Suara
tangis pilu mewarnai suasana rumah Shanti. Wajah-wajah murung berselimut
kesedihan mendalam terlihat dari para pelayat yang berada di sana. Semua
menyampaikan rasa kehilangan mendalam termasuk Lina. Ia menangis sejadinya di
samping mayat Shanti, sahabat baiknya. Dirinya tak menyangka sahabatnya akan
meninggal secara mengenaskan.
Ayah
Shanti menceritakan dirinya menemukan mayat putri bungsunya tak jauh dari
rumahnya. Ia melihat istrinya panik mencari anak mereka yang tidak berada di
kamar. Ia tak menemukan anaknya di dalam rumah. Pikirannya langsung tertuju
luar rumah.
Di
sana, ia melihat puluhan orang berbondong-bondong mengerumuni sesuatu. Jantungnya
berdebar tak teratur ketika hendak menghampiri kerumunan orang di sana.
Tangannya membelah kerumunan agar dirinya leluasa lewat. Ia ingin sekali
mengetahui siapa orang yang berada di tengah kerumunan.
Mayat perempuan tergeletak tak bernyawa di atas jalan.
Posisi badannya telungkup. Tubuhnya berlumuran darah. Ia melihat luka parut
mengelilingi pergelangan kaki dan tangannya. Seketika, dia menyadari mayat itu
adalah anaknya sendiri—Shanti, yang menghilang dari rumah. Ia tak mampu menahan
gejolak kesedihan meledak dalam dada. Tangisnya pecah saat itu juga. Ia tak
peduli orang-orang melihat dirinya. Yang terpenting, inilah saat terakhir sang
ayah bisa mendekap tubuh kaku dan dingin putrinya. Kematian akan memisahkan orang-orang
yang kita sayangi tanpa memperdulikan batas waktu dan insan yang terluka.
“CEPAT PANGGIL AMBULAN!“ air mata dan amarah bergabung
menjadi satu bentakan.
Lina masih terbayang cerita ayah Shanti yang mengaduk-aduk
emosinya. Ia tak sanggup memandang wajah manis sahabatnya. Tubuhnya mendingin
dan mengeras oleh cairan formalin.
Ia memilih pergi dari sana menuju halaman belakang. Lina
tak sanggup lagi meredam luka hati yang diterimanya saat ini. Ia memilih untuk
menyendiri. Di sana, ia coba merenungi semua kenangan yang sudah dilewatinya
bersama dengan Shanti. Susah, senang, canda, tawa, sedih, sudah mereka lalui
dan kini tinggallah kenangan semata.
Lamunan masa lalunya sedikit terusik dengan suara laki-laki
yang mengejutkannya dari belakang.
“Mungkin ini sudah suratan Yang Maha Kuasa, Lin.“ ujar
lelaki itu—Donni.
“Kalau bukan karena permainan itu, Shanti gak mungkin
mati, Don!“ bentak
Lina.Linangan air mata masih membasahi pipinya.
Donni bergeming.
Ia tahu bahwa ide permainan
jelangkung adalah idenya sendiri. Ia sama sekali tak menyangkal apa yang dikatakan Lina.
Itu semua adalah kebenaran.
“ Dan kamu tahu,
Don, kita semua akan
bernasib sama seperti teman-teman yang lain!Kita akan—“
“Cukup Lina! Aku tak membiarkan kita mati sia-sia. Secepatnya, kita akan
mengakhiri semua teror ini.“ tukas Donni sambil mendekap erat pundak Lina.
Ia menatap
lekat mata Lina.
Sekarang,
Lina bisa sedikit
menenangkan dirinya.
Pukul 11 pagi, mereka sudah pulang dari rumah duka kembali
menuju sekolah. Lina sudah turun dari jok belakang sepeda motor Donni,
berjalan bersama teman-temannya. Donni mengerti bagaimana perasaan Lina yang
begitu kehilangan
Shanti. Hal
yang sama dirasakannya ketika
ia kehilangan Prakoso,sahabat dekatnya. Ia bertekad ingin segera menghentikan
teror yang membuat teman-temannya terbunuh dan mungkin juga akan mengancam
dirinya.
Sementara itu, raut
kepanikan terpancar dari wajah Hendra begitu mendengar kabar kecelekaan istrinya
itu di bandara Kualanamu. Ia terpaksa membeli tiket untuk kembali ke Medan.
Untungnya, harga tiket tidak terlalu mahal meskipun sudah memasuki
libur Natal dan Tahun Baru. Tak harus merogoh kocek terlalu dalam. Namun, rasa cemas dan khawatir tidak bisa disembunyikannya meskipun
ia tetap berusaha tegar.
Setiap materi pelajaran
yang diterima dari guru Fisikasekadar melintas saja di pikiran
Lina . Jiwanya
melayang jauh merenungi kepergian sahabatnya.
“Andai saja, waktu itu aku bisa mencegah mereka memainkan
permainan itu, mungkin, mereka masih hidup sampai sekarang termasuk Shanti.“ ujar
batin Lina. Wajahnya kusut. Ia membenamkan dirinya dalam lamunan sesaat setelah ia
melihat handphone-nya menyala.
Lin, ini aku Donni.
Nanti sore,
kamu datang ya ke café
Mang Kardi.
Sekitar jam empat
sore. Jangan lupa.
Lina sudah selesai membaca SMS dari Donni. Ia bingung
darimana Donni bisa mendapatkan nomornya. Tapi itu tidak penting baginya.
Lina hanya berpikir Donnipasti
akan membicarakan sesuatu hal penting di sana.
Sepeda motor merah
marun merayap di jalan
raya yang cukup ramai. Lina dibonceng oleh adiknya menuju tempat yang telah
dijanjikan Donni untuk bertemu. Ia melirik jam tangannya—15.45. Tinggal 15 menit lagi, ia akan
sampai ke sana. Lagipula,
cafe itu tak jauh dari sekolahnya.
Tibalah mereka di muka
café. Lina
melihat dua lelaki sedang
asyik mengobrol. Ia mengenali mereka—Donni dan Heru. Tapi sudah lama Heru
tak bersama
dengan mereka sejak
kejadian meninggalnya Prakoso.
“Hey,
sudah lama menunggu?“ tegur
Lina.
“Enggak ah, baru saja.“ jawab Donni santai.
Lina menarik kursi yang
berada di dalam meja. Ia memesan jus jeruk kepada pelayan cafe yang kebetulan melintas di hadapannya.
“Tumben Her, kamu
ada di sini. Kemana saja selama ini?“ tanya Lina.
“Maaf, jika aku tak pernah bersama-sama dengan kalian. Aku jadi trauma karena kematian
Prakoso,“
“Apa maksudmu?“ tanya
Lina lagi.
“Aku jadi berpikir bahwa meninggalnya Prakoso
berhubungan erat dengan permainan jelangkung yang pertama kali kita lakukan.
Sekali lagi aku meminta maaf. Akumengambil kesimpulan kalau aku tak dekat dengan
kalian,
pasti aku akan terhindar
dari teror jelangkung itu.“ pungkas Heru.
Mendengar apa yang
dikatakan oleh Heru, membuat kuping Lina panas. Ia tak menduga kalau Heru akan bertindak pengecut
padahal ia juga ikut berpartisipasi di dalamnya. Untuk menghilangkan amarahnya,
Lina menyeruput es jeruk yang sudah diletakkan pelayan itu. Lina mengambil napas laludiembuskannya pelan.
“Sebenarnya, aku juga
ingin bercerita sesuatu kepada kalian,“ Lina membuka percakapan yang sejenak hening.
“Apa yang ingin kamu ceritakan? Apa ada hubungannya dengan semua teror ini?“ Donni menyela. Baru kali ini, dia berbicara setelah ia hanya menyimak pembicaraan
Lina dengan Heru.
“Ya pasti. Kalian tahu, kejadian saat angin berhembus kencang saat kita
bermain jelangkung?“ Lina mengubah tekanan suaranya agar menimbulkan kesan penasaran.
Mereka berdua berdeham
sambil menikmati jus pesanan masing-masing tanpa mengalihkan
pandangan mata pada Lina.
“Kita
terpental, begitu juga dengan boneka itu. Ketika aku berusaha bangkit, aku
mendengar suara samar-samar dan ia bilang ia akan menjemput kita ke alamnya...“
“Apa yang dimaksud dengan alamnya? Dan siapa dia?“ timpal
Donni.
“Aku pun tidak tahu. Yang pasti, ini ada hubungannya
dengan kematian teman-teman kita.“ ujar Lina serius.
“Oh ya, apa mungkin boneka jelangkung itu masih berada di
sekitar rumah itu?“ tambah Heru.
“Aku pun tidak tahu, tapi apa salahnya jika kita mencarinya
ke sana? Siapa tahu boneka itu adalah jawaban dari semua teror yang kita alami.“
“Kalau begitu tunggu apalagi, ayo kita pergi.“ ajak Donni
pada mereka berdua.
Donni melirik arlojinya—17.00. Waktu semakin petang.
Mereka harus cepat sebelum memasuki malam hari. Donni dan Heru menuju tempat
parkir, mengambil sepeda motor. Donni menyuruh Lina duduk di jok belakang. Ia langsung
menekan tombol electric stater. Donni
menarik gas dan sepeda motornya melejit kencang dari cafe.
Angin bertiup dari depan. Rambut panjang Lina terurai
kemana-mana ditambah lagi Donni memacu sepeda motornya terlalu kencang. Untuk
mengatasinya, ia mengambil ikat rambut dari saku celana jeans-nya dan mengepang rambut panjangnya.
Meskipun begitu, ada sensasi menyenangkan begitu lengannya
menyentuh punggung Donni. Tulang belakangnya kokoh dan padat. Inilah yang
membuat angannya melambung jauh. Dirinya bisa membayangkan bagaimana rasanya
bersandar di dada bidang Donni, pasti nyaman sekali.
Sudah cukup dirinya berfantasi tentang Donni. Misi
pencarian boneka jelangkung merupakan sebuah usaha pertaruhan nyawa sekaligus mengungkap
tabir misteri di balik kematian para temannya. Tapi entah mengapa, ada firasat
buruk menghampiri pikirannya ketika mereka sudah sampai ke rumah kosong itu.
Rumah yang terletak di depan jalan Kenanga, sudah
tertutupi rumput-rumput liar. Cat kuning telur yang melapisi dinding tampak
kusam dan memudar. Rumah kosong itu mempunyai halaman cukup luas di bagian
depan dan belakang. Halaman belakang ditumbuhi pepohonan bambu menjulang tinggi
tapi tak terawat. Entah apa yang terlintas di pikiran sang tuan rumah begitu
meninggalkan rumah sebagus ini .
Lina segera turun dari jok sepeda motor Donni. Mereka
bertiga lantas melangkah menuju teras rumah. Lantai berdebu setebal satu inci
mengotori tapak sepatu mereka. Sebuah meja bundar dan dua kursi kayu teronggok
lapuk dimakan rayap. Keadaan pintu depan tak kalah menyedihkan dengan meja dan
kursi tadi. Gagang pintu yang sudah dol membuat pintu sedikit celahnya
tersingkap, bagian dalamnya bisa terlihat.
Anginmeniup tengkuk Lina yang mulus. Ia mengelus pelan
tengkuknya. Matanya melirik ke arah langit. Awan mendung menutupi hamparan
langit sore. Rupanya, hujan akan segera turun.
“Hey teman-teman, kita langsung mulai saja pencariannya.
Aku mencari di bagian belakang,“ ucap Lina seraya menunjuk halaman belakang.
“ Ya sudah kalau begitu. Aku dan Heru akan mencari di
dalam.“ sahut Donni sambil berpaling dari Lina, begitupula dengan Lina.
Lina bergerak menuju halaman belakang. Kakinya sudah
menginjak rumput-rumput liar yang juga tumbuh di sana. Mata Lina tak luput menyisir
apapun yang berada di sana.
Kali ini, pandangan mata Lina beralih pada pepohonon
bambu yang tumbuh di halaman belakang. Lina melihat ada sesuatu yang aneh berdiri
di antara rerimbunan pohon tersebut. Penasaran dengan apa yang dilihat, ia langsung
mendatangi pohon bambu itu. Lina mempercepat gerak kakinya agar sampai ke sana
meskipun rumput-rumput liar menghalangi gerakannya.
Ia sudah sampai di sana. Kini, sudah terlihat jelas apa
yang berada di sana. Deru napasnya terhenti sesaat. Matanya tak mau lepas
menyaksikan apa yang berada di balik rerimbunan itu. Sesosok perempuan berwajah
sepucat tisu. Bola matanya kosong. Kulit wajahnya mengelupas, mengeluarkan bau
anyir darah bercampur nanah. Rasanya,Lina ingin sekali memuntahkan seluruh isi
perutnya, melihat wujud menjijikan perempuan itu.
Telunjuk keritingnya menunjuk ke arah Lina yang sedari
tadi hanya berdiri mematung tanpa sepatah gerakan pun.
“Kau akan mati...“ desisnya lemah.
Anehnya, desisan lemah itu, berdengung kuat di telinganya.
Nada ancaman bernuansa magis terngiang di otaknya Dengus napas tak lagi seirama dengan detak
jantungnya yang ikut berpacu dalam dadanya.
Wussshhh
Sosok perempuan berwujud mengerikan itu sudah menghilang dari
hadapannya. Lina sudah bebas dari belenggu yang menyiksa mentalnya. Ia mundur
tergopoh-gopoh dari rerimbunan pohon bambu itu.
Heru dan Donni sudah lama keluar dari rumah itu. Keduanya
tengah gelisah menunggu kedatangan Lina. Tak begitu lama keduanya membicarakan
Lina, Lina muncul di hadapan mereka dengan napas terengah-engah.
“Lin, kamu lama banget di sana. Tapi, kenapa kamu?
Seperti melihat setan saja,“ ujar Heru.
“Aku gak apa-apa kok. Lebih baik kita cabut dari sini.
Perasaanku mulai tidak enak.“ Lina berpura-pura mengelus tengkuknya sambil
mengajak mereka berdua beranjak dari sana.
Di perjalanan, Lina memikirkan kejadian saat dirinya
bertemu dengan sosok makhluk halus mengerikan tersebut.
Kau akan mati...
Ini bukan sebuah gertakan biasa. Ancaman itu semakin
nyata ketika sosok itu menunjuk padanya. Matanya kembali was-was, mengamati
setiap pergerakan yang mencurigakan. Ia cemas, jika makhluk itu, mengikutinya
ke tempatnya pergi dan melangkah. Kini, hanya pada Tuhan, diamenggantungkan
keselamatan dirinya.
Di tengah kekhawatiran melanda, sesuatu tampak bergetar
dan bercahaya berada di dalam saku depannya. Ternyata, handphone-nya menampilkan sebuah pesan masuk. Lina mengambil dan
membuka pengunci tombol.
Lina, mama, bapa
dan adikmu pergi menjenguk tante Lisa yang telah selesai bersalin. Mungkin,
kami akan pulang pagi hari. Makan malam sudah mama sediakan di kulkas. Oh ya,
kunci rumah sudah mama titipkan pada pak Togar.
Lina membaca jeli SMS ibunya yang masuk ke handphone-nya dan—sial!
Dia
akan menghabiskan satu malam di rumahnya sendirian. Ini adalah bencana besar
untuknya. Namun, ia berusaha menguatkan dirinya agar tak dikuasai ketakutan
berlebihan. Tapi, tak dipungkirinya ketakutan itu sudah bertumbuh liar layaknya
rumput.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, Lina sudah
turun dari jok sepeda motornya sembari mengucapkan terima kasih pada Donni yang
telah memberikan tumpangan.
Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya, Lina meminta
kunci rumah pada pak Togar. Dia mengenal pak Togar yang sudah lama menjadi
tetangganya. Pak Togar adalah sosok lelaki berperawakan tinggi, besar dengan
perut agak buncit. Ia adalah seorang duda beranak tiga. Satu orang anaknya
sudah menikah dan dua orang lagi sedang menempuh pendidikan tinggi di luar kota.
Tinggallah pak Togar sendiri di rumah yang ditempatinya.
Lina sudah membuka pintu rumah dan bersiap masuk. Lehernya
menoleh ke kanan dan kiri, siapa tahu makhluk itu sedang mengintainya dari
kejauhan. Merasa sudah aman, Lina menyelonong dan mengunci pintu rapat-rapat.
Lina menjalani
malam hari dengan perasaan biasa. Sambil mengobrol dengan temannya via handphone, ia juga menyambar remote, menekan tombol ON untuk menyalakan TV. Jari telunjuknya
masih sibuk mencari tayangan yang diinginkannya. Tapi, selera Lina dalam
memilih film terbilang unik.
Biasanya, para perempuan akan memilih sinetron atau drama
percintaan, tapi ia lebih memilih menonoton film laga atau action thriller yang menampilkan adu tembak, perkelahian, dan ceceran
darah. Baginya, film-film seperti itu akan menumbuhkan keberanian dan kesigapan
dalam menyelesaikan masalah. Ia kurang menyukai film bernuansa romantis karena
ia berpikir pasti ending-nya akan
berakhir bahagia. Sang pria dan wanita yang merupakan tokoh utama akan bertemu
dan menikah. Mereka bahagia selamanya seperti yang tertulis dalam skenario—it’s very mainstream.
Namun, Lina agak geram melihat TV-nya tak menyiarkan
film-film action kesukaannya. Yang ada, malah sinetron-sinetron yang hanya
menampilkan adegan berpacaran di kalangan pelajar. Ia langsung mengganti siaran
sinetron dengan acara debat politik. Ini masih lebik baik ditonton daripada
sinetron yang tidak jelas apa maknanya.
Di dalam layar kaca, dua orang politikus beradu argumen
di dalam sebuah forum. Ia serius mengamati cara mereka mempertahankan pendapat
mereka atau mungkin silang pendapat. Namun di tengah keseriusannya, ia diusik
oleh suara derap kaki dari arah dapur.
Tap tap tap
“Siapa yang berada di dapur, ya?“ ujar batin Lina.
Lina terdiam sesaat. Dalam hatinya, ia masih
menerka-nerka siapa pemilik suara derap kaki itu. Hanya dia seorang di sana,
tak ada orang lain. Tak mungkin pula, suara kaki kucing. Ia tak suka kucing
karena bulu-bulunya gampang lepas dan membuatnya bersin – bersin. Jadi, ia tak
mungkin memeliharanya.
Pikirannyatertuju pada satu kemungkinan—pencuri. Kali ini,
ia agak cemas karena bisa saja pencuri itu datang berkolompok dan membawa
senjata tajam. Dirinya berdelusi bagaimana jika para perampok itu menyandra, memperkosanya
habis-habisan lalu dibantai secara sadis. Sunguh tak terbayangkan.
Langkah
kaki itu semakin mendekat, menuju ruang tamu. Lina yang ketakutan bersembunyi
di balik sofa. Ia berdoa dalam hati, semoga para pencuri itu tidak menemukan
dirinya.
Keanehan terjadi. Suara derap kaki itu menghilang. Tapi,
Lina masih beranggapan bisa saja para pencuri itu menyelinap dan tiba-tiba
menyergap dirinya. Itulah yang masih diperkirakannya. Bola matanya sudah bergerak
ke mana-mana. Ia tak melihat apapun di sana—hanya ia sendiri. Mengapa suara
derap kaki itu bisa menghilang dalam sekejap?
Suhu ruangan tamu turun drastis. Dinginnya udara di ruang
tamu bercampur hawa mistis. Ketakutannya bertambah tiga kali lipat begitupun
kewaspadaannya. Lina mengelus-elus lengannya agar bulu halus di tangannya tak ikut
berdiri. Namun, itu semua tak mengurangi rasa takutnya yang malah semakin
menjadi-jadi. Ia bangkit berdiri lalu melangkah menuju kamarnya.
Bola matanya jelalatan. Tinggal di rumah sendirian memang
bukan ide yang bagus. Lagi-lagi, wajah hantu yang dilihatnya tadi sore
menggerayangi pikirannya. Lina tersentak. Cahaya lampu mendadak meredup. Untung
saja, lampu di depan kamarnya tidak padam.
Lina terenyak. Firasatnya mengatakan ada sekilas bayangan
lewat belakangnya. Lina memejamkan matanya sejenak. Ia tak mau berpikir
macam-macam tentang apa yang ada di belakangnya. Mau tak mau, ia harus menengok
apa yang ada di belakangnya.
Tidak ada.
Lina mengeryitkan dahi. Ia berpikir, ini benar-benar
halusinasi tingkat tinggi. Apakah ketakutannya sudah memuncak? Ia menampik dan
beranggapan bahwa, ini terjadi karena cahaya lampu meredup sehingga ruangan
terlihat suram dan berbayang-bayang.
Lina sudah berada di depan pintu kamarnya. Tangan
kanannya meraih daun pintu lalu menekannya pelan. Sebelum kakinya berayun ke
kamar, ia merasa tengkuknya diraba oleh angin silir. Begitu berada di dalam,
Lina langsung menggebrak pintu dan menguncinya. Ia melompat ke atas ranjangnya,
menundungi seluruh tubuhnya dengan selimut. Di dalam selimut, Lina berdoa agar
teror yang dialaminya cepat berlalu.
Tok...tok...tok.
Ketukan pintu terdengar tiga kali dan terasa nyata di
telinganya. Pelan, namun, ada jeda sekitar dua detik.
Tok...tok...tok.
Ketukan pintu terdengar lagi. Lina menyingkapkan
selimutnya sebatas mata, tapi tidak sampai memperlihatkan wajah.
“Si-si-siapa di luar?” tanya Lina. Suaranya terbata-bata
dihalangi selimut.
“Ini mama, nak. Mama bawa makanan kesukaan kamu—daging
sapi rendang.”
Syukurlah, ibunya datang tepat waktu. Ia benar-benar tak
bisa menahan rasa takutnya lebih lama. Mamanya tahu betul apa yang menjadi
kesukaannya. Ia bisa bernapas lega sejenak. Lalu, Lina beringsut dari ranjang menuju
depan pintu.
Langkah kakinya mengayun pelan. Tangannya sudah menjamah
daun pintu. Diputarnya kunci ke kiri hingga menimbulkan bunyi ‘klek’. Pintu
sudah dalam keadaan tidak terkunci. Lina sudah siap menyambut kedatangan
mamanya.
Astaga!
Bukan ibunya yang berada di hadapannya sekarang melainkan
sosok makhluk halus perempuan. Matanya membeliak. Bulir-bulir keringat dingin
membanjiri wajahnya. Mulutnya menganga bak buaya menjebak mangsa. Ia tak bisa
menggerakan badan. Bahkan, kedua kakinya bagai menyatu dengan lantai.
Air matanya meluruh bercampur keringat. Apa yang
ditakutinya tadi siang kini sudah berada tepat di depan matanya. Ia tak bisa
melakukan apa-apa—tamat sudah. Pelan-pelan tangan perempuan itu meraih leher
Lina. Rongga matanya yang kosong, menatap nanar Linapenuh luapan dendam dan
amarah. Tatapan itu berhasil menciutkan nyalinya, seolah ingin merebut semua
yang dimilikinya.
“Mati kau! Mati kau!” desisan makhluk itu terdengar
serak.
Jari-jari keriting perempuan itu menjerat lehernya begitu
erat. Lina merasa oksigen yang tersisa di paru-parunya tak membuatnya bertahan
lama. Napasnya tersengal. Dadanya terasa terbakar hebat. Pandangannya mulai
berbayang-bayang kabur. Sementara itu, makhluk itu masih menyeringai seram. Seringainya
begitu lebar hingga menyentuh telinga.
“Tu-tu-tuhan to-to-tolong...”
Lina merasakan dirinya sudah berada di ambang pintu
kematian. Tinggal mengetuk saja, dia sudah disambut malaikat kematian yang siap
menjemput jiwa-jiwa yang terpanggil ke alam baka.
Ada kekuatan ajaib menolongnya dari cengkeraman makhkluk
itu. Sebuah hempasan kuat, mementalkan tubuh makhluk itu. Jeratan tangan di
leher Lina terlepas. Ia lenyap. Hanya meninggalkan sisa rintihan lemah disertai
kepulan asap tipis. Tubuh lemah Lina ambruk di atas lantai dingin. Ia tak
sadarkan diri. Sebuah jeritan panjang membahana memenuhi seisi ruangan rumah.
“Linaaa!”

No comments:
Post a Comment