Keributan
Kecil
“Nanti sekitar jam setengah dua saya akan telepon Pak
Tono,” kata Ervano sambil menutup pintu mobil.
“Baik, Pak Ervano,” sahut Pak Tono sambil pergi bersama
dengan mobilnya.
Lelaki berkemeja itu melangkah terburu-buru. Tak bisa
melambat untuk beberapa detik. Para anak didiknya mungkin sudah mengomel ketika
guru mereka tak kunjung datang. Atau mungkin, salah satu anak didiknya akan
mengusulkan pulang lebih cepat.
Oh ini tidak bisa
dibiarkan, cegah batin Ervano.
Ervano memberi senyuman terpaksa ketika Miarnia, sang
gadis resepsionis yang baru bekerja sebulan lalu, menyapa dirinya.
“Pak Ervano, kelas menulis sudah mulai lima belas menit
yang lalu—“
“Ya saya tahu, Miar,” tukas Ervano sambil menaiki anak
tangga yang berada di balik dinding beton itu.
Gedung ini terdiri dari empat lantai. Lantai pertama
diisi bagian administrasi dan kantin para murid les dan karyawan. Di lantai ini
juga terdapat tiga ruangan untuk para murid les Matematika. Mereka dibedakan
berdasarkan tingkat sekolah. Ruangan pertama untuk sekolah dasar. Lalu, ruangan
kedua untuk tingkat menengah pertama dan terakhir untuk menengah atas. Lantai
kedua untuk para murid les pelajaran Bahasa Inggris. Disusun sama berdasarkan
tingkat sekolah. Lantai ketiga untuk para murid les komputer. Dan terakhir
kelas menulis berada spesial di sebuah ruangan paling atas bersebelahan dengan
kantor pusat seluruh jajaran pegawai Amazing
Children Course. Hanya dibatasi sebuah dinding beton yang di sampingnya
terdapat pintu.
“Selamat siang, anak-anak,” salam Ervano di tengah
keributan para anak lesnya.
Mereka semua memutuskan hening cipta beberapa sebelum
Ervano tiba di depan meja meletakkan tas sandang hitam miliknya.
“Maafkan Bapak, Adik-adik sekalian. Tadi Bapak terjebak
macet parah.”
“Coba hitung berapa kali Bapak pakai alasan sama seperti
keterlambatan Bapak sebelumnya?” tanya seorang anak remaja berambut belah
samping sambil menatap tak senang pada guru mereka.
Ervano bungkam begitu kata-kata tajam itu berhasil
menohok kesalahannya. Ia tak berani menatap wajah para anak didik berbalut
emosi tingkat tinggi. Lelaki itu memalingkan wajah sejenak. Bisa jadi
memikirkan kesalahan yang memang tidak bisa ditoleransi para anak didiknya.
“Kalau kami terlambat lima menit saja kami sudah dicecar
macam-macam pertanyaan perihal alasan keterlambatan kami. Tapi kalau Bapak yang
terlambat, kami hanya bisa maklum dan terus maklum. Karena macet, macet dan
macet. Mengapa Bapak tidak berangkat lebih cepat saja?”
“Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nak?” tanya Ervano
sambil menunjuk pada anak lelaki itu.
“Nasid Hatanto, Pak Ervano,” jawab lelaki itu, mantap.
“Terimakasih, Nasid, kamu mau mengingatkan kesalahan
saya. Saya berjanji mulai hari ini, saya akan mengubah kebiasaan buruk saya.
Tapi ingin bertanya satu hal pada kamu,” ujar Ervano sambil menggantung
perkataannya.
“Bertanya tentang apa, Pak?
“Menurut teman-teman yang mengenalmu, bagaimana kira-kira
sifat atau karakter kamu?”
Nasid mencoba berpikir sejenak sambil melirik ke arah
teman-teman yang berada di belakang maupun di sampingnya. Mungkin dengan
melirik teman-temannya, ada jawaban jujur mengenai sifat dirinya.
“Kata teman-teman sih, aku itu orangnya ceplas-ceplos.
Terlampau jujur. Tapi teman-teman juga bilang saya ini bisa dipercaya. Begitu,”
pungkas Nasid.
“Baiklah kalau begitu. Silakan duduk, Nasid. Kamu tahan
juga berdiri lama-lama,” seloroh Ervano sambil merogoh sebuah marker dari tas hitam. Nasid menurunkan
bokong perlahan-lahan sambil menunduk malu saat mendengar derai tawa
teman-temannya.
Ketika marker sudah di tangan, Ervano melangkah
menuju papan putih sambil menorehkan sebuah tulisan di dalam papan putih.
KARAKTERISASI.
“Oke, ada yang mengetahui definisi dari karakterisasi?”
Belum lama pertanyaan diajukan Ervano, seorang perempuan
dengan sigap mengacungkan jari telunjuk.
“Ya kamu, Eveline.”
“Karakterisasi itu penempatan karakter dalam sebuah
cerita, Pak Ervano,” jawab perempuan itu, lugas.
“That’s right, Baby.
Tapi saya ingin menambahkan sedikit mengenai jawaban kamu. Karakterisasi adalah
penempatan karakter tokoh dalam alur cerita yang berguna mempertajam konflik,” tambah
Ervano sambil menuliskan kata-kata yang diucapkan di papan putih.
“Banyak cara pengarang dalam memaparkan karakter tokoh
dalam ceritanya. Salah satunya, pengarang memaparkan secara langsung lewat
narasi. Biasanya memaparkan karakter tokoh secara langsung menggunakan sudut
pandang ketiga. Dan untuk sudut pandang akan kita pelajari setelah kita selesai
membahas tuntas tentang karakterisasi,” jelas Ervano, rinci.
“Lalu, bagaimana secara tidak langsung?” tanya salah satu
murid Ervano, lagi.
“Pemaparan secara tidak langsung bisa dilakukan lewat
dialog antar tokoh, reaksi tokoh terhadap lingkungan, penggambaran lewat
keadaan fisik, dan sebagainya. Jika ada di antara kita mengetahui cara lain
menempatkan karakter tokoh, bisa sharing
di kelas ini.” Ketika akan mengakhiri perkataannya, Ervano melihat sosok
berjaket merah sedang menaiki tangga, berjalan menuju ke kelasnya.
“Tunggu sebentar,” tahan Ervano sebentar.
Karena lapisan kaca yang menempel di pintu begitu tebal,
Ervano menyibakkan gorden jendela untuk mengetahui siapa sosok berjaket merah
itu.
“Ada apa di luar sana, Pak?” tanya salah seorang anak
didik Ervano.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Oh ya, guna meningkatkan
pemahaman kalian mengenai karakterisasi, saya menugaskan kalian menulis sebuah
cerpen sebanyak empat sampai lima halaman. Dan ingat. Harus ada unsur pemaparan
karakterisasi dalam cerpen kalian. Dalam waktu satu setengah jam, cerpen itu
sudah harus siap. Mengerti?”
“Dalam satu setengah jam?” tanya salah satu murid
perempuan Ervano, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan gurunya.
“Ya dalam satu setengah jam. Kalau kalian malas menulis
pakai kertas, ketik pakai laptop kalau kalian mau.” Ervano memperjelas
perkataannya.
Tak banyak memprotes apa yang ditugaskan Ervano untuk
mereka. Cuma wajah-wajah cemberut menyiratkan sedikit keengganan mengerjakan
tugas. Sementara para murid mengerjakan tugas, Ervano menarik gagang pintu,
keluar dari ruangan.
Usai menutup pintu, Ervano pelan-pelan melangkah menuju
ruang kantor. Menekan gagang pintu, lelaki itu mengintip ruangan bagian dalam
kantor. Tidak ada siapa-siapa. Hanya alat-alat kantor teronggok diam dalam
keheningan. Lalu menuju bagian samping ruang kantor.
Lagi-lagi tidak ada siapapun. Tak ada seseorang
bersembunyi kemudian menyorakkan ‘cilukba’ pada Ervano. Ia menaruh keyakinan
pasti sosok berjaket itu barusan menaiki tangga. Kemudian, cepat-cepat turun
tangga ketika Ervano mencoba memastikan identitas sosok itu.
Satu per satu jejak kaki ditinggalkan pada anak tangga.
Gerak bola mata berputar liar meskipun dimensi gedung kursus tidak terlalu
lebar. Memastikan tak satu pun sudut-sudut gedung di lantai bawah yang
ketinggalan.
Semua tampak baik-baik saja. Sepanjang pengamatan Ervano.
Kegiatan belajar mengajar di Amazing
Children Course berlangsung kondusif. Ia takut sosok berjaket itu menebar
bibit teror atau kekacauan yang bisa mengganggu ketenangan para anak didik.
“Pak Ervano,” sapa seorang perempuan di bagian
administrasi.
“Ada apa, Miar?” sahut perempuan itu.
“Ada sebuah amplop khusus untuk Bapak.” Sambil memberikan
amplop cokelat itu pada Ervano.
“Dari siapa ini? Kamu tidak kenal siapa orangnya?”
Perempuan berwajah pias itu menggeleng pelan. “Kalau
begitu terimakasih ya.”
Dihantui penasaran, batin Ervano menuntut satu pertanyaan.
Dari siapa ya ini? tangan besar
Ervano mulai menyentuh gulungan kecil yang melilit amplop.
Ah, tidak usah.
Nanti saja di rumah, urung hati Ervano seraya meletakkan amplop itu di
dalam kemeja.
Ervano teringat satu hal. Itu yang membuatnya bergegas menaiki
tangga.
“Bagaimana semuanya, sudah selesai?”
“Belum,” jawab serentak anak didik Ervano.
“Kalau begitu, kita lanjutkan besok saja. Sekalian kita
koreksi. Sekarang tutup buku kalian, kita pulang,” tutup Ervano sambil meraih
tas sandang di pundak.
Saat anak-anak
keluar dari ruangan, Ervano diam-diam menarik amplop lalu menaruhnya dalam tas.