mata yang masih tersisa di wajahnya.
“Ada perkembangan mengenai pelaku penabrakan istri saya,
pak?”
“Ya. Sejauh ini kami sudah berhasil mengidentifikasi
wajah pelaku berdasarkan keterangan para saksi. Kami sudah menggambar sketsa
wajah di kertas ini,” Sang polisi bertubuh tegap memberikan secarik kertas yang
dirogohnya dari dalam kantung kemeja.
Hendra sudah menerima kertas itu dan membuka lipatannya.
Ia berusaha mengenali wajah yang tergambar dalam sketsa tersebut.
“Tunggu dulu... Ini...”
“Apa bapak mengenalinya?”
“Itu gambar siapa, ayah?” sela Melly yang berdiri di samping
ayahnya. Hendra membisu, tak menanggapi pertanyaan dari pihak kepolisian dan
anaknya.
“A-aku mengenalnya. Dia mantan kekasih saya sewaktu
kuliah,” jawab Hendra agak terbata.
“Apakah bapak mengetahui tempat tinggalnya?”
“Tidak, pak polisi. Tidak sama sekali,” Hendra menggeleng
pelan. “Saya sudah lama tidak bertemu dengannya, hampir 17 tahun.” tandas
Hendra.
“Baiklah, pak Hendra. Jika anda sudah mengingatnya,
tolong laporkan secepatnya kepada kami supaya kami bisa memprosesnya. Kami
undur diri dahulu.” pamit dua polisi tersebut.
Entah mengapa Donni tak bisa konsentrasi dengan pelajaran
Fisika yang dijelaskan oleh bu Farah. Mekanika fluida—pelajaran yang menurutnya
tak terlalu sulit bahkan tanpa dijelaskan pun ia bisa mengerjakan soal sendiri
tanpa harus menyontek. Tapi, tidak untuk saat ini.
Penjelasan dan contoh-contoh soal yang diberikan ibu
Farah bak radio rusak bahkan rumus-rumus kompleks itu mengambang tak menentu di
dalam kepalanya. Yang ada dipikirannya adalah Lina dan Lina. Dia benar-benar
khawatir Lina akan menjadi korban berikutnya.
“Donni? Donni? Apa yang kamu pikirkan?” suara itu
menegurnya dari depan.
“Saya bu?” sahut Donni. Ia celingukan mencari sumber
suara yang memanggilnya.
“Tidak biasanya kamu seperti ini, nak,” ibu Farah
meletakkan kapur yang dipegangnya di atas meja.
Donni diam saja begitu ditegur langsung oleh ibu Farah.
Ia pura-pura tertunduk lesu seolah menyesali perbuatannya. Ia tak ingin
mengatakan bahwa Lina yang saat ini menggerayangi pikirannya.
“Bu, boleh saya izin ke kamar mandi sebentar?”
“Hmm... silakan. Sepertinya kamu dalam kondisi yang
kurang fit hari ini, tapi jangan berlama-lama.” bu Farah melirik arlojinya lalu
beralih pada Donni.
Setelah ibu Farah memberikan izin pada Donni, ia langsung
melangkah keluar dari kelas. Pikirannnya bagai benang kusut, memikirkan cara
menghentikan teror yang sudah merenggut nyawa teman-temannya.
Donni menggosok-gosok kepalanya yang pening dengan
perasaan gusar. Ia tak mendapatkan petunjuk apapun mengenai asal-usul dan
pemilik boneka jelangkung tersebut. Seingatnya, ia mendapatkan boneka itu tak
juah dari lapangan basket tempatnya berlatih. Sebuah boneka perempuan berbaju
merah dengan rambut dikepang dua. Penampilannya kumal dengan bola mata plastik
yang hampir copot.
Selain menyukai basket, ia juga menyukai permainan mistik
terutama jelangkung. Berawal dari situlah ia mengambil boneka itu dan
menaruhnya ke dalam tas.
Donni menapaki kakinya di depan kelas XI-2. Ada yang
menurutnya janggal di sini—bulu kuduknya meremang. Donni tergeragap. Bola
matanya berpaling ke kiri. Di sana, ada ibu Hesty sedang menerangkan pelajaran
Statistika di papan tulis. Tak ada satu murid pun yang mengalihkan pandangannya
selain ke papan tulis. Semua tampak serius menyimak pelajarannya.
Ibu Hesty adalah guru bidang studi matematika yang masuk
di kelas IPA khususnya kelas XI-1 dan XI-2. Ia adalah guru misterius yang baru
saja pindah lima bulan yang lalu. Ia juga tak banyak bergaul dengan guru-guru yang
lain. Tatapan matanya begitu tajam dan menusuk ke arah mata siapapun yang
memandangnya. Ia tak segan-segan untuk mengeluarkan murid yang tak suka dengar
pelajarannya bahkan memberikan nilai 0 di rapor siswanya.
“Apa yang kau lakukan di sana?”
“A-anu bu. Saya hanya melihat-lihat saja.” jawab Donni
setengah gugup seraya menyimpulkan senyum getir.
“Kamu kira kelas ini kebun binatang!” senggak bu Hesty.
Donni beranjak pergi meninggalkan bu Hesty. Ia tak mau
membuat masalah dengan guru yang super
killer itu.
Lonceng istirahat berdering keras. Ibu Farah meninggalkan
kelas dikuti oleh seluruh murid XI-4, Donni termasuk di dalamnya. Ia
mempercepat langkah kakinya menuju kelas XI IPS-1 untuk mencari Heru.
“Hey Dina, apakah
kau melihat Heru?” tanya Donni pada Dina yang kebetulan sedang mengobrol dengan
teman-temannya.
“Tidak.” jawab Heru singkat.
Donni berpaling dari hadapan Dina ketika mengetahui Heru
tidak ada di kelas. Ia mengingat kantin favorit tempat Heru nongkrong bersama
kawan-kawannya—kantin mas Pay.
Kantin mas Pay terletak di samping ruang UKS. Di
sampingnya, ada sebuah mushola yang biasanya dipakai oleh murid-murid beragama
Muslim untuk sholat. Kantin ini merupakan tempat mangkal para siswa IPS ketika
cabut pelajaran atau waktu istirahat.
Donni tiba di kantin. Matanya terus berputar-putar
mencari keberadaan Heru. Ia menemukan Heru di antara kerumunan siswa yang
sedang menyantap nasi hangat. Heru tertawa terbahak-bahakmendengar lelucon yang
diutarakan teman sekelasnya.
“Ada apa bro?” Heru menghentikan tawanya saat Donni
berada di hadapannya.
“Ini tentang Lina.”
Begitu mendengar nama Lina, Heru berdiri dan berpamitan
pada teman-temannya. Donni berjalan lebih dulu sementara Heru mengekor di
belakang.
“Kenapa kau Don? Kelihatannya panik begitu. Ada apa
dengan Lina?”
“Aku khawatir, Lina terjadi apa-apa. Kau ingat, kejadian
yang semalam?”
Heru memutar ingatannya ketika ketiganya mengunjungi
rumah kosong tempat mereka bermain jelangkung. Ia juga ingat bahwa Lina melihat
sosok penampakan perempuan mengancam dirinya.
“Kurasa makhluk itu mengincar Lina.”
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Heru.
“Begini, aku menyimpan kecurigaan pada bu Hesty. Kau
kenal ‘kan ibu Hesty?”
“Semua siswa di sekolah ini begitu mengenalinya. Apa yang
mau kulakukan dengan ibu Hesty?”
“Buntuti dia. Aku yakin dia ada hubungannya dengan semua
teror ini.” balas Donni. Tatapan matanya memancarkan kepastian.
“Kalau soal memata-mata serahkan saja padaku, tapi kau
sendiri?”
“Aku akan pergi ke rumah Lina untuk memastikan bahwa dia
baik-baik saja.”
“Ok ok. Jangan lupa traktir aku ya makan bakso.” Heru
mengalihkan pandangannya pada Donni.
“Kalau itu bereslah, yang penting kita selidiki semua
sampai tuntas.” tukas Donni.
Seusai membagi tugas, lonceng pertanda masuk kelasberdering
keras, menggaung ke seluruh penjuru sekolah. Heru memilih pergi ke kamar mandi
sedangkan Donni langsung menuju ke kelasnya.
Donni memacu sepeda motornya keluar dari gerbang sekolah
sedangkan Heru masih bersembunyi di balik ruang guru. Di sana, ada seorang guru
yang dihadapkan dengan beberapa tumpukan buku-buku tulis yang siap diperiksa.
Heru terus mengawasi tanpa memalingkan sedikit pun pandangan matanya. Tak butuh
waktu lama, guru tersebut meraih tas jinjing yang terletak di mejanya. Heru
cepat-cepat menyelinap di dalam kamar mandi guru agar ia tak ketahuan.
Heru menyingkap celah pintu agar ia bisa melihat apa yang
dilakukan oleh guru tersebut. Dilihatnya guru tersebut makin menjauh, ia
memutuskan keluar dari kamar mandi. Ia mengatur langkah kakinya gara sang guru
tidak curiga bahwa ia sedang dibuntuti.
Sang guru berbelok ke kanan ke arah ruang koperasi
setelah melewati ruang laboratorium. Pelan-pelan diaturnya langkah kakinya
namun matanya tetap awas dengan targetnya. Heru menghentikan langkahnya di
kamar mandi perempuan. Ia berdiri di samping dinding kamar mandi. Ia tak bisa
melihat lebih dekat siapa yang akan dijumpai oleh sang guru di ruang koperasi.
Sang guru sudah sampai di ruang koperasi. Ia tak
sendirian. Ia disambut oleh seorang laki-laki berambut cepak, berbadan tinggi.
Sang guru terlihat membicarakan hal yang cukup serius padanya—hanya itu yang
bisa diamatinya dari sana.
“Sepertinya, aku mengenali laki-laki itu,” ungkap
batinnya.
Sang guru menyerahkan sebuah amplop coklat yang Heru
sendiri tak tahu apa isinya.
“Ah sial! Seandainya aku bisa mendekat,” maki Heru dalam
hati.
“Tapi hal ini akan segera kuberitahu pada Donni.”
Donni sudah tiba di rumah Lina. Ia menggas sepeda
motornya lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ia hampir saja diserempet truk colt diesel. Ia bersyukur bisa mengelak
tanpa mengalami luka sedikit pun.
Donni menghentikan sepeda motornya begitu sampai di halaman
rumah Lina. Ia yakin kalau keluarga Lina adalah keluarga yang gemar berkebun.
Itu terbukti dengan banyaknya pohon buah-buahan, tanaman hias dan tanaman
obat-obatan. Tak hanya banyak, pohon-pohon itu tampak terawat, tak ada gulma
yang tumbuh di sampingnya.
Ia melangkahkan kaki menuju pintu depan lalu mengetuk pelan.
Tok tok tok!
Tak ada seorang pun yang menegurnya dari dalam. Ia
memutuskan untuk mengetuknya sekali lagi.
Tok tok tok!
Donni agak
terkejut ketika pintu terbuka secara tiba-tiba. Seorang laki-laki menyambutnya
dengan wajah murung.
“Permisi, Lina ada?” tanya Donni.
“Ada. Kalau boleh tahu, abang ini siapanya ya?”
“Saya teman sekelasnya.”
Begitu mengetahui bahwa yang datang adalah temannya Lina,
lelaki itu mempersilahkan Donni masuk. Ia menduga bahwa lelaki yang berada di
sampingnya saat ini adalah adiknya Lina.
“Di mana Lina?”
Ia tak menjawab pertanyaan Donni. Ia terus berjalan
lurus, mengantarkan Donni pada suatu tempat.
“Kakakku di sana.” ia menunjuk ke arah perempuan yang
sedang tak sadarkan diri sebuah ranjang berdesain orange jeruk. Wajahnya pucat
pias bagaikan tisu. Ibunya terus saja menjamah rambut panjang yang tergerai
tanpa diikat.
“Apa yang terjadi dengan Lina, bu?” Donni memasuki kamar
Lina setelah lelaki yang mengantarnya beranjak pergi.
“Apa kamu temannya Lina?” tanya sang ibu. Donni
mengangguk pelan.
“Ibu sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan Lina.
Tadi malam, ibu melihat pintu kamarnya terbuka dan tahu-tahu, Lina sudah
tergeletak di lantai.” kata sang ibu hampir menangis.
Donni mengambil kesimpulan bahwa ini pasti ulah makhluk
itu. Ia berdecak pelan sambil berpikir entah apa yang bisa membuat Lina bertahan
dari serangan makhluk itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu, bu.” pungkas Donni sambil
menyalami ibunya Lina. Ia memilih untuk tidak berlama-lama di sana dan meminta
informasi yang sudah didapatkan Heru dari hasil pengintaiannya.
Donni kembali menjejakkan kaki di halaman rumah,
menjemput sepeda motornya di sana. Di antara rerimbunan pohon mangga, tak
sengaja pandangannya beralih pada sesosok berbaju putih yang dihalangi
dedaunan. Namun sialnya, Donni tidak bisa melihat raut wajahnya karena ditutupi
oleh rambutnya yang panjang. Ia tercengang ketika sosok itu lenyap bak sambaran
kilat.
“Ha-halo Her,” sahut Donni agak gugup begitu menyadari Smartphone-nya sudah berbunyi keras.
“Hallo Don, kau di mana?”
“Aku lagi di rumah Lina.”
“Oh ya, bagaimana keadaan si Lina?”
“Dia pingsan sejak tadi malam dan sekarang dia belum
sadarkan diri... Apakah kau sudah dapat petunjuk?” ujar Donni lemah.
“Kau akan tahu jika kau datang ke rumahku.”
“Kalau begitu tunggu aku di rumahmu, aku akan datang
kira-kira dua jam lagi.” tutup Donni sambil mengencangkan tarikan gas, menjauhi
rumah Lina.
Sebelum meninggalkan rumah Lina, Donni mengencangkan
resleting dan tali kerudung jaketnya. Untung saja makhluk itu belum membunuh
Lina. Ia masih bisa bertahan meskipun kondisinya belum sadar sampai sekarang.
Ia ingat saat Lina menanyakan padanya dari mana ia mendapatkan boneka itu.
Juga, ia sempat menyenggaknya saat Lina mengatakan bahwa ia melihat ada sosok
lain berada di rumah kosong tempat mereka bermain jelangkung.
Awalnya ia bersikap sinis pada Lina—seorang gadis
eksentrik yang penakut itu, kini tengah membayangi pikiran dan hatinya. Ia juga
tak memungkiri melalui teror ini, Donni mulai mengetahui Lina mempunyai
solidaritas tinggi dan tentunya, ia semakin punya kesempatan untuk
mendekatinya.
Donni memutar kunci ke kiri dan mesin sepeda motor mati.
Ia memutar kaki kanannya, meletakkan pijakannya di sebuah pelataran rumah yang
terdapat dua kandang ayam siam dan dua sangkar burung pipit, tergantung di atas
asbes putih.
“Baru pulang, nak?” ayahnya Donni mengalihkan
pandangannya sebentar ke arah anaknya yang bergegas ke rumah. Tangan kirinya
masih memegang selang yang mengucurkan air untuk membersihkan kandang ayam.
“Ia yah.” jawab Donni singkat tanpa memalingkan
pandangannya pada ayahnya.
Donni mendorong pintu dengan dadanya. Pintu terbuka
lebar. Di ruang tamu, ibunya sedang fokus menyaksikan sinetron yang menjadi
kesukaannya.
“Kamu habis dari mana, nak? Sudah jam empat sore, kamu
baru pulang ke rumah,” tegur ibunya sembari mengalihkan pandangan kepada
anaknya.
“Tadi, aku ikut menjenguk teman sekelas yang sakit dan
rumahnya jauh pula. Jadi, kami pulangnya agak lama.” karang Donni.
“Hmm, ya sudah. Pergilah ke kamarmu.” ibunya Donni
berdeham pelan.
Donni memelesat menuju kamarnya. Ia mengunci kamar, merebahkan
diri dengan tubuh masih terbalut seragam sekolah. Ia mengurut keningnya dengan
kedua tangannya. Seingatnya, ada sebuah majalah investigasi paranormal yang
membahas lengkap tentang seluk-beluk jelangkung. Di sana tertulis bahwa arwah
jelangkung yang dipanggil ke dalam media, akan kembali ke alamnya begitu para
pemain sudah melakukan ritual pemulangan arwah. Jika arwah yang merasuki boneka
tidak mau pulang, para pemain setidaknya harus menghancurkan medianya.
“Kau tidak akan bisa menghentikanku...”
“Kau!” sergah Donni.
“HIHIHIIIIIIIII!” sosok perempuan menghilang dalam sekali
kedipan mata.
Donni buru-buru menanggalkan baju dan celana sekolah. Ia
menggertakan giginya, melihat situasi yang semakin memanas. Jarak antara
kematian dan kehidupan terasa sangat tipis. Terlambat saja ia bertindak, bisa
saja Lina kehilangan nyawanya. Tapi bukan hanya Lina saja yang terancam, bahkan,
ia dan Heru bisa saja menjadi korban berikutnya.
Lidahnya menyempil sisa daun singkong yang lengket di
pinggir bibirnya. Donni baru saja selesai menyantap sepiring nasi dengan ikan
gembung sambal dan sayur singkong bersantan. Ia menyiapkan tenaganya bepergian
ke rumah Heru. Donni memanggul tas sekolah yang biasa dipakai di atas
pundaknya. Ia juga sudah menyiapkan alasan jika ditanya soal kepergiannya.
“Donni, kamu mau kemana, nak?” ibunya muncul dari balik
pintu begitu melihat anaknya menggiring sepeda motornya keluar.
“Aku mau ke rumah teman, ma. Ada kerja kelompok.” ujarnya
sambil memutar kunci.
“Hati-hati, jangan pulangterlalu lama.” pungkas ibunya sambil
kembali menutup daun pintu.
Usai memasukkan persneling, Donni melajukan sepeda
motornya lebih kencang untuk sampai di rumah Heru. Tidak butuh waktu lama untuk
bisa sampai di rumah Heru. Rumah Heru hanya berjarak satu setengah kilometer
dari rumahnya. Hanya melewati jalan lurus kemudian belok kiri. Di situ, dia akan
menemukan sebuah rumah berpagar besi yang berada di depan teras.
Donni menekan pedal rem pelan-pelan lalu memundurkan
persneling hingga netral. Ia mematikan mesin sepeda motornya kemudian berdiri
di depan pagar rumah Heru.
“Heru... Heru...,” Donni memanggilnya dengan suara
nyaring.
“Ada apa, nak?” suara itu menyapa Donni ketika pintu tamu
terbuka. Memunculkan seorang perempuan paruh baya membawa sebuah kunci.
“Heru ada di dalam, bu?”
“Oh ya, dia lagi main PS
di kamarnya.”sahut wanita itu seraya membukakan gembok yang mengunci pagar itu.
Donni mendorong pagar usai gemboknya terbuka. Di sana, ia
bisa melihat suasana rumah Heru sama dengan suasana rumahnya. TV LCD itu masih
menampilkan tayangan sinteron yang khas untuk kaum ibu-ibu sedangkan ayah Heru sedang
sibuk menyimak koran yang berada di hadapannya.
“Heru, ini teman kamu datang.”
“Suruh saja dia datang ke kamarku.” ujar Heru dari dalam
kamarnya.
Donni langsung beralih ke kamar Heru begitu mendapat
perintah dari temannya. Kamar Heru tak jauh dari ruang tamu, mungkin sekitar 10
meter dari sana.
“Masuk saja, Don. Enggak dikunci kok.”
Ia menekan gagang pintu yang berada di dekatnya.
Didorongnya pelan dan terlihat Heru sedang asyik memainkan stick PS-nya. Tatapannya tertuju pada para pemain yang
digerakkannya melalui stick itu.
“Jadi, apa yang kau lihat tadi sore?” ujar Donni sambil
menyeret kursi yang berada di meja belajar ke arah Heru.
“Oh ya aku lupa.” Heru langsung mematikan PS-nya lalu berpaling pada Donni yang
duduk di sebelahnya. Tapi, Heru memilih untuk duduk di kasurnya.
“Begini, tadi siang, aku melihat ibu Hesty melakukan
sesuatu yang mencurigakan di luar ruang koperasi. Di sana, ia tengah memberikan
amplop kepada lelaki itu,”
“Kau tahu siapa lelaki itu?” sahut Donni penuh antusias.
“Ya aku kenal dia—dia, mas Payino.”
“Apa?!” Donni cukup tercengang dengan penuturan Heru.
Dalam hati, ia bertanya-tanya ada urusan apa mas Payino dengan guru tersebut.
“Apa kau punya dugaan mengenai apa yang kau lihat tadi
sore?”
“Hmm, aku tidak tahu. Jika saja kau bisa mendekat, aku
pasti akan memberitahukan langsung padamu—”
“Heru, maukah kau menemani ku ke sana? Kalau soal alasan,
biar aku saja yang berbicara pada ibumu.” ucap Donni tegas. Kali ini, dia
menatap Heru lebih intens.
Donni sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Ibunya
Heru begitu ketat untuk urusan memberi izin keluar malam pada anaknya terutama
jika temannya yang mengajak. Untung saja, ia sudah membawa buku catatan serta
buku bacaan untuk memperkuat alasannya.
Setelah mendapat izin dari orang tuanya, Donni mengajak
Heru keluar bersamanya. Begitu keluar dari kamar, Heru juga sudah membawa tas
punggung di belakangnya. Sebelumnya, Donni sudah memberitahu Heru agar dirinya
juga membawa tas beserta buku tulis.
“Kami pergi ya, tante.”
“Ya. Jangan sampai kemalaman, ya.”
Setelah berpamitan dengan ibunya Heru, Donni tancap gas
menuju jalan raya. Keluar dari jalan Sandang Pangan, keduanya sudah menetapkan
tujuan ke sekolah untuk meminta keterangan mengenai kejadian yang dilihat Heru
tadi sore.
“Don, pelan-pelan. Jarak rumahku dari sekolah dekat kok.”
kata Herudari belakang jok sepeda motor. Ia terlihat sedikit ketakutan melihat
cara Donni membawa sepeda motor yang cukup menantang. Donni menaikkan gas
hingga kecepatan 70 kilometer per jam, melewati jalan dengan beberapa
persimpangan.
Keduanya memilih untuk lewat dari halaman belakang
sekolah. Namun, gerbang belakang juga sudah dikunci. Mau tak mau, mereka harus
memanggil pak Payino yang berada di dalam area sekolah.
“Mas Payino... mas Pay... mas...” keduanya berulang kali memanggil masPayino, berharap agar dia mendengar.
“Ada apa ya, bang?” sebuah suara perempuan menyahut
panggilan mereka. Dari samping mushola, seorang perempuan berambut panjang
dengan jerawat lumayan banyak, menghampiri mereka.
“MasPayino ada
di rumah?”
“Ada bang. Baru saja selesai mandi.”
“Tolong buka gerbangnya, kami berdua punya urusan penting
dengan pak Payino.”
Mendengar apa yang dikatakan mereka, perempuan itu undur
diri dari hadapan mereka. Perempuan itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata
pun, membuat kedua laki-laki itu bingung. Apakah dia mengizinkan mereka masuk
atau tidak.
Tak berapa lama, perempuan itu datang dengan menenteng
sebuah kunci di tangan kanannya. Ia mendekati gembok lalu memasukkan kunci ke
dalamnya.
“Masuklah.” Ucap perempuan itu.
Dua laki-laki itu mendorong pagar selebar bahu mereka. Perempuan
itu jalan lebih dahulu. Keduanya mengikut dari belakang.
“Boleh aku tahu namamu?” tanya Heru.
“Namaku Alisya.” Jawabnya seraya melirik sedikit ke
belakang.
“Kamu anaknya mas Payino?” sela Donni.
Alisya hanya menangguk sekali. Ia tak terlalu antusias
berbicara dengan mereka. Ketiganya sudah tiba di depan rumah mas Payino.
“Pak, ini dua orang laki-laki yang mencari bapak.”
Mas Payino yang sedang mengunyah nasinya, menyuruh mereka
masuk termasuk putrinya. Usai melepas sendal, keduanya duduk di atas dipan yang
memang sudah tersedia di rumah itu. Mas Payino pergi ke dapur menyimpan piring
bekas makanannya sedangkan keduanya masih menunggu dengan sabar. Semenit
berselang, pak Payino datang dan menyambar serbet yang berada di atas kulkas,
disekanya mulutnya dan tangannya yang basah oleh air.
“Ada perlu apa kalian mencari saya?” pak Payino
meletakkan kembali kain serbet yang diambilnya.
Keduanya diam sesaat—beradu pandang seolah ingin
memutuskan siapa yang terlebih dahulu akan mengajukan pertanyaan. Heru dan
Donni kembali memalingkan pandangannya ke arah mas Payino.
“Ehmm, mas Payino, kenal dengan ibu Hesty?” Heru berusaha
untuk tidak membuat pak Payino merasa dicurigai.
“Kenal,” mas Payino mengangguk pelan, “Siapa yang tidak
kenal dengan bu Hesty? Meskipun baru beberapa bulan berada di sini, semua guru,
siswa bahkan saya sendiri mengenalnya.”
“Bagaimana sikap ibu Hesty menurut mas?” kini giliran
Donni mengajukan pertanyaan.
“Menurut saya ibu Hesty memang orang yang tertutup. Dia
memang tak terlalu banyak berbicara dan bergaul dengan guru-guru. Dia lebih suka
melarutkan diri dalam kesibukannya memeriksa buku PR atau buku latihan yang
biasanya diberikan kepada para siswanya.”
“Apakah ibu Hesty pernah meminta tolong pada mas?” sambung
Heru lagi.
“Maksudnya?” dahi pak Payino berkerut menanggapi
pertanyaan Heru yang agak membingungkan.
“Ya maksud saya, apakah bu Hesty pernah meminta tolong
pada bapak untuk sebuah keperluan?”
“Ah, saya dan ibu Hesty tidak punya kepentingan apa-apa
kok—sama seperti kalian, sesama siswa harus saling kenal bukan? Meskipun saya cuma
berstatus penjaga di sekolah ini, tidak salah bukan, mengenal kepala sekolah,
guru-guru dan staff yang berada di sekolah ini?” pak Payino tak mengarahkan
matanya langsung ke mata Heru.
“Jadi, apa yang diberikan bu Hesty di samping dinding
luar ruang koperasi?”
“Saya tidak mengerti—“
“Mas tidak usah mengelak! Apa susahnya untuk berkata
jujur! Mas tahu, Lina sedang tidak sadarkan diri saat ini!”senggak Donni seraya
berdiri, menghentakkan kaki kanannya. Alisha yang sedang belajar pun cukup
tersentak dengan aksi Donni yang terkesan spontan.
Biarpun Donni berkata demikian, mas Payino tidak
memberikan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Ia memilih bungkam tanpa menatap
Donni yang sudah panas. Heru pun tak bisa berbuat banyak dan memilih diam.
“Halo?” Donni meraih handphone
yang berada di saku jeans-nya.
“Halo bang Donni, kak Lina kabur dari rumah!” suara
laki-laki terdengar dari seberang sana.
“Apa?!”