Wednesday, 15 February 2017

Sang Novelis - 5



CV. Lifay Media
            Tidak memakan waktu cukup lama tiba di percetakan milik istrinya. Cukup menjaga laju sepeda motor konstan pada kecepatan 60 km/jam untuk menempuh perjalanan sejauh enam kilometer. Begitu melepas helm, Ervano meletakkan sepeda motor di area parkir tempat para pegawai percetakan juga memarkirkan kendaraan mereka.
            Seperti biasa, percetakan ini selalu ramai dengan aktivitas para pegawai. Liane Fayani, istri Ervano sekaligus owner CV. Lifay Media. Perempuan semampai itu sedang mengamati pekerjaan para pegawainya. Dua orang laki-laki sedang melakukan finishing pada signatures. Sebelum diproses lebih lanjut ke bagian penjilidan, perempuan itu mengecek apakah kertas yang dipakai sudah sesuai dengan standar kualitas sekaligus mengecek apakah tinta meresap merata pada signatures.
            “Oke, cukup bagus. Berikan ke Ibu Liyana, bagian penjilidan sekaligus diberi soft cover Art Carton 260 gsm,” perintah perempuan itu. Para pegawai mengangguk pelan sambil melanjutkan tugas mereka.
            Saat kedua lelaki itu pergi, Ervano segera menghampiri perempuan itu.
            “Perempuan yang berdedikasi pada pekerjaan. Itu yang kusuka dari kamu, Liane Fayani. Makanya aku memutuskan untuk menikahi kamu,” gombal Ervano. Ia berdiri di samping Fayani.
            “Gak usah sok-sokan manggil nama lengkapku. Oh ya, jangan sok ngegombal juga,” sahut Fayani tanpa menoleh ke arah suaminya. Tapi Ervano tahu kalau lesung pipi istrinya sempat memerah.
            “Oh ya, manajer kamu datang.”
            “Maksud kamu, Violana?” tanya Ervano memastikan.
            Fayani mengangguk pelan. “Dia lagi main-main sama anak kita.”
            Ervano melihat dengan kedua matanya kalau perempuan setinggi 163 sentimeter itu sedang bermain kejar-kejaran dengan anaknya. Gelak tawa si anak perempuan melengking dalam percetakan ketika manajer Ervano dengan gemas mengejar anak perempuan itu.
            “Ayo lari yang kencang, Nak. Jangan sampai kamu diterkam tante galak itu,” ucap Ervano sambil memberi semangat pada anaknya.
            Si anak perempuan yang mengetahui sang ayah sudah datang, segera mempercepat lari kedua kaki mungil itu menuju sang ayah yang masih berdiri bersama dengan ibunya.
            Ayaaahhh,” sorak anak perempuan itu sambil menyongsong ke dekapan sang ayah.
            “Itu anak kamu?” tanya Violana.
            “Ya. Namanya Erya Uli Favani. Umurnya baru satu setengah tahun.” Ervano memindahkan sang anak ke pangkuan ibunya. Sambil menyampirkan kain gendongan ke tubuh sang anak, membawa sang anak pergi meninggalkan sang ayah.
            Dadda, ayah,” ujar sang anak sambil melambaikan tangan mungilnya.
            Ervano juga balas dengan melambaikan tangannya.
            “Anak kamu hebat ya. Baru dua tahun, gerakannya udah lincah banget. Pasti kelincahannya nurun dari ibunya. Enggak mungkin dari ayahnya. Oh ya, nama panggilannya apa?”
            “Panggil aja dia Ria. Tapi tumben kamu datang ke tempat percetakan ini? Biasanya kamu lebih suka datang ke rumah,” tanya Ervano sambil mengambil sebatang rokok kretek dari dalam saku jaketnya.
            “Ya aku cuma mau lihat-lihat aja tempat kerja istri kamu. Ini betul-betul usaha milik istrimu?” tanya Violana dengan mimik agak serius.
            “Ini hasil kerjasama dari patungan modal dari teman-teman istriku waktu kuliah. Dia itu jago banget bernegosiasi sama teman-temannya. Padahal teman-temannya sempat ragu kalau usaha seperti ini akan bertahan lama. Ternyata mereka salah besar. Dan inilah hasilnya. Bisa kamu lihat sendiri, kan?” Ervano merentangkan kedua lengannya sambil menunjuk ke seluruh penjuru ruangan percetakan.
            Violana berdecak kagum melihat usaha percetakan milik istri Ervano. Banyak karyawan yang bekerja ulet dan ekstra teliti. Mesin percetakan offset berkisar sekitar tiga unit beroperasi maksimal mencetak berlembar-lembar barang produksi percetakan seperti beraneka macam buku tulis dan kartu undangan.
            “Seharusnya kamu bisa meniru cara kerja istri kamu yang gesit dan terampil. Enggak lambat dan terkesan malas seperti kamu,” sindir Violana sengaja.
            “Tiap orang itu berbeda-beda, Violana, termasuk sifat jelek mereka. Ya istriku dia memang sudah dari sana orangnya gesit terampil dan cekatan. Aku pun juga begitu,” kilah Ervano.
            “Tapi bukan berarti kamu bisa membiarkan semua orang memaklumi sifat jelek kamu, Tuan Ervano. Setiap orang juga perlu mengubah diri mereka demi kebaikan sekaligus perkembangan diri mereka,” sanggah Violana dengan sedikit nasihat filsafat.
            “Ok, ok, baiklah Nyonya tukang debat. Aku mengaku kalah. Aku menyerah. Aku akan mengubah sifat jelekku mulai dari sekarang. Kau dengar?”
            “Bagus,” ucap Violana dengan senyum mengembang di bibir. “Kalau begitu aku pergi dulu. Aku punya urusan mendadak. Bye,” pamit sang manajer pada Ervano sekaligus istrinya. 
            Ketika Violana dengan ujung rambut agak pirang melangkah keluar, sebuah mobil APV hitam sudah menunggu untuk dinaiki. Begitu Violana sudah berada di dalam mobil, sang sopir menekan pedal rem, menjauh dari percetakan milik Fayani.
            “Sekarang giliran kamu,” ucap Ervano begitu Fayani sudah berada di sampingnya.
            “Masalah sarapan kamu pagi ini?” terka Fayani sambil menimang-nimang anaknya dalam balutan kain gendongan.
            “Kerja sih kerjatapi kamu harus mengutamakan suamimu juga dong. Tadi masa aku bangun pagi, di tudung saji enggak ada makanan apapun.”
            “Tapi bukan berarti kamu enggak bisa masak apapun kan? Setidaknya kamu bisa masak telur dadar,” bela Fayani.
            “Iya aku tahu,—“
            “Lantas, enggak ada yang perlu dipermasalahkan ‘kan? Jadi enggak usah sok manja deh.”
            “Argh. Enggak manajer enggak istri, sama-sama tukang debat. Tapi, omong-omong, apa sih yang kamu kerjakan selama tiga hari ini makanya kamu sibuk terus?” tanya Ervano agak dongkol.
            “Kamu tahu usaha percetakan kita ini berada di lini sebuah penerbit indie, Tulis Cerita. Dan salah satu naskah novel yang masuk antrian di percetakan kita itu, ada yang best seller.”
            “Terus?” tanya Ervano berlagak cuek.
            “Novel ini sudah masuk cetakan ketiga dan pemesannya hampir seratus ratus orang.”
            “Apa judul novel itu?” tanya Ervano mulai penasaran.
             Fayani mengambil satu buku jadi lalu diberikan kepada suaminya.
            “OTAK PIKIRAN?” tanya Ervano sambil melihat novel yang diberikan Fayani.
            Lelaki itu mengamati secara seksama novel di tangannya. Cover dengan duotone merah tua dan hitam. Ilustrasi novel terdapat gambar separuh tubuh seorang laki-laki dengan tempurung kepala menampakkan bagian otak. Di cover  novel, terdapat tulisan ‘a psychothriller novel’ dan ‘bestseller’.
            “Ini novel yang kamu bilang bestseller?”
            “Kalau dihitung mulai dari pre order pertama sampai ketiga, pemesan novel ini sudah mencapai tiga ratus orang. Mantap bukan?” ujar Fayani, terkesima.
            “Dari judulnya aku sudah bisa mengira kalau ini novel thriller psikologi. Judul menarik tapi dari segi warna, mungkin kamu harus beri perpaduan hitam dan coklat tua biar terkesan misterius dan angker. Ilustrasi laki-laki bisa diberi warna serupa dengan warna duotone cover. Itu dari aku. Terserah kamu terima atau tidak,” anjur lelaki itu sambil memberikan novel di tangannya kembali pada sang istri.
            “Hmm, saran diterima. Mungkin saran kamu berguna kalau ada yang mau menerbitkan novel lain setelah yang satu ini,” pungkas Fayani.
            “Eh omong-omong, sudah jam berapa ini?” tukas Ervano.
            “Jam sebelas tepat. Kam—“
            “Aku pergi ya, Fayani. Jaga anak kita baik-baik,” pamit Ervano, “Oh ya, aku beli novelnya satu untuk baca-baca di rumah.”
            Hmm, pantas saja manajernya sering marah-marah.

No comments:

Post a Comment