CV.
Lifay Media
Tidak memakan waktu cukup lama tiba di percetakan milik
istrinya. Cukup menjaga laju sepeda motor konstan pada kecepatan 60 km/jam
untuk menempuh perjalanan sejauh enam kilometer. Begitu melepas helm, Ervano
meletakkan sepeda motor di area parkir tempat para pegawai percetakan juga
memarkirkan kendaraan mereka.
Seperti biasa, percetakan ini selalu ramai dengan
aktivitas para pegawai. Liane Fayani, istri Ervano sekaligus owner CV. Lifay Media. Perempuan
semampai itu sedang mengamati pekerjaan para pegawainya. Dua orang laki-laki
sedang melakukan finishing pada signatures. Sebelum diproses lebih
lanjut ke bagian penjilidan, perempuan itu mengecek apakah kertas yang dipakai
sudah sesuai dengan standar kualitas sekaligus mengecek apakah tinta meresap
merata pada signatures.
“Oke, cukup bagus. Berikan ke Ibu Liyana, bagian
penjilidan sekaligus diberi soft cover Art
Carton 260 gsm,” perintah perempuan itu. Para pegawai mengangguk pelan sambil
melanjutkan tugas mereka.
Saat kedua lelaki itu pergi, Ervano segera menghampiri
perempuan itu.
“Perempuan yang berdedikasi pada pekerjaan. Itu yang
kusuka dari kamu, Liane Fayani. Makanya aku memutuskan untuk menikahi kamu,”
gombal Ervano. Ia berdiri di samping Fayani.
“Gak usah sok-sokan
manggil nama lengkapku. Oh ya, jangan sok
ngegombal juga,” sahut Fayani tanpa menoleh ke arah suaminya. Tapi Ervano tahu
kalau lesung pipi istrinya sempat memerah.
“Oh ya, manajer kamu datang.”
“Maksud kamu, Violana?” tanya Ervano memastikan.
Fayani mengangguk pelan. “Dia lagi main-main sama anak
kita.”
Ervano melihat dengan kedua matanya kalau perempuan
setinggi 163 sentimeter itu sedang bermain kejar-kejaran dengan anaknya. Gelak
tawa si anak perempuan melengking dalam percetakan ketika manajer Ervano dengan
gemas mengejar anak perempuan itu.
“Ayo lari yang kencang, Nak. Jangan sampai kamu diterkam
tante galak itu,” ucap Ervano sambil memberi semangat pada anaknya.
Si anak perempuan yang mengetahui sang ayah sudah datang,
segera mempercepat lari kedua kaki mungil itu menuju sang ayah yang masih
berdiri bersama dengan ibunya.
“Ayaaahhh,”
sorak anak perempuan itu sambil menyongsong ke dekapan sang ayah.
“Itu anak kamu?” tanya Violana.
“Ya. Namanya Erya Uli Favani. Umurnya baru satu setengah
tahun.” Ervano memindahkan sang anak ke pangkuan ibunya. Sambil menyampirkan
kain gendongan ke tubuh sang anak, membawa sang anak pergi meninggalkan sang
ayah.
“Dadda, ayah,” ujar sang anak sambil melambaikan
tangan mungilnya.
Ervano juga balas dengan melambaikan tangannya.
“Anak kamu hebat ya. Baru dua tahun, gerakannya udah
lincah banget. Pasti kelincahannya nurun dari ibunya. Enggak mungkin dari
ayahnya. Oh ya, nama panggilannya apa?”
“Panggil aja dia Ria. Tapi tumben kamu datang ke tempat
percetakan ini? Biasanya kamu lebih suka datang ke rumah,” tanya Ervano sambil
mengambil sebatang rokok kretek dari dalam saku jaketnya.
“Ya aku cuma mau lihat-lihat aja tempat kerja istri kamu.
Ini betul-betul usaha milik istrimu?” tanya Violana dengan mimik agak serius.
“Ini hasil kerjasama dari patungan modal dari teman-teman
istriku waktu kuliah. Dia itu jago banget bernegosiasi sama teman-temannya.
Padahal teman-temannya sempat ragu kalau usaha seperti ini akan bertahan lama.
Ternyata mereka salah besar. Dan inilah hasilnya. Bisa kamu lihat sendiri,
kan?” Ervano merentangkan kedua lengannya sambil menunjuk ke seluruh penjuru
ruangan percetakan.
Violana berdecak kagum melihat usaha percetakan milik
istri Ervano. Banyak karyawan yang bekerja ulet dan ekstra teliti. Mesin
percetakan offset berkisar sekitar
tiga unit beroperasi maksimal mencetak berlembar-lembar barang produksi
percetakan seperti beraneka macam buku tulis dan kartu undangan.
“Seharusnya kamu bisa meniru cara kerja istri kamu yang
gesit dan terampil. Enggak lambat dan terkesan malas seperti kamu,” sindir
Violana sengaja.
“Tiap orang itu berbeda-beda, Violana, termasuk sifat
jelek mereka. Ya istriku dia memang sudah dari sana orangnya gesit terampil dan
cekatan. Aku pun juga begitu,” kilah Ervano.
“Tapi bukan berarti kamu bisa membiarkan semua orang memaklumi
sifat jelek kamu, Tuan Ervano. Setiap orang juga perlu mengubah diri mereka
demi kebaikan sekaligus perkembangan diri mereka,” sanggah Violana dengan
sedikit nasihat filsafat.
“Ok, ok, baiklah Nyonya tukang debat. Aku mengaku kalah.
Aku menyerah. Aku akan mengubah sifat jelekku mulai dari sekarang. Kau dengar?”
“Bagus,” ucap Violana dengan senyum mengembang di bibir.
“Kalau begitu aku pergi dulu. Aku punya urusan mendadak. Bye,” pamit sang manajer pada Ervano sekaligus istrinya.
Ketika Violana dengan ujung rambut agak pirang melangkah
keluar, sebuah mobil APV hitam sudah menunggu untuk dinaiki. Begitu Violana
sudah berada di dalam mobil, sang sopir menekan pedal rem, menjauh dari
percetakan milik Fayani.
“Sekarang giliran kamu,” ucap Ervano begitu Fayani sudah
berada di sampingnya.
“Masalah sarapan kamu pagi ini?” terka Fayani sambil
menimang-nimang anaknya dalam balutan kain gendongan.
“Kerja sih kerjatapi kamu harus mengutamakan suamimu juga
dong. Tadi masa aku bangun pagi, di tudung saji enggak ada makanan apapun.”
“Tapi bukan berarti kamu enggak bisa masak apapun kan?
Setidaknya kamu bisa masak telur dadar,” bela Fayani.
“Iya aku tahu,—“
“Lantas, enggak ada yang perlu dipermasalahkan ‘kan? Jadi
enggak usah sok manja deh.”
“Argh. Enggak
manajer enggak istri, sama-sama tukang debat. Tapi, omong-omong, apa sih yang
kamu kerjakan selama tiga hari ini makanya kamu sibuk terus?” tanya Ervano agak
dongkol.
“Kamu tahu usaha percetakan kita ini berada di lini
sebuah penerbit indie, Tulis Cerita. Dan salah satu naskah novel yang masuk
antrian di percetakan kita itu, ada yang best
seller.”
“Terus?” tanya Ervano berlagak cuek.
“Novel ini sudah masuk cetakan ketiga dan pemesannya
hampir seratus ratus orang.”
“Apa judul novel itu?” tanya Ervano mulai penasaran.
Fayani mengambil
satu buku jadi lalu diberikan kepada suaminya.
“OTAK PIKIRAN?” tanya Ervano sambil melihat novel yang
diberikan Fayani.
Lelaki itu mengamati secara seksama novel di tangannya. Cover dengan duotone merah tua dan hitam. Ilustrasi novel terdapat gambar
separuh tubuh seorang laki-laki dengan tempurung kepala menampakkan bagian
otak. Di cover novel, terdapat tulisan ‘a psychothriller novel’ dan ‘bestseller’.
“Ini novel yang kamu bilang bestseller?”
“Kalau dihitung mulai dari pre order pertama sampai ketiga, pemesan novel ini sudah mencapai
tiga ratus orang. Mantap bukan?” ujar Fayani, terkesima.
“Dari judulnya aku sudah bisa mengira kalau ini novel
thriller psikologi. Judul menarik tapi dari segi warna, mungkin kamu harus beri
perpaduan hitam dan coklat tua biar terkesan misterius dan angker. Ilustrasi
laki-laki bisa diberi warna serupa dengan warna duotone cover. Itu dari aku. Terserah kamu terima atau tidak,”
anjur lelaki itu sambil memberikan novel di tangannya kembali pada sang istri.
“Hmm, saran diterima. Mungkin saran kamu berguna kalau
ada yang mau menerbitkan novel lain setelah yang satu ini,” pungkas Fayani.
“Eh omong-omong, sudah jam berapa ini?” tukas Ervano.
“Jam sebelas tepat. Kam—“
“Aku pergi ya, Fayani. Jaga anak kita baik-baik,” pamit
Ervano, “Oh ya, aku beli novelnya satu untuk baca-baca di rumah.”
Hmm, pantas saja
manajernya sering marah-marah.
No comments:
Post a Comment