Tuesday, 7 February 2017

Sang Novelis - 3



Pulang
            Ervano memutar leher dan pinggang yang kebas akibat duduk berlama-lama di atas kursi. Usai bersalaman dengan para penggemar dan para pembicara, lelaki berpakaian kasual itu mengarahkan kaki menuju pintu luar. Sang manajer berjalan di samping lelaki itu.
            “Aku mau menenangkan diri di rumah, Violana. Kau tidak ingin ikut bersamaku?” tawar Ervano.
            “Boleh. Tentu saja boleh,” setuju Violana. Mobil Xenia merah marun telah tiba di hadapan mereka. Ervano memilih bangku belakang sebagai tempat duduk mereka berdua. Ketika keduanya sudah duduk di posisi masing-masing, sang supir menaikan tuas persneling lalu menekan pedal gas. Mobil memelesat meninggalkan pintu keluar hotel.
            “Aku tidak menyangka acara tadi berlangsung hampir empat jam. Kurasa para cacing di dalam perutku sudah mengadakan demo besar-besaran,” kelakar Ervano.
            Violana membalas kelakar Ervano dengan seulas senyum tipis di bibir. “Kurasa aku juga begitu. Pinggangku sakit sekali berlama-lama duduk di sana,” keluh Violana sambil memegang pinggangnya.
            “Tapi sekali lagi kamu terlambat, aku akan mengundurkan diri sebagai manajer kamu, mengerti?” gertak Violana sambil mengacungkan jari telunjuk.
            “Aku tidak tahu mengapa tadi malam aku mengantuk sekali usai kita minum mocha chino di Star Breaks.” Ervano coba mengungkapkan alasan keterlambatannya pada sang manajer. Dan kali ini, ekspresi wajah Ervano terlihat serius.
            “Itu bukan alasan, Ervano. Kau sudah sering melakukan melakukan ini. Kalau kuhitung, ini sudah kedua kalinya. Kau tahu, seorang penulis sekaliber kamu pun bisa kehilangan penggemar jika sang penulis tidak menjaga image baiknya,” bantah Violana dengan wajah yang tidak kalah seriusnya dengan Ervano.
            Kalau Violana sudah bicara begini, lelaki itu memlih untuk bungkam saja. Ia membiarkan kata-kata sang manajer mengalir bagai air keran. Ervano mengambil sebatang rokok filter lalu memantikkan macis di ujungnya. Aroma tembakau yang terbakar menguar di dalam mobil. Untung saja sang supir sigap membuka kaca otomatis sehingga tidak membuat Violana sesak dan terbatuk.
            Ervano mengedarkan pandangan pada jalan-jalan yang telah terlewati sambil membuang abu rokok. Tak lama, lelaki itu kembali memfokuskan perhatian ke dalam mobil. Tak sengaja, pandangan mata Ervano tertuju pada sebuah perban yang membalut lengan mulus sang manajer.
            “Omong-omong, ada apa dengan lenganmu? Apa itu luka yang serius?” tanya Ervano sambil membuang asap tipis dari mulutnya.
            “Hmm,” Violana mengelus lembut perban sambil berdeham, “bisa dibilang ini akibat kecerobohanku. Aku tidak sengaja menginjak ekor anjing dan refleks dia mengigit lenganku,” pungkas Violana sambil mengembalikan  pandangan ke arah Ervano.
            “Syukurlah. Aku pikir itu luka serius.” Sisa tembakau tinggal sedikit lagi. Ervano memilih melemparkan puntung rokok ke luar jendela sambil menaikkan kaca otomatis. Kini, lelaki itu membiarkan dirinya memejamkan mata sejenak. Menyerahkan kendali sepenuhnya pada sang supir hingga menuju di rumahnya, Kebon Jeruk.

No comments:

Post a Comment