Friday, 17 July 2015

Cermin


Dina terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk yang dialaminya benar–benar membuatnya ketakutan. Keringat dingin membasahi piyamanya. Ia mengatur irama nafasnya yang memburu menjadi sedikit tenang. Ia kembali memutar ingatan akan mimpinya barusan.
            Ia bagai terdampar di sebuah ruangan redup, hampa, tak berpenghuni, hanya ia pertama kali menginjakkan kaki di sana. Dina linglung. Ia tak menjumpai seorang pun untuk diminta keterangan tentang keberadaannya sekarang. Seorang diri, ia coba menyusuri ruangan itu untuk mencari petunjuk.       Sepanjang perjalanannya, ia tak menemui siapapun. Ruangan itu s’perti jalan tak berujung yang entah kemana tujuannya.
            Kesunyian memancarkan auranya. Bulu kuduk Dina pelan-pelan menegak. Aroma mistis menyambutnya saat ia melewati ruangan ini. Sangking sunyinya, ia bahkan bisa mendengar langkah kakinya sendiri.
            “Apakah di sini ada orang?” Dina bersuara untuk memecah kesunyian di sana. Tapi suara nyaringnya hilang begitu saja ditelan kesunyian.
            Dina berhenti sejenak. Ia menyipitkan matanya untuk sesuatu yang berada tak jauh dari hadapannya.
            “Apa itu?” ujar Dina dalam batin. Ia melihat sekelebat  bayangan seorang wanita berambut sebahu, wajah agak kusam.
            “Sepertinya aku mengenal dia..” Dina melangkahkan kaki mendekati bayangan itu.
            “I-i-tu aku!” Dina terkesiap. Tak salah lagi wanita itu adalah dirinya– benarkah itu dia?
            Bayangan wanita itu pergi menjauhi Dina. Dina masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya segera mengejar bayangan itu.
            “Hey tunggu!” sergah Dina.
            Bayangan itu sudah luput dari pandangan mata Dina. Yang ditinggalkan bayangan wanita itu adalah senyuman lirih. Dina membisu melihat senyuman wanita itu dan menyadari wanita itu benar–benar dirinya. 
Dina terperangah sebuah cermin terpampang di hadapannya. Belum selesai dirinya mengungkap misteri ruangan ini muncul lagi cermin aneh di hadapannya.
            Dina memajukan kakinya mendekati cermin. Cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Sekilas cermin itu memantulkan memang bayangan dirinya namun ia melihat ada keanehan. Bayangan dirinya tampak suram. Tak ada kebahagian terpancar dari bayangan wajahnya. Rona kesedihan dan kemalangan menghiasi wajah Dina yang tanpa jerawat itu.
            “Apakah itu bayanganku? Apakah itu benar-benar aku?” Berbagai pertanyaan mulai terbesit di hatinya.
            “Aku adalah kamu, Dina. Aku adalah dirimu. Sisi lain dirimu yang selalu dilupakan, tidak diinginkan dan tidak dicintai sama sekali oleh orang-orang dan...” Bayangan dalam cermin itu berhenti berbicara.
            Badan Dina menegang mendengar bayangan cermin itu berbicara padanya. Semua yang dikatakan bagai rantai besi yang membelenggu tubuh juga pikirannya. Ia serasa dilempar ke dalam jurang masa lalu yang amat pedih.
            “ Yang membunuh kedua orang tuamu sendiri.” Sosok wajah yang menyedihkan berubah menjadi menyeramkan. Ia menyeriangi jahat ke arah Dina.
            “Tidak! Bukan aku yang membunuh mereka! Aku sayang mereka!” bantah Dina keras. Ia menutup kedua daun telinganya mendengar perkataan bayangan cermin itu.
            “Kau yang sudah membunuh mereka, Dina! Kau yang tega menyia-nyiakan nyawa mereka untuk kepuasanmu sendiri dan tiba waktumu untuk menyusul mereka...” bayangan cermin juga membalas bantahan Dina. Kata–kata yang keluar dari mulutnya umpama ribuan jarum-jarum tajam yang menyebar ke seluruh tubuhnya, mematikan pergerakan sendinya.
            “Jadi biarkan aku mengambil nyawamu, Dina.” Bayangan dalam cermin itu lamat-lamat mengeluarkan lengannya untuk mencapai leher Dina. Dina membeku, membiarkan tangan itu menyentuh lehernya. Dina megap-megap. Cengkeraman tangan itu kuat menjerat lehernya. Ia tak punya daya apa- apa menghentikan perbuatan bayangannya sendiri.
            Di ranjangnya ia menangis seorang dirinya. Dina terlalu segan untuk membangunkan paman dna bibinya untuk menemaninya sebentar, tapi syukurlah ia sudah terbebas dari siksaan mimpi buruknya.
            “Aku harus memberitahu Iqbal besok! Harus!” tegas Dina dalam hatinya.

No comments:

Post a Comment