Ervano Hansloffa
Sewaktu kecil, kita tidak pernah memikirkan
sejauh mana bisa mengembangkan diri demi kemajuan hidup. Termasuk cita-cita dan
impian hidup. Pikiran masa kecil kita lebih memilih apa yang menarik terlihat mata
polos dan pancaran pesona profesi orang tua atau orang lain. Lelaki ini juga
menganut prinsip bahwa hidup tidak usah terlalu memikirkan apa itu cita-cita
dan impian. Semua bisa dikejar di waktu yang tepat. Tuhan akan berikan
momen-momen terbaik saat kau sudah beranjak dewasa. Mengenal dunia secara keseluruhan.
Semasa Sekolah Dasar,
seorang guru pernah menanyakan pada Ervano perihal cita-cita jika sudah
beranjak dewasa.
“Ervano, kalau kamu
sudah besar mau jadi apa?”
“Saya mau jadi
pedagang grosir, Ibu Guru. Kayak ibu
saya,” ucap lelaki itu, girang, ketika berumur delapan tahun.
Namun pikiran manusia ialah dinamis. Bisa
dipengaruhi dari luar maupun diri sendiri. Ketika kita sudah mengetahui
seberapa berat dan apa saja kekurangan dari profesi yang kita cita-citakan, sedikit
demi sedikit akan melonggarkan keyakinan yang digenggam erat dalam hati dan
pikiran.
Pertanyaan sama
mengenai cita-cita dan impian terulang kembali ketika ia sudah berada di
tingkat Sekolah Menengah Pertama.
“Ervano, apa
cita-citamu dalam lima belas tahun mendatang?”
Ervano tak langsung
menjawab dengan sepatah kata. Ia lebih memilih menggaruk kepala yang tak gatal
dengan jari telunjuk. Memilah-milih jawaban yang pas jika ditanya tentang
cita-cita.
“Ingin menjadi
pengamat kebijakan publik. Siapa tahu beruntung, bisa diangkat jadi menteri
sama presiden, Bu Guru,” jawab Ervano dengan mantap.
Sang guru hanya manggut-manggut mengulas
senyum di bibir kecilnya. Sementara teman-teman Ervano menimpal dengan
kata-kata cibiran.
“Alah, PR aja belum
tentu siap di rumah, Van. Sok-sokan mimpi
jadi menteri segala,” cibir salah satu siswa yang berada di dalam kelas itu.
Ada benarnya juga
yang dikatakan temannya itu. Tapi ini bukan masalah siap mengerjakan PR atau
tidak, ini masalah keyakinan mencapai cita-cita yang baru saja terujar dari
mulut. Tapi Ervano tidak mau ambil pusing bagaimana memulai langkah pertama
meraih cita-cita itu. Jawaban tadi hanya sang penyelamat temporal dari
ketidaktahuan menjawab pertanyaan dari sang guru.
***
Masa putih biru telah
terlewati selama tiga tahun. Putih abu-abu mungkin adalah masa krusial bagi
sebagian remaja yang akan beranjak dewasa. Ervano mulai merasakan efek dari
masa krusial itu. Ia mulai mencari di mana minat dan bakat yang ia miliki.
Mulai dari pramuka, OSIS sampai les alat musik sudah ia tekuni. Tapi ia belum
bisa menemukan di mana renjana yang sesungguhnya.
Ujian Nasional.Momen
mendebarkan bagi para murid kelas XII SMA. Tiga hari waktu yang diberikan agar
kau bisa menjembatani masa depan. Bukan momen Ujian Nasional yang dipikirkan
Ervano, dia lebih mengkhawatirkan apakah jurusan kuliah yang dipilihnya dalam
SNMPTN bisa jebol salah satu.
***
Mulai terasa jika
sedari dulu ia salah mengambil jurusan. Ketika akan menaiki kelas XI, para
siswa kelas X sudah berikan pilihan jurusan mana yang akan mereka ambil. Dan
untuk menuntun para siswa dalam menentukan jurusan mereka, pihak sekolah
mendatangkan beberapa tim bimbingan konseling dari Human Resource Consulant Lavanna. Berdasarkan hasil psikotes,
Ervano cocok masuk jurusan IPS. Sempat ragu di awal pemilihan jurusan, akhirnya
Ervano memutuskan memilih jurusan IPA.
Bukan tanpa alasan
Ervano memilih jurusan itu. Pertimbangan pertama, teman akrabnya, Sata Saragih,
memilih jurusan IPA. Karena tak mau kehilangan teman dekat, akhirnya ia memilih
jurusan itu. Terkadang teman sebaya juga turut mempengaruhi pemikiran seseorang
untuk memilih keputusan. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertimbangan kedua,
stereotipe masyarakat mengatakan kalau jurusan IPA lebih mudah mencari
pekerjaan daripada jurusan IPS. Tapi stereotipe ini belum teruji betul kebenarannya.
Dan bisa saja terbantahkan. Stereotipe ini mempengaruhi pemikiran Ervano akan
pemilihan jurusan dan terpilihlah jurusan IPA.
Di jurusan ini,
Ervano tidak menunjukkan perkembangan signifikan atas mata pelajaran IPA. Mulai
dari matematika, kimia, fisika dan biologi. Tak pernah sekali pun tertera di
kertas rapor nilai enam puluh lima ke atas. Tak bisa menyalahkan sepenuhnya
Ervano tak mempelajari bidang studi itu.
Tak mudah memahami
keseluruhan materi pelajaran. Jika diperkirakan ada sekitar empat belas mata
pelajaran. Jika dijejali satu per satu pun, mual dan sakit kepala jadi
konsekuensi tak terhindarkan. Jadi terciptalah realitasbahwa Ujian Nasional adalahskala
penentu kelulusan menjembatani masa depan sesudah melepas bangku sekolah
tingkat menengah. Hanya empat mata pelajaran yang diuji. Tak perlu menghapal
mati inti per inti keseluruhan mata pelajaran. Nilai yang didapatkan dari
sekolah, akan tertulis di selembar kertas berstempel resmi dari pemerintah.
Bisa dibawa saat melamar kerja sekaligus bukti bahwa lelaki ini pernah
mengenyam pendidikan menengah.
***
Ujian Nasional sudah
habis masa kekuasaan. Momen perpisahan menjadi ajang pelepas sedih dan pilu.Tak
bertemu dengan sahabat atau teman dekat. Tak saling bertegur sapa, menanyakan
PR atau ulangan yang rutin diberikan guru. Merindukan suasana kebersamaan
ketika kenakalan, cinta monyet dan jejak persahabatan menjadi ukir kenangan
dalam mayoritas album masa sekolah.
Para alumni mulai
mencari jalan hidup masing-masing. Memilih melamar pekerjaan juga bukanlah ide
buruk. Jika punya keterampilan mumpuni, bisa saja mengajukan lamaran di tempat
kerja yang dikehendaki. Atau memilih perguruan tinggi sebagai langkah awal
menuju suatu pekerjaan yang diidamkan. Sebelum memasuki perguruan tinggi, banyak
institusi bimbingan belajar gencar mempromosikan apa saja program pembelajaran
yang mereka siapkan untuk menghadapi SBMPTN. ‘Murah tapi bermutu’ jadi kriteria
Ervano dalam menentukan tempat les untuk mempersiapkan diri merebut satu kursi
di PTN.
Pengumunan SNMPTN
sudah siap menggedor-gedor antusiasme para pelajar yang baru lulus sekolah.
Berbekal iman dan doa, berharap salah satu jurusan yang mereka pilih tiga bulan
lalu bisa jebol. Kalau mereka lulus, ini akan menjadi euforia kebanggaan
sekaligus ajang pamer kepada orang tua dan teman-teman. Jika kalah, mereka
hanya bisa menyimpan kesedihan dalam hati sekaligus melanjutkan perjuangan merebut
bangku PTN melalui jalur tertulis.
Begitu selesai
memasukkan ID dan password, dengan berbekal iman dan doa
di dada, Ervano sudah siap melihat apapun hasil pengumuman SNMPTN yang
terpampang di layar komputer.
Nama :
Ervano Hansloffa
Nomor
Pendaftaran : 4140179802
KAP : 414017980249
Anda
dinyatakan
TIDAK
LULUS dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2012.
Detak jantung dalam
kurungan tulang rusuk seakan mencelus beberapa detik. Denyut saraf di dalam
otak memunculkan pening-pening kecil. Baiklah ini bukan hal yang buruk. Bukan
akhir dunia. Berarti Tuhan telah memerintahkan dirinya untuk melanjutkan
perjuangan melalui jalur SBMPTN. Karena
ujiian tertulis tinggal sebulan lagi.
Sudah hakikat waktu
takkan bisa diulang sedetik pun. Sudah sebulan berlalu sejak ujian SBMPTN dan
hasil penantian selama intensif berbulan-bulan akan diperlihatkan dalam sebuah website.
17 Juli 2012.
Lagi-lagi, Ervano harus menahan debaran di dada. Untuk SNMPTN, dia bisa saja
gagal. Mungkin salah dalam pemilihan jurusan dan univeristas. Tapi kali ini, ia
berani taruhan jika salah satu pilihannya akan jebol.
Nama :
Ervano Hansloffa
Nomor
Pendaftaran : 4140179802
KAP : 414017980249
Anda
dinyatakan
TIDAK
LULUS dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2012.
Ingin rasanya Ervano memuntahkan dua pil
kegagalan pahit yang sudah dicerna di dalam hati. Menumpahkan air mata
kekecawaan. Menyenandungkan rengek kekesalan yang sudah beranak pinak di hati.
Entah apa salah diri, sudah dua kali kegagalan menjegal keinginan berkuliah di
salah satu PTN yang ia inginkan.
Belum selesai
merayakan kegagalan, orang tua Ervano bertanya-tanya apa penyebab dirinya tak
bisa lolos di satu pun pilihan jurusan dan universitas yang ia pilih. Lalu,
mengungkit-ungkit berapa besar biaya yang sudah mereka habiskan demi
memperjuangkan dirinya bisa lolos di salah satu PTN.
Dasar orang tua sialan. Mereka tidak tahu betapa larinya soal dan
materi intensif bimbingan dengan soal ujian, caci Ervano dalam hati.
Daripada mendengar
cerocosan orang tua yang tak bisa dihentikan, ia memilih pergi tanpa
mempedulikan adik laki-lakinya, Rijon, yang bertanya ke mana ia akan pergi.
***
Dalam kegelapan malam
tanpa hias bintang, Ervano memilih meluruhkan air mata percuma. Sebab takkan
mungkin orang-orang melihat ia menangis. Suasana jalan didominasi keheningan
tanpa hilir balik langkah manusia. Mungkin, hanya hantu sedang beraktivitas di
dunia mereka tersendiri.
Ervano tak mau
seorang pun menghibur dirinya. Ia ingin kesedihan menemani sambil memeluk tubuh
kurus dan letih batin itu. Angin malam juga bersama dengan dirinya. Menghapus
air mata yang sedari tadi membasahi wajah kekotakan disarati bekas noda
jerawat.
Lelaki itu tiba di
sebuah warnet. Tak banyak pelanggan merental komputer. Ia memilih bilik nomor
enam di sudut ruangan. Paket satu jam.
Sudah lumrah jikalau
seorang lajang berselancar dalam dunia maya, akan membuka akun media sosial.
Bara api dendam dan benci pada nasib buruk yang menghampiri, menggerakkan
jari-jari langsing Ervano. Menekan tuts keyboard hingga tulisan-tulisan bernada
kecaman dan kutukan terpampang bebas dan vulgar.
Gelap semua apa yang kulihat di dunia ini! Bukannya menghibur malah
menyalahkan anak sendiri. Kalian pikir mudah apa, mengerjakan soal-soal ujian
yang tidak sesuai dengan materi yang diajarkan di intensif! Entah sudah berapa
kali kegagalan datang dalam hidupku!
Statement itu akhirnya sudah berada di dalam akun media sosial
Ervano. Banyak komentar yang diberikan perihal statement yang dituliskan lelaki itu. Ia tidak peduli nasihat bijak
atau pun petuah-petuah yang mengatakan tidak boleh menghina orang tua. Peduli setan, kata hati Ervano. Selama
mereka yang sudah berhasil mendapatkan kemenangan kuliah di PTN, tidak akan
pernah merasakan apa yang kurasa. Mungkin khalayak yang merasakan, harus
mengalami seperti yang dia alami saat
itu.
***
Sang penguasa waktu tidak akan berhenti sedetik pun
meratapi kemalangan dan kegagalan yang kaualami. Dia angkuh. Dia tak berhati
nurani. Tapi dia konsisten dengan tugas yang diemban. Terus berputar maju tak
membiarkan mundur sedetik atau berhenti sedetik pun. Ia tak mau tunduk di bawah
kaki manusia yang berkata ‘andai waktu bisa kuputar kembali’. Jika dia punya
mimik wajah, dia akan tertawa terbahak-bahak sambil meludah jika dia mendengar
perkataanmu.
Dengan perenungan matang dengan hati dan pikiran, Ervano
memutuskan tetap berjalan tertatih-tatih ketika penyesalan menuntut dilepaskan
dalam kerangkeng kesalahan masa lalu.
Lelaki itu tengah berpikir. Setidaknya, ia harus punya
satu kemampuan yang sering kali orang-orang sematkan padanya. Laci-laci informasi di otak Ervano sedang
sibuk mencari kata kunci itu. Satu kemampuan.
Kau pandai juga ya,
Bahasa Inggris...
Cocoknya kau masuk jurusan Bahasa
Inggris...
Nah itu dia.
Bahasa Inggris. Mungkin Ervano harus mengikuti saran dari teman-temannya. Dan
mungkin, akan jadi keputusan final yang akan ia tempuh. Memilih jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris di PTS.
***
Dengan sesal masih membengkak di dalam dada, Ervano
mencoba melamar di sebuah universitas yang tidak terlalu jauh dengan kota.
Universitas Primada Harapan.
Rundingan demi rundingan sudah ia lakukan dengan
keinginan dirinya sendiri. Ia tidak menaruh harapan besar untuk masuk ke PTN. Ia
berpikir kalau semua kampus bisa mencetak orang-orang unggulan yang berpeluang
mengubah masa depan. Tentu sudah mutlak jika ingin menjadi orang-orang
unggulan, diri sendirilah yang menentukan. Berdoa dan berusaha keras di manapun
kita berada.
Ervano dan kemeja biru merah yang ia kenakan menyusuri
wilayah kampus. Mencari papan mading memuat nama calon mahasiswa dan mahasiswi
yang ikut dalam ujian seleksi masuk. Dan nama Ervano Hansloffa berada di urutan
150 dari 250 orang yang mendaftar sebagai calon mahasiswa program Falkutas Ilmu
Keguruan Pendidikan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Not so bad.
***
Dalam kesibukan perkuliahan, Ervano mulai menyadari
keberadaan passion yang selama ini
dia cari. Ketika jemari kurus membuka plastik yang membungkus sebuah buku baru,
ada semacam inner powermenyuruhnya segera
membaca buku itu.
Ervano memilih menenggelamkan diri dalam ratusan bahkan
jutaan kata yang tersusun dalam susunan berlembar-lembar kertas. Ia tak mau
melamun sambil merutuki diri yang tak kunjung punya gandengan.
Lelaki ini memilih diam sambil menoreh senyum ketika
ditanya soal pasangan.
***
“Vano, ingat umurmu sudah dua puluh satu tahun. Sudah
bisalah menggandeng pasangan. Gak bosan apa sendirian terus? Emangnya kamu mau
punya pacar usia berapa?” tanya Mikhaf agak memaksa.
“Hmm, mungkin dua puluh tiga tahun. Gak bosan. Aku lagi
fokus sama big plan-ku,” jawab Ervano
dengan senyum mengembang dari bibir tipis itu.
Mikhaf hanya geleng-geleng tak mengerti dengan cara pikir
temannya.
***
Candu yang dihasilkan dari susunan jutaan kata dalam
sebuah buku, berhasil memancing minat Ervano memburu buku lebih banyak. Bahkan
ia berusaha semaksimal mungkin menyisihkan uang jajan. Mengumpulkan uang dari
hasil berjaga di kedai kopi peninggalan kakek dan neneknya.
Lambat laun, timbul iri dalam batin Ervano melihat
buku-buku yang selama ini dibaca jika ada waktu senggang.
“Aku ingin membuat bukuku sendiri. Aku harus cari
referensi sebanyak mungkin,” gumam Ervano sambil sebentar memalingkan perhatian
dari novel yang ia baca, Killed In Love.
***
Sudah bisa dihitung hampir seratus jenis buku yang ia
beli. Ervano juga mengutamakan variasi dalam memilih buku bacaan. Namun lebih
didominasi fiksi. Novel dan komik. Untuk novel, ia lebih cenderung memilih
genre thriller dan horor. Komik Naruto,
impor dari Jepang juga mendominasi rak bukunya.
Ervano sudah memutuskan motivasi apa yang kuat dan
bertenaga yang mampu membakar bara semangat dalam diri. Motivasi umpama oli
yang selalu memberikan gesekan panas agar mesin tetap bersinergi satu sama
lain. Motivasi melahirkan sebuah tujuan yang
mengukuhkan pondasi kerja keras dan optimisme. Ketika nada sumbang
berkoak dari mulut-mulut asal bunyi dan tak bertanggung jawab, motivasi selalu
pasang dada paling depan. Menjaga agar bara semangat tak mudah padam. Agar
pondasi kerja keras dan optimisme tak ambrol diterjang ombak keputusasaan dan
rasa ingin menyerah secepat mungkin.
Tak mudah membuat motivasi selalu terotomatisasi dalam
diri. Ia bagaikan makanan yang kita makan sehari-hari. Tak cukup hanya makan
pagi saja agar punya kekuatan selama satu hari penuh. Kebutuhan siang dan malam
juga tak boleh dilewatkan agar tak lemas semangat. Tak gampang melempem saat
kerja keras belum mewujudnyatakan semua tujuan.
“Eh buat apalah kau beli banyak-banyak novel itu? Bukan
buku-buku perkuliahan itu yang kaubaca,” cibir ibu Ervano saat melihat putranya
sedang membaca novel Absolutisme Cinta
Rasa dan Derita.
Ervano sekilas
melihat ekspresi ibunya lalu memberi fokus penuh pada bacaan di depan mata.
Mungkin sekarang
ibu belum melihat hasilnya. Tapi lihat empat tahun lagi. Ibu pasti bangga
kepadaku, ujar batin Ervano yang juga berusaha meyakinkan dirinya.
***
Lelaki ini turun dari jok sepeda motor. Ransel dipikul di
atas kedua bongkah bahu yang cukup tegap. Di tangan kanan, sebuah bungkus
plastik kresek putih menampung tumpukan benda yang diperkirakan sekitar enam
buah.
“Buat apalah kau beli novel banyak-banyak? Entah apalah
yang kau dapatkan dari novel-novel horor. Mending kau beli pakaianmu. Lihat
pakaianmu, sudah banyak yang koyak-koyak,” omel sang ibu. Ervano memilih
bungkam dalam kata, melanjut menuju kamar tidur.
Ada hambatan
mengganggu atas segala usaha yang didasari atas nama semangat, kerja keras dan
optimisme. Ervano memilih menangkupkan wajah kuyu ke dalam dekap telapak
tangan. Merenungi semua upaya yang dicurahkan demi mencapai cita-cita dan
impian. Mengorbankan apa yang semula tak ingin dipertaruhkan. Waktu, tenaga,
pikiran dan materi.
Selamat malam,
Aldo Manalu
Setelah kami melakukan rapat redaksi
dengan seluruh jajaran penerbit TintaAksara, kami memutuskan bahwa naskah Anda
“Last Holiday” belum memenuhi kriteria untuk diterbitkan. Anda bisa mengirimkan
naskah Anda yang lain. Terimakasih.
Jemari tangan
kanan sudah mengatup membentuk sebuah kepalan sebesar tangan gorilla. Pasti itu tidak benar, bantah hati
Ervano.Tapi terlalu mengundang risiko jika merusak barang kepunyaan orang lain
demi pelampiasan sesaat. Terpaksa menahan perasaan dalam tangkupan telapak
tangan. Menahan air mata saat penolakan naskah masih setia memberi hasil yang
mengecewakan.
Kerja keras. Kerja keras. Jangan menyerah. Jangan
menyerah. Suara pelan itu masih berkumandang ketika ujung jari sedang
mengetik sebuah kata. Dualisme dalam diri Ervano sedang melakukan peperangan
batin. Berhenti sebagai penulis atau tetap menulis meski kemungkinan naskah
diterima satu banding seribu kali percobaan. Ervano benci dihadapkan pilihan
yang sungguh riskan.
Sudah dua naskah ditulis Ervano dalam waktu setahun. Bagi
lelaki jangkung ini, ide selalu melintas cepat dan tepat bahkan tanpa
dipikirkan sekalipun.
Naskah pertama, The
Last Holiday, bercerita tentang sekolompok anak kuliah yang menghabiskan
liburan semester dengan mengunjungi sebuah pulau di Nias. Pulau Hinako. Mereka
tidak mengetahui seorang pembunuh misterius nan sadis mengincar nyawa mereka
satu per satu. Dan cara menyelamatkan diri dari rencana sang pembunuh yakni
keluar secepatnya dari pulau itu.
Mungkin film Tusuk Jelangkung akan selalu menjadi film
horor ikonik dan terbaik versi Ervano. Sekaligus menjadi insprasi dalam menulis
naskah novel ini. Dengan sentuhan teenlit
dan horor-thriller, sekelompok anak SMA yang menyukai permainan mistis
terancam bahaya. Mereka tidak mengetahui bahwa arwah yang mereka panggil
merupakan arwah seorang perempuan yang ingin hidup kembali. Tentu saja dengan
bayaran nyawa para pemanggilnya.
Kalau ditotalkan kedua naskah ini sudah ditolak tujuh
kali. Ervano mengurut pelan kening selebar telapak tangan. Apakah naskah yang
ia tulis merupakan naskah yang jelek?
Riset yang dilakukan Ervano tidak asal ada. Meski juga
terbatas dana dan akses lokasi, lelaki itu selalu mencari data dan informasi
lewat internet atau mengunjungi perpustakaan terdekat. Atau menanyakan langsung
kepada narasumber yang sudah pernah mengunjungi Nias dan pengalaman menakutkan
orang-orang yang pernah memainkan jelangkung.
Akhirnya Ervano membuat sebuah pertaruhan cukup besar
dengan diri sendiri. Jika naskah Last
Holiday ditolak lagi untuk terakhir lagi, ia berjanji akan menghapus kedua
naskah itu dari laptop sekaligus berhenti mengejar cita-cita menjadi penulis.
Sekali lagi ia melakukan perundingan dengan diri sendiri dan hasilnya bulat.
Tanpa keraguan sedikit pun.
***
Penantian akan jawaban naskah novel Last Holiday akan segera terjawab. Menggunakan sepeda motor Honda
ZR, Ervano menarik gas membelah dingin dan angin malam yang menyusup lewat
pori-pori kulit. Menuju warnet. Membuka e-mail.
Tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar. Namun Ervano
tetap setia menunggu dengan pertaruhan besar yang masih terekam jelas dalam
ingatan. Dua puluh lima menit menempuh jarak tiga belas kilometer dengan
kecepatan 60 km/jam. Kunci sepeda motor dimasukkan ke dalam saku celana pendek.
Lalu memarkirkan sepeda motor, memasuki sebuah ruko berisikan puluhan unit
komputer. Ervano memilih bilik nomor 6. Suasana tidak terlalu ramai ataupun
sepi. Ini yang diinginkan dirinya.
Sesudah membuka website
Yahoo, pointer mouse diarahkan
pada tulisan Mail. Begitu memasukkan ID dan kata kunci, ada enam notifikasi
masuk ke e-mail. Setelah dicek satu
per satu, ada satu notifikasi menarik untuk segera dilihat. Notifikasi penerbit
Gores Aksara.
Ervano memejamkan mata sembari merapal doa dalam hati.
Semoga ada secercah harapan novel The
Last Holiday akan diterima.
Selamat malam,
Ervano Hansloffa
Setelah kami mengadakan rapat
redaksi mengenai naskah Anda, kami memutuskan untuk menerbitkan naskah Anda.
Surat Perjanjian Penerbitan Buku akan dikirimkan ke alamat domisili Anda dalam
waktu 2x24 jam.
Terimakasih.
Ledakan bahagia
sekaligus haru tak dapat dibendung Ervano. Pekikan terbalut syukur ‘terimakasih
Tuhan’ terlepas begitu saja dari mulutnya. Sekilas para pengunjung warnet
menoleh padanya. Ervano berpura-pura bersikap biasa saja sambil serius
memperhatikan layar komputer. Setitik air mata sudah menunggu untuk meluncur
dari pelupuk mata. Tapi karena malu dilihat orang, ia berusaha menahan diri. Ia
akan memberitahukan kepada orang tuanya perihal hasil tulisan yang ia ketik hampir
setiap malam.
No comments:
Post a Comment