Jam sembilan malam. Shanti
baru saja tiba di rumahnya. Jarak rumah Shanti memang lebih jauh daripada Lina.
Setiap harinya, Shanti harus menempuh jarak 15 km dari rumah menuju ke
sekolahnya. Baginya 15 km bukanlah jarak yang jauh malah terlalu dekat .
Sreeikk
Suara gemerisik sekilas mengusik perhatian Shanti. Ia
mengamati sekelilingnya. Tak ada apapun. Suara gemerisik itu cuma lewat saja
tanpa memperlihatkan wujud. Shanti mendecak pelan dan membuka pintu rumahnya.
Ia berusaha menyingkir gambaran ketakutan di dalam kepalanya.
Kreeikk
Daun pintu berderit ketika Shanti mendorongnya.
Sebelumnya, ia terlebih dahulu membuka sepatu dan kaus kakinya di depan keset.
Meletakkannya di rak sepatu yang disediakan. Shanti mencari sakelar lampu
kemudian menghidupkannya. Lampu menyala. Sinaran lampu menerangi seisi ruang
tamu namun tak ia temukan seseorang di sana.
“ Ayah..., ibu... kalian di mana?“
Shanti memanggil-manggil orang tuanya, namun, ia tak mendapatkanbalasan
dari panggilannya. Entah ke mana semuanya pergi, hanya dia di sana di dalam
rumah.
Ia bingung harus berbuat apa. Biasanya, jika ayah atau
ibunya pergi secara mendadak, minimal, mereka akan memberitahukan padanya
melalui SMS atau telepon. Tapi, dari tadi sore sampai malam ini, tak ada satu
pun SMS atau telepon yang masuk ke Handphone-nya.
Yang ada hanya SMS dari pacarnya, Ricco, yang tak sempat dibalasnya.
“Ayah... ibu...“ panggilnya sekali lagi dengan
meninggikan volume suaranya.
Tak kunjung mendapat sahutan dari ayah dan ibunya, Shanti
berinisiatif mencari orang tuanya di kamarnya. Mungkin kedua orang tuanya
sedang tidur pulas hingga dirinya pulang pun mereka tak mengetahuinya.
Shanti tinggal bersama dengan orang tuanya. Desita,
kakaknya, sudah menikah setahun lalu dan kini tinggal bersama suaminya di
Bandung. Azwar, abangnya, sedang menyelesaikan studi Teknik Sipil di ITB. Kini,
hanya dirinya saja yang tinggal bersama orang tuanya, membantu usaha jajanan
kaki lima yang ditekuni ayahnya.
Saking sunyinya, derap langkah kakinya terdengar jelas
oleh telinganya. Perlahan tapi pasti, Shanti sudah berada di depan pintu kamar.
Jantungnya
berdegup pelan saat tangannya akan menjamah gagang pintu. Ia menarik napas, mengeluarkannya
dengan satu helaan saja. Pelan-pelan, keberanian Shanti mulai ditantang ketika
tangannya sudah menggenggam gagang. Ia menekannya ke bawah.
Terbuka.
Shanti mendorong daun pintu dengan lemah. Tersingkaplah
apa yang yang ada di dalamnya—kegelapan. Tapi tak berlangsung lama ketika ia
menekan sakelar lampu kamar—kosong. Ia tak melihat ayah dan ibunya di sana,
hanya bantal dan selimut yang tersusun rapi di atas kasur. Semua tampak sudah disusun
rapi oleh pemilik kamar. Mungkin sudah lama mereka meninggalkan kamar itu..
“Jadi, di mana mereka?!“
Shanti menggaruk pelan kepalanya. Bukan karena gatal,
tapi ia bingung, ke mana lagi ia harus mencari orang tuanya yang tak kunjung
memberikan kabar padanya. Sekilas
bayangan putih melintas cepat dari belakang. Shanti mengerjap. Lalu, dipalingkan
badannya ke belakang.
Tidak ada.
Ia
tak melihat apapun di sana. Hanya dia sendiri. Rambut-rambut tipis di kedua tangannya
meremang. Nuasana mistis lambat laun semakin kuat, terasa di dalam rumah.
Gelagat buruk sepertinya akan datang pada saat ini. Shanti berlari ke dapur
mengambil seteguk air. Ia bergegas meninggalkan kamar orang tuanya.
Sesampainya
di dapur, Shanti mengambil cangkir kecil yang tersusun di dalam rak piring. Ia menuangkan air ke dalam
gelasnya. Gelas sudah terisi penuh. Shanti langsung menghabiskan dalam sekali
tenggak. Ia meletakkan gelasnya ke tempat cucian piring yang berada di
sebelahnya. Shanti hendak berbalik sesudah rasa dahaga di tenggorokan telah
terobati.
Mata Shanti terbeliak ketika sesosok makhluk halus berada
tepat di wajahnya. Hanya berjarak beberapa senti saja. Shanti sontak terkejut.
Dirinya terperenyak menyaksikan makhluk itu tengah menatap dirinya penuh amarah
dan kengerian di kedua sorot matanya. Badannya kaku sejenak. Giginya gemetaran.
Shanti tak menyadari air matanya meleleh membasahi pipinya.
Sementara Shanti
masih mematung, tangan makhluk itu berusaha menjangkau leher Shanti. Ia ingin
mencekik Shanti. Shanti tak hentinya menitikkan air mata dari sela kelopak
matanya. Shanti setengah mati menggerakkan tubuhnya tapi tak satu pun gerakan
yang bisa dilakukan. Sementara tangan makhluk itu kian dekat. Kulit tangannya yang
dingin mulai menyentuh kulit mulusnya. Dalam hati, tak henti-hentinya, ia
berdoa agar bisa lepas dari cengkraman makhluk mengerikan itu.
Tuhan Maha Kuasa mendengarkan doanya. Secara ajaib, ia
sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya, semuanya. Shanti tunggang langgang
meninggalkan dapurnya, tempat makhluk itu berdiri. Ketakutan luar bisa membuat
kecepatan larinya meningkat. Dalam waktu 15 detik, ia sudah berada di depan
kamarnya. Ia mengobok-obok kantong celana jeans-nya,
mencari kunci kamarnya. Kunci itu berada di kantong belakang sebelah kiri.
Shanti buru-buru menariknya. Ia menoleh ke belakang. Makhluk itu sedang
menyusul Shanti. Ia melayang pelan sambil menatap Shanti dengan bola matanya
yang kosong. Ia semakin dekat, hanya tinggal 10 meter lagi.
Tangan Shanti menggigil tak karuan ketika mencoba
memasukkan kunci ke dalam lubang pemutar. Makhluk itu tertawa cekikikan melihat
Shanti bergeletar memandangnya. Shanti menarik napas pendek kemudian
memutar-mutar kunci dan terbuka. Ia menyelinap, cepat-cepat menutup pintunya.
Ia mengunci rapat dan segera bersembunyi di bawah selimutnya. Dalam selimutnya,
mulut Shanti bekomat-kamit, memanjatkan doa agar makhluk halus enyah dari hadapannya.
Keadaan tidak terlalu mencekam. Shanti mulai keluar dari
selimutnya. Ia beringsut dari tempat tidurnya, mengendap-endap menuju pintu. Ia
memperhatikan langkah kakinya agar tak menginjak sesuatu yang mencurigakan. Tangannya
memegang ujung gagang pintu. Shanti
menyembulkan kepalanya, melihat keadaan sekitar. Bola matanya mengedar ke kiri
dan ke kanan. Semuanya kosong. Cuma keremangan dan kesunyian yang mendominasi
di sana.
Shanti bisa bernapas lega. Akhirnya, makhlukitu sudah
pergi. Ia mengalihkan pandangannya menuju meja belajar. Seperti biasa, ia akan melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang siswa. Saat melangkah, Shanti merasakan sesuatu sedang
memegangi pergelangan kakinya. Menahan pergerakannya. Berani atau tidak, Shanti
memberanikan diri, memalingkan kepalanya.
Makhluk itu kembali memberikan senyuman penuh kengerian
dan keangkeran. Shanti memekik keras. Ia berontak dengan menggoyang-goyangkan
kakinya, menendang wajah dan tangan makhluk itu. Bukannya dilepas, ia malah
menguatkan cengkeramannya dan menangkap kaki kiri Shanti, sehingga wajahnya
terjerembab mencium lantai. Saat dirinya menengadahkan wajah, ia mendengar
gumaman samar makhluk itu.
“Kau takkan kulepaskan...“
Shanti putus asa. Ia pasrah. Ia tidak kuat lagi
menghadapi makhluk ini. Tenaga dan energinya habis terkuras meloloskan diri
dari cengkeraman makhluk itu. Kelopak mata Shanti tertutup pelan-pelan. Ia tak
sadarkan diri.
Malam panjang beralih pagi. Panitia OSIS sedang bersiap
memanggil para pemain basket untuk segera datang menuju ke lapangan basket.
Sesuai yang diumumkan pak Brahman, OSIS SMA 1 dan SMA 2,
berencana mengadakan pertandingan basket dan bola voli untuk bidang non
akademik. Dan lomba pidato dan baca puisi untuk akademik, tanpa pungutan biaya
pada siswa. Para siswa yang mengikuti perlombaan akademik berkumpul di aula
sekolah dan perlombaan non akademik berkumpul di lapangan basket dan voli.
Lina sudah keluar bersama Fanny dan teman sekelasnya,
Inar. Mereka bertiga duduk di depan taman kelas sambil memandangi para pemain
basket yang sebentar lagi akan bertanding. Sebenarnya, Lina ingin menunggu
Shanti, tapi karena ajakan Fanny dan Inar, dia memilih menuruti ajakan mereka
sambil berharap Shanti akan datang.
Dari banyaknya para pemain basket yang berkumpul, Linna melihat
Donni di sana. Ia mengenakan kaus oblong panjang tanpa lengan berwarna abu-abu
dengan logo NBA tersablon di depan kausnya. Sepatu Nikeyang dipakai di kakinya, menambah kesan bahwa ia adalah seorang
pemain basket handal. Donni juga memakai bando untuk merapikan rambutnya yang
tebal.
Selamat bertanding,
Donni. Ujar batin Lina.
Pertandingan kali ini akan dipimpin oleh wasit dari seksi
olahraga, Dicky Santoso. Tangan kiri Santoso sudah memegang bola dan siap
dilambungkan. Bola telah dilambungkan. Adi sebagai forward, melompat sambil mendekap bola kemudian dioper pada Donni.
Usai mendapatkan bola, Donni men-dribble bola
sambil mencari celah melewati solidnya blocking
tim rival, William.
Donni mengoper bola pada Sakti yang kebetulan berada di
sebelah kirinya. Bola itu kini berada di tangan Sakti. William sebagai forward, mengomando teman-temannya untuk
memblok Sakti. Mereka tahu, Sakti jagonya men-shoot bola ke dalam ring meskipun banyak yang menghalanginya.
Sakti mengamati ada sedikit celah untuk shoot, menaikkan
bola dan dilemparnya ke arah ring. Rebound.
Bola itu terpental dari ring dan ditangkap oleh Budi. Ia membawa bola itu jauh
dari ring dan dioper balik pada Donni. Donni melihat ada celah lebar begitu tim
rival melebarkan pertahanan. Kakinya berjinjit lalu bola diarahkan ke ring.
Masuk!
Bola
terhentak kerassaat memasuki ring. Para penonton yang kebanyakan perempuan
bersorak riuh. Lingkungan sekolah mendadak ramai, setelah Donni, the shooter guard mencetak poin. Skor
dua untuk tim SMA 1 dan nol untuk SMA 2. Tim SMA 1 memimpin jalannya
pertandingan. Ketinggalan dua poin, William mengubah peta pertahanan
permainannya dan lebih memusatkan pada Donni.
Cukup
berhasil. Tim Adi dari SMA 1 agak kewalahan menghadapi strategi mereka. Tim SMA
2 juga mempunyai shooter handal yang mereka
tempatkan di bagian Center, Juan.
Tubuhnya yang tinggi dan luwes mampu menerobos block yang dipasang oleh Adi dan teman-temannya. Kini Juan sudah
bersiap men-shoot. Ia melemparkan
bola tepat di atas lubang ring.
Masuk!
Three point
untuk tim William. Mereka berada di atas tim Adi dengan selisih satu poin saja.
Waktu yang tersisa untuk quarter
pertama tinggal 2 menit lagi. Waktu yang singkat untuk mengimbangi kedudukan.
Kali ini, Tim Adi akan meningkatkan pola penyerangan dan pertahanan, tapi lebih
memprioritaskan penyerangan.
Pertandingan
semakin sengit. Kedua tim sama-sama meningkatkan pola permainan mereka. Saling
rebut, saling umpan balik. Taktik yang setidaknya masih berguna dalam situasi
ini. Sonny mencoba mengambil bola dari Irwan. Irwan tak bisa bergeser dari
posisinya. Badan gempal Sonny mampu menghalangi umpan untuk Donni yang sedari
tadi melambai-lambai padanya.
Sonny
yang tidak sabar, menubruk badan Irwan dan membuat bola yang berada dalam
dekapannya terlepas. Bola terlepas diikuti tubuh kurus Irwan yang menghempas
semen lapangan. Irwan emosi langsung bangkit dan menggenggam baju Sonny. Ia tak
gentar menghadapi Sonny yang berbadan besar, tapi untungnya wasit bisa
melerainya. Wasit juga memutuskan untuk memberikan penalti pada tim Adi.
Bola
itu sudah dipegang oleh sang kapten, Adi. Namun, ia memilih memanggil Donni.
“Don,
aku serahkan ini padamu. “ ungkap Adi penuh kepercayaan sambil menyerahkan bola
yang berada dalam genggamannya pada Donni.
Adi
mundur. Sekarang bola berada dalam genggaman Donni. Ada ras cemas dan khawatir
ketika ia menggenggam bola itu. Tapi, Adi sudah mempercayakan bola itu padanya.
Ia tak boleh gugup apalagi ragu.
Donni
menarik napas dan dihelakan panjang. Dia sudah siap melakukan shooting. Ia memantulkan bola itu
sebanyak dua kali dan didekap lagi di tangannya. Donni memincingkan matanya
guna mengukur akurasi tembakan bola dengan jarak ring. Donni langsung meluncurkan
bola ke ring setelah ia menemukan angle
yang pas untuk bidikannya. Bola itu meluncur gesit di udara. Ring besi bergetar,
menerima hentakan keras dari lemparan bola Donni.
Masuukkkk!
Sekali
lagi, sorakan dan tepuk tangan riuh para penonton membahana di area sekolah.
Jeritan histeris terdengar dari lantai dua gedung sekolah. Banyak para
perempuan memuji-muji nama Donni bak pemain basket internasional. Tak
habis-habisnya, Donni dielu-elukan seluruh teman-temannya. Ia sangat bangga
sekali pada saat itu.
Namun
dari kejauhan, Donni melihat sekilas, seorang perempuan tersenyum padanya. Manis
sekali. Ia hanya membalas senyuman itu kemudian berpaling dari hadapannya. Ia
mengenali gadis yang tersenyum itu—Lina. Rupanya, gadis itu tak sengaja mencuri
perhatiannya. Diam-diam, Donni juga menaruh hati pada Lina.
“Hey
kawan, good job.“ puji Adi yang
muncul dari belakang.
“Nevermind.“ balas Donni.
Hati
Lina berbunga-bunga begitu Donni membalas senyumannya. Sangking bahagianya,
Lina mengahyal jika Donni akan berlari
dan memeluk dirinya mesra. Khayalan yang begitu sempurna sampai membuatnya
senyum sendiri. Namun, khayalan tetaplah khayalan. Butuh waktu dan keajaiban
untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.
Lamunan
indahnya seketika buyar melihat Shanti sudah menuju ruang kelasnya .
Shanti.
Ujarnya dalam hati.
Tapi
ada yang berbeda dengan Shanti. Air mukanya pucat memutih seperti tisu. Ia
melangkah dengan nafas terengah-engah. Bola matanya sedikit cekung menatap ruang
kelas yang akan dimasukinya.
Ada apa dengan Shanti hari ini?
Lina membatin. Dirinya mencemaskan kondisi Shanti.
Shanti
sudah memasuki ruangan kelas disusul oleh Lina. Ia telah berpamitan dengan Fanny
dan Inar. Ia menemukan Shanti sudah duduk di tempatnya. Lina juga mengambil
kursi yang berada di sebelah Shanti dan duduk bersamanya.
“Shanti,
kamu kenapa? Kamu sakit?“ tanya Lina.
“Aku
hanya tidak enak badan.“ ujar Shanti lemas.
“Kau
yakin?“ tanya Lina lagi guna memastikan.
“Ya.“
pungkasnya singkat.
Walaupun
sudah mendengar jawaban yang disampaikan temannya, ia masih merasa tidak yakin.
Ada sesuatu yang disembunyikan temannya. Sesuatu yang mengguncang jiwanya.
Entah mungkin masalah keluarga atau mungkin asmara. Lina tak mau menerka-nerka
terlalu jauh. Tapi sorot matanya yang cekung dan dingin, membuat Shanti tampak
menakutkan sekaligus membingungkan Lina. Baru pertama kali kondisi Shanti aneh
seperti ini.
“Kau
mau kubawakan air hangat?“ Lina coba menawarkan bantuan .
“Boleh.“sahutnya.
Lina
beranjak dari sana menuju kantin. Ia meminta
kepada petugas kantin untuk dibuatkan air hangat dalam sebuah gelas. Mereka
memberikannya. Lina langsung bergegas dari kantin. Ia tak mau sahabatnya
menunggu lama.
Ternyata,
Shanti masih berada di sana. Matanya tak henti menatap lurus ke arah papan tulis.
Entah apa yang dilihatnya di sana. Sekali lagi, ia tak mau berpikir
macam-macam. Lina langsung saja memberikan air itu pada Shanti.
Shanti
meminumnya dengan perasaan tersendat-sendat. Ia tak langsung menghabiskan air
itu dalam satu teguk, tapi air itu sengaja ditahan di kerongkongannya. Gelas
itu masih melekat di bibirnya, tak mau dilepaskannya.
“Shanti,
Shanti kamu kenapa, Shan?“ tanya Lina panik.
Gelas
yang dipegang oleh Shanti terjatuh. Air didalamnya tumpah. Lina tercekat. Ia
mulai was-was ketika Shanti memelototi dirinya. Seolah ia ingin sekali
melumat-lumat tubuhnya. Shanti melemparkan seringai lebar pada Lina yang berada
di depannya. Wajah Shanti tampak menyeramkan dengan sentuhan seringai yang
ditorehkannya. Lina mundur dua langkah dari hadapan Shanti
“Kau takkan bisa lari...“ desis Shanti lemah.
Shanti
secepat kilat mencengkeram leher Lina. Ia shock..
Lina kesulitan mengatur irama napasnya. Mulutnya megap. Rasa sesak terbakar
mulai menjepit dadanya.
“Shanti
hentikan... Uhuuukk... Uhuuukk,“ Lina mencoba mencari celah bernafas tetapi ia
malah kesulitan dibuat Shanti.
Beberapa
siswa yang mendengar rontaan lemah Lina, berbondong-bondong menuju kelas. Dua
siswa laki-laki kesulitan melepaskan cengkeraman Shanti dari leher Lina. Tenaga
Shanti cukup kuat. Sekali hentakan tangan, mereka semua terlempar. Sementara
itu, Lina masih mencoba bertahan dari cekikan Shanti. Namun, usaha mereka tidak
sia-sia, begitu tujuh orang siswa laki-laki serempak menarik tubuh Shanti. Mereka
berhasil.
Lina
terbebas. Ia masih trauma dengan kejadian yang dialaminya. Wajahnya pucat pias.
Pikirannya masih menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya.
Entahlah. Matanya berkunang-kunang. Sesak masih menghimpit dadanya. Diliriknya
ke depan, Shanti sudah tak sadarkan diri.
Lina
sudah dibawa ke ruang UKS. Seorang anggota PMR memberikannya segelas air hangat.
Lina langsung menyambutnya. Sekali tenggak saja, air itu sudah habis ditelan.
“Apa
yang terjadi dengan Shanti, Lin?“ tanya Erlina sambil menaruh gelas yang diberikan
oleh Lina.
“Aku
sendiri pun tidak tahu, Er. Semuanya terjadi dengan cepat.” ujar Lina. Wajahnya
masih saja pucat meskipun keadaannya sudah membaik.
“Bagaimana
keadaan Shanti?“ sambung Lina.
“Pihak
sekolah sudah menelepon orang tuanya. Dan, ia sudah dipulangkan guna
menghindari kejadian tadi terulang lagi pada siswa yang lain.“ pungkas Erlina
sambil memakai dinas PMR-nya lagi.
Meskipun
masih diliputi rasa takut, Lina tetap menghawatirkan keadaan Shanti. Sejak
mereka bermain jelangkung, teror demi teror, terus saja menghantui dan
menghabisi nyawa mereka satu per satu. Ia juga tak tahu kapan teror itu akan
berakhir dan siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya.
Sinar bulan purnama memendar lemah, menerangi
alam sekitar. Namun, gadis ini tetap saja terlelap dalam tidurnya. Ia tertidur
pulas walau hawa dingin yang menguar di kamarnya, terus meraba tengkuknya.
Wajah ovalnya terlihat letih sekali. Kelopak matanya tertutup rapat seolah tak
ingin terbuka, sekedip pun.
Akan tetapi, sayup-sayup suara halus mendelikkan matanya.
Daun telinganya yang kecil menangkap suara yang entah dari mana asalnya, sedang
memanggil dirinya. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mendapati seorang wanita
bergaun hitam memandangi dirinya.
“Ikutlah denganku.“ gumamnya lembut.
Wanita itu membalikkan badannya lalu melayang perlahan.
Shanti mengikutinya dari belakang. Dia sudah keluar terlebih dahulu hanya
dengan menembus pintu kamar Shanti. Shantiyang masih dalam keadaan sleep walking, menekan gagang pintu dan
keluar. Dia berdiri di belakang Shanti. Kakinya tak menapaki tanah.
Wanita itu terus membawanya pergi jauh meninggalkan
rumahnya. Malam semakin mencekam. Shanti terus saja melangkah walau dinginnya
malam mulai menyengat kulit sawo matangnya. Wanita itu menghentikan langkahnya tepat
di sebuah jalan raya yang sepi.
“Tunggu di sini.“ Wanita bergaun hitam itu menghilang
dari hadapannya. Shanti mencelikkan matanya pelan-pelan. Hanya saja, tatapan
itu redup dan kosong. Tak ada rasa kehidupan di dalamnya. Ia termangut,
menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi pada dirinya.
TIIITTT! TIIIITTTTTT!!!
Diliriknya jam tangan yang melekat di tangannya. Sudah
setengah jam, Sofia berpisah dengan suaminya. Rasa rindu terendap di dadanya
begitu dirinya melambaikan tangan tanda perpisahan untuk beberapa minggu
mungkin beberapa bulan lamanya. Ia berdoa agar pesawat terbang yang ditumpangi
suaminya, selamat sampai tujuan. Sofia beranjak pergi dari ruang tunggu pesawat
menuju tempat parkir.
Butuh waktu lima belas menit, berjalan dari ruang tunggu
menuju tempat parkir. Bandara berlantai tiga ini dihubungkan dengan eskalator
dan lift. Ruang tunggu pesawat berada di lantai tiga. Sofia memilih menuruni
eskalator. Ia sekilas mengamati bangunan megah yang terdapat di dalam bandara.
Pilar-pilar kokoh dan cukup kuat sanggup
menahan pondasi lantai yang dilapisi beton. Bagian dalam bandara memiliki
ruangan ekstra luas. Banyak sekali toko-toko dan kafe yang dibangun oleh pihak
bandara. Taman kecil terdapat di bagian tengah setiap koridor bandara.
Untunglah, suasana tempat parkir tidak terlalu ramai.
Sofia memarkirkan mobilnya di antara himpitan empat mobil Kijang dan Sport. Sofia
memasuki sebuah mobil Xeniahitam
berplat BK 596 TAT kemudian menjauh dari sana. Ia tak menyadari, sepasang mata mengawasinya
dari kejauhan saat ia keluar dari tempat parkir.
“Kau akan pergi menyusul anakmu, Sofia.“
Wanita yang berada di dalam mobil Avanza putih, menyimpulkan senyuman culas seraya mendorong persneling,
menyusul mobil Sofia.
Untuk mengusir
rasa sepi, Sofia memasukkan flashdisk
ke dalam USB untuk memutar musik.
Lagu-lagu lawas yang ditembangkan penyanyi terkenal di zamannya, membuat
keresahan yang memenuhi hatinya hilang sesaat. Ia tampak menikmati alunan nada
indah sambil menyetir mobilnya. Sofia melihat sekilas kaca spion kanannya. Sebuah
mobil Avanza APV putih berada di
belakangnya. Ia tak mau memperdulikannya dan tetap berkonsentrasi pada
kemudinya.
Lama-kelamaan, Sofia mulai menyadari bahwa mobil yang
berada di belakangnya itu, terus saja mengikuti dan mengejar dirinya. Ia menambah
kecepatan mobilnya, menaikkan tuas persnelingmenjadi empat speed. Sofia cemas jikalau orang yang berada di belakangnya adalah
perampok atau penculik.
Mobil itu terus saja melaju cepat mendahului mobil Sofia.
Dan, ia sudah berada di sampingnya. Sang pengemudi misterius membuka setengah
kaca mobilnya. Ia menampakkan dirinya di hadapan Sofia.
“Siapa kamu? Kenapa kamu mengikutiku?!“ tanya Sofia
keras. Ia harus membagi dua perhatiannya—ke arah jalan dan ke arah pengemudi
misterius.
Sang pengemudi melepas kacamata hitam dan babushaka yang menutupi wajahnya.
“Kamu...“
Sofia tersentak. Dirinya benar-benar terperanjat. Ia tak
sanggup melepaskan pandangan ke arah pengemudi. Sementara Sofia terkejut, sang
pengemudi memanfaatkan celah untuk membuat incarannya panik.
Sang pengemudi menabrak sisi samping mobil hingga mobil
Sofia hilang keseimbangan. Dibenturkannya sekali lagi. Sofia semakin kesulitan
mengontrol setirnya. Ban mobilnya menimbulkan bekas gesekan di atas aspal.
Sang pengemudi terus saja memojokkan mobil Sofia. Ia
menabrak sisi samping mobil berkali-kali sampai bagian luar mobil penyok dan
meninggalkan lecet parah. Konsentrasi Sofia hilang. Dalam kekacauan, ia membanting
setirnya ke arah kanan.
BRRRAAAAKKK!!!
Suara benturan keras memecah keheningan. Sang pengemudi
mengamati sejenak targetnya. Sofia tak sadarkan diri dengan kondisi kepala
berdarah di depan kemudinya. Ujung mobilnya menabrak pembatas jalan hingga
bengkok. Ia mengulas senyum licik, berlalu pergi dari sana. Ia berharap tak ada
saksi mata melihatnya dalam insiden itu.
No comments:
Post a Comment