Monday, 27 July 2015

Mata KaruniaMu


Bulatan ajaib penglihatan semesta
Mahakarya agung sang Pencipta
Dengan mata ini kuamati
Indahnya dunia terhampar di hadapku
            Dengan mata ini aku terpikat
            Kecantikan wanita bak bidadari
            Dengan mata ini aku berdosa
            Melihat kejahatan di ujung pelupukku
Ya Tuhan ajarilah hambaMu
Sepasang mataku adalah karuniaMu
Agar tak jadi nista dunia
Biar suci tak bernoda

Friday, 24 July 2015

Mawar Kelabu Reinold



Reinold duduk manis sambil menggenggam setangkai bunga mawar di sebuah kafe yang ramai di kotanya. Di kafe inilah ia mengajak Monica untuk bertemu dengannya. Ia sudah meminta Monica untuk datang sekitar pukul 19.30 namun perempuan yang ditunggunya tak kunjung datang. Reinold melirik arloji di tangan kirinya dan sepertinya Monica akan terlambat. Sempat keraguan terlintas di pikirannya jikalau Monica tak bisa datang. Keraguan itu tak berlangsung lama ketika ia mendengar suara perempuan menegurnya.
            “ Sudah lama menungguku, Reinold? “ suara lembut Monica membuyarkan keraguan dalam pikirannya.
            “ Ya lumayan. Hampir aja aku dikerubungi lalat. “ Reinold bergurau sambil menyunggingkan senyum pada Monica.
            “ Hahaha kamu ini. Baru aja telat 15 menit udah dilalati. Gimana kalau setengah jam? Pasti kamu bakal dikeluarkan sama pegawai kafe. “ balas Monica sambil menarik kursi dan duduk di depan Reinold.
            Reinold memandang Monica dalam – dalam. Ia mengenakan kemeja coklat ketat berlengan pendek dan rok jeans biru tua. Riasan wajah Monika juga tidak terlalu menor dan terlihat alami, menyatu sekali dengan tema pakaiannya.
            “ Tumben kamu ngajak aku ke kafe. Ada hal yang perlu kamu sampaikan ke aku? “ sambung Monica seraya menaikkan alis kanannya.
            “ Ya sebenarnya aku mau ngasih ini sama kamu. “ Reinold menyerahkan setangkai bunga mawar yang ada di tangannya pada Monica.
            Monica terkesima. Ia tak menduga kalau bunga mawar yang berada di tangan Reinold akan diberikan padanya. Rasa senang dan terkejut bercampur satu dan tak bisa diungkap secara lisan. Monica hanya mengatupkan kedua tangannya menutupi mulutnya.
            “ Makasih banyak Reinold buat bunga mawarnya. Kamu tahu banget kalau aku suka bunga mawar. “ ungkap Monica sambil meraih setangkai bunga mawar pemberian Reinold.
            Dalam hati Reinold ia sama sekali tak menduga kalau Monica suka bunga mawar. Yang ia tahu berdasarkan cerita teman – teman Monica, Monica tidak terlalu menyukai bunga tapi sekarang perkataan temannya tak terbukti. Reinold merasa bangga sekali saat itu.
            “ Monica? “ panggil Reinold.
            “ Ada apa Rein? “ Monica menyahut panggilan Reinold.
            “ Kau tahu kan kalau kita sudah lama saling kenal dan kita sudah saling dekat... “
            Monica menghadapkan wajahnya ke arah Reinold. Mimik wajah dipenuhi rasa penasaran, alis matanya agak mengkerut.
            “ Lalu? “
            “ Aku ingin mengungkapkan apa yang kurasakan padamu saat ini... “ Waktu berjalan seakan lebih lama daripada sebelumnya. Detak jantung Reinold berdebar tak menentu. Ada rasa beda ketika ia ingin menyatakan cinta pada Monica. Hal ini tak pernah terjadi ketika dirinya ingin menyatakan cinta pada perempuan lain. Ia menduga mungkin inilah cinta sejati yang sudah lama ia cari.
            “ Aku suka kamu, kamu mau gak jadi pacarku? “ Reinold sudah mempertaruhkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan hal itu. Sekat yang membelenggu dirinya sudah dipatahkannya. Kini yang ditunggunya adalah jawaban dari pujaan hatinya, Monica.
            Rasa senang di hati Reinold perlahan pudar begitu melihat reaksi Monica yang spontan berubah 180 derajat.
            “ Aku tahu kamu memang lelaki tampan, Reinold, tapi apa kamu bisa membodohi aku semudah itu?! “ Perkataan Monica menusuk bagai belati bermata dua. Melukai hati dan perasaannya. Ia tak menyangka Monica akan berkata seperti itu padanya.
            “ Apa maksud kamu Monica?! “ Reinold berdiri tegak menghadap ke arah Monica. Ia tak kalah emosinya mendengar ocehan panas dari mulut Monica.
            “ Kau tahu, mantanmu Ririn bercerita padaku bahwa kamu itu lelaki yang suka mempermainkan perasaan perempuan. Dia pernah bilang kalau kamu suka menggoda perempuan lain yang lebih cantik dan menarik meskipun kamu sudah punya pacar. Kamu jahat! “ ungkap Monica dengan rasa kesal pada Reinold. Ingin sekali rasanya ia menyiramkan kopi yang berada di cangkirnya tapi diurungkannya.
            “ I-itu tidak benar. Aku bisa beri tahu kamu alasan sebenarnya... “ ucap Reinold gagap karena pandangan orang yang berada di dalam kafe tertuju padanya. Ia tak sanggup menahan rasa malunya dipermalukan Monica di hadapan umum.
            “ Aku pergi. “ tutup Monica seraya beralih dari hadapan Reinold. Reinold sigap menangkap tangan Monica.
            Monica tersentak. Ia memberontak begitu tangan Reinold menggenggam tangannya. Reinold sontak melepas genggamannya saat Monica mengancam akan berteriak. Reinold pasrah sambil membiarkan Monica berlalu di hadapannya.
            Reinold termangu sendirian di luar kafe sembari menyesali perbuatan yang selama ini dilakukannya. Mawar yang dipegangnya menjadi saksi bisu atas keserakahannya karena mempermainkan cinta seorang wanita. Ia meninggalkan kafe setelah ia membayar makanan yang dipesannya.

Monday, 20 July 2015

Teman Berbagi Cerita



Aku berjalan menyusuri malam di bawah pendaran redup sinar lampu jalan. Kepalaku agak berat dan sedikit pusing. Langkah kakiku agak sempoyongan namun aku masih bisa melihat apa yang ada di sekelilingku termasuk lampu – lampu jalan yang berjajar di sepanjang jalan Sutomo.
            Semua tampak berbayang – bayang dan bergerak. Ini pasti karena aku terlalu banyak meminum tuak yang kubeli dari sebuah kedai kopi. Seingatku, aku sudah meminum 3 gelas sekaligus. Ya, kulakukan itu semua untuk menghilangkan frustrasiku.
            Aku kesal dengan sikap kedua orang tuaku yang menyalahkanku karena aku tidak lulus di ujian SBMTPN. Mereka terus mencecarku dengan sejumlah pertanyaan yang seolah mempertanyakan kegagalanku. Mereka mengungkit – ungkit biaya yang selama ini dikeluarkan untuk bimbingan les tambahan di Medan 2 bulan lalu.Mereka tidak mengerti betapa susahnya menjawab soal SBMPTN yang materinya di luar apa yang telah diajarkan oleh mentor kami.
            Aku tak tahan mendengar ocehan mereka, beranjak pergi, menuju ke kamar untuk menjemput jaketku. Aku ingin keluar, menenangkan hatiku yang panas karena ocehan mereka yang terus memojokanku.
            Sepanjang perjalanan, aku hanya berjalan tanpa tujuan, mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pelampiasan emosi. Air mataku meleleh, membasahi kasarnya pipiku. Di saat seperti ini, aku butuh sekali teman yang bisa mengerti perasaanku. Aku ingin berbagi cerita tentang keluh kesahku, tapi sayangnya aku tak menemukan mereka. Aku sendirian, menikamati pedihnya luka hati.
            Mataku tertuju pada sebuah kedai kopi yang dipadati oleh para lelaki yang kuduga sudah berumah tangga.Tak sedikit juga aku menemukan lelaki yang seumuran denganku, berbaur menjadi satu. Ada yang sedang bernyanyi diiringi oleh alunan senar gitar dan ada yang sekedar berbincang satu sama lain.  Mereka seolah tak memperdulikan kedatanganku ke sana, sibuk dengan urusan masing – masing.
            Kebetulan sekali, ada  meja kosong di belakang kelompok yang sedang bernyanyi. Aku menempatinya dan memesan satu gelas tuak. Tak butuh waktu lama, sang pelayan datang memberikan segelas tuak di hadapanku. Aku mengangkat gelas itu dan mengendus baunya.
            “ Wangi sekali kelihatannya ini enak. “ ujarku dalam hati seraya mengamati cairan putih mirip seperti susu dan berbau menyengat.
            Aku menyeruput sedikit cairan itu, ternyata pahit. Aku hampir saja membuangnya tapi kuurungkan karena ada rasa manis tercicip oleh lidahku dan aku mulai ketagihan. Aku menambah porsi tuak yang kuminum pada pelayan, tak kuperdulikan tatap mata para pengunjung kedai kopi keheranan melihatku yang terus menambah.
            Inilah yang hasilnya. Mataku berkunang – kunang dan kepalaku serasa berat seperti ditimpa beban berton – ton. Aku masuk dalam dunia delusi di mana aku lulus ujian SBMPTN dan orang tua serta teman - temanku memuji kehebatanku, rasanya aku seperti orang yang paling beruntung di dunia ini. Tapi kenyataannya tak begitu, aku merana dalam pengaruh alkohol yang menjerat pikiranku. Perutku bergejolak luar bisa, hendak mengeluarkan seisi perutku. Aku menyerah dan akhirnya muntah – muntah di jalan tersebut. Aku tak melihat seorang pun melintasi jalan itu walaupun kesadaranku mulai berkurang. Aku salah menduga. Rupanya, ada seseorang yang sedang duduk sambil meletakkan dagunya di atas lipatan kedua tangannya. Aku penasaran kenapa ada seseorang yang duduk sendirian larut malam begini.
            “ Apa yang sedang kau lakukan malam – malam begini, nyonya? Apa kau tidak takut masuk angin? “ tanyaku sambil menyeka sisa muntahan yang masih melekat di mulutku. Dalam sekejap, aku sudah bebas dari pengaruh alkiohol dan merasakan kesadaranku pulih.
            “ Tidak. Terimakasih. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku dengan melamun sepanjang malam ini. “ sahutnya .
            “ Hei kelihatan kau sedang sedih. Apa kau punya masalah? Bisakah kau membagikan ceritamu padaku? “Aku bisa melihat rupa wajah gadis itu . Agak pucat namun cocok sekali dengan kulitnya yang bersih dan putih. Pancaran matanya membuat gundah di hatiku hilang sesaat.
            “ Rupanya kau lelaki yang suka mencampuri masalah orang lain ya? “
            “ Tidak. Bukannya begitu.Aku hanya ingin mencari teman berbagi cerita saja. “ Aku sontak terkejut menanggapi sikapnya yang sinis.
            Dia terdiam beberapa saat begitu mendengar jawabanku sebelum ia membuka mulutnya, “ Kalau boleh tahu namamu siapa? “. “ Namaku Adit , namamu? “ aku bertanya balik padanya , “ Namaku Elia. “ sahutnya .
            Kami berjabatan tangan. Aku tersentak begitu menyentuh tangannya. Dingin sekali seperti baru keluar dari lemari es. Elia terheran melihat tingkah anehku lalu bertanya, “ Ada apa? “ , “ Tanganmu dingin sekali, apakah kamu sakit? “ balasku lagi, “ Sepertinya begitu. “ ujarnya singkat.
            “ Jadi apa masalahmu sampai – sampai kau mabuk malam – malam begini? “ Elia masih duduk di tanah tapi ia menaikkan tungkai kakinya lalu ditekuk90 derajat . Elia memasang wajah ingin tahu, berharap aku akan memulai cerita.
            Aku bercerita padanya mulai dari kekesalanku pada kedua orang tuaku hingga penyebab mengapa aku bisa mabuk malam – malam begini. Aku senang punya teman yang bisa diajak berbagi cerita dan tampaknya ia begitu serius mendengarkan ceritaku.
            “ Aku tahu terkadang kita juga kesal melihat orang tua kita yang memarahi kita kalau anaknya tak mencapai keberhasilan, tapi di balik itu semua, mereka sangat sayang pada kita, meskipun cara mereka menyampaikan nasihat terkesan seperti menyudutkan . Bukan hanya orang tuamu saja yang seperti itu tapi orang tuaku juga demikian. “ ungkap Elia padaku. Aku tak menyangka Elia bisa berbicara seperti itu. Ia terlihat bijaksana menyikapi masalahku.
            “ Makasih atas nasihatmu Elia, tak kusangka ternyata kau bijak juga . Hahaha . “ Aku tertawa lepas untuk mencairkan suasana sepi malam ini dan Elia juga turut tertawa bersamaku.
            “ Jadi apa yang kamu lakukan malam – malam begini, Elia? Apakah kamu tidak takut masuk angin? “
            “ Tidak. Lagipula masalahku tidak terlalu penting. Ini masalah percintaan saja. Masalah klise yang sering dihadapi remaja zaman sekarang. Aku baru saja putus dengan pacarku padahal aku sayang sekali padanya. Ia tega meninggalkan aku yang jelas – jelas sayang padanya dan lebih memilih pergi dengan perempuan lain yang akhir – akhir ini disukainya. “
            Aku menangkap pancaran kesedihan di bola mata Elia. Di sana, aku bisa melihat jelas kesungguhan hati Elia begitu mencintai pacarnya. Cerita yang dialaminya mirip dengan kejadian yang kualami dua minggu lalu. Ayu, pacarku yang sekarang menjadi mantanku, rela meninggalkanku demi kembali lagi dengan mantannya . Padahal aku selalu berusaha untuk membahagiakannya tapi dia malah tega berbuat seperti itu padaku .
            “ Tuhan ingin memberitahu bahwa orang yang sedang bersama kita bukanlah orang terbaik untuk kita. Aku yakin pasti rasanya sakit tapi kalau kita bisa belajar dari rasa sakit itu, percayalah,Tuhan akan tunjukkan jalan. “ ungkapku sambil melirik sedikit ke wajah Elia. Elia mengetahui diriku melihatnya diam – diam, cuma tersenyum manis sembari membuang wajahnya ke kiri.
            “ Adit. Apa kamu di sana? “
            Di sela cerita, aku mendengar sayup - sayup suara memanggil diriku dari belakang. Aku mengenal betul suara itu dan sesuai perkiraanku, suara itu adalah suara ibuku. Dari nada suaranya, sepertinya ibuku sedang mencariku .
            “ Elia sepertinya aku harus pulang. Ibuku sudah menjemputku. “ Aku bangkit berdiri meninggalkan Elia di belakangku. Rasa kesal di hati sudah sirna dan aku siap menemui ibuku.
            “ Adit, kamu dari mana saja nak? Malam – malam begini kamu keluyuran. “ ungkap ibuku setengah khawatir.
            “ Ibu, maafkan Adit ya, kalau Adit tak bisa jadi anak yang berguna untuk ayah & ibu. “ jelasku agak merendah. Wajahku menunduk penuh penyesalan.
            “ Seharusnya kami berdua yang minta maaf. Kamilah terlalu menyalahkan kamu.  “ Ibuku memegang pipi kiriku, dielusnya pelan. Kurasakan kenyamanan seperti di surga jika aku bersama dengan ibuku.
            Kami berdua pulang bersama menuju rumah, tapi satu hal yang tak kusadari, Elia sudah pergi lebih cepat daripada kami. Sambil melangkah pergi, sengaja kepalaku menoleh ke belakang, memastikan apakah Elia memang sudah jauh dari kami. Aku melihat Elia melambaikan tangan ke arahku sambil memberikan senyuman dingin dan tubuh Elia menghilang perlahan tersapu hembusan angin malam.
            Seketika bulu kudukku meremang.

Selesai

Friday, 17 July 2015

Cermin


Dina terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk yang dialaminya benar–benar membuatnya ketakutan. Keringat dingin membasahi piyamanya. Ia mengatur irama nafasnya yang memburu menjadi sedikit tenang. Ia kembali memutar ingatan akan mimpinya barusan.
            Ia bagai terdampar di sebuah ruangan redup, hampa, tak berpenghuni, hanya ia pertama kali menginjakkan kaki di sana. Dina linglung. Ia tak menjumpai seorang pun untuk diminta keterangan tentang keberadaannya sekarang. Seorang diri, ia coba menyusuri ruangan itu untuk mencari petunjuk.       Sepanjang perjalanannya, ia tak menemui siapapun. Ruangan itu s’perti jalan tak berujung yang entah kemana tujuannya.
            Kesunyian memancarkan auranya. Bulu kuduk Dina pelan-pelan menegak. Aroma mistis menyambutnya saat ia melewati ruangan ini. Sangking sunyinya, ia bahkan bisa mendengar langkah kakinya sendiri.
            “Apakah di sini ada orang?” Dina bersuara untuk memecah kesunyian di sana. Tapi suara nyaringnya hilang begitu saja ditelan kesunyian.
            Dina berhenti sejenak. Ia menyipitkan matanya untuk sesuatu yang berada tak jauh dari hadapannya.
            “Apa itu?” ujar Dina dalam batin. Ia melihat sekelebat  bayangan seorang wanita berambut sebahu, wajah agak kusam.
            “Sepertinya aku mengenal dia..” Dina melangkahkan kaki mendekati bayangan itu.
            “I-i-tu aku!” Dina terkesiap. Tak salah lagi wanita itu adalah dirinya– benarkah itu dia?
            Bayangan wanita itu pergi menjauhi Dina. Dina masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya segera mengejar bayangan itu.
            “Hey tunggu!” sergah Dina.
            Bayangan itu sudah luput dari pandangan mata Dina. Yang ditinggalkan bayangan wanita itu adalah senyuman lirih. Dina membisu melihat senyuman wanita itu dan menyadari wanita itu benar–benar dirinya. 
Dina terperangah sebuah cermin terpampang di hadapannya. Belum selesai dirinya mengungkap misteri ruangan ini muncul lagi cermin aneh di hadapannya.
            Dina memajukan kakinya mendekati cermin. Cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Sekilas cermin itu memantulkan memang bayangan dirinya namun ia melihat ada keanehan. Bayangan dirinya tampak suram. Tak ada kebahagian terpancar dari bayangan wajahnya. Rona kesedihan dan kemalangan menghiasi wajah Dina yang tanpa jerawat itu.
            “Apakah itu bayanganku? Apakah itu benar-benar aku?” Berbagai pertanyaan mulai terbesit di hatinya.
            “Aku adalah kamu, Dina. Aku adalah dirimu. Sisi lain dirimu yang selalu dilupakan, tidak diinginkan dan tidak dicintai sama sekali oleh orang-orang dan...” Bayangan dalam cermin itu berhenti berbicara.
            Badan Dina menegang mendengar bayangan cermin itu berbicara padanya. Semua yang dikatakan bagai rantai besi yang membelenggu tubuh juga pikirannya. Ia serasa dilempar ke dalam jurang masa lalu yang amat pedih.
            “ Yang membunuh kedua orang tuamu sendiri.” Sosok wajah yang menyedihkan berubah menjadi menyeramkan. Ia menyeriangi jahat ke arah Dina.
            “Tidak! Bukan aku yang membunuh mereka! Aku sayang mereka!” bantah Dina keras. Ia menutup kedua daun telinganya mendengar perkataan bayangan cermin itu.
            “Kau yang sudah membunuh mereka, Dina! Kau yang tega menyia-nyiakan nyawa mereka untuk kepuasanmu sendiri dan tiba waktumu untuk menyusul mereka...” bayangan cermin juga membalas bantahan Dina. Kata–kata yang keluar dari mulutnya umpama ribuan jarum-jarum tajam yang menyebar ke seluruh tubuhnya, mematikan pergerakan sendinya.
            “Jadi biarkan aku mengambil nyawamu, Dina.” Bayangan dalam cermin itu lamat-lamat mengeluarkan lengannya untuk mencapai leher Dina. Dina membeku, membiarkan tangan itu menyentuh lehernya. Dina megap-megap. Cengkeraman tangan itu kuat menjerat lehernya. Ia tak punya daya apa- apa menghentikan perbuatan bayangannya sendiri.
            Di ranjangnya ia menangis seorang dirinya. Dina terlalu segan untuk membangunkan paman dna bibinya untuk menemaninya sebentar, tapi syukurlah ia sudah terbebas dari siksaan mimpi buruknya.
            “Aku harus memberitahu Iqbal besok! Harus!” tegas Dina dalam hatinya.