Sunday, 27 December 2015

Tumbal Arwah Jelangkung - Sembilan



Malam terasa sunyi jika hamparan langit tak menampakkan bintang. Hanya bulan purnama bersinar terang meliputi alam semesta. Seekor kucing hitam melenggak-lenggok di sekitar rumah Lina yang tampak dicekam nuansa keheningan. Lampu kamar Lina dibiarkan menyala. Jam dinding yang terpasang di atas dinding kamarnya, terus bertendang tanpa mengeluarkan suara.
            Tubuh lemah yang teronggok di atas kasur itu, lamat-lamat menghembuskan deru napas dari rongga dada yang kembang-kempis. Kelopak matanya masih terpejam. Kedua belah bibir mengatup rapat. Tak ada tanda-tanda kesadaran yang muncul sampai saat ini. Lina bagaikan mayat hidup yang telah ditinggal pergi oleh sukmanya.
            Di sana, ibunya masih setia menenaminya meskipun ia ikut terlelap. Ia masih berjaga-jaga di kamar anaknya, sewaktu-waktu anaknya sadar dan butuh pertolongannya.
            Tanpa mereka sadari, kabut hitam menyembul perlahan dari dalam ransel Lina. Awalnya tipis tapi semakin lama kabut itu semakin menebal dan menggumpal hingga berbentuk seperti sosok manusia. Gumpalan kabut hitam itu mulai membentuk anggota-anggota tubuh dan rupa wajah. Gumpalan kabut itu sudah menjelma menjadi sosok perempuan berpakaian hitam dan berambut sebahu. Wajahnya dingin dan bola matanya bulat. Kelopak matanya menghitam. Ia menatapLina nanar.
            Sosok perempuan itu perlahan membuka mulutnya yang kering dan pucat itu. “Lina, Lina, bangunlah. Ini aku Shanti,” bisiknya pelan di depan ranjangnya.
            Kelopak matanya terbuka lebar. Bola matanya berputar liar, mencari sumber suara yang memanggil namanya.
            “Lina, ini aku Shanti.” Ucap sosok itu sekali lagi.
            Lina bangkit dari tidurnya. Di hadapannya sekarang, sosok itu menyaru menjadi apa yang dilihatnya—Shanti, teman sekelasnya.
            “Apa yang kau lakukan di sini, Shanti? Bukannya kau sudah mati?” ujar Lina tak percaya.
            “Mati? Apakah kau bermimpi? Kalau aku sudah mati, mana mungkin ‘kan, aku bisa datang ke sini?” sahut sosok itu dengan menyimpulkan seringai lebar.
            “Benar juga, tapi bagaimana kau bisa tiba di sini?” balas Lina. Ia belum beranjak dari ranjangnya. Setengah badannya masih dibalut dengan selimut woltebal merah.
            “Itu tidak penting. Aku ke sini, ingin mengajakmu keluar. Teman-teman kita sudah menunggu di luar.”
            “Benarkah?” wajah Lina berbinar ceria. Sosok itu hanya mengangguk sekali saja.
            Begitu mengetahui sosok itu mengajaknya untuk keluar, Lina menyingkirkan selimut yang melapisi tubuhnya dan beringsut dari sana. Ia berjalan menuju sosok yang masih menunggu di depan ranjangnya. Ibunya yang mendengar suara anaknya, mengerjapkan berkali-kali sambil mengucek pelan matanya.
            “Lina, mau ke mana kamu?” tanya sang ibu setengah sadar.
            Sebelum keduanya melangkah menuju pintu kamar, mereka mengalihkan pandangnya ke arah ibu Lina yang siap mencegatnya.
            “Lina, aku mohon, singkirkanlah ibu. Dia akan mengganggu rencana kita.”
            Lina menurut saja tanpa mau membantah apa yang diperintahkan sosok itu. Ia berjalan menghampiri ibunya yang sedang kebingungan dengan tingkah aneh Lina. Tatap matanya kosong. Raut wajahnya datar. Ia membisu tanpa menjawab apa yang ditanya ibunya.
            Sang ibu yang dalam posisi duduk, tak menyangka sebuah sikutan dari tangan kanan mengena telak bagian tengkuknya. Tak sempat minta tolong, ibunya tak sadarkan diri. Lina kembali lagi mendekati sosok yang masih menunggunya.
            “Kemana dia pergi?” tanya Donni dari handphone-nya.
            “Aku juga tidak tahu. Ayahku juga sedang berusaha mencarinya.” pungkas Rafly sambil mematikan handphone.
            “Apa yang terjadi, Don?”
            “Lina kabur dari rumah, Her. Ini gawat!” detak jantung Donni berpacu tak menentu, membuatnya makin tak karuan.
            “Her, kau tahan mas Payino di sini, sementara aku akan mencari Lina.” Donni berjalan ke luar mengambil sepeda motornya yang terpakir tak jauh dari rumah mas Payino.
            Donni mengencangkan resleting jaketnya hingga hampir menyentuh pangkal lehernya. Ia sudah siap bertarung dengan angin malam yang selalu menerpa dadanya. Donni keluar dari gerbang belakang sekolah lalu belok kiri melewati area sekolah. Sebenarnya, ia tidak tahu di mana keberadaan  Lina. Ia hanya mengandalkan instingnya.Namun, satu hal yang diyakininya—ibu Hesty adalah dalang semua kejadian ini.
            Donni memelankan gas sepeda motornya, mencoba memutar ulang ingatnya. Pernah salah satu siswa kelas XI-IPA 1 memintanya untuk diantar ke rumah ibu Hesty. Siswa itu beralasan bahwa dia ingin mengumpulkan tugas tambahan. Melihat mukanya yang memelas sedih, membuat hati Donni menjadi tergerak, padahal ia ingin segera pulang ke rumah.
            Dan lagi, seingatnya, rumah bu Hesty terletak di sebuah perumahan yang belum terlalu ramai. Rumah-rumah yang berdiri di sana, masih terlihat jarang dan tanahnya dipakai juga untuk menanam singkong. Satu hal yang menarik adalah, dari empat rumah yang ada, hanya rumah bu Hesty yang cukup megah dengan gazebo dan taman minimalis.
            Dengan petunjuk yang ia dapatkan, ia mempercepat laju sepeda motornya ke kawasan perumahan Grand Morista.
            Jalan mulus yang terbentang sepanjang pasar Horas membuat waktu yang tersita tak terlalu banyak. Meskipun begitu, jalan itu selalu dipadati khalayak ramai yang menaiki kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki ke warung terdekat. Pun, jalan itu tergolong jalan yang cukup kecil yang sering dilalui truk-truk besar. Ia mesti berhati-hati kalau tidak mau diserempet.
            Sampai di persimpangan empat, terbentang jalan besar yang dibagi dua oleh sebuah pembatas yang terbuat dari beton. Donni memilih jalan yang di sebelah kiri karena seingatnya rumah bu Hesty rumah yang terlebih dahulu nampak. Setelah itu, baru tiga rumah yang yang terhalangi pepohonan singkong yang menjulang tinggi hampir menutupi pemandangan ketiga rumah.
            Donni menekan pedal rem pelan-pelan. Matanya tertuju pada rumah yang dibatasi pagar besi berbentuk seperti tombak. Ia turun dari joknya dan mendentingkan lonceng kecil yang terpasang di dekat engsel pagar.
            Ting...ting...ting
            “Tunggu sebentar,” suara wanita menyahutnya dari dalam.
            Seorang wanita dengan potongan rambut model Cleopatra, menarik gagang pintu dan berlari kecil ke arah Donni. Donni terkesima dengan penampilan wanita yang sedang membuka engsel pagar. Wanita itu memakai long dress jingga yang menampakkan lekuk tubuhnya yang menawan.
            “A-apa Anda ibu Hesty?”
            “Ya saya ibu Hesty. Kamu pasti Donni ‘kan?”
            Ia tertegun sendiri dalam pikirannya—bagaimana bisa guru yang tidak masuk dalam mata pelajarannya bisa mengenal namanya.
            “I-iya.” Sahut Donni gugup.
            “Kalau begitu silahkan masuk dulu dek,” ibu Hesty mendorong pagar hingga bisa memuat badan dan motor Donni ke dalam. Sementara dirinya memasukkan sepeda motor, ibu Hesty sudah lebih dahulu masuk ke rumah. Barangkali, ia ingin menyiapkan sebuah teh manis hangat untuk menyambut kedatangan siswanya.
            Donni memandangi sebentar suasana rumah ibu Hesty yang tergolong mewah. Tanah sepetak yang berada di depan teras, digunakan untuk membuat tanaman minimalis yang di tengah-tengahnya terdapat air mancur dan gazebo yang berada tak jauh dari air mancur.
            Satu hal yang mengganjal di pikirannnya, ternyata ibu Hesty ornag yang terkesan ramah, tapi kenapa di sekolah ia cenderung dingin dan tertutup? Donni merasakan ada sesutau yang disembunyikan dalam perilakunya mendadak ramah dan suka melemparkan senyum.
            Setelah Donni melepaskan sendal, ia menggosokkan kaki di atas keset. Ia duduk di atas sebuah sofa merah marun berlengan panjang. Bola mata Donni mengedar ke seluruh bagian ruang tamu rumah ibu Hesty dipenuhi segala jenis guci dan lukisan-lukisan yang terpajang di sana.
            Salah satu lukisan yang menarik perhatiannya—seorang perempuan yang digambar dengan model setengah badan dengan goresan cat minyak tebal membasahi kanvas. Raut wajah perempuan itu tak menyiratkan kebahagian, seakan semua kesenangan hilang ditelan kesuraman.
            “Itu anak saya. Dia anak satu-satunya yang saya miliki. Anak saya sudah meninggal dua tahun yang lalu kerena dibunuh oleh teman-temannya.” Ibu Hesty melihat ke arah lukisan itu juga. Matanya berkaca-kaca memandang lukisan itu.
            Ibu Hesty sudah meletakkan segelas teh manis panas dan tiga lapis brownies di atas sebuah piring keramik, “Ayo dimakan.” suruh ibu Hesty lembut.
            Donni mengalihkan perhatiannya ke hidangan yang sudah disuguhkan, membuat rasa lapar yang menggerayangi lambungnya, harus segera dipuaskan. Donni meraih gelas dan meniup uap panas yang masih mengepul di atasnya. Ketika dirasakannya sudah agak dingin, ia menyeruput pelan-pelan teh manis yang berada di dalam gelas. Begitu dahaganya terpenuhi, tangan kanan Donni mengambil selapis brownies dan dikunyah penuh penghayatan.
            “Jadi, apa tujuanmu datang ke rumah ibu, Donni?”
            Brownies yang tinggal setengah itu, langsung dilahapnya cepat. Donni tak ingin berbicara dengan mulut penuh makanan—itu sangat tidak sopan.
            “Apakah Lina ke sini, bu?”
            Bu Hesty mengernyitkan alisnya hingga bertaut pada ujungnya, “Lina? Jadi, kamu tahu kenapa Lina tak musuk hari ini?”
            “Errr, saya sempat ke rumahnya untuk menjenguknya. Dan ibunya bilang, ia sudah tak sadarkan diri sejak kemarin, tapi—” Jelas Donni.
            “Astaga! Kenapa bisa begitu?”  potong bu Hesty. Ia tersentak mendengar anak didiknya  tidak sadarkan diri tanpa diketahui apa penyebabnya.
            “Tapi, dia kabur dari rumah.“
            Kali ini ibu Hesty tak berkomentar. Keduanya sama-sama bungkam. Donni masih menunggu apa reaksi yang ditunjukkan ibu Hesty.
            “Apa yang membuatmu berpikir Lina bisa berada di sini?”
            Donni mati kutu. Ia tidak punya cukup bukti untuk menguatkan alasan jika ibu Hesty-lah yang membawanya ke rumah ini. Tatapan ibu Hesty masih tertuju padanya. Ia masih menanti-nanti, jawaban apa yang akan dikatakan anak didiknya itu.
            “Halo, Her?” Donni merogoh handphone yang barusan saja berdering.
            “Don, tadi bapaknya Bondan meneleponku dan dia bertanya di mana kau sekarang dan aku jawab kamu berada di rumah ibu Hesty,”
            “Lalu, apa masalahnya?” tanya Donni cepat.
            “Rumahnya ibu Hesty di komplek perumahan Grand Morista ‘kan? Kalau enggak salah, rumah ibu Hesty dikelilingi tanaman singkong—”
            “Iya iya, tapi apa masalahnya?” serobot Donni kesal.
            “Polisi belum bisa menemukan rumah ibu Hesty.” ujar Heru lepas.
            Donni melongo dengan semua keanehan yang terjadi. Ia ingin memastikan apakah polisi benar-benar sedang mencari rumah ini. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, tangan ibu Hesty sudah menahannya lebih dahulu.
            “Jangan...” Bola matanya melotot ke arahnya. Tak berselang lama, sebuah benda tumpul mendera tengkuknya hingga Donni tak sadarkan diri.

Thursday, 24 December 2015

Tumbal Arwah Jelangkung - Delapan



Selang infus masih tertancap di  urat nadi Sofia. Ia dalam keadaan koma dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya. Grafik elektronik naik turun menunjukkan bahwa perkembangan kesadaran Sofia belum menujukkan tanda-tanda siginifikan. Hendra menggenggam erat tangan Sofia yang lemah sembari berkata-kata.
            “Sayang, sadarlah. Aku dan Melly sudah berada di sini.” ucap Hendra pelan.
            Hendra terpaksa harus membatalkan rencananya ketika mendapat telepon dari kepolisian bahwa istrinya mengalami kecelakaan di ruas jalan bandara Kualanamu. Kabar itu terdengar ketika ia sudah sampai di bandara Sultan Syarif Kasim II. Ia harus kembali lagi ke Medan dengan perasaan sedih bergemuruh di dada.
            Melly yang berada di samping ayahnya juga tak dapat membendung air mata. Setelah ditinggalkan oleh kakaknya, kini, ibunya tengah terbujur tak berdaya di atas ranjang. Melly sudah absen selama dua hari dari sekolah tanpa memberi kabar pada teman sekelasnya.
            Tok tok tok!
            “Masuk.” suruh Hendra lemah.
            Dua orang polisi masuk ke dalam ruang perawatan Sofia. Hendra sontak berdiri dan menghapus air mata yang masih tersisa di wajahnya.
            “Ada perkembangan mengenai pelaku penabrakan istri saya, pak?”
            “Ya. Sejauh ini kami sudah berhasil mengidentifikasi wajah pelaku berdasarkan keterangan para saksi. Kami sudah menggambar sketsa wajah di kertas ini,” Sang polisi bertubuh tegap memberikan secarik kertas yang dirogohnya dari dalam kantung kemeja.
            Hendra sudah menerima kertas itu dan membuka lipatannya. Ia berusaha mengenali wajah yang tergambar dalam sketsa tersebut.
            “Tunggu dulu... Ini...”
            “Apa bapak mengenalinya?”
            “Itu gambar siapa, ayah?” sela Melly yang berdiri di samping ayahnya. Hendra membisu, tak menanggapi pertanyaan dari pihak kepolisian dan anaknya.
            “A-aku mengenalnya. Dia mantan kekasih saya sewaktu kuliah,” jawab Hendra agak terbata.
            “Apakah bapak mengetahui tempat tinggalnya?”
            “Tidak, pak polisi. Tidak sama sekali,” Hendra menggeleng pelan. “Saya sudah lama tidak bertemu dengannya, hampir 17 tahun.” tandas Hendra.
            “Baiklah, pak Hendra. Jika anda sudah mengingatnya, tolong laporkan secepatnya kepada kami supaya kami bisa memprosesnya. Kami undur diri dahulu.” pamit dua polisi tersebut.
            Entah mengapa Donni tak bisa konsentrasi dengan pelajaran Fisika yang dijelaskan oleh bu Farah. Mekanika fluida—pelajaran yang menurutnya tak terlalu sulit bahkan tanpa dijelaskan pun ia bisa mengerjakan soal sendiri tanpa harus menyontek. Tapi, tidak untuk saat ini.
            Penjelasan dan contoh-contoh soal yang diberikan ibu Farah bak radio rusak bahkan rumus-rumus kompleks itu mengambang tak menentu di dalam kepalanya. Yang ada dipikirannya adalah Lina dan Lina. Dia benar-benar khawatir Lina akan menjadi korban berikutnya.
            “Donni? Donni? Apa yang kamu pikirkan?” suara itu menegurnya dari depan.
            “Saya bu?” sahut Donni. Ia celingukan mencari sumber suara yang memanggilnya.
            “Tidak biasanya kamu seperti ini, nak,” ibu Farah meletakkan kapur yang dipegangnya di atas meja.
            Donni diam saja begitu ditegur langsung oleh ibu Farah. Ia pura-pura tertunduk lesu seolah menyesali perbuatannya. Ia tak ingin mengatakan bahwa Lina yang saat ini menggerayangi pikirannya.
            “Bu, boleh saya izin ke kamar mandi sebentar?”
            “Hmm... silakan. Sepertinya kamu dalam kondisi yang kurang fit hari ini, tapi jangan berlama-lama.” bu Farah melirik arlojinya lalu beralih pada Donni.
            Setelah ibu Farah memberikan izin pada Donni, ia langsung melangkah keluar dari kelas. Pikirannnya bagai benang kusut, memikirkan cara menghentikan teror yang sudah merenggut nyawa teman-temannya.
            Donni menggosok-gosok kepalanya yang pening dengan perasaan gusar. Ia tak mendapatkan petunjuk apapun mengenai asal-usul dan pemilik boneka jelangkung tersebut. Seingatnya, ia mendapatkan boneka itu tak juah dari lapangan basket tempatnya berlatih. Sebuah boneka perempuan berbaju merah dengan rambut dikepang dua. Penampilannya kumal dengan bola mata plastik yang hampir copot.
            Selain menyukai basket, ia juga menyukai permainan mistik terutama jelangkung. Berawal dari situlah ia mengambil boneka itu dan menaruhnya ke dalam tas.
            Donni menapaki kakinya di depan kelas XI-2. Ada yang menurutnya janggal di sini—bulu kuduknya meremang. Donni tergeragap. Bola matanya berpaling ke kiri. Di sana, ada ibu Hesty sedang menerangkan pelajaran Statistika di papan tulis. Tak ada satu murid pun yang mengalihkan pandangannya selain ke papan tulis. Semua tampak serius menyimak pelajarannya.
            Ibu Hesty adalah guru bidang studi matematika yang masuk di kelas IPA khususnya kelas XI-1 dan XI-2. Ia adalah guru misterius yang baru saja pindah lima bulan yang lalu. Ia juga tak banyak bergaul dengan guru-guru yang lain. Tatapan matanya begitu tajam dan menusuk ke arah mata siapapun yang memandangnya. Ia tak segan-segan untuk mengeluarkan murid yang tak suka dengar pelajarannya bahkan memberikan nilai 0 di rapor siswanya.
            “Apa yang kau lakukan di sana?”
            “A-anu bu. Saya hanya melihat-lihat saja.” jawab Donni setengah gugup seraya menyimpulkan senyum getir.
            “Kamu kira kelas ini kebun binatang!” senggak bu Hesty.
            Donni beranjak pergi meninggalkan bu Hesty. Ia tak mau membuat masalah dengan guru yang super killer itu.
            Lonceng istirahat berdering keras. Ibu Farah meninggalkan kelas dikuti oleh seluruh murid XI-4, Donni termasuk di dalamnya. Ia mempercepat langkah kakinya menuju kelas XI IPS-1 untuk mencari Heru.
            “Hey  Dina, apakah kau melihat Heru?” tanya Donni pada Dina yang kebetulan sedang mengobrol dengan teman-temannya.
            “Tidak.” jawab Heru singkat.
            Donni berpaling dari hadapan Dina ketika mengetahui Heru tidak ada di kelas. Ia mengingat kantin favorit tempat Heru nongkrong bersama kawan-kawannya—kantin mas Pay.
            Kantin mas Pay terletak di samping ruang UKS. Di sampingnya, ada sebuah mushola yang biasanya dipakai oleh murid-murid beragama Muslim untuk sholat. Kantin ini merupakan tempat mangkal para siswa IPS ketika cabut pelajaran atau waktu istirahat.
            Donni tiba di kantin. Matanya terus berputar-putar mencari keberadaan Heru. Ia menemukan Heru di antara kerumunan siswa yang sedang menyantap nasi hangat. Heru tertawa terbahak-bahakmendengar lelucon yang diutarakan teman sekelasnya.
            “Ada apa bro?” Heru menghentikan tawanya saat Donni berada di hadapannya.
            “Ini tentang Lina.”
            Begitu mendengar nama Lina, Heru berdiri dan berpamitan pada teman-temannya. Donni berjalan lebih dulu sementara Heru mengekor di belakang.
            “Kenapa kau Don? Kelihatannya panik begitu. Ada apa dengan Lina?”
            “Aku khawatir, Lina terjadi apa-apa. Kau ingat, kejadian yang semalam?”
            Heru memutar ingatannya ketika ketiganya mengunjungi rumah kosong tempat mereka bermain jelangkung. Ia juga ingat bahwa Lina melihat sosok penampakan perempuan mengancam dirinya.
            “Kurasa makhluk itu mengincar Lina.”
            “Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Heru.
            “Begini, aku menyimpan kecurigaan pada bu Hesty. Kau kenal ‘kan ibu Hesty?”
            “Semua siswa di sekolah ini begitu mengenalinya. Apa yang mau kulakukan dengan ibu Hesty?”
            “Buntuti dia. Aku yakin dia ada hubungannya dengan semua teror ini.” balas Donni. Tatapan matanya memancarkan kepastian.
            “Kalau soal memata-mata serahkan saja padaku, tapi kau sendiri?”
            “Aku akan pergi ke rumah Lina untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.”
            “Ok ok. Jangan lupa traktir aku ya makan bakso.” Heru mengalihkan pandangannya  pada Donni.
            “Kalau itu bereslah, yang penting kita selidiki semua sampai tuntas.” tukas Donni.
            Seusai membagi tugas, lonceng pertanda masuk kelasberdering keras, menggaung ke seluruh penjuru sekolah. Heru memilih pergi ke kamar mandi sedangkan Donni langsung menuju ke kelasnya.
            Donni memacu sepeda motornya keluar dari gerbang sekolah sedangkan Heru masih bersembunyi di balik ruang guru. Di sana, ada seorang guru yang dihadapkan dengan beberapa tumpukan buku-buku tulis yang siap diperiksa. Heru terus mengawasi tanpa memalingkan sedikit pun pandangan matanya. Tak butuh waktu lama, guru tersebut meraih tas jinjing yang terletak di mejanya. Heru cepat-cepat menyelinap di dalam kamar mandi guru agar ia tak ketahuan.
            Heru menyingkap celah pintu agar ia bisa melihat apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Dilihatnya guru tersebut makin menjauh, ia memutuskan keluar dari kamar mandi. Ia mengatur langkah kakinya gara sang guru tidak curiga bahwa ia sedang dibuntuti.
            Sang guru berbelok ke kanan ke arah ruang koperasi setelah melewati ruang laboratorium. Pelan-pelan diaturnya langkah kakinya namun matanya tetap awas dengan targetnya. Heru menghentikan langkahnya di kamar mandi perempuan. Ia berdiri di samping dinding kamar mandi. Ia tak bisa melihat lebih dekat siapa yang akan dijumpai oleh sang guru di ruang koperasi.
            Sang guru sudah sampai di ruang koperasi. Ia tak sendirian. Ia disambut oleh seorang laki-laki berambut cepak, berbadan tinggi. Sang guru terlihat membicarakan hal yang cukup serius padanya—hanya itu yang bisa diamatinya dari sana.
            “Sepertinya, aku mengenali laki-laki itu,” ungkap batinnya.
            Sang guru menyerahkan sebuah amplop coklat yang Heru sendiri tak tahu apa isinya.
            “Ah sial! Seandainya aku bisa mendekat,” maki Heru dalam hati.
            “Tapi hal ini akan segera kuberitahu pada Donni.”
            Donni sudah tiba di rumah Lina. Ia menggas sepeda motornya lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ia hampir saja diserempet truk colt diesel. Ia bersyukur bisa mengelak tanpa mengalami luka sedikit pun.
            Donni menghentikan sepeda motornya begitu sampai di halaman rumah Lina. Ia yakin kalau keluarga Lina adalah keluarga yang gemar berkebun. Itu terbukti dengan banyaknya pohon buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan. Tak hanya banyak, pohon-pohon itu tampak terawat, tak ada gulma yang tumbuh di sampingnya.
            Ia melangkahkan kaki menuju pintu depan lalu mengetuk pelan.
            Tok tok tok!
            Tak ada seorang pun yang menegurnya dari dalam. Ia memutuskan untuk mengetuknya sekali lagi.
            Tok tok tok!
            Donni agak terkejut ketika pintu terbuka secara tiba-tiba. Seorang laki-laki menyambutnya dengan wajah murung.
            “Permisi, Lina ada?” tanya Donni.
            “Ada. Kalau boleh tahu, abang ini siapanya ya?”
            “Saya teman sekelasnya.”
            Begitu mengetahui bahwa yang datang adalah temannya Lina, lelaki itu mempersilahkan Donni masuk. Ia menduga bahwa lelaki yang berada di sampingnya saat ini adalah adiknya Lina.
            “Di mana Lina?”
            Ia tak menjawab pertanyaan Donni. Ia terus berjalan lurus, mengantarkan Donni pada suatu tempat.
            “Kakakku di sana.” ia menunjuk ke arah perempuan yang sedang tak sadarkan diri sebuah ranjang berdesain orange jeruk. Wajahnya pucat pias bagaikan tisu. Ibunya terus saja menjamah rambut panjang yang tergerai tanpa diikat.
            “Apa yang terjadi dengan Lina, bu?” Donni memasuki kamar Lina setelah lelaki yang mengantarnya beranjak pergi.
            “Apa kamu temannya Lina?” tanya sang ibu. Donni mengangguk pelan.
            “Ibu sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan Lina. Tadi malam, ibu melihat pintu kamarnya terbuka dan tahu-tahu, Lina sudah tergeletak di lantai.” kata sang ibu hampir menangis.
            Donni mengambil kesimpulan bahwa ini pasti ulah makhluk itu. Ia berdecak pelan sambil berpikir entah apa yang bisa membuat Lina bertahan dari serangan makhluk itu.
            “Kalau begitu, saya pamit dulu, bu.” pungkas Donni sambil menyalami ibunya Lina. Ia memilih untuk tidak berlama-lama di sana dan meminta informasi yang sudah didapatkan Heru dari hasil pengintaiannya.
            Donni kembali menjejakkan kaki di halaman rumah, menjemput sepeda motornya di sana. Di antara rerimbunan pohon mangga, tak sengaja pandangannya beralih pada sesosok berbaju putih yang dihalangi dedaunan. Namun sialnya, Donni tidak bisa melihat raut wajahnya karena ditutupi oleh rambutnya yang panjang. Ia tercengang ketika sosok itu lenyap bak sambaran kilat.
            “Ha-halo Her,” sahut Donni agak gugup begitu menyadari Smartphone-nya sudah berbunyi keras.
            “Hallo Don, kau di mana?”
            “Aku lagi di rumah Lina.”
            “Oh ya, bagaimana keadaan si Lina?”
            “Dia pingsan sejak tadi malam dan sekarang dia belum sadarkan diri... Apakah kau sudah dapat petunjuk?” ujar Donni lemah.
            “Kau akan tahu jika kau datang ke rumahku.”
            “Kalau begitu tunggu aku di rumahmu, aku akan datang kira-kira dua jam lagi.” tutup Donni sambil mengencangkan tarikan gas, menjauhi rumah Lina.
            Sebelum meninggalkan rumah Lina, Donni mengencangkan resleting dan tali kerudung jaketnya. Untung saja makhluk itu belum membunuh Lina. Ia masih bisa bertahan meskipun kondisinya belum sadar sampai sekarang. Ia ingat saat Lina menanyakan padanya dari mana ia mendapatkan boneka itu. Juga, ia sempat menyenggaknya saat Lina mengatakan bahwa ia melihat ada sosok lain berada di rumah kosong tempat mereka bermain jelangkung.
            Awalnya ia bersikap sinis pada Lina—seorang gadis eksentrik yang penakut itu, kini tengah membayangi pikiran dan hatinya. Ia juga tak memungkiri melalui teror ini, Donni mulai mengetahui Lina mempunyai solidaritas tinggi dan tentunya, ia semakin punya kesempatan untuk mendekatinya.
            Donni memutar kunci ke kiri dan mesin sepeda motor mati. Ia memutar kaki kanannya, meletakkan pijakannya di sebuah pelataran rumah yang terdapat dua kandang ayam siam dan dua sangkar burung pipit, tergantung di atas asbes putih.
            “Baru pulang, nak?” ayahnya Donni mengalihkan pandangannya sebentar ke arah anaknya yang bergegas ke rumah. Tangan kirinya masih memegang selang yang mengucurkan air untuk membersihkan kandang ayam.
            “Ia yah.” jawab Donni singkat tanpa memalingkan pandangannya pada ayahnya.
            Donni mendorong pintu dengan dadanya. Pintu terbuka lebar. Di ruang tamu, ibunya sedang fokus menyaksikan sinetron yang menjadi kesukaannya.
            “Kamu habis dari mana, nak? Sudah jam empat sore, kamu baru pulang ke rumah,” tegur ibunya sembari mengalihkan pandangan kepada anaknya.
            “Tadi, aku ikut menjenguk teman sekelas yang sakit dan rumahnya jauh pula. Jadi, kami pulangnya agak lama.” karang Donni.
            “Hmm, ya sudah. Pergilah ke kamarmu.” ibunya Donni berdeham pelan.
            Donni memelesat menuju kamarnya. Ia mengunci kamar, merebahkan diri dengan tubuh masih terbalut seragam sekolah. Ia mengurut keningnya dengan kedua tangannya. Seingatnya, ada sebuah majalah investigasi paranormal yang membahas lengkap tentang seluk-beluk jelangkung. Di sana tertulis bahwa arwah jelangkung yang dipanggil ke dalam media, akan kembali ke alamnya begitu para pemain sudah melakukan ritual pemulangan arwah. Jika arwah yang merasuki boneka tidak mau pulang, para pemain setidaknya harus menghancurkan medianya.
            “Kau tidak akan bisa menghentikanku...”
            “Kau!” sergah Donni.
            “HIHIHIIIIIIIII!” sosok perempuan menghilang dalam sekali kedipan mata.
            Donni buru-buru menanggalkan baju dan celana sekolah. Ia menggertakan giginya, melihat situasi yang semakin memanas. Jarak antara kematian dan kehidupan terasa sangat tipis. Terlambat saja ia bertindak, bisa saja Lina kehilangan nyawanya. Tapi bukan hanya Lina saja yang terancam, bahkan, ia dan Heru bisa saja menjadi korban berikutnya.
            Lidahnya menyempil sisa daun singkong yang lengket di pinggir bibirnya. Donni baru saja selesai menyantap sepiring nasi dengan ikan gembung sambal dan sayur singkong bersantan. Ia menyiapkan tenaganya bepergian ke rumah Heru. Donni memanggul tas sekolah yang biasa dipakai di atas pundaknya. Ia juga sudah menyiapkan alasan jika ditanya soal kepergiannya.
            “Donni, kamu mau kemana, nak?” ibunya muncul dari balik pintu begitu melihat anaknya menggiring sepeda motornya keluar.
            “Aku mau ke rumah teman, ma. Ada kerja kelompok.” ujarnya sambil memutar kunci.
            “Hati-hati, jangan pulangterlalu lama.” pungkas ibunya sambil kembali menutup daun pintu.
            Usai memasukkan persneling, Donni melajukan sepeda motornya lebih kencang untuk sampai di rumah Heru. Tidak butuh waktu lama untuk bisa sampai di rumah Heru. Rumah Heru hanya berjarak satu setengah kilometer dari rumahnya. Hanya melewati jalan lurus kemudian belok kiri. Di situ, dia akan menemukan sebuah rumah berpagar besi yang berada di depan teras.
            Donni menekan pedal rem pelan-pelan lalu memundurkan persneling hingga netral. Ia mematikan mesin sepeda motornya kemudian berdiri di depan pagar rumah Heru.
            “Heru... Heru...,” Donni memanggilnya dengan suara nyaring.
            “Ada apa, nak?” suara itu menyapa Donni ketika pintu tamu terbuka. Memunculkan seorang perempuan paruh baya membawa sebuah kunci.
            “Heru ada di dalam, bu?”
            “Oh ya, dia lagi main PS di kamarnya.”sahut wanita itu seraya membukakan gembok yang mengunci pagar itu.
            Donni mendorong pagar usai gemboknya terbuka. Di sana, ia bisa melihat suasana rumah Heru sama dengan suasana rumahnya. TV LCD itu masih menampilkan tayangan sinteron yang khas untuk kaum ibu-ibu sedangkan ayah Heru sedang sibuk menyimak koran yang berada di hadapannya.
            “Heru, ini teman kamu datang.”
            “Suruh saja dia datang ke kamarku.” ujar Heru dari dalam kamarnya.
            Donni langsung beralih ke kamar Heru begitu mendapat perintah dari temannya. Kamar Heru tak jauh dari ruang tamu, mungkin sekitar 10 meter dari sana.
            “Masuk saja, Don. Enggak dikunci kok.”
            Ia menekan gagang pintu yang berada di dekatnya. Didorongnya pelan dan terlihat Heru sedang asyik memainkan stick PS-nya. Tatapannya tertuju pada para pemain yang digerakkannya melalui stick itu.
            “Jadi, apa yang kau lihat tadi sore?” ujar Donni sambil menyeret kursi yang berada di meja belajar ke arah Heru.
            “Oh ya aku lupa.” Heru langsung mematikan PS-nya lalu berpaling pada Donni yang duduk di sebelahnya. Tapi, Heru memilih untuk duduk di kasurnya.
            “Begini, tadi siang, aku melihat ibu Hesty melakukan sesuatu yang mencurigakan di luar ruang koperasi. Di sana, ia tengah memberikan amplop kepada lelaki itu,”
            “Kau tahu siapa lelaki itu?” sahut Donni penuh antusias.
            “Ya aku kenal dia—dia, mas Payino.”
            “Apa?!” Donni cukup tercengang dengan penuturan Heru. Dalam hati, ia bertanya-tanya ada urusan apa mas Payino dengan guru tersebut.
            “Apa kau punya dugaan mengenai apa yang kau lihat tadi sore?”
            “Hmm, aku tidak tahu. Jika saja kau bisa mendekat, aku pasti akan memberitahukan langsung padamu—”
            “Heru, maukah kau menemani ku ke sana? Kalau soal alasan, biar aku saja yang berbicara pada ibumu.” ucap Donni tegas. Kali ini, dia menatap Heru lebih intens.
            Donni sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Ibunya Heru begitu ketat untuk urusan memberi izin keluar malam pada anaknya terutama jika temannya yang mengajak. Untung saja, ia sudah membawa buku catatan serta buku bacaan untuk memperkuat alasannya.
            Setelah mendapat izin dari orang tuanya, Donni mengajak Heru keluar bersamanya. Begitu keluar dari kamar, Heru juga sudah membawa tas punggung di belakangnya. Sebelumnya, Donni sudah memberitahu Heru agar dirinya juga membawa tas beserta buku tulis.
            “Kami pergi ya, tante.”
            “Ya. Jangan sampai kemalaman, ya.”
            Setelah berpamitan dengan ibunya Heru, Donni tancap gas menuju jalan raya. Keluar dari jalan Sandang Pangan, keduanya sudah menetapkan tujuan ke sekolah untuk meminta keterangan mengenai kejadian yang dilihat Heru tadi sore.
            “Don, pelan-pelan. Jarak rumahku dari sekolah dekat kok.” kata Herudari belakang jok sepeda motor. Ia terlihat sedikit ketakutan melihat cara Donni membawa sepeda motor yang cukup menantang. Donni menaikkan gas hingga kecepatan 70 kilometer per jam, melewati jalan dengan beberapa persimpangan.
            Keduanya memilih untuk lewat dari halaman belakang sekolah. Namun, gerbang belakang juga sudah dikunci. Mau tak mau, mereka harus memanggil pak Payino yang berada di dalam area sekolah.
            Mas Payino... mas Pay... mas...” keduanya berulang kali memanggil masPayino, berharap agar dia mendengar.
            “Ada apa ya, bang?” sebuah suara perempuan menyahut panggilan mereka. Dari samping mushola, seorang perempuan berambut panjang dengan jerawat lumayan banyak, menghampiri mereka.
            MasPayino ada di rumah?”
            “Ada bang. Baru saja selesai mandi.”
            “Tolong buka gerbangnya, kami berdua punya urusan penting dengan pak Payino.”
            Mendengar apa yang dikatakan mereka, perempuan itu undur diri dari hadapan mereka. Perempuan itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, membuat kedua laki-laki itu bingung. Apakah dia mengizinkan mereka masuk atau tidak.
            Tak berapa lama, perempuan itu datang dengan menenteng sebuah kunci di tangan kanannya. Ia mendekati gembok lalu memasukkan kunci ke dalamnya.
            “Masuklah.” Ucap perempuan itu.
            Dua laki-laki itu mendorong pagar selebar bahu mereka. Perempuan itu jalan lebih dahulu. Keduanya mengikut dari belakang.
            “Boleh aku tahu namamu?” tanya Heru.
            “Namaku Alisya.” Jawabnya seraya melirik sedikit ke belakang.
            “Kamu anaknya mas Payino?” sela Donni.
            Alisya hanya menangguk sekali. Ia tak terlalu antusias berbicara dengan mereka. Ketiganya sudah tiba di depan rumah mas Payino.
            “Pak, ini dua orang laki-laki yang mencari bapak.”
            Mas Payino yang sedang mengunyah nasinya, menyuruh mereka masuk termasuk putrinya. Usai melepas sendal, keduanya duduk di atas dipan yang memang sudah tersedia di rumah itu. Mas Payino pergi ke dapur menyimpan piring bekas makanannya sedangkan keduanya masih menunggu dengan sabar. Semenit berselang, pak Payino datang dan menyambar serbet yang berada di atas kulkas, disekanya mulutnya dan tangannya yang basah oleh air.
            “Ada perlu apa kalian mencari saya?” pak Payino meletakkan kembali kain serbet yang diambilnya.
            Keduanya diam sesaat—beradu pandang seolah ingin memutuskan siapa yang terlebih dahulu akan mengajukan pertanyaan. Heru dan Donni kembali memalingkan pandangannya ke arah mas Payino.
            “Ehmm, mas Payino, kenal dengan ibu Hesty?” Heru berusaha untuk tidak membuat pak Payino merasa dicurigai.
            “Kenal,” mas Payino mengangguk pelan, “Siapa yang tidak kenal dengan bu Hesty? Meskipun baru beberapa bulan berada di sini, semua guru, siswa bahkan saya sendiri mengenalnya.”
            “Bagaimana sikap ibu Hesty menurut mas?” kini giliran Donni mengajukan pertanyaan.
            “Menurut saya ibu Hesty memang orang yang tertutup. Dia memang tak terlalu banyak berbicara dan bergaul dengan guru-guru. Dia lebih suka melarutkan diri dalam kesibukannya memeriksa buku PR atau buku latihan yang biasanya diberikan kepada para siswanya.”
            “Apakah ibu Hesty pernah meminta tolong pada mas?” sambung Heru lagi.
            “Maksudnya?” dahi pak Payino berkerut menanggapi pertanyaan Heru yang agak membingungkan.
            “Ya maksud saya, apakah bu Hesty pernah meminta tolong pada bapak untuk sebuah keperluan?”
            “Ah, saya dan ibu Hesty tidak punya kepentingan apa-apa kok—sama seperti kalian, sesama siswa harus saling kenal bukan? Meskipun saya cuma berstatus penjaga di sekolah ini, tidak salah bukan, mengenal kepala sekolah, guru-guru dan staff yang berada di sekolah ini?” pak Payino tak mengarahkan matanya langsung ke mata Heru.
            “Jadi, apa yang diberikan bu Hesty di samping dinding luar ruang koperasi?”
            “Saya tidak mengerti—“
            “Mas tidak usah mengelak! Apa susahnya untuk berkata jujur! Mas tahu, Lina sedang tidak sadarkan diri saat ini!”senggak Donni seraya berdiri, menghentakkan kaki kanannya. Alisha yang sedang belajar pun cukup tersentak dengan aksi Donni yang terkesan spontan.
            Biarpun Donni berkata demikian, mas Payino tidak memberikan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Ia memilih bungkam tanpa menatap Donni yang sudah panas. Heru pun tak bisa berbuat banyak dan memilih diam.
            “Halo?” Donni meraih handphone yang berada di saku jeans-nya.
            “Halo bang Donni, kak Lina kabur dari rumah!” suara laki-laki terdengar dari seberang sana.
            “Apa?!”