Friday, 3 July 2015

Surat



Hujan menitik begitu saja dari langit. Walaupun mengenakan helm, aku masih bisa merasakan tetesan air membasahi tanganku. Untungnya hujan masih rintik–rintik, jadi aku tidak perlu memacu gas sepeda motorku lebih cepat.
Aku masih di perjalanan menuju ke rumahku. Sebuah jalan lurus yang membawaku jauh meninggalkan Perdagangan. Sebelum meninggalkan Perdagangan, aku melewati sebuah bekas pasar tradisional yang telah direlokasi dan kini terbengkalai. Sambil mempertahankan gas sepeda motorku, mataku melirik ke sebelah kanan .
Sebuah rumah sederhana bercat jingga, tempat tinggal seorang wanita yang dulu menjadi pujaan hatiku tapi sekarang hanya masa laluku. Anganku melambung jauh memutar ingatan sekitar setahun lalu .
“Kalian harus duduk di meja yang telah disusun berurut sesuai dengan nomor peserta dan jangan lupa membawa kartu peserta ujian nasional pada hari Senin. Selamat siang.“ Pak Lasman mengakhiri perkataannya dan mempersilahkan kami keluar dari ruangan. Aku melangkah menuju ruangan empat . Meysa belum juga keluar dari ruangannya.
“ Dit, antarkan aku ke rumah. Soalnya ayah dan ibuku pergi ke pesta jadi tak ada yang menjaga tokoku.“ ujar Andre dari belakang. Aku kaget mengetahui Andre muncul tiba–tiba dari belakangku.
“Oh iya iya.“ sahutku padanya. Sembari menuju tempat parkir di depan ruang kelas XI IPA 1, aku berharap supaya Meysa tetap berada di sekolah. Aku melajukan sepeda motorku begitu roda gigi sudah kutekan.
Butuh waktu lima menit mengantar Andre ke rumahnya dan langsung tancap gas ke sekolah. Aku sudah tiba dan kembali lagi mencari Meysa. Kulihat Meysa sedang bersama dengan teman – temannya dan Nana juga berada di sana. Tak mungkin kuberikan surat ini padanya jika ia masih dikelilingi oleh teman – temannya.
Aku memutuskan untuk menunggu sampai Nana dan teman–temannya menjauh dari Meysa. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Dari tempat dudukku, kuamati Meysa sedang mengeluarkan sepeda motornya dan kuhampiri dirinya.
“Sya, berikan ini pada Nana ya. Jangan sampai ketahuan teman–temannya.“ ujarku pada Meysa. Meysa mengangguk pelan seraya menyunggingkan senyum tipis ke arahku.
Aku berlalu dari hadapannya dan menaiki sepeda motorku, menghabiskan waktu di warung internet. Aku percaya Meysa akan memberikan surat itu kepada Nana.
Aku memberhentikan sepeda motorku tepat di depan warnet langgananku di jalan Sutomo. Aku melangkah ke dalam dan mencari komputer yang kosong. Ternyata masih banyak komputer yang kosong. Langsung saja kuambil dan meminta kepada operator warnet untuk mengaktifkan komputer di depanku.
Komputer telah aktif. Aku langsung mengklik ikon game online yang sering kumainkan. Sambil menungggu programnya berjalan, aku memikirkan apa reaksi Nana saat membaca suratku. Mungkin dia akan meremas–remas surat itu dan membuangnya atau bisa saja dia menyobek–nyobeknya sampai kecil–kecil, tak apa–apa ,yang terpenting aku sudah menyampaikan perasaanku.
Aku ingin kalian tahu bahwa sebenarnya aku ingin menyampaikan perasaanku langsung padanya. Tapi karena aku gengsi dan malu, aku mengurungkan niatku dan memilih surat sebagai perantara. Dalam surat itu aku ingin mengatakan bahwa ia adalah perempuan terindah yang pernah kucintai dan selamanya kumencintainya. Aku tahu pasti ia sudah memilih bersama dengan lelaki yang lebih baik dariku. Meskipun aku sakit, tapi aku bangga ia pernah singgah di hatiku dan menjadikannya kenangan terindah meskipun aku tak tahu apakah ia menganggap aku sebagai lelaki yang pernah singgah di hatinya.
Tak terasa, sudah dua jam aku berada di warnet dan waktu sewa komputer akan habis sekitar 10 menit lagi. Aku mulai menutup halaman Facebook ku tapi aku masih mendengarkan lagu favoritku via Youtube. Hatiku juga penasaran apakah Meysa sudah memberikan surat itu pada Nana. Untuk menjawab rasa penasaran itu, aku meninggalkan komputerku dan bergegas menuju sepeda motor.
Usai kubayar, aku menghidupkan mesin sepeda motorku. Aku mengarahkan sepeda motorku ke sekolah. Ya aku yakin mereka berdua masih berada di sekolah. Aku makin menarik gas lebih kencang.
Aku hampir sampai di simpang tiga menuju ke sekolah, mungkin sebentar lagi aku tiba. Kini aku sudah memasuki gerbang sekolah. Seperti yang kukatakan tadi, aku ingin memastikan apakah mereka berdua masih berada di sekolah atau tidak dan seperti dugaanku, mereka masih berada di sana . Aku melihat dari kejauhan, Nana sedang membaca suratku dengan posisi membelakangiku. Lega rasanya surat itu sudah dibaca olehnya. Aku memutar sepeda motorku ke kiri dan segera meninggalkan lingkungan sekolah.

No comments:

Post a Comment