Thursday, 2 February 2017

Sang Novelis - 1



Acara Dimulai
            12 Maret 2016
            Arloji yang melingkar di lengan sudah beberapa kali dilirik lelaki itu. Menaruh cemas dalam hati. Pikiran negatif terus menerus membayangi dengan kemungkinan terburuk kalau ia datang terlambat lagi.
            “Pak Tono, bisa dipercepat sedikit lagi? Saya sudah terlambat lima menit menuju acara bedah buku saya,” suruh Ervano dari jok belakang mobil.
            “Sabar, Pak Ervano. Bapak juga lihat sendiri ‘kan. Jalan di depan kita sedang macet,” balas Tono sambil tetap fokus pada setir.
            Ervano menghela napas pasrah. Ia memilih menatap jalan raya di hadapan mata dan berharap kemacetan akan berangsur-angsur berkurang. Kali ini dia akan mendapat semprotan nasihat sang manajer untuk kedua kalinya. Merenungi kesalahan rupanya menjadi pilihan tepat. Membunuh kebosanan terjebak dalam kemacetan.
            Renungan Ervano berlangsung cukup singkat. Digugurkan nada handphone serta getaran mengagetkan dalam saku celana jins biru gelap.
            “Ha-lo.” Kini lelaki muda itu menaruh handphone di telinga kanan. Nada bicara Ervano agak bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
            “Kamu lagi di mana sekarang? Ini sudah hampir lewat sepuluh menit dari jam acara normal,” tanya sang manajer tanpa banyak basa-basi.
            “Saya lagi terjebak macet di jalan Letjen Suprapto. Keterlambatan ini benar-benar di luar perkiraanku,” bela Ervano.
            “Saya tidak mau tahu apa alasanmu. Secepatnya kamu harus segera sampai di Hotel Fraser Residence Menteng,” tutup sang manajer dari seberang sana.
            Tak terdengar lagi suara sang manajer di handphone lelaki itu. Ervano kembali menyimpan handphone di dalam saku celana. Sambil merebahkan kepala di sandaran jok. Melepas penat di kepala untuk sejenak.
            Mimpi apa ya, aku semalam? Kok bisa sesial ini?
***
            Wanita itu melengos ke kiri seraya memasukkan handphone ke dalam tas sandang. Tepat saat itu pula lelaki paruh baya berusia empat puluh lima tahun menghampiri dirinya. Dua guratan terpahat jelas di kening lelaki itu. Wajah bulat cekung ditumbuhi beberapa helai jenggot tipis, menampakkan raut wajah dongkol.
            “Ibu Violana, kapan Pak Ervano akan datang ke sini? Dia sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal acara normal,” tanya Pak Yuhwa dengan mimik serius. Kedipan mata tak begitu intens. Seolah ingin menerkam lawan bicaranya.
            “I-iya, Pak Yuhwa. Beri dia waktu sepuluh menit lagi. Saya yakin dia akan datang sebentar lagi,” bela Violana. Meski gugup sudah ikut campur dalam gaya bicaranya.
            “Baiklah. Jika sampai lagu ketiga dari band pembuka, Pak Ervano belum juga datang, saya akan membatalkan acara ini tanpa harus menunggu persetujuan dari pihak Anda. Paham?” ancam Pak Yuhwa.
            Pak Yuhwa kembali ke kursi yang telah disediakan sambil menikmati persembahan lagi dari band pembuka. Violana kembali juga ke tempat semula ketika ia sudah selesai menelepon sang penulis.
            Violana tahu apa risiko yang harus diterima ketika menjadikan Pak Yuhwa sebagai Event Organizer acara bedah buku milik Ervano. Lelaki paruh baya beruban itu selalu mengumatakan kedisiplinan dalam setiap penyelenggaraan acara resmi. Wanita itu tahu Pak Yuhwa sudah berpengalaman dalam menyusun dan mengatur berbagai tata acara. Baik dari acara instansi pemerintahan sampai seminar umum. Ia juga berharap ancaman Pak Yuhwa tidak menjadi kenyataan jika Ervano bisa datang sepuluh menit lagi. Sepuluh menit lagi.
***
            Pukul 10.20. Untunglah, kemacetan jalan raya berangsur berkurang. Ia bisa menyuruh Pak Tono, menambah kecepatan mobil. Padahal waktu yang seharusnya ditempuh untuk sampai di hotel, sekitar dua puluh menit lagi. Decit ban mobil Avanza bergesekan dengan aspal, membuat perhatian para orang di pita pembatas tertuju padanya.
            “Itu dia,” teriak salah satu kerumunan manusia yang ada di dalam pita pembatas.
            Begitu turun dari mobil, Ervano cepat ambil langkah seribu masuk ke dalam hotel. Para pemburu berita dari berbagai stasiun TV mulai mengejar lelaki itu.
            “Pak kalau boleh tahu apa judul novel Anda yang kesembilan ini?”
            “Nanti saja jawab di dalam. Saya mau cepat-cepat,” jawab Ervano secepat mungkin. Seakan tak rela kehilangan sumber berita, para wartawan lantas mengikuti sang penulis kondang itu.
            Para polisi yang ikut mengawal acara, langsung mengamankan para wartawan yang ingin masuk bersamanya. Begitu sudah berada di lobi hotel, seorang wanita tengah menunggu sambil melipat kedua tangan di dada.
            “Sudah lama menunggu?” tanya Ervano.
            Tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu, perempuan dengan kuciran rambut kuda berjalan di depan sang penulis.
             “Lewat sini,” perintah Violana sambil menunjuk sebuah lift yang terbuka lalu mereka memilih berada di dalamnya.
***
            Violana mengambil tempat duduk tepat di samping Ervano. Sebelum menyampaikan kata sambutan sekaligus permintaan maaf, Ervano menarik napas sejenak lalu dibuang dalam satu helaan kecil.
            “Sebelumnya saya meminta maaf atas keterlambatan saya. Keterlambatan ini benar-benar di luar dugaan saya. Saya berjanji tidak akan mengulangi kejadian ini lagi.” Ervano memfokuskan perhatian pada para audiens yang mayoritas para penggemar novelnya di seluruh Indonesia.
            “Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan mengadakan acara lauching novel saya. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang berpartisipasi dalam keberlangsungan acara ini. Terutama kepada manajer saya, Ibu Egath Violana sudah setia menunggu kedatangan saya.”
            “Baiklah saya akan memperkenalkan novel kesembilan berjudul Absurd: Misteri Tiga Wajah Iblis. Kali ini, saya mengambil genre yang jarang dilirik penulis di Indonesia. Thriller psikologi. Saudara-saudari sekalian mungkin sudah mengetahui kalau kebanyakan novel yang saya tulis bergenre horor dan romansa. Ini juga sudah kedua kali saya mengambil genre thriller dalam kepenulisan novel saya. Hasilnya bisa saya lihat dalam ruangan ini. Banyak sekali fans dari seluruh Indonesia datang ke sini, membawa novel Absurd dalam genggaman tangan Anda. Satu hal yang saya yakini dalam kehidupan saya sebagai seorang penulis. Nama seorang penulis tidak akan besar tanpa adanya para pembaca setia di setiap karya mereka. Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan. Saya serahkan kepada Ibu Egath Violana.” Akhir pidato pembuka Ervano direspons tepuk tangan guruh riuh dari para audiens.
            “Terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Meskipun baru dua setengah bulan, saya bersama dengan Pak Ervano Hansloffa sudah bekerjasama menghasilkan karya terbaik termasuk novel Absurd yang berada di tangan Anda. Awalnya saya sempat ragu kalau novel ini bisa diterima oleh pasar. Mengingat pangsa pasar perbukuan di Indonesia dijejali novel-novel bergenre romantis dan komedi. Namun, setelah melihat antusiasme penggemar novel karya Pak Ervano, saya semakin yakin novel ini pasti tetap diterima pasar seperti karya-karya Pak Ervano sebelumnya. Kepada kepala redaksi BukuMedia, Bapak Nasid Diharajo, ada yang mau disampaikan?” tanya Violana  sambil menolehkan kepala ke sebelah kiri.
            Kepala redaksi BukuMedia mulai memberikan review singkat mengenai novel Absurd yang sekarang dipegangnya. Disusul seorang penulis terkenal lalu terakhir seorang dosen Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Batavia Indonesia.
            Ervano tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan para pembicara. Perhatiannya hanya tertuju pada para penggemar yang terlihat fokus mendengar kelebihan dan kekurangan yang dipaparkan salah satu pembicara. Ia tak menyangka bisa mendapatkan para penggemar sebanyak ini. Padahal Ervano cuma berharap novel karangan dirinya, diterima salah satu penerbit mayor di Indonesia. Namun, Tuhan memberikan hasil lebih atas usaha yang dilakukannya selama ini. Ervano menorehkan senyum kepuasan atas apa yang berada di hadapannya. Tepat di depan mata.
            “Hey, kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Ada yang mau bertanya padamu mengenai novelmu ini,” bisik Violana sambil memberi isyarat lewat gerak kepala. Seorang gadis berkacamata sedang berdiri dengan memegang mic di tangan kanan.
            “Silakan sebutkan nama Anda dan pertanyaannya.”

No comments:

Post a Comment