Saturday, 4 February 2017

Sang Novelis - 2



Ervano Hansloffa
            Sewaktu kecil, kita tidak pernah memikirkan sejauh mana bisa mengembangkan diri demi kemajuan hidup. Termasuk cita-cita dan impian hidup. Pikiran masa kecil kita lebih memilih apa yang menarik terlihat mata polos dan pancaran pesona profesi orang tua atau orang lain. Lelaki ini juga menganut prinsip bahwa hidup tidak usah terlalu memikirkan apa itu cita-cita dan impian. Semua bisa dikejar di waktu yang tepat. Tuhan akan berikan momen-momen terbaik saat kau sudah beranjak dewasa. Mengenal dunia secara keseluruhan.
            Semasa Sekolah Dasar, seorang guru pernah menanyakan pada Ervano perihal cita-cita jika sudah beranjak dewasa.
            “Ervano, kalau kamu sudah besar mau jadi apa?”
            “Saya mau jadi pedagang grosir, Ibu Guru. Kayak ibu saya,” ucap lelaki itu, girang, ketika berumur delapan tahun.
             Namun pikiran manusia ialah dinamis. Bisa dipengaruhi dari luar maupun diri sendiri. Ketika kita sudah mengetahui seberapa berat dan apa saja kekurangan dari profesi yang kita cita-citakan, sedikit demi sedikit akan melonggarkan keyakinan yang digenggam erat dalam hati dan pikiran.
            Pertanyaan sama mengenai cita-cita dan impian terulang kembali ketika ia sudah berada di tingkat Sekolah Menengah Pertama.
            “Ervano, apa cita-citamu dalam lima belas tahun mendatang?”
            Ervano tak langsung menjawab dengan sepatah kata. Ia lebih memilih menggaruk kepala yang tak gatal dengan jari telunjuk. Memilah-milih jawaban yang pas jika ditanya tentang cita-cita.
            “Ingin menjadi pengamat kebijakan publik. Siapa tahu beruntung, bisa diangkat jadi menteri sama presiden, Bu Guru,” jawab Ervano dengan mantap.
              Sang guru hanya manggut-manggut mengulas senyum di bibir kecilnya. Sementara teman-teman Ervano menimpal dengan kata-kata cibiran.
            “Alah, PR aja belum tentu siap di rumah, Van. Sok-sokan mimpi jadi menteri segala,” cibir salah satu siswa yang berada di dalam kelas itu.
            Ada benarnya juga yang dikatakan temannya itu. Tapi ini bukan masalah siap mengerjakan PR atau tidak, ini masalah keyakinan mencapai cita-cita yang baru saja terujar dari mulut. Tapi Ervano tidak mau ambil pusing bagaimana memulai langkah pertama meraih cita-cita itu. Jawaban tadi hanya sang penyelamat temporal dari ketidaktahuan menjawab pertanyaan dari sang guru.
***
            Masa putih biru telah terlewati selama tiga tahun. Putih abu-abu mungkin adalah masa krusial bagi sebagian remaja yang akan beranjak dewasa. Ervano mulai merasakan efek dari masa krusial itu. Ia mulai mencari di mana minat dan bakat yang ia miliki. Mulai dari pramuka, OSIS sampai les alat musik sudah ia tekuni. Tapi ia belum bisa menemukan di mana renjana yang sesungguhnya.
            Ujian Nasional.Momen mendebarkan bagi para murid kelas XII SMA. Tiga hari waktu yang diberikan agar kau bisa menjembatani masa depan. Bukan momen Ujian Nasional yang dipikirkan Ervano, dia lebih mengkhawatirkan apakah jurusan kuliah yang dipilihnya dalam SNMPTN bisa jebol salah satu.
***
            Mulai terasa jika sedari dulu ia salah mengambil jurusan. Ketika akan menaiki kelas XI, para siswa kelas X sudah berikan pilihan jurusan mana yang akan mereka ambil. Dan untuk menuntun para siswa dalam menentukan jurusan mereka, pihak sekolah mendatangkan beberapa tim bimbingan konseling dari Human Resource Consulant Lavanna. Berdasarkan hasil psikotes, Ervano cocok masuk jurusan IPS. Sempat ragu di awal pemilihan jurusan, akhirnya Ervano memutuskan memilih jurusan IPA.
            Bukan tanpa alasan Ervano memilih jurusan itu. Pertimbangan pertama, teman akrabnya, Sata Saragih, memilih jurusan IPA. Karena tak mau kehilangan teman dekat, akhirnya ia memilih jurusan itu. Terkadang teman sebaya juga turut mempengaruhi pemikiran seseorang untuk memilih keputusan. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Pertimbangan kedua, stereotipe masyarakat mengatakan kalau jurusan IPA lebih mudah mencari pekerjaan daripada jurusan IPS. Tapi stereotipe ini belum teruji betul kebenarannya. Dan bisa saja terbantahkan. Stereotipe ini mempengaruhi pemikiran Ervano akan pemilihan jurusan dan terpilihlah jurusan IPA.
            Di jurusan ini, Ervano tidak menunjukkan perkembangan signifikan atas mata pelajaran IPA. Mulai dari matematika, kimia, fisika dan biologi. Tak pernah sekali pun tertera di kertas rapor nilai enam puluh lima ke atas. Tak bisa menyalahkan sepenuhnya Ervano tak mempelajari bidang studi itu.
            Tak mudah memahami keseluruhan materi pelajaran. Jika diperkirakan ada sekitar empat belas mata pelajaran. Jika dijejali satu per satu pun, mual dan sakit kepala jadi konsekuensi tak terhindarkan. Jadi terciptalah realitasbahwa Ujian Nasional adalahskala penentu kelulusan menjembatani masa depan sesudah melepas bangku sekolah tingkat menengah. Hanya empat mata pelajaran yang diuji. Tak perlu menghapal mati inti per inti keseluruhan mata pelajaran. Nilai yang didapatkan dari sekolah, akan tertulis di selembar kertas berstempel resmi dari pemerintah. Bisa dibawa saat melamar kerja sekaligus bukti bahwa lelaki ini pernah mengenyam pendidikan menengah.
***
            Ujian Nasional sudah habis masa kekuasaan. Momen perpisahan menjadi ajang pelepas sedih dan pilu.Tak bertemu dengan sahabat atau teman dekat. Tak saling bertegur sapa, menanyakan PR atau ulangan yang rutin diberikan guru. Merindukan suasana kebersamaan ketika kenakalan, cinta monyet dan jejak persahabatan menjadi ukir kenangan dalam mayoritas album masa sekolah.
            Para alumni mulai mencari jalan hidup masing-masing. Memilih melamar pekerjaan juga bukanlah ide buruk. Jika punya keterampilan mumpuni, bisa saja mengajukan lamaran di tempat kerja yang dikehendaki. Atau memilih perguruan tinggi sebagai langkah awal menuju suatu pekerjaan yang diidamkan. Sebelum memasuki perguruan tinggi, banyak institusi bimbingan belajar gencar mempromosikan apa saja program pembelajaran yang mereka siapkan untuk menghadapi SBMPTN. ‘Murah tapi bermutu’ jadi kriteria Ervano dalam menentukan tempat les untuk mempersiapkan diri merebut satu kursi di PTN.
            Pengumunan SNMPTN sudah siap menggedor-gedor antusiasme para pelajar yang baru lulus sekolah. Berbekal iman dan doa, berharap salah satu jurusan yang mereka pilih tiga bulan lalu bisa jebol. Kalau mereka lulus, ini akan menjadi euforia kebanggaan sekaligus ajang pamer kepada orang tua dan teman-teman. Jika kalah, mereka hanya bisa menyimpan kesedihan dalam hati sekaligus melanjutkan perjuangan merebut bangku PTN melalui jalur tertulis.
            Begitu selesai memasukkan ID dan password, dengan berbekal iman dan doa di dada, Ervano sudah siap melihat apapun hasil pengumuman SNMPTN yang terpampang di layar komputer.
            Nama                          : Ervano Hansloffa
            Nomor Pendaftaran  : 4140179802
            KAP                           : 414017980249
Anda dinyatakan
            TIDAK LULUS dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2012.
            Detak jantung dalam kurungan tulang rusuk seakan mencelus beberapa detik. Denyut saraf di dalam otak memunculkan pening-pening kecil. Baiklah ini bukan hal yang buruk. Bukan akhir dunia. Berarti Tuhan telah memerintahkan dirinya untuk melanjutkan perjuangan melalui jalur SBMPTN.  Karena ujiian tertulis tinggal sebulan lagi.
            Sudah hakikat waktu takkan bisa diulang sedetik pun. Sudah sebulan berlalu sejak ujian SBMPTN dan hasil penantian selama intensif berbulan-bulan akan diperlihatkan dalam sebuah website.
            17 Juli 2012. Lagi-lagi, Ervano harus menahan debaran di dada. Untuk SNMPTN, dia bisa saja gagal. Mungkin salah dalam pemilihan jurusan dan univeristas. Tapi kali ini, ia berani taruhan jika salah satu pilihannya akan jebol. 
            Nama                          : Ervano Hansloffa
            Nomor Pendaftaran  : 4140179802
            KAP                           : 414017980249
Anda dinyatakan
            TIDAK LULUS dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2012.
            Ingin rasanya Ervano memuntahkan dua pil kegagalan pahit yang sudah dicerna di dalam hati. Menumpahkan air mata kekecawaan. Menyenandungkan rengek kekesalan yang sudah beranak pinak di hati. Entah apa salah diri, sudah dua kali kegagalan menjegal keinginan berkuliah di salah satu PTN yang ia inginkan.
            Belum selesai merayakan kegagalan, orang tua Ervano bertanya-tanya apa penyebab dirinya tak bisa lolos di satu pun pilihan jurusan dan universitas yang ia pilih. Lalu, mengungkit-ungkit berapa besar biaya yang sudah mereka habiskan demi memperjuangkan dirinya bisa lolos di salah satu PTN.
            Dasar orang tua sialan. Mereka tidak tahu betapa larinya soal dan materi intensif bimbingan dengan soal ujian, caci Ervano dalam hati.
            Daripada mendengar cerocosan orang tua yang tak bisa dihentikan, ia memilih pergi tanpa mempedulikan adik laki-lakinya, Rijon, yang bertanya ke mana ia akan pergi.
***
            Dalam kegelapan malam tanpa hias bintang, Ervano memilih meluruhkan air mata percuma. Sebab takkan mungkin orang-orang melihat ia menangis. Suasana jalan didominasi keheningan tanpa hilir balik langkah manusia. Mungkin, hanya hantu sedang beraktivitas di dunia mereka tersendiri.
            Ervano tak mau seorang pun menghibur dirinya. Ia ingin kesedihan menemani sambil memeluk tubuh kurus dan letih batin itu. Angin malam juga bersama dengan dirinya. Menghapus air mata yang sedari tadi membasahi wajah kekotakan disarati bekas noda jerawat.
            Lelaki itu tiba di sebuah warnet. Tak banyak pelanggan merental komputer. Ia memilih bilik nomor enam di sudut ruangan. Paket satu jam.
            Sudah lumrah jikalau seorang lajang berselancar dalam dunia maya, akan membuka akun media sosial. Bara api dendam dan benci pada nasib buruk yang menghampiri, menggerakkan jari-jari langsing Ervano. Menekan tuts keyboard hingga tulisan-tulisan bernada kecaman dan kutukan terpampang bebas dan vulgar.
            Gelap semua apa yang kulihat di dunia ini! Bukannya menghibur malah menyalahkan anak sendiri. Kalian pikir mudah apa, mengerjakan soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan materi yang diajarkan di intensif! Entah sudah berapa kali kegagalan datang dalam hidupku!     
            Statement itu akhirnya sudah berada di dalam akun media sosial Ervano. Banyak komentar yang diberikan perihal statement yang dituliskan lelaki itu. Ia tidak peduli nasihat bijak atau pun petuah-petuah yang mengatakan tidak boleh menghina orang tua. Peduli setan, kata hati Ervano. Selama mereka yang sudah berhasil mendapatkan kemenangan kuliah di PTN, tidak akan pernah merasakan apa yang kurasa. Mungkin khalayak yang merasakan, harus mengalami seperti yang  dia alami saat itu.
***
            Sang penguasa waktu tidak akan berhenti sedetik pun meratapi kemalangan dan kegagalan yang kaualami. Dia angkuh. Dia tak berhati nurani. Tapi dia konsisten dengan tugas yang diemban. Terus berputar maju tak membiarkan mundur sedetik atau berhenti sedetik pun. Ia tak mau tunduk di bawah kaki manusia yang berkata ‘andai waktu bisa kuputar kembali’. Jika dia punya mimik wajah, dia akan tertawa terbahak-bahak sambil meludah jika dia mendengar perkataanmu.
            Dengan perenungan matang dengan hati dan pikiran, Ervano memutuskan tetap berjalan tertatih-tatih ketika penyesalan menuntut dilepaskan dalam kerangkeng kesalahan masa lalu.
            Lelaki itu tengah berpikir. Setidaknya, ia harus punya satu kemampuan yang sering kali orang-orang sematkan padanya.  Laci-laci informasi di otak Ervano sedang sibuk mencari kata kunci itu. Satu kemampuan.
            Kau pandai juga ya, Bahasa Inggris...
            Cocoknya kau masuk jurusan Bahasa Inggris...
            Nah itu dia. Bahasa Inggris. Mungkin Ervano harus mengikuti saran dari teman-temannya. Dan mungkin, akan jadi keputusan final yang akan ia tempuh. Memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di PTS.
***
            Dengan sesal masih membengkak di dalam dada, Ervano mencoba melamar di sebuah universitas yang tidak terlalu jauh dengan kota. Universitas Primada Harapan.
            Rundingan demi rundingan sudah ia lakukan dengan keinginan dirinya sendiri. Ia tidak menaruh harapan besar untuk masuk ke PTN. Ia berpikir kalau semua kampus bisa mencetak orang-orang unggulan yang berpeluang mengubah masa depan. Tentu sudah mutlak jika ingin menjadi orang-orang unggulan, diri sendirilah yang menentukan. Berdoa dan berusaha keras di manapun kita berada.
            Ervano dan kemeja biru merah yang ia kenakan menyusuri wilayah kampus. Mencari papan mading memuat nama calon mahasiswa dan mahasiswi yang ikut dalam ujian seleksi masuk. Dan nama Ervano Hansloffa berada di urutan 150 dari 250 orang yang mendaftar sebagai calon mahasiswa program Falkutas Ilmu Keguruan Pendidikan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Not so bad.
***
            Dalam kesibukan perkuliahan, Ervano mulai menyadari keberadaan passion yang selama ini dia cari. Ketika jemari kurus membuka plastik yang membungkus sebuah buku baru, ada semacam inner powermenyuruhnya segera membaca buku itu.
            Ervano memilih menenggelamkan diri dalam ratusan bahkan jutaan kata yang tersusun dalam susunan berlembar-lembar kertas. Ia tak mau melamun sambil merutuki diri yang tak kunjung punya gandengan.
            Lelaki ini memilih diam sambil menoreh senyum ketika ditanya soal pasangan.
***
            “Vano, ingat umurmu sudah dua puluh satu tahun. Sudah bisalah menggandeng pasangan. Gak bosan apa sendirian terus? Emangnya kamu mau punya pacar usia berapa?” tanya Mikhaf agak memaksa.
            “Hmm, mungkin dua puluh tiga tahun. Gak bosan. Aku lagi fokus sama big plan-ku,” jawab Ervano dengan senyum mengembang dari bibir tipis itu.
            Mikhaf hanya geleng-geleng tak mengerti dengan cara pikir temannya.
***
            Candu yang dihasilkan dari susunan jutaan kata dalam sebuah buku, berhasil memancing minat Ervano memburu buku lebih banyak. Bahkan ia berusaha semaksimal mungkin menyisihkan uang jajan. Mengumpulkan uang dari hasil berjaga di kedai kopi peninggalan kakek dan neneknya.
            Lambat laun, timbul iri dalam batin Ervano melihat buku-buku yang selama ini dibaca jika ada waktu senggang.
            “Aku ingin membuat bukuku sendiri. Aku harus cari referensi sebanyak mungkin,” gumam Ervano sambil sebentar memalingkan perhatian dari novel yang ia baca, Killed In Love.
***
            Sudah bisa dihitung hampir seratus jenis buku yang ia beli. Ervano juga mengutamakan variasi dalam memilih buku bacaan. Namun lebih didominasi fiksi. Novel dan komik. Untuk novel, ia lebih cenderung memilih genre thriller dan horor. Komik Naruto, impor dari Jepang juga mendominasi rak bukunya.
            Ervano sudah memutuskan motivasi apa yang kuat dan bertenaga yang mampu membakar bara semangat dalam diri. Motivasi umpama oli yang selalu memberikan gesekan panas agar mesin tetap bersinergi satu sama lain. Motivasi melahirkan sebuah tujuan yang  mengukuhkan pondasi kerja keras dan optimisme. Ketika nada sumbang berkoak dari mulut-mulut asal bunyi dan tak bertanggung jawab, motivasi selalu pasang dada paling depan. Menjaga agar bara semangat tak mudah padam. Agar pondasi kerja keras dan optimisme tak ambrol diterjang ombak keputusasaan dan rasa ingin menyerah secepat mungkin.
            Tak mudah membuat motivasi selalu terotomatisasi dalam diri. Ia bagaikan makanan yang kita makan sehari-hari. Tak cukup hanya makan pagi saja agar punya kekuatan selama satu hari penuh. Kebutuhan siang dan malam juga tak boleh dilewatkan agar tak lemas semangat. Tak gampang melempem saat kerja keras belum mewujudnyatakan semua tujuan.
            “Eh buat apalah kau beli banyak-banyak novel itu? Bukan buku-buku perkuliahan itu yang kaubaca,” cibir ibu Ervano saat melihat putranya sedang membaca novel Absolutisme Cinta Rasa dan Derita.
              Ervano sekilas melihat ekspresi ibunya lalu memberi fokus penuh pada bacaan di depan mata.
            Mungkin sekarang ibu belum melihat hasilnya. Tapi lihat empat tahun lagi. Ibu pasti bangga kepadaku, ujar batin Ervano yang juga berusaha meyakinkan dirinya.
***
            Lelaki ini turun dari jok sepeda motor. Ransel dipikul di atas kedua bongkah bahu yang cukup tegap. Di tangan kanan, sebuah bungkus plastik kresek putih menampung tumpukan benda yang diperkirakan sekitar enam buah.
            “Buat apalah kau beli novel banyak-banyak? Entah apalah yang kau dapatkan dari novel-novel horor. Mending kau beli pakaianmu. Lihat pakaianmu, sudah banyak yang koyak-koyak,” omel sang ibu. Ervano memilih bungkam dalam kata, melanjut menuju kamar tidur.
              Ada hambatan mengganggu atas segala usaha yang didasari atas nama semangat, kerja keras dan optimisme. Ervano memilih menangkupkan wajah kuyu ke dalam dekap telapak tangan. Merenungi semua upaya yang dicurahkan demi mencapai cita-cita dan impian. Mengorbankan apa yang semula tak ingin dipertaruhkan. Waktu, tenaga, pikiran dan materi.
            Selamat malam, Aldo Manalu
            Setelah kami melakukan rapat redaksi dengan seluruh jajaran penerbit TintaAksara, kami memutuskan bahwa naskah Anda “Last Holiday” belum memenuhi kriteria untuk diterbitkan. Anda bisa mengirimkan naskah Anda yang lain. Terimakasih.
             Jemari tangan kanan sudah mengatup membentuk sebuah kepalan sebesar tangan gorilla. Pasti itu tidak benar, bantah hati Ervano.Tapi terlalu mengundang risiko jika merusak barang kepunyaan orang lain demi pelampiasan sesaat. Terpaksa menahan perasaan dalam tangkupan telapak tangan. Menahan air mata saat penolakan naskah masih setia memberi hasil yang mengecewakan.
            Kerja keras. Kerja keras. Jangan menyerah. Jangan menyerah. Suara pelan itu masih berkumandang ketika ujung jari sedang mengetik sebuah kata. Dualisme dalam diri Ervano sedang melakukan peperangan batin. Berhenti sebagai penulis atau tetap menulis meski kemungkinan naskah diterima satu banding seribu kali percobaan. Ervano benci dihadapkan pilihan yang sungguh riskan.
            Sudah dua naskah ditulis Ervano dalam waktu setahun. Bagi lelaki jangkung ini, ide selalu melintas cepat dan tepat bahkan tanpa dipikirkan sekalipun.
            Naskah pertama, The Last Holiday, bercerita tentang sekolompok anak kuliah yang menghabiskan liburan semester dengan mengunjungi sebuah pulau di Nias. Pulau Hinako. Mereka tidak mengetahui seorang pembunuh misterius nan sadis mengincar nyawa mereka satu per satu. Dan cara menyelamatkan diri dari rencana sang pembunuh yakni keluar secepatnya dari pulau itu.
            Mungkin film Tusuk Jelangkung akan selalu menjadi film horor ikonik dan terbaik versi Ervano. Sekaligus menjadi insprasi dalam menulis naskah novel ini. Dengan sentuhan teenlit dan horor-thriller, sekelompok anak SMA yang menyukai permainan mistis terancam bahaya. Mereka tidak mengetahui bahwa arwah yang mereka panggil merupakan arwah seorang perempuan yang ingin hidup kembali. Tentu saja dengan bayaran nyawa para pemanggilnya.
            Kalau ditotalkan kedua naskah ini sudah ditolak tujuh kali. Ervano mengurut pelan kening selebar telapak tangan. Apakah naskah yang ia tulis merupakan naskah yang jelek?
            Riset yang dilakukan Ervano tidak asal ada. Meski juga terbatas dana dan akses lokasi, lelaki itu selalu mencari data dan informasi lewat internet atau mengunjungi perpustakaan terdekat. Atau menanyakan langsung kepada narasumber yang sudah pernah mengunjungi Nias dan pengalaman menakutkan orang-orang yang pernah memainkan jelangkung.
            Akhirnya Ervano membuat sebuah pertaruhan cukup besar dengan diri sendiri. Jika naskah Last Holiday ditolak lagi untuk terakhir lagi, ia berjanji akan menghapus kedua naskah itu dari laptop sekaligus berhenti mengejar cita-cita menjadi penulis. Sekali lagi ia melakukan perundingan dengan diri sendiri dan hasilnya bulat. Tanpa keraguan sedikit pun.
***
            Penantian akan jawaban naskah novel Last Holiday akan segera terjawab. Menggunakan sepeda motor Honda ZR, Ervano menarik gas membelah dingin dan angin malam yang menyusup lewat pori-pori kulit. Menuju warnet. Membuka e-mail.
            Tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar. Namun Ervano tetap setia menunggu dengan pertaruhan besar yang masih terekam jelas dalam ingatan. Dua puluh lima menit menempuh jarak tiga belas kilometer dengan kecepatan 60 km/jam. Kunci sepeda motor dimasukkan ke dalam saku celana pendek. Lalu memarkirkan sepeda motor, memasuki sebuah ruko berisikan puluhan unit komputer. Ervano memilih bilik nomor 6. Suasana tidak terlalu ramai ataupun sepi. Ini yang diinginkan dirinya.
            Sesudah membuka website Yahoo, pointer mouse diarahkan pada tulisan Mail. Begitu memasukkan ID dan kata kunci, ada enam notifikasi masuk ke e-mail. Setelah dicek satu per satu, ada satu notifikasi menarik untuk segera dilihat. Notifikasi penerbit Gores Aksara.
            Ervano memejamkan mata sembari merapal doa dalam hati. Semoga ada secercah harapan novel The Last Holiday akan diterima.
            Selamat malam, Ervano Hansloffa
            Setelah kami mengadakan rapat redaksi mengenai naskah Anda, kami memutuskan untuk menerbitkan naskah Anda. Surat Perjanjian Penerbitan Buku akan dikirimkan ke alamat domisili Anda dalam waktu 2x24 jam.
            Terimakasih.
            Ledakan bahagia sekaligus haru tak dapat dibendung Ervano. Pekikan terbalut syukur ‘terimakasih Tuhan’ terlepas begitu saja dari mulutnya. Sekilas para pengunjung warnet menoleh padanya. Ervano berpura-pura bersikap biasa saja sambil serius memperhatikan layar komputer. Setitik air mata sudah menunggu untuk meluncur dari pelupuk mata. Tapi karena malu dilihat orang, ia berusaha menahan diri. Ia akan memberitahukan kepada orang tuanya perihal hasil tulisan yang ia ketik hampir setiap malam.  

No comments:

Post a Comment