Sofia kebingungan
ketika dia mendapati dirinya, berada di tempat yang begitu temaram. Sebuah
lorong panjang tanpa ujung terbentang di hadapannya. Dia melangkah hati-hati menelusuri
lorong, siapa tahu ada seseorang yang bisa ditanya mengenai lorong itu.
“Halo, apakah di sini ada orang? Hallo...,“
Sofia tak mendapatkan jawaban atau sahutan dari seseorang
yang ada di sana. Tidak ada siapapun. Hanya dirinya seorang. Nuansa sepi dan
sunyi terasa kental di lorong itu.
Sofia masih saja mencoba menjelajahi lorong itu walaupun
pikirannya resah dan gelisah. Ia tak mendapatkan satu pun petunjuk yang
berarti. Sekonyong-konyong, dirinya mendengar suara samar-samar rintihan
manusia.
“Tolong... Tolong...“
Suara rintihan itu begitu pilu dan menyayat perasaannya.
Mendengarnya saja bisa membuat orang menitikkan air mata. Sofia terus mendekati
sumber suara itu. Dia mulai berpikir bahwa suara itu berasal dari lorong yang
berada di depannya. Semakin dia berjalan suara itu semakin terdengar jelas.
Sofia memepercepat langkah kakinya agar bisa sampai ke
sumber suara. Ternyata dugaannya benar. Kini, suara itu makin terdengar jelas
saat dia berjalan menyusuri lorong. Dia sampai di sana. Sofia menemukan seorang
remaja duduk dengan membenamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Didekatinya
remaja itu.
“Kamu kenapa menangis?“ tanya Sofia.
Kemudian, anak itu menengadah. Sofia terperanjat.
“Prakoso?!“ pekik Sofia.
“Ibu!“ sahutnya.
Sekarang keduanya larut dalam tangisan. Kedunya berpelukan
erat seperti anak dan ibu yang tak berjumpa selama puluhan tahun. Air mata
membasahi wajah mereka. Suara tangisan keduanya bagai lantunan lagu sedih di
tengah kesuraman. Keduanya tak mau melepaskan dekapannya masing-masing. Seakan-akan
tak membiarkan momen haru itu beranjak sejengkal pun dari sana.
“Kenapa kamu bisa di sini, nak?“
“Aku juga tidak tahu, bu. Dari tadi Prakoso sudah berada
di sini. Aku juga mencari jalan keluar dari tempat ini, tapi aku tak menemukan
jalan keluar dari lorong ini. Lorong ini seperti jalan panjang yang tak ada
ujungnya. Aku panik dan menjerit minta tolong, berharap ada seseorang yang mau
menolong. Dan ternyata, aku menemukan ibu sudah ada di sini.”
“Ibu
pun dari tadi juga, ada di sini. Sudahlah, yang terpenting kita harus menemukan
jalan keluar dari sini.“
Ketika
hendak menarik tangan anaknya, dua orang
berjubah hitam datang bersamaan dari arah depan dan belakang, menyeret paksa
mereka. Sofia yang merasa keselamatan anaknya terancam, meronta dan menggeliat,
meminta dirinya dilepaskan.
“LEPASKAN
AKU! LEPASKAN ANAKKU!“ jerit Sofia sambil memukul-mukul tangan si jubah hitam
namun dia tak merasakan apa-apa. Dia masih saja menyeret tangan Sofia. Di
depannya, Prakoso berteriak nyaring memanggil ibunya. Suaranya hampir serak
memanggil ibunya.
“IBU!
IBU! TOLONG PRAKOSO!“ pekik Prakoso. dirinya berusaha melawan si jubah hitam
yang menyeret tangannya. Badannya lemas di dalam pengaruh kekuatan si jubah
hitam.
“IBUUUU!“
Prakoso meraung panjang sesaat. Dirinya semakin jauh diseret oleh si jubah
hitam. Semakin menjauh dari pandangan Sofia. Ditelan kegelapan yang perlahan
mulai menyelimuti lorong. Sofia ikut masuk ke dalam kegelapan. Lorong gelap
total.
“Prakosooo!“
suara raungan Sofia masih menggema walau tertelan pekatnya kegelapan.
“Ibu,
bangun bu!“ Hendra membangunkan istrinya dengan menepuk-nepuk pipinya.
“Prakoso!“
Akhirnya Sofia terbangun dari igauannya. Matanya mendelik lebar. Ia mengedarkan
pandangannya ke seluruh sudut kamar tidur untuk menyakinkan bahwa ia tidak
sedang bermimpi.
“Ada
apa, bu? Ada apa dengan Prakoso?!“ tanya Ayah sambil mengoyang-goyangkan tubuh
istrinya yang terlihat shock.
Sofia
menarik napas pelan-pelan, mengatur irama pernapasan untuk menenangkan
pikirannya.
“Dalam
mimpi, ibu bertemu dengan Prakoso, Pak. Dia diseret oleh seseorang berjubah
hitam da-dan...“ ibu tak mampu meneruskan perkataannya.
“Sudahlah,
bu. Terimalah kenyataan kalau putra kita sudah dijemput Yang Maha Kuasa. Yang
terpenting kita pikirkkan, Melly, putri kita. Besok pagi, kita pergi ke makam
Prakoso, ibu mau?“
“Ya.
Ibu setuju, pak. Hanya saja ibu merasakan ada hal yang janggal pada kematian
putra kita.“ ujar Sofia seraya menghela napas pendek.
“Besok,
ada hal penting yang mesti kita bicarakan. Ini tentang pekerjaan kita
selanjutnya. Apakah kita harus lanjut atau pindah,“
“Maksud
bapak?“ tanya ibu.
“Lebih
baik kita bicarakan besok saja. Ini masih jam tiga dini hari.“ pungkas bapak
sambil melirik ke arah jam dinding.
Mereka melanjutkan kembali tidur yang sempat terganggu. Bersamaan dengan itu, sosok hitam menghilang
menembus tembok.
Ayam jantan berkokok panjang. Pagi sudah menjelang.
Mentari mengangkasa di hamparan langit
biru. Lina sedang menyiapkan sarapan pagi untuk ayah, adik dan dirinya sendiri.
Kalau bukan karen ibunya tidak enak badan, dirinya tak akan bangun cepat dan
menyiapakan segala sesuatu untuk sarapan pagi.
“Uh, capek juga. Waktunya sarapan.“ Ucap Lina bersemangat
sambil memukul pelan wajan penggorengan.
Di meja, tersedia tiga lapis telur dadar bersambal cabe
merah. Mengundang air liur untuk segera menyantap apalagi nasinya masih hangat.
Lina mengambil piring ayahnya terlebih dahulu. Ia meletakkan nasi dan telor di
atas piring lalu diberikan kepada ayahnya. Begitu pula dengan adiknya.
“Kak, apakah betul di sekolah nanti, akan diadakan acara
pelantikan ketua OSIS baru?“ tanya Rafly sambil mengunyah nasi yang berada
dalam mulutnya.
“Rafly, habiskan dulu nasi yang ada di mulutmu, baru
bicara. Nanti kamu bisa tersedak.“ tukas
ayah sambil memajukan piring kosongnya.
“Kamu tahu juga ‘kan, bahwa ketua OSIS kita, Eddy
Prakoso, sudah meninggal dunia karena kecelakaan. Maka,jabatannya akan
digantikan wakil ketua, Donni.“ tutur Lina.
“Kok kakak bisa tahu sih?“ tanya Rafly.
“Ya jelas tahu lah. Kakak ‘kan seksi OSIS.“ jawab Lina.
“Hahaha, Rafly bercanda, kak.“ kelakar Rafly.
“Apa kalian tidak terlambat masuk sekolah?“ tukas ayah
sambil meninggalkan kedua anaknya.
Sarapan keduanya sudah habis. Hanya tersisa piring-piring
kotor yang tergeletak di atas meja makan. Dan tiba waktunya,mereka berangkat ke
sekolah.
15 menit sudah terlewati. Baru kali ini, suasana angkutan
cukup padat. Beraneka bentuk tubuh memadati tempat duduk di dalam angkutan.
Tiba-tiba saja, Lina menepuk jidatnya pelan.
“Oh ya, aku lupa. Hari ini ‘kan ada PR matematika dan
bahasa Inggris. Tinggal sedikit lagi yang belum siap. Tapi biarlah. nanti di
sekolah, tinggal menengok punya kawan.“ujar batin Lina.
Dia tak lagi memikirkan PR-nya. Yang ada, dia hanya ingin
melihat pelantikan Doni sebagai ketua OSIS menggantikan Prakoso. Akhir-akhir
ini, dirinya begitu simpatik dengan Donni. Seorang wakil ketua OSIS, yang
sebentar lagi akan dilantik menjadi ketua OSIS. Laki-laki ganteng, menawan,
dengan gaya cool begitu mencuri
perhatiannya. Walaupun dia agak cerewet, hal itu yang membuatnya semakin
tertarik dengan Donni.
Angkutan yang ditumpanginya sudah tiba di sekolah. Lina
dan adiknya segera turun dari angkutan. Bola mata Lina mengarah ke arloji.
Arlojinya menunjukkan pukul 07.10, masih tersisa lima menit lagi.
Santai sajalah.
Lagipula apel pagi kok. Ujar batin Lina.
Lonceng telah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar
kelas menuju ke lapangan untuk melaksanakan apel pagi. Lina dan Shanti memilih
berjalan di belakang kerumunan agar tidak saling berdesakan. Sambil berjalan,mereka
sibuk memperbincangkan sesuatu.
“Shan, kamu lihat si Indra gak?“
“Si Indra? Mana kutahu, Lin. Dia bukan satu kelas kita
kok.“
“Soalnya, saat aku mau datang ke kelas, aku melihat si
Indra jalan ke arah sana,“ Ujarnya sambil menunjuk tempat parkir sepeda motor.
“Tapi tiba – tiba, menghilang begitu saja. Gak tahu ke mana...“
“Ah, itu cuma perasaan kamu aja, Lin. Kamu gak tahu, si
Indra ‘kan tukang telat. Dia selalu terlambat lima menit dari jadwal apel pagi.“
tukas Shanti .
“Ok ok. Sepertinya kita harus cepat. Pak Brahman sudah
mengomel seperti ibu-ibu.“ tutup Lina sambil mempercepat langkahnya.
Seluruh siswa sudah tiba di lapangan. Pagi ini, cuaca
tidak terlalu cerah, cenderung berawan. Suasana di lapangan begitu tenang. Semuanya
mendengar dengan saksama wejangan yang diberikan oleh Pak Brahman sekaligus
memberitahukan bahwa sekolah akan mengadakan beberapa perlombaan dengan
mengundang salah satu sekolah negeri di kota ini.
“Aduh, lama banget sih, Pak Brahman. Sudah gak sabar nih,
lihat Donni dilantik jadi ketua OSIS. “ Lina menggerutu sambil melihat-lihat
arlojinya.
Wajahnya yang tadi cemberut kini kembali ceria ketika Pak
Brahman memerintahkan para pengurus OSIS maju ke depan mimbar. Tak butuh waktu
lama, semua pengurus OSIS sudah berada di depan mimbar. Pak Brahman mencoba
menenangkan siswa-siswi yang mulai ribut. Suara bentakan keras pak Brahman
membuat para siswa terkejut.
“Saudara Donni saya undang untuk maju ke depan.“ undang Pak
Brahman.
Donni yang berada di barisan kelasnya, XI IPS 2,langsung
menuju ke depan mimbar. Dirinya begitu percaya diri. Tak ada kecemasan tersirat
di wajahnya. Ia pun mengetahui bahwa sebentar lagi dia akan diangkat menjadi
ketua OSIS. Sebelum pengangkatannya, Pak Brahman sebagai wakil kepala sekolah
memberikan sedikit nasihat kepada Donni agar ia bisa menjalankan
program-programnya dengan baik.
Semua siswa bertepuk tangan setelah kepala sekolah
berjabatan tangan dengan Donni. Ia sudah menerima jabatannya sebagai ketua
OSIS baru. Tak mau ketinggalan, Lina
juga bertepuk tangan. Ia begitu antusias melihat Doni diangkat menjadi ketua
OSIS baru. Kemudian, pak Brahman mengambil alih barisan. Pak Brahman menunjuk
salah satu siswa untuk memimpin doa penutup. Usai berdoa, barisan para siswa
sudah membubarkan diri. Lina yang akan pergi dari sana, tercekat oleh sebuah
suara.
Ia melihat sekelilingnya. Lina mendapati Indra sedang
menyuruhnya ke sana, di depan perpustakaan. Lina menghampiri Indra. Ia
berbincang sebentar dengan Indra. Sekilas, wajahnya terlihat pucat pasi. Tak
seperti biasanya. Mungkin dirinya tak sempat sarapan. Keduanya kini sudah
berpisah.
“Eh Lin, darimana aja kamu? Dari tadi kutunggu bukannya
datang. Malah bicara sendiri, kayak orang sakit jiwa,“ tegur Shanti dari
belakang.Shanti sudah lama menunggu Lina bersama dengannya ke kelas. Tapi, Lina
tak kunjung menyusul dirinya
“Sakit jiwa? Kepalamu sakit jiwa. Orang aku lagi
mengobrol sama Indra kok. Masa kamu gak lihat?!“ balas Lina. Ia tetap
bersikeras dengan alasannya.
“Eh sumpah Lin. Anak-anak aja bilang, kamu seperti sedang
bicara sendiri. Lagipula, di depan perpus nggak ada siapa-siapa.“
“Ya sudahlah. Mungkin aku khilaf. Percepat jalannya. Sebentar
lagi, pak Hartono masuk. Terlambat lima menit, kita gak akan izinkan masuk
kelas.“ pungkas Lina.
Dalam hatinya, Lina masih mengotot bahwa ia sedang
berbicara dengan Indra. Dan Indra tepat berada di depan matanya. Namun, ia tidak
mau meneruskan masalah dan memilih mengalah.
Pelajaran Kimia membuatnya kepala Lina memanas. Untungnya
lonceng istirahat menyelamatkan dirinya dari kebuntuan. Lina, Shanti dan Fanny
ke kantin tempat biasanya mereka bercengkerama.
“Hei Lin, kamu punya waktu luang setelah pulang sekolah?“
tanya Fanny.
“Hmmm, ada. Memangnya kenapa?“
“Aku mau mengajak kalian berdua makan-makan di Mc Donald.
Mumpung hari ini aku ulang tahun,“
“Hah serius?! Hari ini kamu berulang tahun?“ tanya Lina
antusias.
“Iya, pelan – pelan. Nanti yang lain dengar.“ bisik Fanny
sambil mengacungkan jari telunjuknya lurus ke mulutnya.
“Oh,maaf deh.“ kata Lina sambil tertawa garing.
“Jadi bagaimana, bisa ikut tidak?“ sambung Fanny.
“Kalau aku sih yes,
kalau kamu Shan?“ Lina melirik Shanti.
“Aku yes.“ jawab
Shanti seraya mengangguk pelan.
“Nah, kalau begitu, ayo kita habiskan mie ini.“ Lina
mengalihkan pandangan mangkok mienya. Ia mencium aroma khas kuah Indomie yang
membuatnya tergiur untuk menyantapnya.
“Nah, ini dia si Lina.“
Sebuah suara membuyarkan konsentrasi mereka. Ia melihat
Sonny sudah berada di depannya.
“Ada apa, Son?“ tanya Lina santai sambil menjejalkan mie
ke dalam mulutnya.
“Kamu bukannya pergi ke rapat OSIS, malah asyik makan.“
tukas Sonny agak kesal.
“Memangnya ada apa sih? Kelihatnya serius banget,“
“Kamu gak dengar kabar. Indra dan ayahnya meninggal
dunia...“
“Apa?! Meninggal?!“ sontak Lina.
Berita dukacita itu hampir saja membuat Shanti dan Fanny
tersedak. Untung saja, makanan itu langsung cepat tersalur ke dalam perut
mereka. Lina bergegas menuju tempat rapat OSIS karena dirinya adalah seksi OSIS
bidang sosial. Dirinya juga harus menginstruksikan setiap ketua kelas untuk
mengumpulkan sumbangan begitu mengetahui ada orang tua atau siswa yang
meninggal dunia.
Lina bergerak meninggalkan kantin. Ia hampir lupa membayar
uang mienya . Ia berbalik badan, menemui Fanny dan Shanti yang hendak membayar
juga.
“Hey Fan, ini punyaku ya. Sekalian menitip.“
Lina berpaling lagi menuju Sonny yang masih menunggunya.
Ia menghampiri Sonny, memintanya menunjukkan ruang rapat OSIS.
Hari ini, para ketua kelas sudah menyetorkan uang hasil
sumbangan mereka kepada seksi sosial untuk diberikan kepada keluraga Indra.
Mereka menghitung uang hasil sumbangan dan terkumpul sebanyak Rp 1.000.000,00.
Ditambah lagi, dari uang OSIS sebanyak Rp 500.000,00. Jadi semuanya berjumlah
Rp 1.500.000,00. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah sumbangan sukarela.
“Hey, Lina, ayo cepat naik!“ perintah Donni sembari
menghidupkan sepeda motornya.
“Aku sama kamu?“
“Iya, cepat. Pak Brahman, Shanti dan Heru sudah pergi
duluan.“ ujar Donni.
“Oh, jadi Shanti dan Heru ikut melayat juga?“
“Iya, ayo buruan. Kita sudah telat.“
Lina berjalan santai menuju sepeda motor Donni. Ia duduk
menyerong sambil bersandar sedikit pada punggung Donni. Ia merasa senang bisa
sedekat ini dengan Donni, cowok idamannya. Melihat Lina yang sudah siap, Donni
langsung melajukan gas hingga memelesat meninggalkan komplek sekolah.
Hembusan angin begitu keras menerpa wajah Donni yang
tertutup helm. Lina agak degdegan, melihat Donni begitu kencangnya mengendarai
sepeda motor. Ia coba mengingatkannya dari belakang.
“Hey, tak bisakah kau pelan-pelan?“
“Apa?“ tanya Donni sambil membuka kaca helmnya.
“Pelan-pelan membawa motornya,“ ujarnya sekali lagi.
“Ini sudah pelan. Lagipula kita sudah ketinggalan.“ sahut
Donni sambil tetap berkonsentrasi dengan kemudinya.
Tak terasa, mereka sudah sampai di rumah Indra. Bendera
merah berdiri tegak di pinggir jalan. Banyak sekali tetangga berdatangan ke
rumah Indra. Ada yang memang datangmelayat, dan ada juga yang sekedar melihat
jenazah yang terbujur kaku di atas lantai keramik itu .
Lina langsung mendatangi Shanti ketika ia melihat Shanti berdiri
di belakang kerabat Indra.
“Cepat sekali kamu tiba di sini, mana si Heru?“ tanyanya
pelan. Lina mengambil posisi di belakangnya.
“Tadi dia keluar sebentar. Katanya, di sini panas banget,“
“ Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan jenazah Indra?“
Shanti diam seribu bahasa. Ia tak mau menanggapi
pertanyaan Lina. Shanti tertunduk lemas Melihat respon temannya yang seolah tak mau
memberitahu dirinya, ia berinisiatif melihat jenazah Indra dan ayahnya yang masih
ditangisi oleh kerabatnya.
Lina mencoba membelah kerumunan manusia yangmengerubungi
jenazah Indra. Lina melangkah hati-hati. Akhirnya, ia tiba di depan jenazah
Indra dan ayahnya. Ia menyimpuhkan kakinya sambil mendekatkan diri ke depan
jenazah. Tangannya gemetar ketika ia ingin membuka kain penutup jenazah yang
menutupi jenazah ayah Indra .
Disingkapnya kain penutup itu perlahan-lahan. Dirinya dirundung
ketakutan. Lina terkejut bukan main melihat kulit wajah lelaki paruh baya itu
mengelupas. Menonjolkan daging merah yang dibasahi darah hitam dan nanah.
Tulang tengkoraknya mencuat dan kelihatan retak. Lina menggigil. Ia berusaha
menahan mual di perutnya. Lina menutup kembali
jenazah dengan kain putih dan segera beralih menuju jenazah Indra.
Tak perlu waktu lama, Lina langsung menyingkapkan kain
penutup Indra. Kondisi Indra tak kalah menyedihkan dengan ayahnya. Wajah tirus
Indra putih pucat bagai sehelaitisu. Sebuah lubang besar menganga di dadanya. Ditambah
belatung lapar yang menggerogoti dadanya. Sekali lagi, Lina harus menahan rasa
mual di perutnya yang hampir tak bisa tertahankannya. Walau sekuat tenaga ia
menahan rasa mual di perutnya, air mata Lina tak bisa terbendung lagi. Ingin
rasanya ia meluapkan kesedihan yang membuncah di dadanya. Begitu tragisnya
kematian yang dialami oleh temannya. Sungguh tak bisa dipercaya, siapa yang
tega membunuh temannya, Indra.
Shanti yang berada di belakangnya,meminta izin ke dapur
mengambil minum. Lina mengizinkannya. Suasana dapur amat suram. Menyiratkan
aura kematian yang begitu pekat. Langkahnya tercekat ketika udara dingin mulai
menyapa tengkuknya. Bulu kuduknya spontan berdiri. Matanya berputar mengawasi
sekelilingnya. Ia tak menjumpai seorang pun di sana selain dirinya. Tapi
instingnya mengatakan bahwa dia tak sendirian. Shanti tak mau berpikiran yang
aneh. Ia langsung mengambil gelas dari rak, menuangkan air dari teko ke dalam
gelasnya.
Pandangannya tertumbuk pada percikan darah kering yang
menempel di dinding. Ia meraba sisa
darah kering yang tersisa. Sambil mengamati, pikiran Shanti melayang jauh. Ia
tak habis pikir, siapa yang tega membunuh Indra dan ayahnya sesadis ini.
Hawa mistis kembali menyelimuti ruang dapur. Bola mata
Shanti tak senjaga melihat sekelebat bayangan hitam melintas di belakangnya.
Shanti sontak terlonjak. Ia meraih tali tas
selempang yang diletakkan di atas kursi makan dan beralih ke rumah tamu menemui
teman-temannya.
“Shan, lama banget sih di dapur,“ bisik Lina sambil
menyikut pinggang Shanti.
“Tadi aku kebelet kencing. Makanya aku sempat lama di
dapur.“ tutur Shanti ke Lina.
Pak Brahman
menyampaikan rasa belangsungkawa mereka kepada keluarga Indra yang masih
dirundung kesedihan. Donni, sang ketua OSIS,menyerahkan uang sumbangan dan
langsung diberikan kepada keluarga Indra. Selepasnya, mereka berpamitan pulang
sambil menyalami keluarga Indra satu per satu.
“Hallo,“ handphone
Lina berbunyi dari dalam kantong bajunya.
“Hallo Lin, bagaimana, kita jadi datang ‘kan di restoran?“
“Oh ya, Fan. Jadi kok. Ini aku dan Shanti baru saja
pulang melayat dari rumah Indra. Sebentar lagi kami ke sana kok.“
“Baguslah. Aku tunggu kalian jam lima sore. Jangan sampai
telat.“ tutup Fanny sambil me-nonaktif-kan handphone-nya.
“Ok ok.“ Lina menyimpan kembali handphone-nya.
Shanti menghampiri Lina.
“Dari Fanny, Lin?“ tanya Shanti.
“Iya Shan. Nanti, kamu bisa jemput aku ‘kan ke rumahku?
Ya, kira-kira pukul empat lewat seperempat, bisa ‘kan?“ kata Lina sambil
menatap Shanti.
“Bisa kok. Tenang saja. Tinggal tunggu saja di tempat.“
Shanti mengancungkan jempol kanan pada Lina.
“Hahaha. Oke deh.“ balas Lina seraya menuju Indra
Indra sudah menunggu Lina. Ia menginjak pedal lalu sedikit
menyandarkan kepalanya di punggung Donni. Donni hanya tersenyum kecil ketika
lirikan matanya melihat kepala Lina bersandar di punggungnya.
“Pegangan
yang erat.“ suruh Donni sambil menarik gas sepeda motornya kemudian memelesat
meninggalkan rumah Indra.

No comments:
Post a Comment