Lina menatap cermin
yang berada di hadapannya. Ia masih menyisir rambutnya yang basah seusai mandi.
Lehernya berputar ke belakang, melihat handphone
Samsung yang terus berbunyi di atas ranjang. Ia meninggalkan cermin dan segera
mengangkat panggilan masuk.
“Hallo, Shan,“ sahut Lina.
“Oh ya, Lin, sudah bersiap-siap belum? Sebentar lagi, aku
sampai di rumahmu.“
“Iya, iya , Aku sedang menyisir rambut. Cepat sedikit ya.“
pungkas Lina sambil mematikan handphone-nya.
Dirinya kembali lagi ke cermin. Berkaca sebentar, menipiskan
bedak yang terlalu tebal di pipi. Lina mendekatkan wajahnya sambil menatap
lekat bayangan dirinya yang terpantul di cermin. Tak sengaja, saat dia ingin
mengusap pipi kanannya, matanya tertuju pada sekelebat bayangan yang berdiri di
belakangnya.
Lina membalikkan badannya sekejap. Jantungnya serasa
ditarik keluar. Ia melihat sosok perempuan menatapnya garang. Aura kejam begitu
kuat menyelimuti wajah pucatnya membuat Lina bergidik ngeri. Ia bergegas pergi,
mengunci pintunya rapat-rapat tanpa peduli apakah sosok itu masih berada di
dalam.
Lina merapatkan badannya di depan pintu kamarnya. Desah
napasnya tak teratur. Detak jantungnya bereaksi cepat ketika ia melihat sosok
wanita misterius yang tiba-tiba berada di kamarnya.Ketika Lina menenangkan
dirinya, suara ibu memanggilnya dari ruang tamu.
“Lina..., ini temanmu sudah datang,“ kata ibu.
“Iya, bu. Lina akan ke sana.“ sahut Lina. Begitu
pikirannya tenang, ia melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya.
Lina sudah tiba di ruang tamu. Ia mendapati Shanti,
temannya, sudah menunggu di ruang tamu.
“Ibu, Lina pergi dulu ya,“ ujar Lina seraya menyalam
tangan ibunya.
“Ya, hati-hati di jalan. Jangan terlalu larut pulang,“
Lina menganggukkan kepalanya sekali sambil menutup pintu
rumah. Ibunya sudah kembali ke dapur, memasak hidangan makan malam.
“Kamu lama banget sih, Shan. Fanni pasti sudah mengomel
di sana. “ ketus Lina.
“ Kamu ini kayak gak tahu saja, keadaan lalu lintas
sekarang. Hampir semua jalan ada operasi zebra. Ya jadi,aku mengambil jalan
pintas. Aku ‘kan tidak punya SIM dan
STNK,“
“Ya sudah. Ayo kita pergi. Tancap gas.“ tandas Lina
seraya mengencangkan tali helm yang melingkari kepalanya.
Lina sudah
mendaratkan bokongnya di atas jok sepeda motor. Shanti melajukan sepeda motornya,menjauhi
rumah Lina.
Sofia sibuk menyusun pakaian suaminya ke dalam koper.
Esok hari, Hendra akan pergi ke Riau, mengurus surat pindah mereka. Mereka sepakat,
akan tinggal di Medan bersama anak perempuan mereka, Melly. Selama ini, mereka
terlalu sibuk dengan urusan bisnis dan sekarang mereka ingin menetap permanen.
Mereka akan mencari pekerjaan yang tidak terlalu banyak menyita waktu.
“Ayah, apakah pakaian ini sudah cukup?“
“Ya, cukup. Lagipula, ayah tidak akan lama di sana.“
Sebelumnya, Sofia ingin ikut dengan suaminya. Ia juga
ingin menyampaikan surat pengunduran diri kepada manager-nya. Namun, Hendra bersikeras melarangnya.Ia menyuruh Sofia
tetap tinggal di Medan, bersama dengan putri mereka. Ia juga akan sekaligus
mengurus surat pengunduran istrinya dari perusahaan tempatnya bekerja.
“Ma, ayah berharap mama bisa mengerti, kenapa ayah tidak
mengizinkan mama ikut—ayah ingin mama menjaga Melly. Walaupun ada mbok Sinda di
sini, mungkin bila kamu bersama Melly, kita bisa meringankan beban pikirannya.“
“Ya, mama mengerti . Semoga ayah bisa menyelesaikan
semuanya.“
Hendra menyunggingkan senyum kecil . Ia cukup senang,
hanya dengan sekali penjelasan, istrinya bisa mengerti apa keinginannya.
“Tapi, jam berapa ayah akan berangkat?“ sela Sofia.
“Hmm, tunggu sebentar, ayah lihat dahulu tiketnya,“
Hendra berpaling menuju kamarnya. Dari sana, Hendra membawa sebuah lembaran
kertas berlogo Garuda Air. Ia
menyipitkan matanya, menyorotkan tangannya di atas kertas. Memeriksa tanggal
dan jam keberangkatan pesawat yang tertera di tiketnya.
“Nah, ini dia—Rabu, 11 Maret 2013. Jam 21.00 WIB.”
jelasnya.
“Besok malam? “ tanya Sofia heran.
“Ya begitulah yang tertera di tiket ini. Yang penting, kita
harus berangkat lebih awal. Kau tahu ‘kan, Lubuk Pakam lumayan macet di malam
hari.“
Sofia mengangguk kecil .
“Tapi ngomong-ngomong, apa menu malam ini, sayang?“
“Ibu masak ikan mas gulai. Apakah ayah sudah lapar?“
“Kebetulan, perutku sudah keroncongan. Kalau begitu, ayo
kita ke meja makan. Sekalian ajak Melly, ma.“ Hendra memalingkan badannya,
meninggalkan ruang tamu.
Shanti sudah meletakkan sepeda motornya di depan parkiran
sebuah restoran siap saji. Keduanya melepaskan helm yang membungkus kepala
mereka. Mereka mendengus napas kecil
sambil meletakkan helm di atas jok sepeda motor. Mereka langsung bergegas
menarik pintu yang berada di hadapan mereka. Matanya menelusuri setiap meja
yang terdapat di dalamnya. Bola matanya menemukan seorang perempuan sedang bertopang
dagu sambil mengetuk pelan meja makan.
“Hei, Fanny!“
Fanny mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang
memanggil dirinya. Ia mengamati dua orang perempuan berdiri sambil
melambai-lambaikan tangannya. Ternyata, ia mengenali keduanya—Lina dan Shanti.
Ia menyuruh kedua temannya menghampiri
meja yang sudah disediakan.
“Jadi..., kamu sudah lama menunggu di sini?“ tanya Shanti
ragu.
“Lamaaa, banget. Kalian tahu tidak, aku hampir saja
berjamurmenunggu kedatangan kalian.“ raut wajah Fanny sedikit kecut.
“Sorry deh.
Lain kali, kami gak bakalan telat kok,“ Lina menepuk pelan pundak temannya.
Fanny memejamkan mata sejenak seraya menghela napas pendek.
“Ngomong-ngomong, di mana makanannya? Aku sudah lapar.“
Shanti menelan ludah kering sambil mengelus perut ratanya.
“Sabar. Aku baru saja memesannya pada pelayan.“
Sembari menunggu pesanan mereka tiba, Shanti membuka
perbincangan hangat di tengah ramainya para pelanggan restoran yang makan di
sana. Shanti berbicara tentang cowok-cowok keren yang selalu menjadi bahan
obrolan setiap perempuan di sekolahnya. Fanny juga tak mau kalah dengan Shanti.
Tapi kalian ini, bukan soal cowok-cowok idola di sekolah mereka, tapi mengenai
para guru yang mengajar di kelas mereka.
Di antara semua guru yang mengajar di kelas mereka
masing-masing, hanya satu guru yang berkesan di ingatan Fanny—Pak Sudi. Pak
Sudi adalah guru bahasa Inggris favoritnya. Fanny bercerita kalau Pak Sudi
adalah guru humoris. Ditambah lagi, cara penyampaian materi yang mudah
dimengerti karena diselingi games
unik dan banyolan mengocok perut sehingga dirinya yang awalnya tak suka bahasa
Inggris menjadi suka.
Lain halnya dengan Lina. Ia hanya menanggapi cerita
temannya dengan suara kantuk kecil dari mulutnya. Mau pak Sudi atau guru lain
manapun tidak ada yang berkesan di hatinya. Ia beranggapan bahwa guru adalah
sosok yang membosankan. Mereka adalah sekumpulan orang yang cuma hanya bisa
memberikan materi pelajaran. Menguji anak didiknya dengan soal-soal ujian yang
membuat mumet kepala dan terkadang di
luar meteri yang sudah dipelajari.
“Apa enaknya jadi guru? Itu pekerjaan yang memuakkan. Aku
tak mau menjadi guru.“ omelnya dalam hati.
“Permisi kak, ini pesanannya.“ pelayan restoran menaruh
piring-piring yang berisi segumpal nasi dan ayam goreng di atas meja bundar.
Usai berdoa, mereka langsung menyantap menu yang sudah
terhidang di depan mata. Lina terlihat paling rakus antara ketiganya. Ia
menyobek saus sachet yang terletak di atas piring dan mengoleskannya ke atas
daging ayam goreng yang dilapisi remah-remah garing.
“Lin, kamu lapar apa cacingan?“ celetuk Shanti.
“Laparlah. Lagipula, kapan lagi bisa makankayak begini?
Ya gak, Fan?“ tandas Lina.
Fanny tak menghiraukan perkataan Lina. Ia hanya
mengangguk sambil memasukkan kepalan nasi putih ke dalam mulutnya.
“Ngomong-ngomong, aku bisa menanyakan sesuatu sama kalian
berdua, tidak?“ tanya Fanny.
“Nanya apaan?“
“Kalian merasakan sesuatu yang aneh dengan kematian
Prakoso, Indra dan ayahnya?“
“Heh, pantang membicarakan orang yang sudah meninggal,“
sahut Lina yang hampir tersedak ketika menyeruput cola cola yang sedang diminumnya.
“ Namanya juga mau minta pendapat, gak bisa disalahkan
juga dong. Kalau menurutmu, Shan?“
“Aku merasakan ada hal aneh. Mungkin kematian mereka itu
sudah ada yang merencanakan. Dan kamu juga lihat kan, kematian mereka juga
mengenaskan banget.“ urai Shanti.
“Iya, setuju banget.“ timpal Fanny.
“Lupakan saja. Lebih baik, habiskan dulu makanan kalian
baru kita bisa selfi-an. Gimana?“
pungkas Lina.
“Ok. Tunggu dulu ya, ini paha ayam belum kuhabiskan.“
ujar Shanti sambil mengunyah daging ayam yang berada digenggamannya.
Mereka bertiga sama lahapnya menyantap fried chicken dan segumpal nasi yang
berada di atas piring mereka. Hanya butuh 10 menit , tak ada sebutir nasi
melekat di piring mereka. Tak sedikitpun. Ketiganya tenggelam dalam rasa nikmat
dan kenyang yang bertumpuk jadi satu di dalam perut mereka. Mereka beralih
menuju kamar mandi untuk membersihkan tangan dan mulut mereka yang mungkin
masih tersisa butiran nasi dan saus tomat.
Usai menyeka tangan dan mulut mereka, mereka sudah
kembali ke meja. Fanny membuka tas lalu mengambil tongsis di dalamnya.
“This time to
selfie.“ ujar Fanny riang.
Fanny menaruh Smartphone-nya
pada pengait, menarik tongsisnya lebih panjang lagi. Berbagai macam pose
ditunjukkan di depan Secondary Camera.
Tersenyum, merengut, bibir monyong sampai mengancungkan dua jari bertanda peace, semua pose diekspresikan lewat
kamera. Ketiganya tertawa puas sambil melihat-lihat hasil jepretan foto mereka.
Dan jika masih sempat, hasil foto yang bagus, akan dicuci kemudian diberikan
masing-masing satu foto untuk mereka.
Tak terasa jam tangannya menunjukkan pukul 20.15. Sudah
malam rupanya. Baru saja Lina tiba di rumahnya.
“Makasih ya Shan, buat tumpangannya.“
“Sama-sama Lin. Oh, jangan lupa mengerjakan pr
matematika, kamu gak mau kan sampai dihukum ibu Hesty?“
“So pasti. Paling kalau gak sanggup, di sekolah, banyak
kok yang sudah siap.“ gelak Lina.
“Anjirr, malas
banget kau jadi cewek. Ya sudah, aku mau undur diri dulu, ya. Bye bye.“ Shanty menstater sepeda
motornya lalu memelesat jauh.
Lina membuka gagang pintu rumahnya dan perlahan masuk.
Diletakkan sepatunya, berjalan menuju ruang tamu. Di sana, ibunya fokus menonton
sinema India yang akhir-akhir ini sedang populer.
“Bu, Lina pulang.“
Salam Lina pun tak dihiraukan ibunya. Tatapannya tak beralih
sedikitpun dari layar TV.
“Hm dasar pecinta sinetron.“ omel batin Lina.
Dengan langkah agak lemah, Lina terus berjalan menuju
kamarnya. Sekarang, dia sudah berada di depan pintu kamarnya. Lina tercekat. Ia
teringat kejadian tadi siang membuatnya ragu membuka gagang pintu. Dipupuknya
keberaniannya menyentuh gagang pintu.
Tek!
Didorongnya gagang pintu dan terbuka. Tangannya meraba-raba,
mencari sakelar lampu kamar. Ditekan tombol itu dan kamar tampak terang
benderang. Tema kamar yang didominasi warna orange dan poster boyband dan girlband Korea seperti Super
Junior, SNSD, Five Generation, menempel di dinding. Tak
ada sesuatu yang aneh seperti yang dipikirkannya.
Lina menarik bangku yang berada di dekat meja belajarnya.
Ia duduk sambil membuka resleting tasnya. Lina mengambil hasil jepretan foto di
restoran tadi. Ia mengamati ekspresi teman-temannya di dalam foto. Lina
mengacungkan dua jarinya. Fanny menirukan tawa Yao Ming. Dan Shanti, hanya
mengulas senyum kecil. Puas diamatinya foto itu, Lina menyimpannya dalam laci mejanya.
Kemudian, ia menyalakan lampu sorot, membuka buku pelajaran yang sedari siang
sudah diletakkannya di meja.
Namun ia tak menyadari, sebuah siluet hitam pelan-pelan
timbul dari foto itu. Mulanya tipis kemudian sedikit tebal, menutupi seluruh permukaan
tubuh Shanti.

No comments:
Post a Comment