Friday, 24 February 2017

Sang Novelis - 7



Keributan Kecil
            “Nanti sekitar jam setengah dua saya akan telepon Pak Tono,” kata Ervano sambil menutup pintu mobil.
            “Baik, Pak Ervano,” sahut Pak Tono sambil pergi bersama dengan mobilnya.
            Lelaki berkemeja itu melangkah terburu-buru. Tak bisa melambat untuk beberapa detik. Para anak didiknya mungkin sudah mengomel ketika guru mereka tak kunjung datang. Atau mungkin, salah satu anak didiknya akan mengusulkan pulang lebih cepat.
            Oh ini tidak bisa dibiarkan, cegah batin Ervano.
            Ervano memberi senyuman terpaksa ketika Miarnia, sang gadis resepsionis yang baru bekerja sebulan lalu, menyapa dirinya.
            “Pak Ervano, kelas menulis sudah mulai lima belas menit yang lalu—“
            “Ya saya tahu, Miar,” tukas Ervano sambil menaiki anak tangga yang berada di balik dinding beton itu.
            Gedung ini terdiri dari empat lantai. Lantai pertama diisi bagian administrasi dan kantin para murid les dan karyawan. Di lantai ini juga terdapat tiga ruangan untuk para murid les Matematika. Mereka dibedakan berdasarkan tingkat sekolah. Ruangan pertama untuk sekolah dasar. Lalu, ruangan kedua untuk tingkat menengah pertama dan terakhir untuk menengah atas. Lantai kedua untuk para murid les pelajaran Bahasa Inggris. Disusun sama berdasarkan tingkat sekolah. Lantai ketiga untuk para murid les komputer. Dan terakhir kelas menulis berada spesial di sebuah ruangan paling atas bersebelahan dengan kantor pusat seluruh jajaran pegawai Amazing Children Course. Hanya dibatasi sebuah dinding beton yang di sampingnya terdapat pintu.
            “Selamat siang, anak-anak,” salam Ervano di tengah keributan para anak lesnya.
            Mereka semua memutuskan hening cipta beberapa sebelum Ervano tiba di depan meja meletakkan tas sandang hitam miliknya.
            “Maafkan Bapak, Adik-adik sekalian. Tadi Bapak terjebak macet parah.”
            “Coba hitung berapa kali Bapak pakai alasan sama seperti keterlambatan Bapak sebelumnya?” tanya seorang anak remaja berambut belah samping sambil menatap tak senang pada guru mereka.
            Ervano bungkam begitu kata-kata tajam itu berhasil menohok kesalahannya. Ia tak berani menatap wajah para anak didik berbalut emosi tingkat tinggi. Lelaki itu memalingkan wajah sejenak. Bisa jadi memikirkan kesalahan yang memang tidak bisa ditoleransi para anak didiknya.
            “Kalau kami terlambat lima menit saja kami sudah dicecar macam-macam pertanyaan perihal alasan keterlambatan kami. Tapi kalau Bapak yang terlambat, kami hanya bisa maklum dan terus maklum. Karena macet, macet dan macet. Mengapa Bapak tidak berangkat lebih cepat saja?”
            “Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nak?” tanya Ervano sambil menunjuk pada anak lelaki itu.
            “Nasid Hatanto, Pak Ervano,” jawab lelaki itu, mantap.
            “Terimakasih, Nasid, kamu mau mengingatkan kesalahan saya. Saya berjanji mulai hari ini, saya akan mengubah kebiasaan buruk saya. Tapi ingin bertanya satu hal pada kamu,” ujar Ervano sambil menggantung perkataannya.
            “Bertanya tentang apa, Pak?
            “Menurut teman-teman yang mengenalmu, bagaimana kira-kira sifat atau karakter kamu?”
            Nasid mencoba berpikir sejenak sambil melirik ke arah teman-teman yang berada di belakang maupun di sampingnya. Mungkin dengan melirik teman-temannya, ada jawaban jujur mengenai sifat dirinya.
            “Kata teman-teman sih, aku itu orangnya ceplas-ceplos. Terlampau jujur. Tapi teman-teman juga bilang saya ini bisa dipercaya. Begitu,” pungkas Nasid.
            “Baiklah kalau begitu. Silakan duduk, Nasid. Kamu tahan juga berdiri lama-lama,” seloroh Ervano sambil merogoh sebuah marker dari tas hitam. Nasid menurunkan bokong perlahan-lahan sambil menunduk malu saat mendengar derai tawa teman-temannya.
               Ketika marker sudah di tangan, Ervano melangkah menuju papan putih sambil menorehkan sebuah tulisan di dalam papan putih. KARAKTERISASI.
            “Oke, ada yang mengetahui definisi dari karakterisasi?”
            Belum lama pertanyaan diajukan Ervano, seorang perempuan dengan sigap mengacungkan jari telunjuk.
            “Ya kamu, Eveline.”
            “Karakterisasi itu penempatan karakter dalam sebuah cerita, Pak Ervano,” jawab perempuan itu, lugas.
            That’s right, Baby. Tapi saya ingin menambahkan sedikit mengenai jawaban kamu. Karakterisasi adalah penempatan karakter tokoh dalam alur cerita yang berguna mempertajam konflik,” tambah Ervano sambil menuliskan kata-kata yang diucapkan di papan putih.
            “Banyak cara pengarang dalam memaparkan karakter tokoh dalam ceritanya. Salah satunya, pengarang memaparkan secara langsung lewat narasi. Biasanya memaparkan karakter tokoh secara langsung menggunakan sudut pandang ketiga. Dan untuk sudut pandang akan kita pelajari setelah kita selesai membahas tuntas tentang karakterisasi,” jelas Ervano, rinci.
            “Lalu, bagaimana secara tidak langsung?” tanya salah satu murid Ervano, lagi.
            “Pemaparan secara tidak langsung bisa dilakukan lewat dialog antar tokoh, reaksi tokoh terhadap lingkungan, penggambaran lewat keadaan fisik, dan sebagainya. Jika ada di antara kita mengetahui cara lain menempatkan karakter tokoh, bisa sharing di kelas ini.” Ketika akan mengakhiri perkataannya, Ervano melihat sosok berjaket merah sedang menaiki tangga, berjalan menuju ke kelasnya.
            “Tunggu sebentar,” tahan Ervano sebentar.
            Karena lapisan kaca yang menempel di pintu begitu tebal, Ervano menyibakkan gorden jendela untuk mengetahui siapa sosok berjaket merah itu.
            “Ada apa di luar sana, Pak?” tanya salah seorang anak didik Ervano.
            “Tidak. Tidak ada apa-apa. Oh ya, guna meningkatkan pemahaman kalian mengenai karakterisasi, saya menugaskan kalian menulis sebuah cerpen sebanyak empat sampai lima halaman. Dan ingat. Harus ada unsur pemaparan karakterisasi dalam cerpen kalian. Dalam waktu satu setengah jam, cerpen itu sudah harus siap. Mengerti?”
            “Dalam satu setengah jam?” tanya salah satu murid perempuan Ervano, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan gurunya.
            “Ya dalam satu setengah jam. Kalau kalian malas menulis pakai kertas, ketik pakai laptop kalau kalian mau.” Ervano memperjelas perkataannya.
            Tak banyak memprotes apa yang ditugaskan Ervano untuk mereka. Cuma wajah-wajah cemberut menyiratkan sedikit keengganan mengerjakan tugas. Sementara para murid mengerjakan tugas, Ervano menarik gagang pintu, keluar dari ruangan.
            Usai menutup pintu, Ervano pelan-pelan melangkah menuju ruang kantor. Menekan gagang pintu, lelaki itu mengintip ruangan bagian dalam kantor. Tidak ada siapa-siapa. Hanya alat-alat kantor teronggok diam dalam keheningan. Lalu menuju bagian samping ruang kantor. 
            Lagi-lagi tidak ada siapapun. Tak ada seseorang bersembunyi kemudian menyorakkan ‘cilukba’ pada Ervano. Ia menaruh keyakinan pasti sosok berjaket itu barusan menaiki tangga. Kemudian, cepat-cepat turun tangga ketika Ervano mencoba memastikan identitas sosok itu.
            Satu per satu jejak kaki ditinggalkan pada anak tangga. Gerak bola mata berputar liar meskipun dimensi gedung kursus tidak terlalu lebar. Memastikan tak satu pun sudut-sudut gedung di lantai bawah yang ketinggalan.
            Semua tampak baik-baik saja. Sepanjang pengamatan Ervano. Kegiatan belajar mengajar di Amazing Children Course berlangsung kondusif. Ia takut sosok berjaket itu menebar bibit teror atau kekacauan yang bisa mengganggu ketenangan para anak didik.
            “Pak Ervano,” sapa seorang perempuan di bagian administrasi.
            “Ada apa, Miar?” sahut perempuan itu.
            “Ada sebuah amplop khusus untuk Bapak.” Sambil memberikan amplop cokelat itu pada Ervano.
            “Dari siapa ini? Kamu tidak kenal siapa orangnya?”
            Perempuan berwajah pias itu menggeleng pelan. “Kalau begitu terimakasih ya.”
            Dihantui penasaran, batin Ervano menuntut satu pertanyaan. Dari siapa ya ini? tangan besar Ervano mulai menyentuh gulungan kecil yang melilit amplop.
            Ah, tidak usah. Nanti saja di rumah, urung hati Ervano seraya meletakkan amplop itu di dalam kemeja.
            Ervano teringat satu hal. Itu yang membuatnya bergegas menaiki tangga.
            “Bagaimana semuanya, sudah selesai?”
            “Belum,” jawab serentak anak didik Ervano.
            “Kalau begitu, kita lanjutkan besok saja. Sekalian kita koreksi. Sekarang tutup buku kalian, kita pulang,” tutup Ervano sambil meraih tas sandang di pundak.
            Saat anak-anak keluar dari ruangan, Ervano diam-diam menarik amplop lalu menaruhnya dalam tas.

Tuesday, 21 February 2017

Sang Novelis - 6



Seperti Tidak Asing
            Kali ini Ervano merutuki dirinya sendiri. Kebiasaan lupa waktu dan sering telat harus mulai diubah perlahan-lahan. Untuk mandi pun, ia harus cepat-cepat. Sekitar tujuh menit bergegas di kamar mandi sambil mengenakan pakaian. Dengan satu stel kemeja lengan panjang motif kotak-kotak hitam dan merah, masih di depan rumah menunggu sang sopir datang.
            “Telat lagi, telat lagi,” gerutu Ervano pada dirinya sendiri.
            “Tapi siapa ya penulis novel itu? Tadi nggak sempat kuperhatikan pula.”
            Sambil menunggu sang sopir datang, lelaki itu masih punya waktu untuk menebak-nebak nama penulis itu.
            “Huruf depannya kalau enggak salah A. Huruf terakhir yang disingkat A. Dan terakhir Lane. Aku seperti tidak asing dengan nama penulis ini,” analisa Ervano dalam pikiran.
            Sangking sibuk dengan pikiran sendiri, Ervano tidak menyadari bahwa sang sopir sudah berada di depannya sambil menekan klakson. Lelaki itu sempat terlonjak sambil mengelus dada.
            “Ah! Pak Tono bikin kaget aja. Untung jantung saya kuat,” omel Ervano sambil menekan pintu mobil lalu duduk di atas jok belakang.
            “Maaf, Pak Ervano. Habis Bapak kelihatan lagi sibuk ngomong sendiri. Memangnya Bapak lagi memikirkan apa sih?”
            “Itu bukan urusan kamu. Ayo cepat. Saya sudah terlambat,” perintah Ervano.
            Sang sopir mengangguk pelan. Mobil itu membiarkan dirinya melaju kencang oleh tarikan tuas persneling. Meninggalkan sebuah kediaman bertingkat dua dengan balkon pagar hitam. Sosok berjaket merah ikut pergi menyusul mereka dari belakang.

Wednesday, 15 February 2017

Sang Novelis - 5



CV. Lifay Media
            Tidak memakan waktu cukup lama tiba di percetakan milik istrinya. Cukup menjaga laju sepeda motor konstan pada kecepatan 60 km/jam untuk menempuh perjalanan sejauh enam kilometer. Begitu melepas helm, Ervano meletakkan sepeda motor di area parkir tempat para pegawai percetakan juga memarkirkan kendaraan mereka.
            Seperti biasa, percetakan ini selalu ramai dengan aktivitas para pegawai. Liane Fayani, istri Ervano sekaligus owner CV. Lifay Media. Perempuan semampai itu sedang mengamati pekerjaan para pegawainya. Dua orang laki-laki sedang melakukan finishing pada signatures. Sebelum diproses lebih lanjut ke bagian penjilidan, perempuan itu mengecek apakah kertas yang dipakai sudah sesuai dengan standar kualitas sekaligus mengecek apakah tinta meresap merata pada signatures.
            “Oke, cukup bagus. Berikan ke Ibu Liyana, bagian penjilidan sekaligus diberi soft cover Art Carton 260 gsm,” perintah perempuan itu. Para pegawai mengangguk pelan sambil melanjutkan tugas mereka.
            Saat kedua lelaki itu pergi, Ervano segera menghampiri perempuan itu.
            “Perempuan yang berdedikasi pada pekerjaan. Itu yang kusuka dari kamu, Liane Fayani. Makanya aku memutuskan untuk menikahi kamu,” gombal Ervano. Ia berdiri di samping Fayani.
            “Gak usah sok-sokan manggil nama lengkapku. Oh ya, jangan sok ngegombal juga,” sahut Fayani tanpa menoleh ke arah suaminya. Tapi Ervano tahu kalau lesung pipi istrinya sempat memerah.
            “Oh ya, manajer kamu datang.”
            “Maksud kamu, Violana?” tanya Ervano memastikan.
            Fayani mengangguk pelan. “Dia lagi main-main sama anak kita.”
            Ervano melihat dengan kedua matanya kalau perempuan setinggi 163 sentimeter itu sedang bermain kejar-kejaran dengan anaknya. Gelak tawa si anak perempuan melengking dalam percetakan ketika manajer Ervano dengan gemas mengejar anak perempuan itu.
            “Ayo lari yang kencang, Nak. Jangan sampai kamu diterkam tante galak itu,” ucap Ervano sambil memberi semangat pada anaknya.
            Si anak perempuan yang mengetahui sang ayah sudah datang, segera mempercepat lari kedua kaki mungil itu menuju sang ayah yang masih berdiri bersama dengan ibunya.
            Ayaaahhh,” sorak anak perempuan itu sambil menyongsong ke dekapan sang ayah.
            “Itu anak kamu?” tanya Violana.
            “Ya. Namanya Erya Uli Favani. Umurnya baru satu setengah tahun.” Ervano memindahkan sang anak ke pangkuan ibunya. Sambil menyampirkan kain gendongan ke tubuh sang anak, membawa sang anak pergi meninggalkan sang ayah.
            Dadda, ayah,” ujar sang anak sambil melambaikan tangan mungilnya.
            Ervano juga balas dengan melambaikan tangannya.
            “Anak kamu hebat ya. Baru dua tahun, gerakannya udah lincah banget. Pasti kelincahannya nurun dari ibunya. Enggak mungkin dari ayahnya. Oh ya, nama panggilannya apa?”
            “Panggil aja dia Ria. Tapi tumben kamu datang ke tempat percetakan ini? Biasanya kamu lebih suka datang ke rumah,” tanya Ervano sambil mengambil sebatang rokok kretek dari dalam saku jaketnya.
            “Ya aku cuma mau lihat-lihat aja tempat kerja istri kamu. Ini betul-betul usaha milik istrimu?” tanya Violana dengan mimik agak serius.
            “Ini hasil kerjasama dari patungan modal dari teman-teman istriku waktu kuliah. Dia itu jago banget bernegosiasi sama teman-temannya. Padahal teman-temannya sempat ragu kalau usaha seperti ini akan bertahan lama. Ternyata mereka salah besar. Dan inilah hasilnya. Bisa kamu lihat sendiri, kan?” Ervano merentangkan kedua lengannya sambil menunjuk ke seluruh penjuru ruangan percetakan.
            Violana berdecak kagum melihat usaha percetakan milik istri Ervano. Banyak karyawan yang bekerja ulet dan ekstra teliti. Mesin percetakan offset berkisar sekitar tiga unit beroperasi maksimal mencetak berlembar-lembar barang produksi percetakan seperti beraneka macam buku tulis dan kartu undangan.
            “Seharusnya kamu bisa meniru cara kerja istri kamu yang gesit dan terampil. Enggak lambat dan terkesan malas seperti kamu,” sindir Violana sengaja.
            “Tiap orang itu berbeda-beda, Violana, termasuk sifat jelek mereka. Ya istriku dia memang sudah dari sana orangnya gesit terampil dan cekatan. Aku pun juga begitu,” kilah Ervano.
            “Tapi bukan berarti kamu bisa membiarkan semua orang memaklumi sifat jelek kamu, Tuan Ervano. Setiap orang juga perlu mengubah diri mereka demi kebaikan sekaligus perkembangan diri mereka,” sanggah Violana dengan sedikit nasihat filsafat.
            “Ok, ok, baiklah Nyonya tukang debat. Aku mengaku kalah. Aku menyerah. Aku akan mengubah sifat jelekku mulai dari sekarang. Kau dengar?”
            “Bagus,” ucap Violana dengan senyum mengembang di bibir. “Kalau begitu aku pergi dulu. Aku punya urusan mendadak. Bye,” pamit sang manajer pada Ervano sekaligus istrinya. 
            Ketika Violana dengan ujung rambut agak pirang melangkah keluar, sebuah mobil APV hitam sudah menunggu untuk dinaiki. Begitu Violana sudah berada di dalam mobil, sang sopir menekan pedal rem, menjauh dari percetakan milik Fayani.
            “Sekarang giliran kamu,” ucap Ervano begitu Fayani sudah berada di sampingnya.
            “Masalah sarapan kamu pagi ini?” terka Fayani sambil menimang-nimang anaknya dalam balutan kain gendongan.
            “Kerja sih kerjatapi kamu harus mengutamakan suamimu juga dong. Tadi masa aku bangun pagi, di tudung saji enggak ada makanan apapun.”
            “Tapi bukan berarti kamu enggak bisa masak apapun kan? Setidaknya kamu bisa masak telur dadar,” bela Fayani.
            “Iya aku tahu,—“
            “Lantas, enggak ada yang perlu dipermasalahkan ‘kan? Jadi enggak usah sok manja deh.”
            “Argh. Enggak manajer enggak istri, sama-sama tukang debat. Tapi, omong-omong, apa sih yang kamu kerjakan selama tiga hari ini makanya kamu sibuk terus?” tanya Ervano agak dongkol.
            “Kamu tahu usaha percetakan kita ini berada di lini sebuah penerbit indie, Tulis Cerita. Dan salah satu naskah novel yang masuk antrian di percetakan kita itu, ada yang best seller.”
            “Terus?” tanya Ervano berlagak cuek.
            “Novel ini sudah masuk cetakan ketiga dan pemesannya hampir seratus ratus orang.”
            “Apa judul novel itu?” tanya Ervano mulai penasaran.
             Fayani mengambil satu buku jadi lalu diberikan kepada suaminya.
            “OTAK PIKIRAN?” tanya Ervano sambil melihat novel yang diberikan Fayani.
            Lelaki itu mengamati secara seksama novel di tangannya. Cover dengan duotone merah tua dan hitam. Ilustrasi novel terdapat gambar separuh tubuh seorang laki-laki dengan tempurung kepala menampakkan bagian otak. Di cover  novel, terdapat tulisan ‘a psychothriller novel’ dan ‘bestseller’.
            “Ini novel yang kamu bilang bestseller?”
            “Kalau dihitung mulai dari pre order pertama sampai ketiga, pemesan novel ini sudah mencapai tiga ratus orang. Mantap bukan?” ujar Fayani, terkesima.
            “Dari judulnya aku sudah bisa mengira kalau ini novel thriller psikologi. Judul menarik tapi dari segi warna, mungkin kamu harus beri perpaduan hitam dan coklat tua biar terkesan misterius dan angker. Ilustrasi laki-laki bisa diberi warna serupa dengan warna duotone cover. Itu dari aku. Terserah kamu terima atau tidak,” anjur lelaki itu sambil memberikan novel di tangannya kembali pada sang istri.
            “Hmm, saran diterima. Mungkin saran kamu berguna kalau ada yang mau menerbitkan novel lain setelah yang satu ini,” pungkas Fayani.
            “Eh omong-omong, sudah jam berapa ini?” tukas Ervano.
            “Jam sebelas tepat. Kam—“
            “Aku pergi ya, Fayani. Jaga anak kita baik-baik,” pamit Ervano, “Oh ya, aku beli novelnya satu untuk baca-baca di rumah.”
            Hmm, pantas saja manajernya sering marah-marah.