Malam terasa sunyi jika
hamparan langit tak menampakkan bintang. Hanya bulan purnama bersinar terang
meliputi alam semesta. Seekor kucing hitam melenggak-lenggok di sekitar rumah
Lina yang tampak dicekam nuansa keheningan. Lampu kamar Lina dibiarkan menyala.
Jam dinding yang terpasang di atas dinding kamarnya, terus bertendang tanpa
mengeluarkan suara.
Tubuh lemah yang teronggok di atas kasur itu, lamat-lamat
menghembuskan deru napas dari rongga dada yang kembang-kempis. Kelopak matanya
masih terpejam. Kedua belah bibir mengatup rapat. Tak ada tanda-tanda kesadaran
yang muncul sampai saat ini. Lina bagaikan mayat hidup yang telah ditinggal
pergi oleh sukmanya.
Di sana, ibunya masih setia menenaminya meskipun ia ikut
terlelap. Ia masih berjaga-jaga di kamar anaknya, sewaktu-waktu anaknya sadar
dan butuh pertolongannya.
Tanpa mereka sadari, kabut hitam menyembul perlahan dari
dalam ransel Lina. Awalnya tipis tapi semakin lama kabut itu semakin menebal
dan menggumpal hingga berbentuk seperti sosok manusia. Gumpalan kabut hitam itu
mulai membentuk anggota-anggota tubuh dan rupa wajah. Gumpalan kabut itu sudah
menjelma menjadi sosok perempuan berpakaian hitam dan berambut sebahu. Wajahnya
dingin dan bola matanya bulat. Kelopak matanya menghitam. Ia menatapLina nanar.
Sosok perempuan itu perlahan membuka mulutnya yang kering
dan pucat itu. “Lina, Lina, bangunlah. Ini aku Shanti,” bisiknya pelan di depan
ranjangnya.
Kelopak matanya terbuka lebar. Bola matanya berputar liar,
mencari sumber suara yang memanggil namanya.
“Lina, ini aku Shanti.” Ucap sosok itu sekali lagi.
Lina bangkit dari tidurnya. Di hadapannya sekarang, sosok
itu menyaru menjadi apa yang dilihatnya—Shanti, teman sekelasnya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Shanti? Bukannya kau sudah
mati?” ujar Lina tak percaya.
“Mati? Apakah kau bermimpi? Kalau aku sudah mati, mana
mungkin ‘kan, aku bisa datang ke sini?” sahut sosok itu dengan menyimpulkan
seringai lebar.
“Benar juga, tapi bagaimana kau bisa tiba di sini?” balas
Lina. Ia belum beranjak dari ranjangnya. Setengah badannya masih dibalut dengan
selimut woltebal merah.
“Itu tidak penting. Aku ke sini, ingin mengajakmu keluar.
Teman-teman kita sudah menunggu di luar.”
“Benarkah?” wajah Lina berbinar ceria. Sosok itu hanya
mengangguk sekali saja.
Begitu mengetahui sosok itu mengajaknya untuk keluar,
Lina menyingkirkan selimut yang melapisi tubuhnya dan beringsut dari sana. Ia
berjalan menuju sosok yang masih menunggu di depan ranjangnya. Ibunya yang
mendengar suara anaknya, mengerjapkan berkali-kali sambil mengucek pelan
matanya.
“Lina, mau ke mana kamu?” tanya sang ibu setengah sadar.
Sebelum keduanya melangkah menuju pintu kamar, mereka
mengalihkan pandangnya ke arah ibu Lina yang siap mencegatnya.
“Lina, aku mohon, singkirkanlah ibu. Dia akan mengganggu
rencana kita.”
Lina menurut saja tanpa mau membantah apa yang
diperintahkan sosok itu. Ia berjalan menghampiri ibunya yang sedang kebingungan
dengan tingkah aneh Lina. Tatap matanya kosong. Raut wajahnya datar. Ia membisu
tanpa menjawab apa yang ditanya ibunya.
Sang ibu yang dalam posisi duduk, tak menyangka sebuah
sikutan dari tangan kanan mengena telak bagian tengkuknya. Tak sempat minta
tolong, ibunya tak sadarkan diri. Lina kembali lagi mendekati sosok yang masih
menunggunya.
“Kemana dia pergi?” tanya Donni dari handphone-nya.
“Aku juga tidak tahu. Ayahku juga sedang berusaha
mencarinya.” pungkas Rafly sambil mematikan handphone.
“Apa yang terjadi, Don?”
“Lina kabur dari rumah, Her. Ini gawat!” detak jantung
Donni berpacu tak menentu, membuatnya makin tak karuan.
“Her, kau tahan mas Payino di sini, sementara aku akan
mencari Lina.” Donni berjalan ke luar mengambil sepeda motornya yang terpakir
tak jauh dari rumah mas Payino.
Donni mengencangkan resleting jaketnya hingga hampir menyentuh
pangkal lehernya. Ia sudah siap bertarung dengan angin malam yang selalu
menerpa dadanya. Donni keluar dari gerbang belakang sekolah lalu belok kiri
melewati area sekolah. Sebenarnya, ia tidak tahu di mana keberadaan Lina. Ia hanya mengandalkan instingnya.Namun,
satu hal yang diyakininya—ibu Hesty adalah dalang semua kejadian ini.
Donni memelankan gas sepeda motornya, mencoba memutar
ulang ingatnya. Pernah salah satu siswa kelas XI-IPA 1 memintanya untuk diantar
ke rumah ibu Hesty. Siswa itu beralasan bahwa dia ingin mengumpulkan tugas
tambahan. Melihat mukanya yang memelas sedih, membuat hati Donni menjadi
tergerak, padahal ia ingin segera pulang ke rumah.
Dan lagi, seingatnya, rumah bu Hesty terletak di sebuah
perumahan yang belum terlalu ramai. Rumah-rumah yang berdiri di sana, masih
terlihat jarang dan tanahnya dipakai juga untuk menanam singkong. Satu hal yang
menarik adalah, dari empat rumah yang ada, hanya rumah bu Hesty yang cukup
megah dengan gazebo dan taman minimalis.
Dengan petunjuk yang ia dapatkan, ia mempercepat laju
sepeda motornya ke kawasan perumahan Grand Morista.
Jalan mulus yang terbentang sepanjang pasar Horas membuat
waktu yang tersita tak terlalu banyak. Meskipun begitu, jalan itu selalu dipadati
khalayak ramai yang menaiki kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki ke warung
terdekat. Pun, jalan itu tergolong jalan yang cukup kecil yang sering dilalui
truk-truk besar. Ia mesti berhati-hati kalau tidak mau diserempet.
Sampai di persimpangan empat, terbentang jalan besar yang
dibagi dua oleh sebuah pembatas yang terbuat dari beton. Donni memilih jalan
yang di sebelah kiri karena seingatnya rumah bu Hesty rumah yang terlebih
dahulu nampak. Setelah itu, baru tiga rumah yang yang terhalangi pepohonan
singkong yang menjulang tinggi hampir menutupi pemandangan ketiga rumah.
Donni menekan pedal rem pelan-pelan. Matanya tertuju pada
rumah yang dibatasi pagar besi berbentuk seperti tombak. Ia turun dari joknya
dan mendentingkan lonceng kecil yang terpasang di dekat engsel pagar.
Ting...ting...ting
“Tunggu sebentar,” suara wanita menyahutnya dari dalam.
Seorang wanita dengan potongan rambut model Cleopatra,
menarik gagang pintu dan berlari kecil ke arah Donni. Donni terkesima dengan
penampilan wanita yang sedang membuka engsel pagar. Wanita itu memakai long dress jingga yang menampakkan lekuk
tubuhnya yang menawan.
“A-apa Anda ibu Hesty?”
“Ya saya ibu Hesty. Kamu pasti Donni ‘kan?”
Ia tertegun sendiri dalam pikirannya—bagaimana bisa guru
yang tidak masuk dalam mata pelajarannya bisa mengenal namanya.
“I-iya.” Sahut Donni gugup.
“Kalau begitu silahkan masuk dulu dek,” ibu Hesty
mendorong pagar hingga bisa memuat badan dan motor Donni ke dalam. Sementara
dirinya memasukkan sepeda motor, ibu Hesty sudah lebih dahulu masuk ke rumah.
Barangkali, ia ingin menyiapkan sebuah teh manis hangat untuk menyambut
kedatangan siswanya.
Donni memandangi sebentar suasana rumah ibu Hesty yang
tergolong mewah. Tanah sepetak yang berada di depan teras, digunakan untuk
membuat tanaman minimalis yang di tengah-tengahnya terdapat air mancur dan
gazebo yang berada tak jauh dari air mancur.
Satu hal yang mengganjal di pikirannnya, ternyata ibu
Hesty ornag yang terkesan ramah, tapi kenapa di sekolah ia cenderung dingin dan
tertutup? Donni merasakan ada sesutau yang disembunyikan dalam perilakunya
mendadak ramah dan suka melemparkan senyum.
Setelah Donni melepaskan sendal, ia menggosokkan kaki di
atas keset. Ia duduk di atas sebuah sofa merah marun berlengan panjang. Bola
mata Donni mengedar ke seluruh bagian ruang tamu rumah ibu Hesty dipenuhi
segala jenis guci dan lukisan-lukisan yang terpajang di sana.
Salah satu lukisan yang menarik perhatiannya—seorang
perempuan yang digambar dengan model setengah badan dengan goresan cat minyak tebal
membasahi kanvas. Raut wajah perempuan itu tak menyiratkan kebahagian, seakan
semua kesenangan hilang ditelan kesuraman.
“Itu anak saya. Dia anak satu-satunya yang saya miliki. Anak saya sudah meninggal dua tahun yang lalu kerena dibunuh oleh teman-temannya.”
Ibu Hesty melihat ke arah lukisan itu juga. Matanya berkaca-kaca memandang
lukisan itu.
Ibu Hesty sudah meletakkan segelas teh manis panas dan
tiga lapis brownies di atas sebuah
piring keramik, “Ayo dimakan.” suruh ibu Hesty lembut.
Donni mengalihkan perhatiannya ke hidangan yang sudah
disuguhkan, membuat rasa lapar yang menggerayangi lambungnya, harus segera
dipuaskan. Donni meraih gelas dan meniup uap panas yang masih mengepul di
atasnya. Ketika dirasakannya sudah agak dingin, ia menyeruput pelan-pelan teh manis
yang berada di dalam gelas. Begitu dahaganya terpenuhi, tangan kanan Donni
mengambil selapis brownies dan
dikunyah penuh penghayatan.
“Jadi, apa tujuanmu datang ke rumah ibu, Donni?”
Brownies yang
tinggal setengah itu, langsung dilahapnya cepat. Donni tak ingin berbicara
dengan mulut penuh makanan—itu sangat tidak sopan.
“Apakah Lina ke sini, bu?”
Bu Hesty mengernyitkan alisnya hingga bertaut pada
ujungnya, “Lina? Jadi, kamu tahu kenapa Lina tak musuk hari ini?”
“Errr, saya sempat ke rumahnya untuk menjenguknya. Dan
ibunya bilang, ia sudah tak sadarkan diri sejak kemarin, tapi—” Jelas Donni.
“Astaga! Kenapa bisa begitu?” potong bu Hesty. Ia tersentak mendengar anak
didiknya tidak sadarkan diri tanpa
diketahui apa penyebabnya.
“Tapi, dia kabur dari rumah.“
Kali ini ibu Hesty tak berkomentar. Keduanya sama-sama
bungkam. Donni masih menunggu apa reaksi yang ditunjukkan ibu Hesty.
“Apa yang membuatmu berpikir Lina bisa berada di sini?”
Donni mati kutu. Ia tidak punya cukup bukti untuk
menguatkan alasan jika ibu Hesty-lah yang membawanya ke rumah ini. Tatapan ibu
Hesty masih tertuju padanya. Ia masih menanti-nanti, jawaban apa yang akan
dikatakan anak didiknya itu.
“Halo, Her?” Donni merogoh handphone yang barusan saja berdering.
“Don, tadi bapaknya Bondan meneleponku dan dia bertanya
di mana kau sekarang dan aku jawab kamu berada di rumah ibu Hesty,”
“Lalu, apa masalahnya?” tanya Donni cepat.
“Rumahnya ibu Hesty di komplek perumahan Grand Morista
‘kan? Kalau enggak salah, rumah ibu Hesty dikelilingi tanaman singkong—”
“Iya iya, tapi apa masalahnya?” serobot Donni kesal.
“Polisi belum bisa menemukan rumah ibu Hesty.” ujar Heru
lepas.
Donni melongo dengan semua keanehan yang terjadi. Ia
ingin memastikan apakah polisi benar-benar sedang mencari rumah ini. Sebelum
tangannya meraih gagang pintu, tangan ibu Hesty sudah menahannya lebih dahulu.
“Jangan...” Bola matanya melotot ke arahnya. Tak
berselang lama, sebuah benda tumpul mendera tengkuknya hingga Donni tak
sadarkan diri.

No comments:
Post a Comment