Hujan menitik begitu saja dari langit.
Walaupun mengenakan helm, aku masih bisa merasakan tetesan air membasahi
tanganku. Untungnya hujan masih rintik–rintik, jadi aku tidak perlu memacu gas
sepeda motorku lebih cepat.
Aku masih di perjalanan menuju ke
rumahku. Sebuah jalan lurus yang membawaku jauh meninggalkan Perdagangan. Sebelum
meninggalkan Perdagangan, aku melewati sebuah bekas pasar tradisional yang
telah direlokasi dan kini terbengkalai. Sambil mempertahankan gas sepeda
motorku, mataku melirik ke sebelah kanan .
Sebuah rumah sederhana bercat jingga,
tempat tinggal seorang wanita yang dulu menjadi pujaan hatiku tapi sekarang
hanya masa laluku. Anganku melambung jauh memutar ingatan sekitar setahun lalu .
“Kalian harus duduk di meja yang telah
disusun berurut sesuai dengan nomor peserta dan jangan lupa membawa kartu
peserta ujian nasional pada hari Senin. Selamat siang.“ Pak Lasman mengakhiri
perkataannya dan mempersilahkan kami keluar dari ruangan. Aku melangkah menuju
ruangan empat . Meysa belum juga keluar dari ruangannya.
“ Dit,
antarkan aku ke rumah. Soalnya ayah dan ibuku pergi ke pesta jadi tak ada yang
menjaga tokoku.“ ujar Andre dari belakang. Aku kaget mengetahui Andre muncul tiba–tiba dari belakangku.
“Oh iya iya.“ sahutku padanya. Sembari
menuju tempat parkir di depan ruang kelas XI IPA 1, aku berharap supaya Meysa tetap
berada di sekolah. Aku melajukan sepeda motorku begitu roda gigi sudah kutekan.
Butuh waktu lima menit mengantar Andre
ke rumahnya dan langsung tancap gas ke sekolah. Aku sudah tiba dan kembali lagi
mencari Meysa. Kulihat Meysa sedang bersama dengan teman – temannya dan Nana
juga berada di sana. Tak mungkin kuberikan surat ini padanya jika ia masih
dikelilingi oleh teman – temannya.
Aku memutuskan untuk menunggu sampai
Nana dan teman–temannya menjauh dari Meysa. Akhirnya kesempatan itu datang juga.
Dari tempat dudukku, kuamati Meysa sedang mengeluarkan sepeda motornya dan kuhampiri
dirinya.
“Sya, berikan ini pada Nana ya. Jangan sampai ketahuan teman–temannya.“ ujarku pada
Meysa. Meysa mengangguk pelan seraya menyunggingkan senyum tipis ke arahku.
Aku berlalu dari hadapannya dan menaiki
sepeda motorku, menghabiskan waktu di warung internet. Aku percaya Meysa akan memberikan
surat itu kepada Nana.
Aku memberhentikan sepeda motorku tepat
di depan warnet langgananku di jalan Sutomo. Aku melangkah ke dalam dan mencari
komputer yang kosong. Ternyata masih banyak komputer yang kosong. Langsung saja
kuambil dan meminta kepada operator warnet untuk mengaktifkan komputer di
depanku.
Komputer telah aktif. Aku langsung
mengklik ikon game online yang sering kumainkan. Sambil menungggu programnya berjalan,
aku memikirkan apa reaksi Nana saat membaca suratku. Mungkin dia akan meremas–remas
surat itu dan membuangnya atau bisa saja dia menyobek–nyobeknya sampai kecil–kecil,
tak apa–apa ,yang terpenting aku sudah menyampaikan perasaanku.
Aku ingin kalian tahu bahwa sebenarnya
aku ingin menyampaikan perasaanku langsung padanya. Tapi karena aku gengsi dan
malu, aku mengurungkan niatku dan memilih surat sebagai perantara. Dalam surat itu aku ingin mengatakan bahwa ia adalah
perempuan terindah yang pernah kucintai dan selamanya kumencintainya. Aku tahu
pasti ia sudah memilih bersama dengan lelaki yang lebih baik dariku. Meskipun
aku sakit, tapi aku bangga ia pernah singgah di hatiku dan menjadikannya
kenangan terindah meskipun aku tak tahu apakah ia menganggap aku sebagai lelaki
yang pernah singgah di hatinya.
Tak terasa, sudah dua jam aku berada di
warnet dan waktu sewa komputer akan habis sekitar 10 menit lagi. Aku mulai
menutup halaman Facebook ku tapi aku masih mendengarkan lagu favoritku via
Youtube. Hatiku juga penasaran apakah Meysa sudah memberikan surat itu pada
Nana. Untuk menjawab rasa penasaran itu, aku meninggalkan komputerku dan
bergegas menuju sepeda motor.
Usai kubayar, aku menghidupkan mesin
sepeda motorku. Aku mengarahkan sepeda motorku ke sekolah. Ya aku yakin mereka
berdua masih berada di sekolah. Aku makin menarik gas lebih kencang.
Aku hampir sampai di simpang tiga menuju
ke sekolah, mungkin sebentar lagi aku tiba. Kini aku sudah memasuki gerbang
sekolah. Seperti yang kukatakan tadi, aku ingin memastikan apakah mereka berdua
masih berada di sekolah atau tidak dan seperti dugaanku, mereka masih berada di
sana . Aku melihat dari kejauhan, Nana sedang membaca suratku dengan posisi
membelakangiku. Lega rasanya surat itu sudah dibaca olehnya. Aku memutar sepeda
motorku ke kiri dan segera meninggalkan lingkungan sekolah.
No comments:
Post a Comment