Pulang
Ervano memutar leher dan pinggang yang kebas akibat duduk
berlama-lama di atas kursi. Usai bersalaman dengan para penggemar dan para
pembicara, lelaki berpakaian kasual itu mengarahkan kaki menuju pintu luar.
Sang manajer berjalan di samping lelaki itu.
“Aku mau menenangkan diri di rumah, Violana. Kau tidak
ingin ikut bersamaku?” tawar Ervano.
“Boleh. Tentu saja boleh,” setuju Violana. Mobil Xenia merah marun telah tiba di hadapan
mereka. Ervano memilih bangku belakang sebagai tempat duduk mereka berdua.
Ketika keduanya sudah duduk di posisi masing-masing, sang supir menaikan tuas
persneling lalu menekan pedal gas. Mobil memelesat meninggalkan pintu keluar
hotel.
“Aku tidak menyangka acara tadi berlangsung hampir empat
jam. Kurasa para cacing di dalam perutku sudah mengadakan demo besar-besaran,”
kelakar Ervano.
Violana membalas kelakar Ervano dengan seulas senyum
tipis di bibir. “Kurasa aku juga begitu. Pinggangku sakit sekali berlama-lama
duduk di sana,” keluh Violana sambil memegang pinggangnya.
“Tapi sekali lagi kamu terlambat, aku akan mengundurkan
diri sebagai manajer kamu, mengerti?” gertak Violana sambil mengacungkan jari
telunjuk.
“Aku tidak tahu mengapa tadi malam aku mengantuk sekali
usai kita minum mocha chino di Star
Breaks.” Ervano coba mengungkapkan alasan keterlambatannya pada sang manajer.
Dan kali ini, ekspresi wajah Ervano terlihat serius.
“Itu bukan alasan, Ervano. Kau sudah sering melakukan
melakukan ini. Kalau kuhitung, ini sudah kedua kalinya. Kau tahu, seorang
penulis sekaliber kamu pun bisa kehilangan penggemar jika sang penulis tidak
menjaga image baiknya,” bantah Violana
dengan wajah yang tidak kalah seriusnya dengan Ervano.
Kalau Violana sudah bicara begini, lelaki itu memlih
untuk bungkam saja. Ia membiarkan kata-kata sang manajer mengalir bagai air
keran. Ervano mengambil sebatang rokok filter lalu memantikkan macis di
ujungnya. Aroma tembakau yang terbakar menguar di dalam mobil. Untung saja sang
supir sigap membuka kaca otomatis sehingga tidak membuat Violana sesak dan
terbatuk.
Ervano mengedarkan pandangan pada jalan-jalan yang telah
terlewati sambil membuang abu rokok. Tak lama, lelaki itu kembali memfokuskan
perhatian ke dalam mobil. Tak sengaja, pandangan mata Ervano tertuju pada
sebuah perban yang membalut lengan mulus sang manajer.
“Omong-omong, ada apa dengan lenganmu? Apa itu luka yang
serius?” tanya Ervano sambil membuang asap tipis dari mulutnya.
“Hmm,” Violana mengelus lembut perban sambil berdeham,
“bisa dibilang ini akibat kecerobohanku. Aku tidak sengaja menginjak ekor
anjing dan refleks dia mengigit lenganku,” pungkas Violana sambil mengembalikan pandangan ke arah Ervano.
“Syukurlah. Aku pikir itu luka serius.” Sisa tembakau
tinggal sedikit lagi. Ervano memilih melemparkan puntung rokok ke luar jendela
sambil menaikkan kaca otomatis. Kini, lelaki itu membiarkan dirinya memejamkan
mata sejenak. Menyerahkan kendali sepenuhnya pada sang supir hingga menuju di
rumahnya, Kebon Jeruk.
No comments:
Post a Comment