Monday, 20 July 2015

Teman Berbagi Cerita



Aku berjalan menyusuri malam di bawah pendaran redup sinar lampu jalan. Kepalaku agak berat dan sedikit pusing. Langkah kakiku agak sempoyongan namun aku masih bisa melihat apa yang ada di sekelilingku termasuk lampu – lampu jalan yang berjajar di sepanjang jalan Sutomo.
            Semua tampak berbayang – bayang dan bergerak. Ini pasti karena aku terlalu banyak meminum tuak yang kubeli dari sebuah kedai kopi. Seingatku, aku sudah meminum 3 gelas sekaligus. Ya, kulakukan itu semua untuk menghilangkan frustrasiku.
            Aku kesal dengan sikap kedua orang tuaku yang menyalahkanku karena aku tidak lulus di ujian SBMTPN. Mereka terus mencecarku dengan sejumlah pertanyaan yang seolah mempertanyakan kegagalanku. Mereka mengungkit – ungkit biaya yang selama ini dikeluarkan untuk bimbingan les tambahan di Medan 2 bulan lalu.Mereka tidak mengerti betapa susahnya menjawab soal SBMPTN yang materinya di luar apa yang telah diajarkan oleh mentor kami.
            Aku tak tahan mendengar ocehan mereka, beranjak pergi, menuju ke kamar untuk menjemput jaketku. Aku ingin keluar, menenangkan hatiku yang panas karena ocehan mereka yang terus memojokanku.
            Sepanjang perjalanan, aku hanya berjalan tanpa tujuan, mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pelampiasan emosi. Air mataku meleleh, membasahi kasarnya pipiku. Di saat seperti ini, aku butuh sekali teman yang bisa mengerti perasaanku. Aku ingin berbagi cerita tentang keluh kesahku, tapi sayangnya aku tak menemukan mereka. Aku sendirian, menikamati pedihnya luka hati.
            Mataku tertuju pada sebuah kedai kopi yang dipadati oleh para lelaki yang kuduga sudah berumah tangga.Tak sedikit juga aku menemukan lelaki yang seumuran denganku, berbaur menjadi satu. Ada yang sedang bernyanyi diiringi oleh alunan senar gitar dan ada yang sekedar berbincang satu sama lain.  Mereka seolah tak memperdulikan kedatanganku ke sana, sibuk dengan urusan masing – masing.
            Kebetulan sekali, ada  meja kosong di belakang kelompok yang sedang bernyanyi. Aku menempatinya dan memesan satu gelas tuak. Tak butuh waktu lama, sang pelayan datang memberikan segelas tuak di hadapanku. Aku mengangkat gelas itu dan mengendus baunya.
            “ Wangi sekali kelihatannya ini enak. “ ujarku dalam hati seraya mengamati cairan putih mirip seperti susu dan berbau menyengat.
            Aku menyeruput sedikit cairan itu, ternyata pahit. Aku hampir saja membuangnya tapi kuurungkan karena ada rasa manis tercicip oleh lidahku dan aku mulai ketagihan. Aku menambah porsi tuak yang kuminum pada pelayan, tak kuperdulikan tatap mata para pengunjung kedai kopi keheranan melihatku yang terus menambah.
            Inilah yang hasilnya. Mataku berkunang – kunang dan kepalaku serasa berat seperti ditimpa beban berton – ton. Aku masuk dalam dunia delusi di mana aku lulus ujian SBMPTN dan orang tua serta teman - temanku memuji kehebatanku, rasanya aku seperti orang yang paling beruntung di dunia ini. Tapi kenyataannya tak begitu, aku merana dalam pengaruh alkohol yang menjerat pikiranku. Perutku bergejolak luar bisa, hendak mengeluarkan seisi perutku. Aku menyerah dan akhirnya muntah – muntah di jalan tersebut. Aku tak melihat seorang pun melintasi jalan itu walaupun kesadaranku mulai berkurang. Aku salah menduga. Rupanya, ada seseorang yang sedang duduk sambil meletakkan dagunya di atas lipatan kedua tangannya. Aku penasaran kenapa ada seseorang yang duduk sendirian larut malam begini.
            “ Apa yang sedang kau lakukan malam – malam begini, nyonya? Apa kau tidak takut masuk angin? “ tanyaku sambil menyeka sisa muntahan yang masih melekat di mulutku. Dalam sekejap, aku sudah bebas dari pengaruh alkiohol dan merasakan kesadaranku pulih.
            “ Tidak. Terimakasih. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku dengan melamun sepanjang malam ini. “ sahutnya .
            “ Hei kelihatan kau sedang sedih. Apa kau punya masalah? Bisakah kau membagikan ceritamu padaku? “Aku bisa melihat rupa wajah gadis itu . Agak pucat namun cocok sekali dengan kulitnya yang bersih dan putih. Pancaran matanya membuat gundah di hatiku hilang sesaat.
            “ Rupanya kau lelaki yang suka mencampuri masalah orang lain ya? “
            “ Tidak. Bukannya begitu.Aku hanya ingin mencari teman berbagi cerita saja. “ Aku sontak terkejut menanggapi sikapnya yang sinis.
            Dia terdiam beberapa saat begitu mendengar jawabanku sebelum ia membuka mulutnya, “ Kalau boleh tahu namamu siapa? “. “ Namaku Adit , namamu? “ aku bertanya balik padanya , “ Namaku Elia. “ sahutnya .
            Kami berjabatan tangan. Aku tersentak begitu menyentuh tangannya. Dingin sekali seperti baru keluar dari lemari es. Elia terheran melihat tingkah anehku lalu bertanya, “ Ada apa? “ , “ Tanganmu dingin sekali, apakah kamu sakit? “ balasku lagi, “ Sepertinya begitu. “ ujarnya singkat.
            “ Jadi apa masalahmu sampai – sampai kau mabuk malam – malam begini? “ Elia masih duduk di tanah tapi ia menaikkan tungkai kakinya lalu ditekuk90 derajat . Elia memasang wajah ingin tahu, berharap aku akan memulai cerita.
            Aku bercerita padanya mulai dari kekesalanku pada kedua orang tuaku hingga penyebab mengapa aku bisa mabuk malam – malam begini. Aku senang punya teman yang bisa diajak berbagi cerita dan tampaknya ia begitu serius mendengarkan ceritaku.
            “ Aku tahu terkadang kita juga kesal melihat orang tua kita yang memarahi kita kalau anaknya tak mencapai keberhasilan, tapi di balik itu semua, mereka sangat sayang pada kita, meskipun cara mereka menyampaikan nasihat terkesan seperti menyudutkan . Bukan hanya orang tuamu saja yang seperti itu tapi orang tuaku juga demikian. “ ungkap Elia padaku. Aku tak menyangka Elia bisa berbicara seperti itu. Ia terlihat bijaksana menyikapi masalahku.
            “ Makasih atas nasihatmu Elia, tak kusangka ternyata kau bijak juga . Hahaha . “ Aku tertawa lepas untuk mencairkan suasana sepi malam ini dan Elia juga turut tertawa bersamaku.
            “ Jadi apa yang kamu lakukan malam – malam begini, Elia? Apakah kamu tidak takut masuk angin? “
            “ Tidak. Lagipula masalahku tidak terlalu penting. Ini masalah percintaan saja. Masalah klise yang sering dihadapi remaja zaman sekarang. Aku baru saja putus dengan pacarku padahal aku sayang sekali padanya. Ia tega meninggalkan aku yang jelas – jelas sayang padanya dan lebih memilih pergi dengan perempuan lain yang akhir – akhir ini disukainya. “
            Aku menangkap pancaran kesedihan di bola mata Elia. Di sana, aku bisa melihat jelas kesungguhan hati Elia begitu mencintai pacarnya. Cerita yang dialaminya mirip dengan kejadian yang kualami dua minggu lalu. Ayu, pacarku yang sekarang menjadi mantanku, rela meninggalkanku demi kembali lagi dengan mantannya . Padahal aku selalu berusaha untuk membahagiakannya tapi dia malah tega berbuat seperti itu padaku .
            “ Tuhan ingin memberitahu bahwa orang yang sedang bersama kita bukanlah orang terbaik untuk kita. Aku yakin pasti rasanya sakit tapi kalau kita bisa belajar dari rasa sakit itu, percayalah,Tuhan akan tunjukkan jalan. “ ungkapku sambil melirik sedikit ke wajah Elia. Elia mengetahui diriku melihatnya diam – diam, cuma tersenyum manis sembari membuang wajahnya ke kiri.
            “ Adit. Apa kamu di sana? “
            Di sela cerita, aku mendengar sayup - sayup suara memanggil diriku dari belakang. Aku mengenal betul suara itu dan sesuai perkiraanku, suara itu adalah suara ibuku. Dari nada suaranya, sepertinya ibuku sedang mencariku .
            “ Elia sepertinya aku harus pulang. Ibuku sudah menjemputku. “ Aku bangkit berdiri meninggalkan Elia di belakangku. Rasa kesal di hati sudah sirna dan aku siap menemui ibuku.
            “ Adit, kamu dari mana saja nak? Malam – malam begini kamu keluyuran. “ ungkap ibuku setengah khawatir.
            “ Ibu, maafkan Adit ya, kalau Adit tak bisa jadi anak yang berguna untuk ayah & ibu. “ jelasku agak merendah. Wajahku menunduk penuh penyesalan.
            “ Seharusnya kami berdua yang minta maaf. Kamilah terlalu menyalahkan kamu.  “ Ibuku memegang pipi kiriku, dielusnya pelan. Kurasakan kenyamanan seperti di surga jika aku bersama dengan ibuku.
            Kami berdua pulang bersama menuju rumah, tapi satu hal yang tak kusadari, Elia sudah pergi lebih cepat daripada kami. Sambil melangkah pergi, sengaja kepalaku menoleh ke belakang, memastikan apakah Elia memang sudah jauh dari kami. Aku melihat Elia melambaikan tangan ke arahku sambil memberikan senyuman dingin dan tubuh Elia menghilang perlahan tersapu hembusan angin malam.
            Seketika bulu kudukku meremang.

Selesai

No comments:

Post a Comment