Aku
berjalan menyusuri malam di bawah pendaran redup sinar lampu jalan. Kepalaku
agak berat dan sedikit pusing. Langkah kakiku agak sempoyongan namun aku masih
bisa melihat apa yang ada di sekelilingku termasuk lampu – lampu jalan yang
berjajar di sepanjang jalan Sutomo.
Semua tampak berbayang – bayang dan
bergerak. Ini pasti karena aku terlalu banyak meminum tuak yang kubeli dari
sebuah kedai kopi. Seingatku, aku sudah meminum 3 gelas sekaligus. Ya, kulakukan
itu semua untuk menghilangkan frustrasiku.
Aku kesal dengan sikap kedua orang
tuaku yang menyalahkanku karena aku tidak lulus di ujian SBMTPN. Mereka terus
mencecarku dengan sejumlah pertanyaan yang seolah mempertanyakan kegagalanku.
Mereka mengungkit – ungkit biaya yang selama ini dikeluarkan untuk bimbingan
les tambahan di Medan 2 bulan lalu.Mereka tidak mengerti betapa susahnya
menjawab soal SBMPTN yang materinya di luar apa yang telah diajarkan oleh
mentor kami.
Aku tak tahan mendengar ocehan
mereka, beranjak pergi, menuju ke kamar untuk menjemput jaketku. Aku ingin
keluar, menenangkan hatiku yang panas karena ocehan mereka yang terus
memojokanku.
Sepanjang perjalanan, aku hanya
berjalan tanpa tujuan, mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pelampiasan
emosi. Air mataku meleleh, membasahi kasarnya pipiku. Di saat seperti ini, aku
butuh sekali teman yang bisa mengerti perasaanku. Aku ingin berbagi cerita tentang
keluh kesahku, tapi sayangnya aku tak menemukan mereka. Aku sendirian,
menikamati pedihnya luka hati.
Mataku tertuju pada sebuah kedai
kopi yang dipadati oleh para lelaki yang kuduga sudah berumah tangga.Tak
sedikit juga aku menemukan lelaki yang seumuran denganku, berbaur menjadi satu.
Ada yang sedang bernyanyi diiringi oleh alunan senar gitar dan ada yang sekedar
berbincang satu sama lain. Mereka seolah
tak memperdulikan kedatanganku ke sana, sibuk dengan urusan masing – masing.
Kebetulan sekali, ada meja kosong di belakang kelompok yang sedang
bernyanyi. Aku menempatinya dan memesan satu gelas tuak. Tak butuh waktu lama,
sang pelayan datang memberikan segelas tuak di hadapanku. Aku mengangkat gelas
itu dan mengendus baunya.
“ Wangi sekali kelihatannya ini enak.
“ ujarku dalam hati seraya mengamati cairan putih mirip seperti susu dan berbau
menyengat.
Aku menyeruput sedikit cairan itu,
ternyata pahit. Aku hampir saja membuangnya tapi kuurungkan karena ada rasa
manis tercicip oleh lidahku dan aku mulai ketagihan. Aku menambah porsi tuak
yang kuminum pada pelayan, tak kuperdulikan tatap mata para pengunjung kedai
kopi keheranan melihatku yang terus menambah.
Inilah yang hasilnya. Mataku berkunang
– kunang dan kepalaku serasa berat seperti ditimpa beban berton – ton. Aku
masuk dalam dunia delusi di mana aku lulus ujian SBMPTN dan orang tua serta
teman - temanku memuji kehebatanku, rasanya aku seperti orang yang paling
beruntung di dunia ini. Tapi kenyataannya tak begitu, aku merana dalam pengaruh
alkohol yang menjerat pikiranku. Perutku bergejolak luar bisa, hendak
mengeluarkan seisi perutku. Aku menyerah dan akhirnya muntah – muntah di jalan
tersebut. Aku tak melihat seorang pun melintasi jalan itu walaupun kesadaranku
mulai berkurang. Aku salah menduga. Rupanya, ada seseorang yang sedang duduk
sambil meletakkan dagunya di atas lipatan kedua tangannya. Aku penasaran kenapa
ada seseorang yang duduk sendirian larut malam begini.
“ Apa yang sedang kau lakukan malam
– malam begini, nyonya? Apa kau tidak takut masuk angin? “ tanyaku sambil
menyeka sisa muntahan yang masih melekat di mulutku. Dalam sekejap, aku sudah
bebas dari pengaruh alkiohol dan merasakan kesadaranku pulih.
“ Tidak. Terimakasih. Aku hanya
ingin menghabiskan waktuku dengan melamun sepanjang malam ini. “ sahutnya .
“ Hei kelihatan kau sedang sedih. Apa
kau punya masalah? Bisakah kau membagikan ceritamu padaku? “Aku bisa melihat
rupa wajah gadis itu . Agak pucat namun cocok sekali dengan kulitnya yang
bersih dan putih. Pancaran matanya membuat gundah di hatiku hilang sesaat.
“ Rupanya kau lelaki yang suka mencampuri
masalah orang lain ya? “
“ Tidak. Bukannya begitu.Aku hanya
ingin mencari teman berbagi cerita saja. “ Aku sontak terkejut menanggapi
sikapnya yang sinis.
Dia terdiam beberapa saat begitu
mendengar jawabanku sebelum ia membuka mulutnya, “ Kalau boleh tahu namamu
siapa? “. “ Namaku Adit , namamu? “ aku bertanya balik padanya , “ Namaku Elia.
“ sahutnya .
Kami berjabatan tangan. Aku tersentak
begitu menyentuh tangannya. Dingin sekali seperti baru keluar dari lemari es.
Elia terheran melihat tingkah anehku lalu bertanya, “ Ada apa? “ , “ Tanganmu
dingin sekali, apakah kamu sakit? “ balasku lagi, “ Sepertinya begitu. “
ujarnya singkat.
“ Jadi apa masalahmu sampai – sampai
kau mabuk malam – malam begini? “ Elia masih duduk di tanah tapi ia menaikkan
tungkai kakinya lalu ditekuk90 derajat . Elia memasang wajah ingin tahu,
berharap aku akan memulai cerita.
Aku bercerita padanya mulai dari
kekesalanku pada kedua orang tuaku hingga penyebab mengapa aku bisa mabuk malam
– malam begini. Aku senang punya teman yang bisa diajak berbagi cerita dan
tampaknya ia begitu serius mendengarkan ceritaku.
“ Aku tahu terkadang kita juga kesal
melihat orang tua kita yang memarahi kita kalau anaknya tak mencapai
keberhasilan, tapi di balik itu semua, mereka sangat sayang pada kita, meskipun
cara mereka menyampaikan nasihat terkesan seperti menyudutkan . Bukan hanya
orang tuamu saja yang seperti itu tapi orang tuaku juga demikian. “ ungkap Elia
padaku. Aku tak menyangka Elia bisa berbicara seperti itu. Ia terlihat
bijaksana menyikapi masalahku.
“ Makasih atas nasihatmu Elia, tak
kusangka ternyata kau bijak juga . Hahaha . “ Aku tertawa lepas untuk
mencairkan suasana sepi malam ini dan Elia juga turut tertawa bersamaku.
“ Jadi apa yang kamu lakukan malam –
malam begini, Elia? Apakah kamu tidak takut masuk angin? “
“ Tidak. Lagipula masalahku tidak terlalu
penting. Ini masalah percintaan saja. Masalah klise yang sering dihadapi remaja
zaman sekarang. Aku baru saja putus dengan pacarku padahal aku sayang sekali
padanya. Ia tega meninggalkan aku yang jelas – jelas sayang padanya dan lebih
memilih pergi dengan perempuan lain yang akhir – akhir ini disukainya. “
Aku menangkap pancaran kesedihan di
bola mata Elia. Di sana, aku bisa melihat jelas kesungguhan hati Elia begitu
mencintai pacarnya. Cerita yang dialaminya mirip dengan kejadian yang kualami dua
minggu lalu. Ayu, pacarku yang sekarang menjadi mantanku, rela meninggalkanku
demi kembali lagi dengan mantannya . Padahal aku selalu berusaha untuk
membahagiakannya tapi dia malah tega berbuat seperti itu padaku .
“ Tuhan ingin memberitahu bahwa
orang yang sedang bersama kita bukanlah orang terbaik untuk kita. Aku yakin
pasti rasanya sakit tapi kalau kita bisa belajar dari rasa sakit itu,
percayalah,Tuhan akan tunjukkan jalan. “ ungkapku sambil melirik sedikit ke
wajah Elia. Elia mengetahui diriku melihatnya diam – diam, cuma tersenyum manis
sembari membuang wajahnya ke kiri.
“ Adit. Apa kamu di sana? “
Di sela cerita, aku mendengar sayup
- sayup suara memanggil diriku dari belakang. Aku mengenal betul suara itu dan
sesuai perkiraanku, suara itu adalah suara ibuku. Dari nada suaranya,
sepertinya ibuku sedang mencariku .
“ Elia sepertinya aku harus pulang.
Ibuku sudah menjemputku. “ Aku bangkit berdiri meninggalkan Elia di belakangku.
Rasa kesal di hati sudah sirna dan aku siap menemui ibuku.
“ Adit, kamu dari mana saja nak?
Malam – malam begini kamu keluyuran. “ ungkap ibuku setengah khawatir.
“ Ibu, maafkan Adit ya, kalau Adit
tak bisa jadi anak yang berguna untuk ayah & ibu. “ jelasku agak merendah.
Wajahku menunduk penuh penyesalan.
“ Seharusnya kami berdua yang minta maaf.
Kamilah terlalu menyalahkan kamu. “ Ibuku
memegang pipi kiriku, dielusnya pelan. Kurasakan kenyamanan seperti di surga
jika aku bersama dengan ibuku.
Kami berdua pulang bersama menuju
rumah, tapi satu hal yang tak kusadari, Elia sudah pergi lebih cepat daripada
kami. Sambil melangkah pergi, sengaja kepalaku menoleh ke belakang, memastikan
apakah Elia memang sudah jauh dari kami. Aku melihat Elia melambaikan tangan ke
arahku sambil memberikan senyuman dingin dan tubuh Elia menghilang perlahan tersapu hembusan angin
malam.
Seketika bulu kudukku meremang.
Selesai