Dina terbangun dari tidurnya. Mimpi
buruk yang dialaminya benar–benar membuatnya ketakutan. Keringat dingin
membasahi piyamanya. Ia mengatur irama nafasnya yang memburu menjadi sedikit
tenang. Ia kembali memutar ingatan akan mimpinya barusan.
Ia bagai
terdampar di sebuah ruangan redup, hampa, tak berpenghuni, hanya ia pertama
kali menginjakkan kaki di sana. Dina linglung. Ia tak menjumpai seorang pun
untuk diminta keterangan tentang keberadaannya sekarang. Seorang diri, ia coba
menyusuri ruangan itu untuk mencari petunjuk. Sepanjang
perjalanannya, ia tak menemui siapapun. Ruangan itu s’perti jalan tak berujung
yang entah kemana tujuannya.
Kesunyian
memancarkan auranya. Bulu kuduk Dina pelan-pelan menegak. Aroma mistis menyambutnya
saat ia melewati ruangan ini. Sangking sunyinya, ia bahkan bisa mendengar
langkah kakinya sendiri.
“Apakah
di sini ada orang?” Dina bersuara untuk memecah kesunyian di sana. Tapi suara
nyaringnya hilang begitu saja ditelan kesunyian.
Dina
berhenti sejenak. Ia menyipitkan matanya untuk sesuatu yang berada tak jauh
dari hadapannya.
“Apa
itu?” ujar Dina dalam batin. Ia melihat sekelebat bayangan seorang wanita berambut sebahu,
wajah agak kusam.
“Sepertinya
aku mengenal dia..” Dina melangkahkan kaki mendekati bayangan itu.
“I-i-tu
aku!” Dina terkesiap. Tak salah lagi wanita itu adalah dirinya– benarkah itu
dia?
Bayangan
wanita itu pergi menjauhi Dina. Dina masih tak percaya dengan apa yang
dilihatnya segera mengejar bayangan itu.
“Hey
tunggu!” sergah Dina.
Bayangan
itu sudah luput dari pandangan mata Dina. Yang ditinggalkan bayangan wanita itu
adalah senyuman lirih. Dina membisu melihat senyuman wanita itu dan menyadari
wanita itu benar–benar dirinya.
Dina terperangah sebuah cermin
terpampang di hadapannya. Belum selesai dirinya mengungkap misteri ruangan ini
muncul lagi cermin aneh di hadapannya.
Dina
memajukan kakinya mendekati cermin. Cermin yang memantulkan bayangan dirinya.
Sekilas cermin itu memantulkan memang bayangan dirinya namun ia melihat ada
keanehan. Bayangan dirinya tampak suram. Tak ada kebahagian terpancar dari
bayangan wajahnya. Rona kesedihan dan kemalangan
menghiasi wajah Dina yang tanpa jerawat itu.
“Apakah
itu bayanganku? Apakah itu benar-benar aku?” Berbagai pertanyaan mulai terbesit
di hatinya.
“Aku
adalah kamu, Dina. Aku adalah dirimu. Sisi lain dirimu yang selalu dilupakan,
tidak diinginkan dan tidak dicintai sama sekali oleh orang-orang dan...”
Bayangan dalam cermin itu berhenti berbicara.
Badan
Dina menegang mendengar bayangan cermin itu berbicara padanya. Semua yang
dikatakan bagai rantai besi yang membelenggu tubuh juga pikirannya. Ia serasa
dilempar ke dalam jurang masa lalu yang amat pedih.
“
Yang membunuh kedua orang tuamu sendiri.” Sosok wajah yang menyedihkan berubah
menjadi menyeramkan. Ia menyeriangi jahat ke arah Dina.
“Tidak!
Bukan aku yang membunuh mereka! Aku sayang mereka!” bantah Dina keras. Ia
menutup kedua daun telinganya mendengar perkataan bayangan cermin itu.
“Kau
yang sudah membunuh mereka, Dina! Kau yang tega menyia-nyiakan nyawa mereka
untuk kepuasanmu sendiri dan tiba waktumu untuk menyusul mereka...” bayangan
cermin juga membalas bantahan Dina. Kata–kata yang keluar dari mulutnya umpama
ribuan jarum-jarum tajam yang menyebar ke seluruh tubuhnya, mematikan
pergerakan sendinya.
“Jadi
biarkan aku mengambil nyawamu, Dina.” Bayangan dalam cermin itu lamat-lamat
mengeluarkan lengannya untuk mencapai leher Dina. Dina membeku, membiarkan
tangan itu menyentuh lehernya. Dina megap-megap. Cengkeraman tangan itu kuat
menjerat lehernya. Ia tak punya daya apa- apa menghentikan perbuatan
bayangannya sendiri.
Di
ranjangnya ia menangis seorang dirinya. Dina terlalu segan untuk membangunkan
paman dna bibinya untuk menemaninya sebentar, tapi syukurlah ia sudah terbebas
dari siksaan mimpi buruknya.
“Aku
harus memberitahu Iqbal besok! Harus!” tegas Dina dalam hatinya.
No comments:
Post a Comment